Share

Bab 142

Penulis: Frands
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 14:43:17

“GERBANG TIMUR! GERBANG TIMUR TERBUKA LEBAR!” Teriakan panik tiba-tiba membelah keheningan pagi.

Seorang prajurit wanita berlari dengan napas tersengal-sengal, wajahnya pucat ketakutan. Dia membangunkan Ratu Arunya yang tertidur di tahta taman dengan lembut.

“Yang Mulia! Bangun!” teriaknya, suara bergetar. “Ada penyusup yang masuk!”

Ratu Arunya terbangun dengan kaget, kepala masih berat karena mabuk. “Apa? Apa yang terjadi?”

Prajurit itu menunjuk ke arah gerbang timur. “Gerbangnya terbuka! Dan ada jejak kaki—banyak sekali—menuju hutan! Seperti ada pasukan besar yang masuk atau keluar!”

Dalam sekejap, semua yang tidur mulai terbangun. Amita sudah berdiri dengan pedang terhunus, meski matanya masih berkabut. Ambarani membantu Dewi Kirani bangun, sementara Wirya dengan cepat menggosok matanya yang masih merah.

“Mungkin ini ulah Pasukan Bulan,” desis Ratu Arunya, wajahnya berubah pucat. “Mereka menemukan keberadaan kita. Mereka menyusup saat kita lengah!”

Amita segera mengambil kendali.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Tawanan yang Menawan   Bab 145

    “Maaf, Amita. Aku tidak bermaksud...” Wirya mulai merasa tidak nyaman.“Jangan meminta maaf,” potong Amita, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan dirinya kembali. Wajahnya perlahan kembali ke ekspresi tegasnya, meski semburat merah di pipinya masih tersisa. “Ini... ini hanya bukti bahwa ilmu warisan Joko Loyo lebih kompleks dari yang kita kira. Kita harus memetakan titik-titik mana yang aman untuk digunakan dalam pertempuran.”Dia mengambil pedang kayunya lagi, tetapi kali ini menjaga jarak yang sedikit lebih jauh dari Wirya. “Coba titik lainnya. Tapi... mungkin yang lebih jelas efek lumpuhnya.”Wirya mengangguk, berusaha mengesampingkan rasa bingungnya. Dia mengangkat pedang kayu dan menyerang. Namun, Amita masih jauh lebih cepat dan terampil. Dengan gerakan-gerakan tangkas, dia menangkis setiap serangan Wirya tanpa kesulitan. Tak! Tak! Suara benturan pedang kayu menggema di taman yang sepi.“Konsentrasi, Wirya! Jangan ragu-ragu!” teriak Amita saat dia dengan mudah mengalir

  • Tawanan yang Menawan   Bab 144

    “Jangan memikirkan kekuatanmu!” teriak Amita, mengoreksi sikapnya. “Pikirkan akurasi!”Wirya mengangguk, berkeringat. Dia mengayunkan pedang kayu itu ke arah bahu boneka latihan. Sebuah tusukan pendek dan tepat ke area yang dia tahu adalah persendian utama.Thok.Suaranya biasa saja. Boneka itu hanya bergoyang. Kegagalan terpancar jelas di wajahnya.Amita menghela napas. “Coba lagi, Wirya. Konsentrasi!”Saat Wirya akan mencoba untuk kedua kalinya, Ambarani mendekat. Wajahnya penuh kebingungan, sama sekali tidak menunjukkan pemahaman tentang titik-titik tekanan.“Apakah ada masalah?” tanya Ambarani, matanya beralih antara Wirya yang gugup dan Amita yang tampak frustrasi. “Aku pikir ilmu warisan Joko Loyo itu... lebih dahsyat. Ini tampaknya seperti teknik dasar saja.”Wirya merasa makin tertekan. Ambarani benar-benar tidak tahu apa-apa. Dia mengira ilmu sakti Joko Loyo adalah semacam kesaktian yang langsung bisa melumpuhkan lawan.“Aku... aku masih berusaha menguasainya, Ambarani,” jaw

