Share

9. Janji

Memuliakan tetangga memang wajib. Bukan sunnah. Namun, jika tetangganya seperti Tante Santi, aku tidak yakin apakah akan mampu melakukannya. Pasalnya wanita paruh baya yang masih terlihat ayu itu terlalu rempong.

Menurutku, Tante Santi agak lancang karena terlalu sering mencampuri urusan rumah tangga yang kubina dengan Kak Sabiru. Padahal memang siapa dia? Dirinya tidak lebih dari orang luar saja. Tetangga dekat yang kebetulan pernah meluangkan waktunya untuk ikut mengasuh Kak Sabiru. Ketika suamiku itu baru saja ditinggal pergi selama-lamanya oleh sang ibu.

Menurutku pula, karena alasan tersebut Tante Santi jadi seolah punya senjata yang ampuh. Wanita itu akan mengungkit kebaikan kecilnya di masa lalu untuk memeras Kak Sabiru. Kukatakan memeras karena setiap hari selalu saja ada barang atau uang yang dia pinjam. 

Kak Sabiru yang memang sangat menghindari keributan akan selalu memenuhi permintaan wanita itu. Begitu mudahnya pria itu meminjamkan uang pada Tante Santi. Atau begitu mudahnya dia saat dimintai tolong oleh ibu Kiara itu. 

Ada saja alasan Tante Santi untuk menarik Kak Sabiru ke rumah dia. Padahal dirinya juga punya seorang anak laki-laki yang pengangguran itu. Namun, setiap kali ada keluhan tentang kerusakan sesuatu atau hal-hal yang semestinya dilakukan oleh seorang pria, selalu suamikulah yang dipanggil olehnya.

*

Nasya sudah pulang ke rumah Ibu dari seminggu yang lalu. Gadis itu telah memasuki masa kuliahnya. Sesuai perjanjian, dia tinggal lagi bersama Ibu. Walau tadinya merajuk saat kusuruh pulang. Bahkan memohon-mohon pada Kak Sabiru, tetapi kami berdua konsisten tetap menyuruhnya balik.

Sikap Nasya yang tengil sering kali membuat dongkol hati. Dan itu diperparah dengan gelagat dia yang memberikan peluang pada perhatian Tara. Aku tahu adik laki-laki Kiara itu menaruh hati pada Nasya.

Pemuda yang baru saja lulus kuliah beberapa waktu lalu itu, setiap hari selalu datang ke rumah dengan berbagai alasan hanya sekedar untuk bisa berbicara dengan Nasya. Tidak cuma itu dirinya juga selalu mengajak Kak Sabiru main catur guna bisa mengapeli Nasya.

Dalih itulah yang membuat aku secepatnya mendepak Nasya dari rumah ini. Bukannya apa. Aku tidak mau Nasya yang baru saja mau kuliah harus terganggu dengan urusan percintaan. Jadi walau lumayan capek karena mengurus rumah sendiri tanpa bantuan gadis itu, tetapi aku lebih menikmati.

*

Morning kiss selalu menjadi ritual pagiku membangunkan Kak Sabiru. Pria itu akan selalu kembali tertidur selepas sholat subuh. Padahal sudah berungkali aku peringatkan bahwa tidak baik terlelap lagi di waktu subuh. Selain menghambat rejeki, tidak menyehatkan badan, juga tidak akan memperoleh kebaikan.

Namun, Kak Sabiru berkilah dirinya masih terlalu mengantuk karena semalaman melayani ajakan Tara main catur. Malas berdebat kubiarkan saja dia tertidur lagi. Dibangunkan nanti saja jika sarapan telah siap.

Aku sendiri sebenarnya juga lumayan kantuk. Pukul tiga dini hari Keanu sudah bangun untuk minta ASI dan mengajak main. Baru terlelap lagi tadi selepas subuh.

Biasanya aku dan Kak Sabiru menemani bayi kecil itu bersama-sama sekalian gantian sholat malam. Namun, gara-gara si Tara itu semua agenda baik kami jadi kacau. Entahlah! Bagiku semua keluarga Kiara menjadi sangat menyebalkan.

