Share

Kisahku Bersama Ayu Samira

Membahas Angela tak akan ada habisnya, dia bagai rumus matematika. Sulit dipecahkan isi pikirannya, kenapa selalu mengetahui setiap kesalahan yang kuperbuat di luar rumah? Berbohong pun percuma, akan tetap ketahuan. Apa kepalanya berisi metal detektor?

“Dari mana?” tanya ini selalu menyambut kepulanganku, tanpa senyum sejuk yang menghalau lelah. Seharusnya sebagai istri, Angela lebih mempelajari teknik memanjakan suami. Bukan meningkatkan performa menindas pasangan.

Aku tahu, setiap manusia terlahir sebagai pemarah andal. Adakah avatar yang dinobatkan sebagai pengendali emosi? Jika ada, aku akan datangi agar Angela lupa pada nada untuk marah. Bosan setiap malam mendapat sambutan khusus.

Dia tidak cerewet, tetapi sedikit menikam setiap kali melontarkan kata-kata. Tak heran jika lidah mampu membunuh tanpa perlu menyentuh orang lain, cukup menjadi pemilik kosakata sadis dengan pemilihan diksi paling buruk. Iya, seperti Angela! Dia begitu ahli dalam menebas perasaan dan melukai harga diri seorang pria.

“Apa aku harus selalu melaporkan semuanya padamu, kamu tukang sensus?” Laki-laki sejati jangan mau diatur seorang wanita, akan hilang harkat dan martabatnya. Mereka terlalu memantau kegiatan tanpa mau memberi kebebasan, selalu berpraduga seolah setiap langkah yang dilakukan akan menuju Neraka. Padahal hanya bermain game bersama teman-teman di Puskesmas.

Oh iya, kisah kali ini terjadi di tahun 2017. Kita flash back dulu. Jadi, kalian akan tahu betapa merintihnya hatiku menjadi suami yang terdzolimi. Jangan hanya karena satu kubu, lalu menyimpulkan permasalahan berat sebelah. Faktanya, Angela memang super posesif dan impulsif sebagai seorang istri.

“Silakan, aku tak mau mendikte untuk urusan rumah tangga. Namun, kamu bernapas bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi ada banyak hal memuakkan yang perlu dilalui. Kenapa aku yang harus mengecap pahitnya pernikahan, sementara kamu kebagian yang manis-manis?” Angela mulai meracau hal tak masuk akal yang sama sekali sulit dipahami, “Apa setelah kamu memberi jatah uang detergen, lalu bebas pulang subuh? Di sini bukan kontrakan, ada mertuamu yang memerhatikan. Setidaknya jangan tampakkan kebusukan karakter pada mereka.”

Benar bukan? Sulit berkaca diri sedangkan untuk mengomentari orang lain, Angela begitu andal. Mengapa lidahnya sangat cepat menanggapi kesalahan orang sedangkan dia belum tentu bersih dari kesalahan? Menjadi istri saja tak becus, rumah masih berantakan saat aku pulang.

Begitu mudahnya  mengomentari orang lain, tanpa berkaca terlebih dahulu. Ketika aku

berbuat salah, dia terus saja mengomentari. Bahkan, sekecil apa pun akan terus ia gali sampai besar.

Betapa berbahayanya anggota tubuh tanpa tulang ini, jika dibiarkan akan berbuah fitnah. Parahnya, Angela tak sadar dengan semua yang ia lontarkan, seolah aku memang telah melakukan hal keji di luar sana. Apa salahnya bermain bersama rekan kerja?

“Apa lagi yang aku lakukan sekarang, kenapa kamu begitu mudah menjudge seolah suamimu ini tak memiliki celah kebaikan? Kamu mendengarkan omongan orang kembali? Mereka melancarkan fitnah apa lagi?”

“Siapa pemilik akun Muhammad Zulfan?” tanya Angela menampar kesadaran sekali lagi, “Dia kekasih Ayu Samira, bukan? Anak magang dari pondok pesantren yang legendaris di kota ini? Haruskah kulakukan aksi serupa dengan dua tahun lalu?”

Sial! Kenapa lagi dengan Angela? Apa dia membenamkan semacam cip rahasia dalam diriku sampai semua kegiatan di luar rumah mampu diketahui dengan baik? Aku baru memulai, masa harus mengakhiri kesenangan bersama Ayu?

“Hati-hati dengan penilaianmu, dia hanya anak pondok yang sedang magang. Tak tahu apa yang kamu dengar, jangan melakukan hal bodoh padanya.”

“Kenapa, kamu sudah jatuh cinta karena sukses membuat dia kagum dengan tulisanmu? Berani-beraninya kamu memlagiat cerpen dan puisi milikku untuk merayu anak SMK lagi? Apa kamu punya kelainan mental?”