  • Tawanan yang Menawan   Bab 143

    Ratu Arunya berdiri tegak, wajahnya yang sempat menunjukkan kepanikan kini berubah menjadi keteguhan yang membaja. “Amita benar. Ini adalah undangan untuk bertempur, dan kita akan datang—tapi dengan cara kita sendiri.”Dia menoleh ke Ambarani. “Kau yang paling mengenal cara berpikir Candra. Di mana dia mungkin membawa mereka?”Ambarani mengerutkan kening, mengingat-ingat. “Dia selalu menyukai tempat-tempat yang memiliki hubungan dengan sejarah. Tempat dimana Pasukan Bulan pertama kali dibentuk—di sekitar hutan ilusi.”"Hutan ilusi," gumam Wirya. "Itu tempat dimana Joko Loyo berada."Kesamaan itu membuat mereka semua merinding. Sepertinya segala sesuatu terhubung dengan cara yang tidak mereka sangka."Kita akan menyusun rencana," ucap Ratu Arunya, suara penuh wibawa. "Amita, kumpulkan pasukan terbaik kita. Ambarani, buat peta serangan. Wirya..." Dia memandang Wirya dengan keyakinan penuh. "Kau adalah kunci dalam pertempuran ini, Wirya.”Wirya, yang seumur hidupnya lebih familiar deng

  • Tawanan yang Menawan   Bab 142

    “GERBANG TIMUR! GERBANG TIMUR TERBUKA LEBAR!” Teriakan panik tiba-tiba membelah keheningan pagi.Seorang prajurit wanita berlari dengan napas tersengal-sengal, wajahnya pucat ketakutan. Dia membangunkan Ratu Arunya yang tertidur di tahta taman dengan lembut.“Yang Mulia! Bangun!” teriaknya, suara bergetar. “Ada penyusup yang masuk!”Ratu Arunya terbangun dengan kaget, kepala masih berat karena mabuk. “Apa? Apa yang terjadi?”Prajurit itu menunjuk ke arah gerbang timur. “Gerbangnya terbuka! Dan ada jejak kaki—banyak sekali—menuju hutan! Seperti ada pasukan besar yang masuk atau keluar!”Dalam sekejap, semua yang tidur mulai terbangun. Amita sudah berdiri dengan pedang terhunus, meski matanya masih berkabut. Ambarani membantu Dewi Kirani bangun, sementara Wirya dengan cepat menggosok matanya yang masih merah.“Mungkin ini ulah Pasukan Bulan,” desis Ratu Arunya, wajahnya berubah pucat. “Mereka menemukan keberadaan kita. Mereka menyusup saat kita lengah!”Amita segera mengambil kendali.

  • Tawanan yang Menawan   Bab 141

    “Pria itu tidak pantas untuk membuatmu sedih,” suara Kuncoro tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Dia membawa dua gelas minuman, menyerahkan satu pada Indah. Indah menerimanya dengan senyum tipis. “Aku tidak sedih. Aku hanya... merenung.”Kuncoro duduk di sampingnya. “Aku mengerti. Kau tak perlu membohongi dirimu sendiri,” dia menunjuk ke arah Wirya yang sedang menari dengan Dewi Kirani. "Sejak awal, mungkin pria itu tidak pernah melihatmu lebih dari sekadar teman se-perjalanan."Indah menatapnya tajam. “Kau tidak berhak menilai jika kau belum terlalu dekat dengannya, Kuncoro.”Tapi Kuncoro terus memanas-manasi. “Kau ingat bagaimana kau menyelamatkan dan merawatnya di gubuk kayumu yang reot di tengah hutan. Bagaimana matamu berbinar setiap kali dia menatapmu.” Dia mendekatkan wajahnya. “Tapi dia hanyalah seorang tawanan. Selalu mengikuti perintah, bagai daun mengalir di arus sungai yang hanya bisa mengikuti ke mana air mengalir.”Indah mengatupkan bibirnya, mencoba menahan emosi. “

  • Tawanan yang Menawan   Bab 140

    “Lukisan itu... lukisan di batu di taman istana! Tiga gadis kecil yang sedang bermain!”Semua orang memandangnya. Dewi Kirani terus menjelaskan, semakin bersemangat. “Selama ini aku berpikir itu hanya lukisan simbolis. Tapi itu kalian, bukan? Ibu, Bibi Ambarani, dan Bibi Amita! Kalian bertiga dulu begitu dekat!”Ratu Arunya, Ambarani, dan Amita saling memandang, kemudian tersenyum melalui air mata mereka. Kenangan masa kecil yang telah lama terkubur kembali dengan jelas.“Kita dulu tidak bisa dipisahkan,” ucap Ratu Arunya, suara lembut penuh nostalgia. “Sampai... sampai tanggung jawab kerajaan memisahkan kita.”Ambarani memegang tangan kakak dan adiknya. “Tapi sekarang kita bersama lagi. Dan kali ini, kita akan menghadapi segala tantangan sebagai saudara.”Pelukan mereka semakin erat, menyatukan tiga saudari yang telah terpisah terlalu lama oleh takhta dan tradisi.“Kita harus kembali ke istana agar aman.” Ujar Ratu Arunya sembari melepas pelukannya. Kedua saudarinya mengangguk seper

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status