Share

Bab 6

Penulis: HERI_NAYALBIL
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-01 09:16:40

Lira sontak menyerahkan Andara padaku, lalu beranjak menyergap tubuh sang papa. Ia memeluk erat sambil menangis. 

Aku menunduk seraya tak tahu lagi harus berbuat apa. Rintih dan tangis Lira yang pecah membuatku yakin hari ini adalah hari di mana yang kutakutkan terjadi.

"Kita pulang, Lira, Mas tahu air matamu itu air mata kesedihan," tutur Mas Gani sambil melirik ke arahku. Lagi-lagi aku merasa tersudut dengan apa yang terjadi.

"Maaf, ini kenapa ada tangisan segala ya? Di depan pintu pula, kalau tetangga lewat dikira ada tindakan kekerasan atau semacamnya, saya tidak suka. Kalau ada masalah tolong selesaikan, jangan bisanya nangis aja," ucap ibuku panjang lebar seraya tidak menyukai Lira.

"Bu, kok Bu Sani bicara seperti itu?" tanya papa mertua.

"Bu, tolong jaga sikap," pintaku.

"Pah, yang dikatakan Ibu benar, kita nggak pantas ngobrol di depan pintu, masuk yuk!" ajak Lira sambil melepaskan pelukannya. Lalu Lira dan papa melangkah ke ruang tamu.

Aku melirik sebentar ke arah mereka, hanya Mas Gani yang seperti malas-malasan masuk ke dalam rumah, ia tetap berdiri di depan pintu, sampai akhirnya papa mertuaku kembali ke arahnya dan membisikkan sesuatu. Saat itulah kaki Mas Gani mulai diayunkan, lalu ia duduk tepat di sebelah papanya, yang posisinya berada di hadapanku persis.

"Mau minum apa? Saya bikin minum dulu," ucap ibu menawarkan minuman.

"Nggak perlu, kami tidak ingin berlama-lama di sini, hanya ingin mengajak Lira pulang," kata Mas Gani dengan posisi duduk bersandar di bahu kursi, tangannya santai berada di perutnya, sorotan matanya tajam melirik ke arahku.

"Oh gitu, ya udah, kalian selesaikan aja ya, saya nggak mau ikut campur, mendingan masuk dulu," ucap ibu berpamitan. Hal ini yang membuat Mas Gani berdiri. 

"Tidak bisa, enak saja mau pergi, saya ingin dengar penjelasan dari Adit dan Bu Sani sekaligus, biar semuanya kelar malam ini juga!" sentak Mas Gani. 

Ibu terdiam, ia menggigit bibirnya sambil menatap Lira. Namun, wajah sendu istriku tertunduk.

"Ya udah, ngomong aja, cepetan jangan lama-lama," suruh ibu. Rasanya aku malu mendengar celotehan ibuku yang tidak menghargai besannya. Beruntungnya papa mertua sabar, sama seperti Lira, istriku. Nggak tahu kalau yang datang mama mertua, mungkin sudah adu mulut dengan ibuku jika diperlakukan seperti itu.

"Tadi saya sudah telepon Adit, sebaiknya dia aja yang cerita," terang papa.

Aku mengangguk dan sambil memangku Andara aku memulai obrolan. "Bu, tadi Papa dan Mas Gani telepon, mereka mendengar kabar dari seseorang katanya Lira itu dari pagi hingga sore hari bekerja," ungkapku mulai membuka percakapan.

Mata ibu mendelik seraya kaget, bola matanya tertuju pada Lira yang tengah duduk di sebelahku.

"Salah lihat kali, Lira bersama Ibu tiap pagi, siang, sampai sore, kalian jangan ngada-ngada," cetus ibuku. Dengan enteng dia berbohong, sepertinya aku salah mendatangkan ibuku ke rumah ini, atau aku salah membiarkan ibu tinggal di kampung ketika bapak meninggal, mungkinkah ibuku ada gangguan jiwa? Dan akhirnya ia menjadi seperti ini pada menantunya. Sikap dan tutur katanya tidak mencerminkan seorang ibu, padahal aku tahu betul beliau ini penyayang.

"Bagaimana salah lihat, Lira sudah mengakuinya, Bu." Akhirnya aku mengatakan ini pada ibu kandungku. Meskipun berat, tapi rasanya lega mengungkapkan ini semua.

Ibu menautkan kedua alisnya, lalu terkekeh sambil menutup mulut dengan kelima jarinya.

"Aduh, Dit. Masa kamu percaya Lira dan keluarganya ketimbang Ibu sendiri?" Ternyata ia masih menganggap ini sebuah lelucon, ibu pikir aku akan membelanya meskipun salah.

"Aku percaya dengan Ibu," ucapku baru setengah. Namun, hal ini sudah membuat Lira menoleh dengan mata berkaca-kaca. "Tapi itu kalau Ibu jujur, kenyataannya yang aku dengar dari mulut Ibu itu berbeda," cetusku membuatnya bangkit dari duduk.

