Hari kedua kehadiran Rani di kantor seharusnya biasa saja bagi Ardi. Namun, entah mengapa, langkah kakinya terasa lebih ringan pagi itu. Ia datang lebih awal dari biasanya, mengenakan kemeja biru muda yang jarang dipakainya. Dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri—apa hubungannya pakaian dengan karyawan baru?
Ruang kantor masih sepi saat ia tiba. Beberapa staf sibuk menyalakan komputer, sementara aroma kopi instan memenuhi udara. Tidak lama, Rani datang dengan senyum hangat, membawa map biru di tangannya. “Pagi, Pak Ardi,” sapa Rani sambil menundukkan kepala sedikit. “Pagi, Rani,” balas Ardi, mencoba terdengar datar. Tapi matanya tak bisa lepas dari caranya merapikan rambut yang jatuh ke wajah. Mereka segera terlibat dalam pekerjaan. Rani duduk di meja sebelah, memeriksa dokumen dan mencatat hal-hal kecil dengan teliti. Sesekali ia bertanya, suaranya lembut tapi tegas. Ardi menjawab singkat, berusaha menjaga jarak profesional. Namun, setiap kali percakapan berakhir, ada jeda hening yang terasa ganjil—seperti ada sesuatu yang menggantung di udara. Siang harinya, mereka harus menghadiri pertemuan klien. Ardi awalnya berniat membawa staf lain, tapi manajer HR menyarankan Rani ikut agar bisa belajar. Di ruang rapat hotel, Ardi menjelaskan strategi pemasaran dengan suara mantap. Rani duduk di sampingnya, menyimak serius. Saat giliran Rani mempresentasikan ide sederhana yang ia susun semalam, Ardi terkejut. Cara bicara Rani begitu percaya diri, berbeda dari kesan awal. Klien bahkan tampak terkesan. Selepas pertemuan, mereka berjalan berdua menuju parkiran. Jalanan ramai, suara klakson bersahut-sahutan. Rani menoleh padanya dengan senyum puas. “Terima kasih sudah kasih aku kesempatan bicara tadi. Jujur, aku deg-degan setengah mati.” Ardi menggeleng. “Kamu bagus. Malah aku yang harus belajar dari keberanianmu.” Rani tertawa kecil. “Ah, jangan bercanda. Aku baru dua hari di sini.” Tawa itu ringan, tapi bagi Ardi terdengar terlalu dekat, terlalu mengusik. Ia buru-buru melangkah lebih cepat, seolah ingin menghindari perasaan yang mulai tumbuh tanpa izin. Malamnya, di rumah, Nisa kembali menanyakan kabar Rani. “Dia baik-baik aja kan di kantor? Nggak bikin kamu repot?” Ardi menatap istrinya sejenak. Nisa tampak polos, penuh rasa percaya. “Nggak, kok. Dia cepat belajar. Malah bikin tim lebih hidup.” Nisa tersenyum, lalu melanjutkan, “Aku jadi kangen ketemu dia. Mungkin akhir pekan nanti aku undang dia ke rumah ya? Sekalian kita makan malam bareng.” Ardi tercekat sejenak, tapi segera menyembunyikan kegugupannya. “Boleh. Bagus juga.” Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu pertemuan itu bisa menjadi ujian berat. Bagaimana mungkin ia menatap Rani dengan wajar di depan istrinya, setelah dua hari ini bayangan Rani terus mengganggunya? Keesokan harinya, suasana kantor lebih sibuk dari biasanya. Ada deadline kampanye yang harus segera dituntaskan. Ardi dan Rani bekerja lebih intens, berdiskusi soal desain dan strategi. Kadang mereka berdiri terlalu dekat, jari mereka hampir bersentuhan saat menunjuk layar. Ardi berusaha menegakkan batas, tapi tatapan mata Rani sesekali membuatnya goyah. Ada sesuatu di balik sorot itu—campuran rasa hormat, kekaguman, dan… mungkin ketertarikan. Sore menjelang malam, saat sebagian besar karyawan sudah pulang, Ardi masih duduk di ruangannya. Rani muncul di pintu, membawa setumpuk kertas. “Ini draft terakhir untuk kampanye. Aku pikir lebih baik