แชร์

Teman Istriku,Kekasihku
Teman Istriku,Kekasihku
ผู้แต่ง: Nana

Pertemuan tak terduga

ผู้เขียน: Nana
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-15 00:40:22

Pagi itu, Ardi menatap layar laptopnya yang penuh dengan angka-angka laporan penjualan. Di luar jendela kantornya, langit Jakarta masih diselimuti kabut tipis, sisa hujan semalam. Kopi hitam di atas meja sudah dingin, tapi ia belum sempat meneguknya. Pikirannya terlalu penuh dengan rencana rapat besar siang nanti.

Sebagai manajer pemasaran, ia terbiasa menghadapi tekanan. Tapi ada sesuatu yang lain hari ini—perasaan aneh yang tak bisa ia definisikan. Entah mengapa, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat sejak semalam, ketika Nisa, istrinya, memberi kabar singkat.

“Mas, besok sahabat lama aku mulai kerja di kantormu. Namanya Rani. Ingat nggak? Dulu sering main ke rumah waktu kita masih pacaran.”

Ardi hanya mengangguk saat itu, sambil pura-pura mengingat. Nama Rani memang samar terlintas di kepalanya, tapi wajahnya? Hampir tak ia kenali. Yang ia tahu, Nisa menyebutnya teman dekat sejak kuliah. Tak lebih.

Pukul sembilan tepat, pintu ruang kerja terbuka. Seorang perempuan dengan rambut hitam tergerai sebahu melangkah masuk, ditemani staf HR. Senyumnya ramah, namun ada sorot mata tajam yang seolah langsung menembus kesadaran Ardi.

“Pak Ardi, ini karyawan baru kita, Rani. Mulai hari ini akan bergabung di tim pemasaran,” ucap staf HR singkat.

Ardi berdiri, menyambut dengan jabatan tangan yang formal. “Selamat datang. Semoga cepat beradaptasi.”

Namun, saat jemari mereka bertemu, ada hentakan kecil dalam dadanya. Sesuatu yang tak ia duga.

“Terima kasih, Pak. Eh… Ardi, ya?” Rani tersenyum tipis. “Aku Rani, sahabatnya Nisa.”

Ardi mengerjap. Jadi inikah orangnya? Ingatan samar tiba-tiba menyeruak—gadis yang dulu sering duduk di ruang tamu kos Nisa, tertawa dengan suara renyah. Namun, di hadapannya kini berdiri sosok yang jauh lebih dewasa, anggun, dan… memesona.

Hari itu berjalan seperti biasa. Rani diperkenalkan kepada seluruh tim, diberi meja kerja tak jauh dari ruangan Ardi. Ia cepat berbaur, tak canggung menjawab pertanyaan rekan-rekan, bahkan sesekali melontarkan lelucon ringan yang membuat suasana cair.

Namun, bagi Ardi, ada yang tidak biasa. Tatapannya sesekali mencari sosok Rani di antara keramaian kantor. Entah kenapa, matanya selalu tertarik kembali pada perempuan itu, meski ia berusaha fokus pada tumpukan dokumen.

Menjelang siang, mereka duduk bersebelahan dalam rapat internal. Rani terlihat serius mencatat, sesekali mengangguk. Ardi diam-diam memperhatikan, mencoba menepis perasaan yang mulai tumbuh. Ini hanya rekan kerja. Hanya teman istrimu, batinnya mengingatkan.

Namun, ketika rapat usai, Rani menoleh dan tersenyum, senyum yang sama seperti dulu di masa kuliah. “Ardi, boleh aku titip salam buat Nisa? Sudah lama banget nggak ketemu.”

“Pasti,” jawab Ardi singkat, berusaha tetap tenang. “Nanti malam aku sampaikan.”

Sepulang kerja, Nisa sudah menunggunya di rumah. Ia tampak bersemangat, seperti menanti kabar gembira. “Mas, gimana? Rani masuk kantor kamu, kan? Ketemu dia?”

Ardi meletakkan tas kerjanya dan duduk di sofa. “Iya. Dia sekarang di tim pemasaran. Sepertinya cepat beradaptasi.”

Nisa tersenyum lebar, matanya berbinar. “Aku seneng banget dia bisa kerja bareng kamu. Dulu waktu kuliah, aku sering cerita ke Mas, kan? Kalau Rani itu kayak saudara sendiri buat aku.”