"Apa-apaan ini, Dit? Maksud kamu barusan apa?" Ibu marah seraya tidak terima.

Jadi ingat dengan yang dikatakan bapak dulu, katanya kalau orang berbohong itu pasti menunjukkan sikap yang cepat merespon atas tidak percayanya sang penanya. Jadi ia ingin berkelit dari kebohongan.

"Nggak ada maksud apa-apa, Bu. Hanya bicara yang sebenarnya," jawabku.

Mas Gani terlihat duduk tegak, padahal tadi ia tengah bersandar di bahu kursi.

"Tunggu, tunggu, apa jangan-jangan Lira kerja disuruh Bu Sani?" cecar Mas Gani. Matanya berpindah-pindah, kadang menyoroti Lira, sesekali menatap ibu.

"Ya nggak mungkin lah saya nyuruh Lira kerja," jawab ibu menerobos lagi. "Ya kan, Lira?" Matanya terlihat membulat saat bertanya pada Lira. Namun, istriku hanya menunduk dan melingkarkan tangannya ke lengan ini.

Aku menoleh sebentar, sepertinya Lira memang tertekan dan diancam oleh ibuku.

"Bu, memangnya untuk apa sih Lira disuruh kerja? Bayar utang? Utang apa?" tanyaku langsung pada intinya. Sebab, mata Mas Gani sudah seperti elang yang ingin memangsa buruannya.

Ibu terdiam, ia tetap menyoroti Lira dengan pandangan sinis.

"Mas, biar aku aja yang cerita," celetuk Lira. Aku pun menoleh sambil menganggukkan kepala. "Jadi, aku bekerja untuk membayar utang mahar pernikahan kita, Mas," ungkap Lira membuat Mas Gani spontan menggebrak meja.

Brak!

"Gila, ibumu gila atau stress, Adit? Uang mahar dianggap utang, buat apa waktu itu kasih kalau dihitung utang? Hah!" sentak Mas Gani. Dadaku bergetar saat menyaksikan kemarahannya.

"Mas, sabar dulu, aku belum selesai cerita," pinta Lira.

"Jangan percaya, Dit, Ibu tidak ada maksud ke situ," sanggah ibuku.

"Diam, Bu! Kali ini Adit minta Ibu diam!" Akhirnya aku membentaknya, seumur hidup ini kali pertamanya bibir ini berkata kasar pada orang yang telah melahirkanku ke dunia.

'Ya Allah, jika ini dianggap dosa, ampuni hamba, tapi lebih berdosa lagi kalau aku membiarkan istriku tertekan atas sikapnya,' lirihku dalam hati seraya berdoa.

"Ibu nggak nyangka, kamu berani bentak Ibu, padahal surga anak lelaki ada di kaki ibunya. Kamu juga belum tahu, kan, apa alasanku menuntut uang mahar itu?" Ia tetap membela dirinya.

Semua terdiam, termasuk mertuaku yang mengulurkan tangannya untuk menghadang Mas Gani berbicara. 

"Apa, Bu? Apa alasannya?" tanyaku seraya menantang.

Mata ibu berkeliling, ia menyoroti kami satu persatu. Lalu berhenti pada Lira. Tatapannya memang seperti memiliki dendam membara.

"Wanita ini, dia yang menyebabkan suamiku meninggal dunia, istrimu, Adit, istrimu!" Dua kali ibu menyebut Lira sebagai penyebab kematian bapakku sambil menunjuk dengan jarinya.

"Istighfar, Bu. Bapak meninggal dunia karena takdir, Bapak terpeleset dan tidak tertolong karena telat penanganan," timpalku membela Lira.

Ibu menggelengkan kepalanya sambil berdecak kesal. "Kamu tahu apa, Dit? Ibu di kampung cari uang untuk berobat bapakmu, karena uang yang kamu transfer dipinta lagi oleh Lira, istrimu yang kau anggap baik!" Ibu berkata dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar saat mengucapkan itu.

Ucapan ibu barusan pun spontan membuat papa mertuaku berdiri. Aku pun ikut bangkit karena khawatir ada ribut besar.

"Punya bukti apa kamu, anakku minta uang itu? Hah!" Papa mertuaku sudah naik pitam.

"Ada, sebuah chat yang dikirimkan Lira pada Marni, adikku," jawab ibu dengan disertai emosi.

Aku menoleh ke arah Lira, namun istriku menggelengkan kepalanya seraya menjawab bahwa ia tidak melakukan hal itu. 'Astaga, kenapa bisa begini?' batinku bertanya. 