Mas—eh, Pak Ardi—cek dulu sebelum aku kirim ke tim desain.” Ardi menerima kertas itu. “Kamu bisa panggil Ardi aja, nggak usah terlalu formal. Kita kan satu tim.” Rani tersenyum samar. “Baiklah, Ardi.” Nama itu meluncur dari bibirnya dengan begitu natural, tapi justru membuat dada Ardi bergetar aneh. Hening sesaat menyelimuti ruangan, hanya suara detik jam yang terdengar. Akhirnya Rani melangkah keluar, meninggalkan aroma parfum samar yang masih tertinggal di udara. Ardi menutup mata, menarik napas panjang. Ia tahu dirinya berada di tepi jurang. Malam itu, Nisa kembali membicarakan rencana makan malam bersama Rani. “Aku udah hubungi dia. Katanya besok malam bisa. Aku seneng banget, Mas. Kayak nostalgia aja rasanya.” Ardi hanya mengangguk, meski dalam hatinya panik. Ia belum siap melihat Rani di ruang tamunya, duduk bersebelahan dengan istrinya. Namun, takdir seolah tak memberi pilihan. Malam esok akan datang, dan bersamanya, mungkin awal dari rahasia yang tak lagi bisa ia sembunyikan.Sore itu rumah kecil mereka dipenuhi aroma sayur asem dan ikan goreng. Nisa sibuk bolak-balik dari dapur ke meja makan, wajahnya tampak bersemangat. Ardi baru saja pulang kerja, duduk di sofa dengan kemeja yang masih rapi meski terlihat lelah.“Mas,” panggil Nisa sambil tersenyum, “minggu depan kita ada waktu kosong, kan?”Ardi menoleh, sedikit bingung. “Waktu kosong apa?” duduk di sampingnya, membawa buku catatan kecil. “Aku tadi cek kalender. Minggu depan ada long weekend, tiga hari. Aku kepikiran buat kita liburan sebentar.”Ardi menaikkan alis. “Liburan?”“Iya dong.” Nisa membuka catatannya yang penuh coretan. “Ke Bandung. Udah lama banget kita nggak ke sana. Aku kangen udara sejuknya, kangen makan batagor di jalan Dago, kangen suasana malamnya.”Ardi menelan ludah. Bandung—kota yang selama ini jadi saksi diam hubungan terlarangnya dengan Rani. Sekilas bayangan kamar hotel dan tawa Rani muncul di kepalanya, membuat jantungnya berdegup tak karuan.“Kenapa Bandung?” tanyanya hati-h
Hari itu kantor lebih sepi dari biasanya. Beberapa rekan sudah pulang lebih awal, sementara yang lain masih sibuk di lantai atas. Parkiran basement hanya diterangi lampu neon redup yang sesekali berkelip.Ardi menunggu di dalam mobil hitamnya. Jari-jarinya mengetuk setir gelisah. Hatinya berdetak cepat, bukan karena rapat yang baru saja ia akhiri, tapi karena janji singkat dengan Rani.Tak lama, pintu terbuka. Rani masuk dengan cepat, menutup pintu tanpa suara. Aroma parfumnya memenuhi kabin sempit mobil. Gaun kerjanya masih rapi, tapi mata itu—mata yang sudah terlalu sering menantang Ardi—berkilat penuh api.Rani: berbisik “Kamu lama banget. Aku hampir batal.”Ardi: menarik napas dalam, menatapnya “Aku sengaja nunggu semua agak sepi. Kita nggak boleh sembrono.”Rani: tersenyum nakal “Tapi justru itu yang bikin deg-degan, kan?”Ardi tak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, lalu mendekat. Dalam sekejap, bibir mereka sudah bertemu, panas dan terburu-buru. Mobil menjadi ruang kecil yang m