Lidah seharusnya digunakan untuk mengucap kebaikan, bukan malah dimanfaatkan sebagai alat dalam mengomentari kesalahan orang lain. Ternyata benar, lidah lebih tajam dari pedang.

Ia bisa membunuh, merusak hubungan, menjauhkan dari yang dekat, dan memisahkan dari hal baik. Bahkan lebih buruknya lagi, akan mampu menghapus kebaikan yang pernah dilakukan. Mungkin saja Angela kelebihan muatan pahala sehingga mau menyeimbangkannya dengan dosa.

Lagi pula, dari mana dia tahu jika akun palsu itu adalah milikku? Kenapa Angela harus mengenal setiap bahasa tulisku dengan baik? Ia hanya seorang istri yang selama 24 jam kali tujuh hari berkutat dengan tulisan, mengarang indah tanpa berpikir normal.

Bukankah pekerjaan itu sia-sia? Menulis sesuatu yang hanya ada dalam rahim imajinasi, melahirkan kisah-kisah manis penuh kepalsuan. Dialah sosok berkelainan mental sesungguhnya, melampiaskan setiap kesalahan padaku. Bersikap seolah aku adalah antagonis paling tak berperasaan!

Angela memang ahli dalam menarik kesimpulan sesuai apa yang ia pikirkan, menempatkan suaminya pada situasi rumit. Penuh intrik dan jebakan, seakan setiap tindakanku merupakan kekeliruan tak termaafkan. Menjadikan seorang Dyo sebagai bulan-bulanan dosa, munafik sekali!

Aku hanya menjadikan Ayu sebagai kekasih biasa, tak berbuat sejauh yang kulakukan bersama Cindy. Dia lebih naif, belum tersentuh. Tahu sendirilah pergaulan anak pondok, hanya perlu dipancingi kisah-kisah romantis milik istriku. Setidaknya, tulisan Angela memiliki manfaat, mampu menggugah hati pembaca.

Bukankah aku membantunya mengenalkan karya yang ia tulis? Seharusnya berterima kasih, malah menuduh suami yang baik ini sebagai plagiat. Sangat sulit dinalar, memberikan setiap penilaian buruk ketika belum melihat dengan mata kepala sendiri. Dia menilai berdasarkan praduga saja, egois!

“Perlu aku laporkan pada bagian keamanan pondok pesantren atau datang langsung menghadap pengasuh dan membeberkan bukti chat mesra kalian?”

“Kamu jangan gila, belum puas merusak masa depan Cindy? Dia dibully karena ulahmu.”

Angela tertawa lepas, benar-benar perempuan licik. Pasti bangga dia, sukses membuat hidup orang lain sengsara. Bahkan, Cindy dikeluarkan sebelum sempat ikut ulangan. Kasihan bukan? Hanya demi ambisinya, ia rela melibas takdir perempuan lain.

“Masa depan seseorang itu bergantung dengan amal dan perbuatan di masa lalunya, enggak mungkin menyemai padi tumbuh benalu. Dia sudah memanen hasil dari yang tertanam, apa kamu belum sadar jika setiap konsep sebab akan berakhir menjadi akibat?”

Jadi, dia mengutukku sekarang? Mencoba menakut-nakuti dengan karma, picik sekali! Dia yang membuat hidup Cindy berantakan, masih mencari banyak alasan guna menempatkan gadis itu di posisi paling bersalah.

“Selama posisiku benar, akan kupertahankan apa yang menjadi hak. Namun, ketika yang bersangkutan tak layak dipertahankan sebagai kewajiban mutlak di sisiku, pasti kulepas tanpa berpikir panjang.”

“Kamu mengancamku?”

“Kamu ada sisa kepingan otak di dalam batok kepala?” balasnya dengan begitu anggun sembari menghadiahkan tatap lembut, “Selalu ada kesempatan paling akhir, Mas. Bukan karena aku mencintaimu dengan bodoh, tetapi pernikahan ini masih kuhormati kesakralannya. Dua kali kamu bertingkah binatang, kuanggap Tuhan sedang menguji kelanggengan hati. Bertobatlah, masih ada waktu memperbaiki kesalahan demi kesalahan. Jangan menunggu murka Tuhan, karena kita tak tahu kapan takdir akan menjungkirbalikkan keadaan.”

Lagi-lagi hanya menakuti, dia pasti cuma menggertak. Menakuti seolah tahu segalanya, mana mungkin memergoki kami. Sangat mustahil. Sebab, aku dan Ayu menjalin hubungan diam-diam tapa meninggalkan jejak di f******k.

Tunggu, kenapa dia tahu tentang akun kloninganku sekali lagi? Apa dia menyadap ponsel milikku? Sebab, mustahil mengetahuinya tanpa menemukan bukti akurat. Siapa di balik semua kepintarannya itu?

***


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status