Ibu pun meminta kami semua untuk menunggu dia mengambil ponselnya.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Sepertinya ibunya Adit dibohongi oleh adiknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 44

    "Bulek kondisinya kritis, Mas, ini Om Arsyad lagi urus untuk cari ICU. Di rumah sakit ini ICU penuh, Mas," ungkap Lira.Ini kabar buruk untuk kami semua, meskipun tidak dipungkiri perbuatan Bulek sangat merugikan keluargaku. Akan tetapi, di dalam lubuk hati ini, ingin Bulek Marni berada di tengah-tengah kami semua dengan sosok dan kepribadian yang baru dan berubah menjadi orang baik.Aku melamun sebentar, sampai Lira mengejutkanku secara tiba-tiba. "Maaf Lira, aku melamun," ucapku."Aku ngerti, maka dari itu, bantu doa, Mas. Kalau sudah ketemu rumah sakitnya, akan kukabari dengan segera, oh ya, kamu jangan cemas, aku pulang bareng Mas Gani, nanti kakakku yang akan jemput," ucap Lira. Kemudian, telepon terputus setelah kami saling mengucapkan salam.Setelah ponsel pintar kuletakkan di atas meja, ibu bertanya panjang lebar mengenai kondisi adiknya. Ada air mata yang mengembun di pelupuk matanya. Aku pun sama, tidak bisa membayangkan bagaimana remuk tubuh Bulek Marni saat ini.Aku menena

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 43

    "Maaf, saya adalah orang yang tadi kebetulan melihat seorang wanita setengah baya keluar dari rumah ini, potongan baju yang berlumur darah ini milik saudara kalian, kan?" tanyanya.Ibu menangis, sedangkan aku masih terkesiap melihat potongan baju yang terlihat penuh darah itu. Sementara itu, Sekar dan Om Arsyad menghampiri orang tersebut."Iya, itu milik Marni, baju itu yang tadi dipakai olehnya. Ya Allah, meskipun adikku itu seringkali berbuat jahat, tapi aku nggak mau ada sesuatu yang terjadi dengannya," ungkap ibuku penuh haru.Sekar meraih potongan baju itu sambil menggendong bayinya."Ini ada apa ya? Kenapa Anda menggenggam potongan baju ibuku?" tanya Sekar.Aku maju sedikit demi sedikit. Kini kami sudah sangat dekat, darahnya masih sangat segar, aku punya feeling tidak baik, bisa jadi Bulek bunuh diri."Ibu tadi kecelakaan, warga tengah mengevakuasi korban, saya sengaja ambil potongan bajunya untuk mengabarkan kalian. Jika dijadikan saksi pun saya bersedia, karena memang melihat

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 42

    Kami semua dibuat tegang oleh Om Arsyad, mantan suaminya Bulek Marni. Mereka berpisah pun karena ulah bulekku juga.Om Arsyad menghentikan putaran ketika kameranya menyorot Bulek Marni yang tengah bertemu dengan seorang laki-laki. Ya, itu orang yang bernama Andi, pria itu mengaku katanya Bulek Marni telah singgah dari tempat ke tempat selama tiga hari, ia juga sampai bersedia menjadi saksi dan mengatakan pada ibuku bahwa Bulek Marni telah berubah.Wajah Bulek Marni memucat, ia menundukkan kepalanya. Video yang terlihat ia tengah memberikan uang pada laki-laki yang berpura-pura menjadi ustadz itu pun sangat menangkap jelas."Ini bukan rekayasa, Bu. Tampang Bulek Marni juga terlihat merencanakan sesuatu," pungkasku padanya.Ibuku memandang adiknya. Begitu juga dengan Lira, orang yang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun."Aku ini bingung, Marni, sebenarnya apa yang kamu inginkan? Maaf sudah terlontarkan tapi tanpa ketulusan. Kenapa harus membayar orang untuk membuat kami percay

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 41

    "Om Arsyad!" teriakku sambil menatap penuh ke arahnya, " kok bisa sampai ke sini, tau dari siapa rumahku di sini, terus apa maksudnya dengan sandiwara?" cecarku seakan tak percaya dengan kehadirannya."Maaf ya, Dit, Om lancang masuk tanpa permisi, nggak penting tau dari siapa yang penting kamu harus tahu, bahwa bulekmu itu tidak tulus meminta maaf, percayalah, aku bertahun-tahun tinggal bersamanya, sudah ribuan maaf juga terucap dari mulutnya, itu hanya kebohongan," ucap Om Arsyad sambil melangkahkan kakinya, ia menuju Bulek Marni yang wajahnya terlihat memerah.Aku terdiam, tidak tahu harus percaya dengan siapa, begitu juga dengan ibuku, seluruh orang yang ada di sini dibuat bingung oleh suami Bulek Marni. Kemudian, Om Arsyad berhadapan dengan istrinya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, wanita yang tadi meminta maaf itu menundukkan kepalanya ketika dihadapkan dengan mantan suaminya."Sudah lah Marni kamu jangan sandiwara terus, harusnya kamu pergi tinggalkan Mbak Sani dan keluargan

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 40

    Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan

  • Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku   Bab 39

    "Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status