Ardi mengangguk, meski dalam hatinya ada gelombang yang tak bisa ia ceritakan. Ada sesuatu dalam cara Rani melihatnya, sesuatu yang membuat dadanya bergetar aneh. Ia tak ingin Nisa tahu, bahkan tak ingin dirinya tahu lebih jauh.

Malam itu, setelah Nisa tertidur, Ardi duduk sendiri di ruang kerja rumahnya. Lampu meja menyala redup, menyinari layar laptop yang terbuka. Namun, pikirannya tak lagi pada laporan atau rencana kerja.

Yang muncul justru bayangan Rani—senyumnya, tatapannya, dan suara lembutnya ketika menyebut namanya siang tadi.

Ardi menarik napas panjang, mencoba menepis perasaan itu. Ia tahu, garis batas harus jelas. Rani adalah teman istrinya, dan sekarang, bawahannya di kantor. Dua alasan yang seharusnya cukup kuat untuk menjaga jarak.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasakan awal dari sesuatu yang bisa saja berkembang menjadi badai besar.

Dan ia tak tahu, badai itu mungkin sudah mulai berhembus sejak hari ini.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Teman Istriku,Kekasihku   Hari pernikahan

    Langit pagi itu berwarna keemasan. Suara burung bercampur dengan aroma kopi dari dapur rumah Ardi. Meja makan dipenuhi map, daftar tamu, dan undangan yang sudah siap dibagikan.Nisa sibuk memeriksa vendor lewat telepon. “Halo, iya Mbak, tolong pastikan dekorasi di ruang tengah pakai nuansa putih gading, ya, bukan krem tua. Aku udah kirim referensinya kemarin sore.”Ardi hanya duduk di meja, menatap kosong ke arah jendela. Matanya lelah, pikirannya melayang entah ke mana.“Sayang, lo dengerin gue nggak?” tegur Nisa sambil menutup telepon.Ardi tersadar. “Hm? Iya, sorry. Gue lagi mikirin rundown aja.”Nisa mendesah kecil tapi tersenyum. “Tenang, semuanya udah gue handle. Lo tinggal fokus ke hari H. Aku pengen semuanya sempurna.”Ardi mengangguk, lalu berdiri untuk mengambil map yang tergeletak di atas lemari. Saat membuka laci bawah, tangannya tanpa sengaja menyenggol sesuatu—sebuah amplop usang berwarna cokelat muda, terselip di antara tumpukan buku catatan kuliah.Ia menatapnya lama.

  • Teman Istriku,Kekasihku   Wisuda

    Hari itu, aula kampus penuh oleh warna. Toga, bunga, tawa, dan kilatan kamera bercampur jadi satu. Musik wisuda mengalun lembut, menciptakan suasana yang hampir sempurna—nyaris seperti bab akhir dari perjuangan panjang.Rani berdiri di antara barisan wisudawan, tersenyum ke arah orang tuanya yang duduk di barisan tamu. Ia merasa lega. Semua kerja keras, begadang, dan tumpukan tugas akhirnya terbayar.Di sebelahnya, Nisa tidak berhenti berceloteh.“Ran, sumpah ya, toga ini bikin gue berasa kayak penyihir. Tinggal bawa tongkat, gue siap buka Hogwarts cabang Bekasi.”Rani tertawa kecil. “Yang ada lo ngelindes kucing, Nis.”“Eh, jangan jahat lo. Nih lihat Ardi, toga-nya aja rapi banget. Cowok kayak gitu mah susah dicari. Kalau bukan temen gue, udah gue rebut, sumpah.”Ardi yang berdiri beberapa langkah di depan mereka menoleh sambil tertawa. “Kalian berdua ribut mulu dari semester satu sampai sekarang, nggak berubah.”“Ya kalau nggak ada kita, wisuda ini kaku, Di!” sahut Nisa sambil menun

  • Teman Istriku,Kekasihku   Tunangan

    Hujan baru saja berhenti sore itu, meninggalkan udara dingin dan aroma tanah basah yang lembap di sekitar gedung pascasarjana. Mahasiswa-mahasiswa baru berdatangan, sebagian sibuk mencari kelas, sebagian lagi duduk di tangga sambil menyeruput kopi.Rani berjalan cepat sambil merapikan tote bag-nya. Ia baru saja pindah ke kota itu untuk melanjutkan studi S2 setelah dua tahun bekerja. Rasanya campur aduk—deg-degan, gugup, dan sedikit semangat.“Semester baru, hidup baru,” gumamnya sambil tersenyum kecil.Di dalam kelas, dosen baru sedang mempersilakan mahasiswa memperkenalkan diri satu per satu. Saat giliran Rani tiba, ia berdiri dengan tenang.“Halo, saya Rani Putri, latar belakang saya dari bidang manajemen proyek. Saya tertarik melanjutkan studi ini untuk mendalami strategi pengembangan bisnis berkelanjutan.”“Bagus sekali, Rani,” ujar dosen. “Silakan duduk.”Belum sempat ia menarik kursi, seseorang masuk ke ruangan.“Permisi, Pak. Maaf agak terlambat. Jalanan macet banget.”Rani men