Rasa kantuk dan malas lekas kusampingkan saat teringat kewajiban. Aku harus segera membuat sarapan. Walau masih bingung hendak membuat apa, tetapi langkah ini tetap kuayun ke dapur mini kami.

Ketika tengah sibuk mengocok telur untuk membuat telur dadar, sebuah tangan kekar melingkar di perut. Ciuman hangat di tengkuk pun aku rasakan.

"Kok Bunda tidak bangunin ayah buat bantu bikin sarapan sih?" tegur Kak Sabiru lembut. Pria itu melabuhkan dagunya yang lancip di pundakku.

"Dibangunin juga percuma," sahutku enteng sembari menuangkan kocokan telur itu ke teflon berminyak. "Kan ayahnya Keanu masih ngantuk. Habis bergadang semalaman bersama Tara," lanjutku datar.

Kak Sabiru membalikkan badanku. "Marah, ya?" Dia bertanya sembari membingkai wajahku.

Kulepas pegangan dia pada wajah. "Marah juga percuma, gak akan didengar." Aku kembali menghadap kompor untuk membalik telur dadar.

Kak Sabiru lantas maju untuk berdiri tepat di sampingku. "Kalo boleh tahu marahnya Bunda Keanu karena apa?"

Kuangkat telur dadar itu, lalu lekas mematikan kompor. Baru kemudian aku menghadap Kak Sabiru. "Aku tuh capek tinggal di sini, Kak," jujurku serius.

"Apa perlu kita sewa baby sitter dan ART?" tanya Kak Sabiru memandangi mata hitamku.

"Bukan itu!" sergahku menggeleng tegas. "Tapi aku capek berinteraksi dengan keluarga Kiara, Kak." Aku mengeluh dengan bibir yang lumayan manyun.

Telur dadar dan sayur capcai yang telah siap, lekas kupindah ke meja makan. Kak Sabiru mengikuti. Dirinya ikut duduk di kursi meja makan, dengan manik yang terus memandangi aku.

"La, Tante Santi itu sudah seperti ibu angkatku sendiri," ujar Kak Sabiru pelan. "Wanita itu ada di saat aku membutuhkan. Selalu menghibur jika aku dilanda kesedihan. Dan tidak sungkan merawat ketika aku sakit," tutur Kak Sabiru menjelaskan.

"Tetapi dia seolah mengungkit cerita itu untuk memanfaatkan kebaikanmu," tukasku kesal sembari buang muka.

"Apa salahnya berbuat baik kepada tetangga dekat?"

"Masalahnya kebaikanmu sungguh berlebihan!" tukasku cepat. "Kiara sudah punya tunangan, kenapa harus selalu kamu yang nganter dia ke butik? Walau dengan alasan satu arah dan ada Kinara adik dia sebagai penengah. Tapi aku tidak suka melihatnya. Kamu bukan supir mereka, Kak," jujurku tegas.

"Mereka semua sudah kuanggap seperti adik sendiri," kilah Kak Sabiru tenang. "Sikapku sama seperti ke Nasya," lanjutnya meyakinkan.

"Tapi Kiara itu mantan kekasihmu. Apa kamu menganggap dia sebagai adik sendiri juga?" tanyaku memastikan. Kak Sabiru terdiam mendengar itu. "Kalo aku dekat dengan Zayn karena dia adikmu, aku tidak yakin kalo kamu tidak cemburu." Aku menyindir telak.

Kak Sabiru menatapku lekat, tetapi aku justru kembali melengos. Terdengar suara desahan kasarnya. "Baiklah ... mulai hari ini, aku tidak akan mengizinkan Kiara menaiki mobilku tanpa persetujuan darimu," putus Kak Sabiru kemudian.

Aku menatap pria itu. "Janji?"

"Janji." Kak Sabiru menganguk mantap. "Aku tidak mau bunda Keanu cemburu terus-terusan. Kasihan."

Luluh hatiku mendengar itu. Senyum bahagia melengkung di bibirku . "Ya udah kalo gitu mandi dulu sana, gih? Udah siang tuh!" suruhku perhatian.

