Share

Bab 32

Author: Frands
last update Last Updated: 2025-06-20 20:20:47

Maya menelan ludah, matanya berbinar. “Apa... apa yang kau inginkan?”

Wirya tersenyum—senyum tanpa kegembiraan. “Katakan pada mereka di luar bahwa pemeriksaan sudah selesai. Dan hasilnya... positif.”

Maya menggeleng, wajahnya memerah. “Tapi Baginda Ratu akan—“

“Kau ingin melihatnya, bukan?” Wirya memotong, suaranya tiba-tiba berubah menjadi bisikan yang dalam. Matanya menangkap tatapan penasaran Maya yang sesaat terlalu lama tertuju di bagian bawah tubuhnya.

Dewi Kirani menahan napas di sudut ruangan, matanya berbinar penuh pertanyaan.

Dengan gerakan lambat, Wirya melepas ikatan di pinggangnya. “Aku tahu kau penasaran,” bisiknya, melihat Maya yang tiba-tiba kesulitan menelan ludah. “Semua wanita di istana ini pasti penasaran.”

Maya tidak bisa mengalihkan pandangannya ketika kain linen mulai melorot—

“Baiklah!” serunya tiba-tiba, tangannya terangkat untuk menahan. “A-Aku... aku akan katakan apa yang kau mau.”

Wirya berhenti, senyumnya semakin lebar. “Pintar.”

Di lua
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Tawanan yang Menawan   Bab 40

    “Mereka bukan sekadar perampok,” bisik Ambarani, matanya berbinar bangga. “Mereka adalah anak-anak yang seharusnya mati di hutan. Bayi-bayi laki-laki yang dibuang oleh Wanawaron karena dianggap ‘tak berguna’.” Jarinya menunjuk seorang pemuda tinggi besar. “Ditemukan di bawah pohon randu, hampir dimakan serigala.” Lalu ke seorang pria berambut merah. “Dibuang di tepi sungai dengan luka tusuk di punggung.” Ambarani menatap Wirya dengan intens. “Selama bertahun-tahun aku memunguti mereka satu per satu. Membesarkan, melatih, dan menanamkan dendam suci terhadap kerajaan yang menolak mereka.” Dia menepuk bahu Wirya. “Ini bukan sekadar pemberontakan, Wirya. Ini pembalasan para buangan yang akan meruntuhkan takhta Wanawaron.”Wirya masih menatap para prajurit di bawah—pria-pria yang seharusnya mati di hutan, kini berdiri gagah dengan senjata di tangan. Dadanya sesak oleh pertentangan batin yang tak berkesudahan. “Baik,” akhirnya ia menghela napas panjang, kepalanya tertunduk berat. “A

  • Tawanan yang Menawan   Bab 39

    “Minumlah,” bisiknya. “Ini anggur impor terbaik dari negeri seberang. Hasil rampasan terakhir kami.” Dia duduk di kursi di hadapan Wirya, kakinya menyilang dengan elegan. Cahaya lilin memantul di matanya yang hijau, menciptakan bayangan misterius di wajahnya. “Sekarang, mari kita bicara tentang bagaimana kau bisa selamat dari semua ini... dan mungkin bahkan mendapatkan apa yang kau inginkan.” Wirya menatap Ambarani dengan tatapan bingung, gelas anggur tergenggam di tangannya yang baru saja dibebaskan. “Apa maksudmu dengan ‘selamat dari semua ini’?” Ambarani menghela napas panjang, memutar-mutar gelas anggurnya. Cahaya lilin menari-nari di wajahnya yang tiba-tiba terlihat lelah. “Kau pasti tahu tentang ritual di Wanawaron?” suaranya rendah, penuh kepahitan. “Setiap enam bulan, pasukan khusus menyisir perbatasan, menangkap pria pengembara, pedagang, atau siapa pun yang kebetulan lewat.” Dia berdiri, berjalan mondar-mandir di ruangan. “Mereka dibawa ke kamar khusus di ista