  • Teman Istriku,Kekasihku   Jejak yang hilang (fakshback 3)

    Masa itu, dunia terasa lebih ringan. Rani dan Ardi sering bertemu di kampus, bukan karena janjian, tapi entah kenapa langkah mereka selalu saja bertemu di lorong, kantin, atau bahkan di halte tempat menunggu angkot. Semuanya terasa alami, seolah mereka memang ditakdirkan untuk sering berada di tempat yang sama.Hari itu, Rani sedang duduk di bangku taman kampus sambil mengetik sesuatu di laptop. Tiba-tiba bayangan seseorang menutupi layar.“Lah, ngerjain apa? Hack NASA?” suara Ardi terdengar dengan nada menggoda.Rani menoleh, memutar bola mata. “Iya, gue lagi coba nerbangin satelit sendiri. Lo mau ikut jadi astronot?”Ardi terkekeh, lalu duduk tanpa izin di sebelahnya. “Boleh sih, asal nanti di luar angkasa ada indomie goreng. Gue nggak bisa hidup tanpa itu.”“Yaelah, minta indomie di luar angkasa. Lo pikir warung burjo ada franchise di Mars?” balas Rani sambil menahan tawa.Mereka berdua terbahak, menarik perhatian beberapa mahasiswa lain yang lewat. Obrolan mereka selalu ringan, ta

  • Teman Istriku,Kekasihku   Benih kecurigaan

    Malam itu rumah terasa lebih hening dari biasanya. Detak jam dinding terdengar begitu jelas, sesekali suara kendaraan melintas di jalan depan rumah. Nisa duduk di sofa ruang tamu, ponselnya masih di tangan, tapi tatapannya kosong. Ia berpura-pura sibuk scrolling media sosial, padahal pikirannya melayang ke hal-hal yang sejak beberapa minggu terakhir mengganggu hatinya.Ardi keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan meneteskan air, hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek. Dengan handuk di bahunya, ia berjalan santai lalu menjatuhkan diri ke sofa di sebelah Nisa.“Kok bengong, Sayang?” tanya Ardi sambil menatapnya, senyum kecil tersungging di bibirnya.Nisa mengangkat wajah, lalu tersenyum tipis. “Enggak. Cuma lihat-lihat aja, banyak temen upload foto-foto zaman kuliah. Jadi nostalgia gitu.”“Oh, iya ya. Seru pasti kalau lihat foto lama.” Ardi meletakkan handuknya, kemudian bersandar. “Eh, besok aku lembur lagi ya. Project kantor belum kelar, deadline udah mepet banget.”

  • Teman Istriku,Kekasihku   Flasback 2

    Hujan deras mengguyur kampus sore itu. Suasana yang biasanya ramai mendadak jadi seperti pasar malam yang bubar mendadak. Mahasiswa berlarian ke teras gedung, ada yang menutup kepala pakai buku, ada juga yang pasrah basah kuyup.Di depan gedung perpustakaan, Rani berdiri dengan wajah sebal. Rambutnya sudah agak lepek, jaket tipisnya jelas tak bisa menahan dingin.“Ya Allah, kayaknya hujan ini emang konspirasi semesta deh biar aku nggak jadi anak rajin,” gumamnya.Tiba-tiba dari samping terdengar suara khas yang bikin Rani langsung mendengus.“Kalau kamu butuh jasa payung berjalan, sini aku kebetulan masih single.”Rani menoleh, menemukan Ardi dengan payung hitam besar dan senyum usil.“Ardi…” Rani mendengus. “Kamu tuh ya, setiap muncul pasti kayak iklan YouTube, ngeselin tapi nggak bisa di-skip.”Ardi terkekeh. “Ih, berarti aku penting dong. Kan iklan itu sumber penghasilan.”Rani menatapnya sambil lipat tangan. “Penghasilan apaan? Penghasilan dosa gara-gara bikin orang kesel.”Ardi p

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status