Share

Bab 33

Penulis: Frands
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-27 19:35:56

Matahari pagi mulai meninggi, Wirya berdiri di gerbang istana tanpa membawa apapun kecuali pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya. Dua prajurit wanita bersenjata lengkap sudah menunggu dengan sikap waspada.

Salah seorang pelayan istana mendekat ke arah Wirya, menyerahkan kantong kulit berisi ramuan penawar. “Untuk sore nanti,” ucapnya singkat sebelum segera pergi.

Dari balik tiang marmer, Kirani muncul dengan diiringi dua dayangnya. “Wirya,” panggilnya, suaranya berusaha tetap tenang.

Para penjaga segera memberi jalan saat sang Putri mendekat.

“Jaga dirimu,” bisik Kirani sambil berpura-pura menata kerah baju Wirya. Jarinya yang halus menyambar baju Wirya berpura-pura merapikannya.

Wirya mengangguk hampir tak terlihat. “Aku akan pergi, Tuan Putri.”

Panglima Amita yang mengawasi dari kejauhan tiba-tiba berseru, “Cukup! Sudah waktunya pergi!”

Dengan langkah mantap, Wirya berbalik meninggalkan istana.

Wirya melangkah keluar melewati gerbang istana, diiringi dua prajuri
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Tawanan yang Menawan   Bab 36

    “Sudah mau pergi?” ujar Bu Puji ketika melihat Wirya berjalan menjauh.Wirya menoleh sebentar. “Aku ingin melihat-lihat desa. Menikmati udara sore mungkin menyenangkan.” “Tunggu sebentar,” balas Bu Puji sambil menyeka tangannya yang berdebu lalu memberikan beberapa koin ke Wirya. “Ini upahmu setelah membantuku. Kau bisa datang lagi esok pagi.” Wirya mengangguk, lalu berjalan menyusuri jalan tanah yang berdebu.Wirya tiba di sebuah Pasar yang tak jauh dari rumah Bu Puji.Suara riuh rendah pasar segera menyambutnya. Wanita-wanita dengan keranjang anyaman berjualan sayuran, buah, dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Beberapa mata langsung tertuju padanya saat ia melintas. “Lihat, itu orang dari istana!” bisik seorang wanita tua pada temannya. Wirya mencoba tersenyum ramah. “Selamat sore, Ibu. Berapa harga pisang ini?” Wanita itu terkejut ditanya langsung. “T-Tiga keping tembaga untuk satu sisir.” Dia mengeluarkan beberapa keping uang logam dari kantongnya—uang saku yang dib

  • Tawanan yang Menawan   Bab 35

    “Tiga kali,” bisik Ibu Puji, suaranya pecah. “Tiga kali melahirkan anak laki-laki. Tiga kali mendengar tangisan bayi di tengah malam sebelum mereka dibawa pergi selamanya.” Tangannya mengepal erat. “Sekarang aku sudah tiga puluh lima tahun. Aku sudah mulai menyerah untuk mendapatkan penerusku.”Wirya berdiri tegak, tubuhnya gemetar. “Itu biadab!” “Di sini, itu disebut hukum,” jawab Ibu Puji sambil memungut pahatnya. Wirya menggeleng, tak percaya. “Jadi para bangsawan istana menentukan kehidupan kalian.” Ibu Puji mengangguk pahit, serbuk kayu berjatuhan dari jemarinya yang kaku. “Ratu, panglima, para menteri... mereka punya hak istimewa. Bisa memilih dari tawanan terbaik, yang sehat dan kuat.” “Bagaimana dengan kalian?” “Kami dapat apa yang tersisa,” Ibu Puji memicingkan matanya. “Atau lebih sering satu orang untuk beberapa penduduk. Kalau tidak mau harus antre lama, kadang sampai giliran habis sebelum dapat kesempatan.” Wirya mengepalkan tangannya. “Itu tidak adil!” “D

  • Tawanan yang Menawan   Bab 34

    “Sungguh ironis sekali hidup ini, aku memang ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki hubunganku dengan keluargaku.”Wirya menutup mata. Tiba-tiba, bayangan rumah ibunya di kampung halaman muncul begitu jelas. Suara televisi yang selalu diputar ibunya meski tak ada yang menonton. Foto-foto keluarga di dinding yang dulu selalu ia abaikan. “Tapi waktu menghukumku ke masa yang terlalu jauh, dimana tak ada keluargaku,” ucapnya lirih, sambil mengunyah makanan dalam mulutnya. Dia membayangkan ibunya sekarang—mungkin sedang duduk sendirian di ruang tamu, menunggu telepon yang tak kunjung datang. Tanpa tahu anaknya hilang di lorong waktu. “Maafkan aku, Bu,” bisiknya pada bayangan ibunya dalam pikirannya.Asap tungku dari api milik wanita pengrajin itu berhembus ke arah Wirya membuat matanya perih. Air mata Wirya menetes tanpa sadar. “Kau baik-baik saja?” tanya wanita pengrajin, Wirya mengangguk, menelan sesuap nasi yang tiba-tiba terasa pahit. “Hanya... rindu rumah.” Suas