  • Tawanan yang Menawan   Bab 38

    Wirya menggeram ketika dua orang perampok menekan bahunya dengan kasar, memaksanya berlutut di tanah lembap. Pisau belatinya sudah terlempar jauh, tergeletak di dekat akar pohon beringin. Ambarani berjalan perlahan mendekat, sepatunya menginjak-injak daun kering. “Lihatlah,” bisiknya dengan nada mengejek, “orang yang memojokkan raja Karta Loka, sekarang berlutut di hadapanku.” Satu tamparan keras dari Ambarani lalu wanita itu meraih rambut Wirya dengan satu tangan, menarik kepala pria itu ke belakang hingga wajahnya terpapar cahaya bulan. “Dua hari lalu kau menggagalkan strategiku di Karta Loka,” ujarnya, suaranya tiba-tiba lebih lembut dari yang ia rencanakan. Matanya yang tajam menyapu wajah Wirya yang gagah, berhenti di lekuk bibirnya yang kini berdarah. Napas Ambarani sedikit tersendat saat ia berlutut di depan Wirya. "Membuat tiga anak buah terbaikku gugur," lanjutnya, tapi tanpa amarah yang tadi. Jarinya tanpa sadar meraih dagu Wirya, mengangkat wajahnya lebih tinggi.

  • Tawanan yang Menawan   Bab 37

    Malam telah menyelimuti desa ketika Wirya akhirnya memutuskan menyelinap keluar dari rumahnya. Bulan purnama menyapa menggantikan garis senja yang sirna, menerangi jalan setapak menuju ujung desa dengan cahaya peraknya yang dingin. Dia memilih jalan memutar, menghindari pos penjagaan utama. Setiap langkahnya diiringi oleh desir angin malam yang membawa aroma tanah lembap dan daun-daun kering. “Ini gila,” pikirnya sambil terus berjalan. “Apa aku harus benar-benar mempercayai orang asing?”Tapi rasa ingin tahu—dan mungkin juga naluri bertahannya—terlalu kuat untuk diabaikan. Saat mendekati batas hutan, bayangan tinggi seorang wanita berdiri di bawah pohon besar. Topi petaninya masih menutupi sebagian wajah, tapi mata hijau itu bersinar jelas dalam gelap. “Aku kira kau tak akan datang,” ujarnya saat Wirya berada dalam jarak beberapa langkah. Wirya berhenti, tetap waspada. “Aku masih belum yakin harus mempercayaimu.” Wanita itu tertawa pendek. “Kau memang orang yang bijaksan

  • Tawanan yang Menawan   Bab 36

    “Sudah mau pergi?” ujar Bu Puji ketika melihat Wirya berjalan menjauh.Wirya menoleh sebentar. “Aku ingin melihat-lihat desa. Menikmati udara sore mungkin menyenangkan.” “Tunggu sebentar,” balas Bu Puji sambil menyeka tangannya yang berdebu lalu memberikan beberapa koin ke Wirya. “Ini upahmu setelah membantuku. Kau bisa datang lagi esok pagi.” Wirya mengangguk, lalu berjalan menyusuri jalan tanah yang berdebu.Wirya tiba di sebuah Pasar yang tak jauh dari rumah Bu Puji.Suara riuh rendah pasar segera menyambutnya. Wanita-wanita dengan keranjang anyaman berjualan sayuran, buah, dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Beberapa mata langsung tertuju padanya saat ia melintas. “Lihat, itu orang dari istana!” bisik seorang wanita tua pada temannya. Wirya mencoba tersenyum ramah. “Selamat sore, Ibu. Berapa harga pisang ini?” Wanita itu terkejut ditanya langsung. “T-Tiga keping tembaga untuk satu sisir.” Dia mengeluarkan beberapa keping uang logam dari kantongnya—uang saku yang dib

  • Tawanan yang Menawan   Bab 35

    “Tiga kali,” bisik Ibu Puji, suaranya pecah. “Tiga kali melahirkan anak laki-laki. Tiga kali mendengar tangisan bayi di tengah malam sebelum mereka dibawa pergi selamanya.” Tangannya mengepal erat. “Sekarang aku sudah tiga puluh lima tahun. Aku sudah mulai menyerah untuk mendapatkan penerusku.”Wirya berdiri tegak, tubuhnya gemetar. “Itu biadab!” “Di sini, itu disebut hukum,” jawab Ibu Puji sambil memungut pahatnya. Wirya menggeleng, tak percaya. “Jadi para bangsawan istana menentukan kehidupan kalian.” Ibu Puji mengangguk pahit, serbuk kayu berjatuhan dari jemarinya yang kaku. “Ratu, panglima, para menteri... mereka punya hak istimewa. Bisa memilih dari tawanan terbaik, yang sehat dan kuat.” “Bagaimana dengan kalian?” “Kami dapat apa yang tersisa,” Ibu Puji memicingkan matanya. “Atau lebih sering satu orang untuk beberapa penduduk. Kalau tidak mau harus antre lama, kadang sampai giliran habis sebelum dapat kesempatan.” Wirya mengepalkan tangannya. “Itu tidak adil!” “D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status