"Tapi, kamu juga harus janji, jangan dekat-dekat dengan Zayn! Aku gak suka," titah Kak Sabiru dengan mimik muka yang serius.

"Kalah cakep sih, ya?" Aku meledek. Tetapi Kak Sabiru bergeming bahkan wajahnya mendadak dingin. Pria itu masih saja mencemburui Zayn.

Melihat ekspresi dingin dari Kak Sabiru senyum ejek yang terlukis di bibirku kembali kuncup. "Ya ... udah sana mandi gih! Ntar telat lho." Untuk menghilangkan malu kutarik lengan Kak Sabiru agar bangkit dari duduknya.

Namun, pria itu bergeming. Dirinya begitu setia di kursinya.

"Ayo! Tunggu apa lagi?!" Kembali kupaksa pria itu untuk berdiri.

"Gak mau kalo belum janji gak akan dekat-dekat lagi dengan Zayn," titahnya tegas.

Aku mendesah lelah. "Lagian kapan aku dekat-dekat dengan Zayn?" gumamku sebal. "Iya deh aku janji gak akan ngobrol dengan Zayn kalo gak penting-penting amat."

Akhirnya aku berikrar. Bahkan aku mengacungkan jari kelingking sebagai simbol perjanjian. Kak Sabiru tersenyum tipis. Pria itu menyambut, lalu menautkan kelingkingnya pada jemari terkecilku.

"Ya udah sekarang mandi sana!" Kembali aku menyuruh.

"Gak mau mandi kalo gak dimandiin," balas Kak Sabiru seraya melepas pegangan tanganku pada lengan kanannya.

"Emangnya Keanu minta dimandikan?"

"Istri dilarang membantah perintah suami lho," ujar Kak Sabiru tenang.

"Ya, tapi ...." Aku bingung mau menyangkal apa lagi.

"Waktu di rumah Ibu, malu karena banyak orang. Sekarang cuma ada kita bertiga dengan Keanu masih gak mau juga," sindir Kak Sabiru masih dengan bersikap tenang. "Apa itu karena masih memikirkan mantan pacar yang-"

"Iya-iya," sambarku cepat.

Aku malas jika terus membahas mantan. Tidak akan ada habisnya. Lagian mumpung Keanu belum bangun. Tidak apalah menghabiskan waktu singkat ini dengan bercengkrama. Maka ketika Kak Sabiru tiba-tiba mengangkut tubuhku menuju kamar mandi, aku hanya bisa terpekik pelan dan pasrah.

*

Indahnya jatuh cinta setelah menikah memang benar adanya. Seperti yang  kurasakan kini. Perilaku hangat dan mesra dari Kak Sabiru seolah menjadi penawar lelahku mengurusi urusan rumah tangga seorang diri.

Usai mandi bersama. Kebersamaan hangat itu berlanjut di meja makan. Aku dan Kak Sabiru menyantap sarapan pagi ini dengan hati yang berbunga.

Pria itu bahkan seolah menambahkan kupu-kupu cinta di perut dengan terus menyuapiku selama sarapan pagi. Namun, kehangatan ini harus segera berakhir dengan bangunnya Keanu. Kak Sabiru pun harus lekas berangkat kerja karena hari mulai beranjak siang.

"Hati-hati di jalan, Ayah," ucapku ketika Kak Sabiru pamit berangkat dan mencium putra kami.

"Bunda sama Keanu juga baik-baik di rumah, ya." Kak Sabiru berpesan.

Usai mencium sekilas keningku, pria itu melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah.

"Pulang dari kantor jangan langsung ke kafe, ya! Mampir dulu ke rumah," pintaku ikut mengekor langkahnya.

"Kenapa?" Kak Sabiru yang hendak membuka pintu mobil mengurungkan niat.

"Engsel kamar Keanu rusak, Kak. Kadang mengunci sendiri." Aku memberi tahu. Keanu memang sudah punya kamar sendiri untuk tidur siang. Namun, kalau malam bayi itu akan tidur di kamar kami.

"Bisa minta tolong sama Tara kan?"

"Idih ogah!" decihku sebal.

Kak Sabiru tersenyum melihat gayaku. "Ya sudah aku usahakan pulang cepat." Pria itu berjanji.