  • Tawanan yang Menawan   Bab 33

    Matahari pagi mulai meninggi, Wirya berdiri di gerbang istana tanpa membawa apapun kecuali pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya. Dua prajurit wanita bersenjata lengkap sudah menunggu dengan sikap waspada. Salah seorang pelayan istana mendekat ke arah Wirya, menyerahkan kantong kulit berisi ramuan penawar. “Untuk sore nanti,” ucapnya singkat sebelum segera pergi. Dari balik tiang marmer, Kirani muncul dengan diiringi dua dayangnya. “Wirya,” panggilnya, suaranya berusaha tetap tenang. Para penjaga segera memberi jalan saat sang Putri mendekat. “Jaga dirimu,” bisik Kirani sambil berpura-pura menata kerah baju Wirya. Jarinya yang halus menyambar baju Wirya berpura-pura merapikannya.Wirya mengangguk hampir tak terlihat. “Aku akan pergi, Tuan Putri.” Panglima Amita yang mengawasi dari kejauhan tiba-tiba berseru, “Cukup! Sudah waktunya pergi!” Dengan langkah mantap, Wirya berbalik meninggalkan istana.Wirya melangkah keluar melewati gerbang istana, diiringi dua prajuri

  • Tawanan yang Menawan   Bab 32

    Maya menelan ludah, matanya berbinar. “Apa... apa yang kau inginkan?” Wirya tersenyum—senyum tanpa kegembiraan. “Katakan pada mereka di luar bahwa pemeriksaan sudah selesai. Dan hasilnya... positif.” Maya menggeleng, wajahnya memerah. “Tapi Baginda Ratu akan—“ “Kau ingin melihatnya, bukan?” Wirya memotong, suaranya tiba-tiba berubah menjadi bisikan yang dalam. Matanya menangkap tatapan penasaran Maya yang sesaat terlalu lama tertuju di bagian bawah tubuhnya. Dewi Kirani menahan napas di sudut ruangan, matanya berbinar penuh pertanyaan. Dengan gerakan lambat, Wirya melepas ikatan di pinggangnya. “Aku tahu kau penasaran,” bisiknya, melihat Maya yang tiba-tiba kesulitan menelan ludah. “Semua wanita di istana ini pasti penasaran.” Maya tidak bisa mengalihkan pandangannya ketika kain linen mulai melorot— “Baiklah!” serunya tiba-tiba, tangannya terangkat untuk menahan. “A-Aku... aku akan katakan apa yang kau mau.” Wirya berhenti, senyumnya semakin lebar. “Pintar.” Di lua

  • Tawanan yang Menawan   Bab 31

    Wirya tiba-tiba maju ke depan. “Mohon izin, Yang Mulia,” suaranya menggelegar di seluruh ruangan, membuat semua mata tertuju padanya. Ratu Arunya mengangkat alis. “Ada apa, Wirya?” Wirya membungkuk rendah, tapi suaranya tetap tegas. “Bukankah lebih pantas pemeriksaan semacam ini dilakukan di ruang tertutup? Agar tidak mempermalukan sang Putri di hadapan banyak orang.” Perdana Menteri Adiwidya tersenyum sinis. “Kau berani memberi tahu kami tentang tata krama istana?” “Bukan tata krama yang kupikirkan,” jawab Wirya, matanya berbinar licik, “tapi bukti yang lebih meyakinkan. Jika Yang Mulia menghendaki kepastian mutlak, izinkan aku juga diperiksa.” Suasana aula mendadak hening. “Kau?” Panglima Amita tertawa kasar. “Apa hubungannya pemeriksaanmu dengan kesucian sang Putri?” Wirya tak gentar. “Ada tanda-tanda fisik pada pria setelah berhubungan intim. Seorang tabib yang terampil pasti bisa mengetahuinya.” Ia menatap langsung ke mata Ratu. “Bukankah Yang Mulia ingin bukti ya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status