Share

Bab 6

Lira sontak menyerahkan Andara padaku, lalu beranjak menyergap tubuh sang papa. Ia memeluk erat sambil menangis. 

Aku menunduk seraya tak tahu lagi harus berbuat apa. Rintih dan tangis Lira yang pecah membuatku yakin hari ini adalah hari di mana yang kutakutkan terjadi.

"Kita pulang, Lira, Mas tahu air matamu itu air mata kesedihan," tutur Mas Gani sambil melirik ke arahku. Lagi-lagi aku merasa tersudut dengan apa yang terjadi.

"Maaf, ini kenapa ada tangisan segala ya? Di depan pintu pula, kalau tetangga lewat dikira ada tindakan kekerasan atau semacamnya, saya tidak suka. Kalau ada masalah tolong selesaikan, jangan bisanya nangis aja," ucap ibuku panjang lebar seraya tidak menyukai Lira.

"Bu, kok Bu Sani bicara seperti itu?" tanya papa mertua.

"Bu, tolong jaga sikap," pintaku.

"Pah, yang dikatakan Ibu benar, kita nggak pantas ngobrol di depan pintu, masuk yuk!" ajak Lira sambil melepaskan pelukannya. Lalu Lira dan papa melangkah ke ruang tamu.

Aku melirik sebentar ke arah mereka, hanya Mas Gani yang seperti malas-malasan masuk ke dalam rumah, ia tetap berdiri di depan pintu, sampai akhirnya papa mertuaku kembali ke arahnya dan membisikkan sesuatu. Saat itulah kaki Mas Gani mulai diayunkan, lalu ia duduk tepat di sebelah papanya, yang posisinya berada di hadapanku persis.

"Mau minum apa? Saya bikin minum dulu," ucap ibu menawarkan minuman.

"Nggak perlu, kami tidak ingin berlama-lama di sini, hanya ingin mengajak Lira pulang," kata Mas Gani dengan posisi duduk bersandar di bahu kursi, tangannya santai berada di perutnya, sorotan matanya tajam melirik ke arahku.

"Oh gitu, ya udah, kalian selesaikan aja ya, saya nggak mau ikut campur, mendingan masuk dulu," ucap ibu berpamitan. Hal ini yang membuat Mas Gani berdiri. 

"Tidak bisa, enak saja mau pergi, saya ingin dengar penjelasan dari Adit dan Bu Sani sekaligus, biar semuanya kelar malam ini juga!" sentak Mas Gani. 

Ibu terdiam, ia menggigit bibirnya sambil menatap Lira. Namun, wajah sendu istriku tertunduk.

"Ya udah, ngomong aja, cepetan jangan lama-lama," suruh ibu. Rasanya aku malu mendengar celotehan ibuku yang tidak menghargai besannya. Beruntungnya papa mertua sabar, sama seperti Lira, istriku. Nggak tahu kalau yang datang mama mertua, mungkin sudah adu mulut dengan ibuku jika diperlakukan seperti itu.

"Tadi saya sudah telepon Adit, sebaiknya dia aja yang cerita," terang papa.

Aku mengangguk dan sambil memangku Andara aku memulai obrolan. "Bu, tadi Papa dan Mas Gani telepon, mereka mendengar kabar dari seseorang katanya Lira itu dari pagi hingga sore hari bekerja," ungkapku mulai membuka percakapan.

Mata ibu mendelik seraya kaget, bola matanya tertuju pada Lira yang tengah duduk di sebelahku.

"Salah lihat kali, Lira bersama Ibu tiap pagi, siang, sampai sore, kalian jangan ngada-ngada," cetus ibuku. Dengan enteng dia berbohong, sepertinya aku salah mendatangkan ibuku ke rumah ini, atau aku salah membiarkan ibu tinggal di kampung ketika bapak meninggal, mungkinkah ibuku ada gangguan jiwa? Dan akhirnya ia menjadi seperti ini pada menantunya. Sikap dan tutur katanya tidak mencerminkan seorang ibu, padahal aku tahu betul beliau ini penyayang.

"Bagaimana salah lihat, Lira sudah mengakuinya, Bu." Akhirnya aku mengatakan ini pada ibu kandungku. Meskipun berat, tapi rasanya lega mengungkapkan ini semua.

Ibu menautkan kedua alisnya, lalu terkekeh sambil menutup mulut dengan kelima jarinya.

"Aduh, Dit. Masa kamu percaya Lira dan keluarganya ketimbang Ibu sendiri?" Ternyata ia masih menganggap ini sebuah lelucon, ibu pikir aku akan membelanya meskipun salah.

"Aku percaya dengan Ibu," ucapku baru setengah. Namun, hal ini sudah membuat Lira menoleh dengan mata berkaca-kaca. "Tapi itu kalau Ibu jujur, kenyataannya yang aku dengar dari mulut Ibu itu berbeda," cetusku membuatnya bangkit dari duduk.