"Biruuu!"

Datang Kiara dan Kinara dengan pakaian yang telah rapi. Keduanya sama-sama menyangklong tas kulit yang lumayan terlihat mahal. Senyum mereka mengembang lebar untuk Kak Sabiru.

"Sorry, Key, kayaknya hari ini dan seterusnya aku gak bisa nganter kalian deh," ucap Kak Sabiru sopan. "Soalnya aku harus mampir ke rumah ibu mertua dulu untuk mengantar beliau ke floris-nya. Jadi kita tidak satu arah," lanjut Kak Sabiru kalem.

"Kok gitu? Kok Bang Biru gak ngomong dari kemarin-kemarin," protes Kinara terlihat kecewa. Sementara Kiara si pelit omong itu hanya tampak terkesiap mendengar penuturan suamiku.

"Ya maaf, soalnya tukang ojek langganan ibu mertua pulang kampung. Jadi terpaksa sekarang Abang yang bertugas nganterin beliau," kilah Kak Sabiru dengan senyum yang dikulum.

"Oh, oke," sahut Kiara lemah.

Aku sendiri tersenyum puas menyaksikan itu. Biarlah Kak Sabiru berbohong sedikit untuk menyenangkan hatiku.

Kemudian usai pamit padaku juga pada Kiara dan adiknya, Kak Sabiru pun memacu mobilnya menuju jalanan. Aku sendiri lekas kembali masuk rumah kembali. Tanpa memedulikan Kiara dan Kinara yang masih berdiri mematung di halaman rumah.

***

Siang ini cuaca sedang tidak baik. Hujan besar turun begitu derasnya disertai kilatan yang menyambar. Sungguh membuat takut aku yang tinggal berdua saja dengan Keanu ini.

Padahal sekitar satu jam lalu langit tampak masih sangat cerah. Udara juga terasa panas. Namun, air langit itu seakan ditumpahkan dari atas dengan mendadak.

Ketika tengah tiduran di kamar Keanu, samar-samar terdengar bunyi pintu digedor. Tadinya kupikir itu suara petir. Namun, setelah didengarkan secara saksama itu benar suara ketukan pintu.

Walau malas aku bangun juga untuk melihat siapa yang datang. Ketika pintu luar kukuak, lumayan terhenyak juga melihat siapa yang datang. Tampak Zayn dengan baju basah kuyupnya.

Sepertinya Zayn berlari dari halaman ke pintu ini tanpa memakai payung. Halaman rumah kakeknya Kak Sabiru lumayan luas. Pantas saja kalau dia kehujanan.

Pria itu berdiri dengan dua tangan memeluk badan sendiri. Bibirnya terlihat biru. Dengan badan yang tampak bergetar, aku yakin Zayn sedang kedinginan.

"Lama amat buka pintunya, Bil? BRRRR!" tegur Zayn disertai gigilan.

"Zayn? Ada apa hujan-hujan ke mari?"  sapaku penasaran.

"Ada titipan dari papa buat kalian waktu mereka mau balik ke Medan," jawab Zayn menyodorkan tiga buah tas kertas yang entah isinya ikut basah atau tidak. "Dari kemarin-kemarin aku lupa mau bilang. Ini mumpung lewat. Eh malah kena hujan," lanjut Zayn dengan badan yang terus saja bergetar.

"Boleh aku masuk, Bil? Aku butuh baju ganti?" izin Zayn sopan.

"Eh ...."

Aku bingung harus berbuat apa. Karena menurut sepengetahuanku, seorang istri tidak diperbolehkan mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, kecuali dengan izin suaminya. Apalagi tadi pagi aku telah berjanji untuk tidak berinteraksi dengan Zayn pada Kak Sabiru.

"Bil?" Zayn menjentikkan jarinya mencoba menyadarkan renunganku. "Plis, Bila!" Terdengar nada memohon dari pemuda yang kini terlihat jauh lebih dewasa itu.

"Ya, silahkan masuk!"

Tidak tahan melihat wajah pucat dan bibir biru Zayn, tanganku mempersilahkan pemuda itu masuk.

Next. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status