"Apa-apaan ini, Dit? Maksud kamu barusan apa?" Ibu marah seraya tidak terima.

Jadi ingat dengan yang dikatakan bapak dulu, katanya kalau orang berbohong itu pasti menunjukkan sikap yang cepat merespon atas tidak percayanya sang penanya. Jadi ia ingin berkelit dari kebohongan.

"Nggak ada maksud apa-apa, Bu. Hanya bicara yang sebenarnya," jawabku.

Mas Gani terlihat duduk tegak, padahal tadi ia tengah bersandar di bahu kursi.

"Tunggu, tunggu, apa jangan-jangan Lira kerja disuruh Bu Sani?" cecar Mas Gani. Matanya berpindah-pindah, kadang menyoroti Lira, sesekali menatap ibu.

"Ya nggak mungkin lah saya nyuruh Lira kerja," jawab ibu menerobos lagi. "Ya kan, Lira?" Matanya terlihat membulat saat bertanya pada Lira. Namun, istriku hanya menunduk dan melingkarkan tangannya ke lengan ini.

Aku menoleh sebentar, sepertinya Lira memang tertekan dan diancam oleh ibuku.

"Bu, memangnya untuk apa sih Lira disuruh kerja? Bayar utang? Utang apa?" tanyaku langsung pada intinya. Sebab, mata Mas Gani sudah seperti elang yang ingin memangsa buruannya.

Ibu terdiam, ia tetap menyoroti Lira dengan pandangan sinis.

"Mas, biar aku aja yang cerita," celetuk Lira. Aku pun menoleh sambil menganggukkan kepala. "Jadi, aku bekerja untuk membayar utang mahar pernikahan kita, Mas," ungkap Lira membuat Mas Gani spontan menggebrak meja.

Brak!

"Gila, ibumu gila atau stress, Adit? Uang mahar dianggap utang, buat apa waktu itu kasih kalau dihitung utang? Hah!" sentak Mas Gani. Dadaku bergetar saat menyaksikan kemarahannya.

"Mas, sabar dulu, aku belum selesai cerita," pinta Lira.

"Jangan percaya, Dit, Ibu tidak ada maksud ke situ," sanggah ibuku.

"Diam, Bu! Kali ini Adit minta Ibu diam!" Akhirnya aku membentaknya, seumur hidup ini kali pertamanya bibir ini berkata kasar pada orang yang telah melahirkanku ke dunia.

'Ya Allah, jika ini dianggap dosa, ampuni hamba, tapi lebih berdosa lagi kalau aku membiarkan istriku tertekan atas sikapnya,' lirihku dalam hati seraya berdoa.

"Ibu nggak nyangka, kamu berani bentak Ibu, padahal surga anak lelaki ada di kaki ibunya. Kamu juga belum tahu, kan, apa alasanku menuntut uang mahar itu?" Ia tetap membela dirinya.

Semua terdiam, termasuk mertuaku yang mengulurkan tangannya untuk menghadang Mas Gani berbicara. 

"Apa, Bu? Apa alasannya?" tanyaku seraya menantang.

Mata ibu berkeliling, ia menyoroti kami satu persatu. Lalu berhenti pada Lira. Tatapannya memang seperti memiliki dendam membara.

"Wanita ini, dia yang menyebabkan suamiku meninggal dunia, istrimu, Adit, istrimu!" Dua kali ibu menyebut Lira sebagai penyebab kematian bapakku sambil menunjuk dengan jarinya.

"Istighfar, Bu. Bapak meninggal dunia karena takdir, Bapak terpeleset dan tidak tertolong karena telat penanganan," timpalku membela Lira.

Ibu menggelengkan kepalanya sambil berdecak kesal. "Kamu tahu apa, Dit? Ibu di kampung cari uang untuk berobat bapakmu, karena uang yang kamu transfer dipinta lagi oleh Lira, istrimu yang kau anggap baik!" Ibu berkata dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar saat mengucapkan itu.

Ucapan ibu barusan pun spontan membuat papa mertuaku berdiri. Aku pun ikut bangkit karena khawatir ada ribut besar.

"Punya bukti apa kamu, anakku minta uang itu? Hah!" Papa mertuaku sudah naik pitam.

"Ada, sebuah chat yang dikirimkan Lira pada Marni, adikku," jawab ibu dengan disertai emosi.

Aku menoleh ke arah Lira, namun istriku menggelengkan kepalanya seraya menjawab bahwa ia tidak melakukan hal itu. 'Astaga, kenapa bisa begini?' batinku bertanya. 

Ibu pun meminta kami semua untuk menunggu dia mengambil ponselnya.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Sepertinya ibunya Adit dibohongi oleh adiknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status