Liburan itu akhirnya datang. Ardi meninggalkan rumah dengan alasan rapat luar kota, sementara Rani sudah lebih dulu menunggunya di hotel dekat pantai.Begitu bertemu di lobi, Rani tersenyum sambil berbisik,Rani: “Kamu beneran datang. Aku takut kamu batal di detik terakhir.”Ardi: menggenggam tangannya erat “Mana mungkin aku ninggalin kamu? Aku udah kangen setengah mati.”Mereka masuk kamar, dan begitu pintu terkunci, pelukan panjang menelan semua jarak.Rani: menempelkan wajah di dada Ardi “Aku pengen waktu berhenti di sini, Di. Hanya kita.”Ardi: “Kalau bisa, aku juga mau. Di sini, aku bisa jadi diriku sendiri. Bukan suami siapa pun. Bukan atasan siapa pun.”Rani: menatap matanya lekat “Tapi kamu tetap suami orang. Itu kenyataannya, kan?”Ardi: terdiam sejenak lalu mengelus pipinya “Iya. Tapi setiap sama kamu… aku lupa semua itu.”***Esok paginya mereka berjalan di tepi pantai. Ombak memecah di kaki mereka, sementara angin laut membelai rambut Rani yang terurai.Rani: “Kamu pernah
Hari-hari setelah pertemuan terakhir di rumah Rani seperti membuka pintu baru dalam hidup Ardi. Pintu yang semestinya ia biarkan terkunci rapat, kini terbuka lebar dan mengundangnya masuk lebih dalam.Setiap kali ia bertemu Rani di kantor, debar jantungnya tak pernah berkurang. Justru semakin kuat. Ada semacam magnet yang tak bisa dijelaskan—mereka seolah tak mampu lagi menjaga jarak.***Sore itu, kantor mulai sepi. Beberapa karyawan sudah pulang, meninggalkan gedung yang kian lengang. Ardi masih duduk di ruangannya, pura-pura menatap layar komputer, padahal pikirannya melayang pada sosok yang mungkin saja datang.Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Rani berdiri di sana, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Masih kerja?” tanyanya sambil melangkah masuk.Ardi menelan ludah, menutup laptop perlahan. “Belum selesai. Kamu kenapa belum pulang?”Rani mendekat, suaranya lebih lirih. “Karena aku tahu kamu masih di sini.”Seakan kata-kata itu cukup, mereka saling mendekat. Tak ada lagi pe
Setelah malam itu di rumah Rani, Ardi tahu semuanya sudah berbeda. Ia pulang dengan rasa bersalah yang tak terkira, tapi tubuhnya masih membawa hangat pelukan dan ciuman yang tak bisa ia hapus dari ingatan.Di sisi lain, Rani pun tak lagi berusaha menahan diri. Sejak batas itu dilanggar, ia menjadi lebih berani, lebih terbuka. Dan keduanya, meski tahu resiko besar menanti, justru makin sulit berhenti.***Hari Senin, kantor kembali sibuk. Tim pemasaran menyiapkan laporan hasil proyek, semua orang bergegas. Ardi mencoba menjaga wajah seriusnya sebagai manajer, tapi tiap kali ia menangkap mata Rani dari kejauhan, ada percikan kecil yang membakar dalam dirinya.Siang itu, di ruang rapat kecil, Ardi memanggil Rani untuk membahas revisi data. Pintu ditutup, dan hanya mereka berdua di dalam.“Ini data yang aku perbarui,” kata Rani sambil menyerahkan map.Ardi mengambilnya, tapi tangannya sengaja menyentuh jari Rani. Mereka saling berpandangan, terlalu lama untuk sekadar rekan kerja.“Rani…
Hari itu kantor terasa lebih lengang dari biasanya. Proyek besar baru saja selesai, sebagian besar karyawan pulang lebih cepat. Namun Ardi masih duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang bahkan tidak lagi ia baca. Pikirannya melayang jauh ke peristiwa beberapa hari lalu—ciuman pertamanya dengan Rani.Setiap kali ia mencoba fokus, bayangan itu selalu muncul. Bagaimana bibir Rani menempel pada bibirnya, bagaimana tatapan matanya penuh keberanian dan kerinduan. Ardi tahu ia tak seharusnya mengingat-ingatnya, tapi tubuh dan hatinya tak bisa membohongi diri.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Rani.“Malam ini aku sendirian di rumah. Mau datang? Kita bisa bilang lembur, kalau ada yang tanya.”Ardi menatap layar cukup lama. Jemarinya bergetar, antara ingin mengetik balasan dan ingin menghapus pesan itu. Ia menoleh ke jam dinding, hampir pukul tujuh. Di rumah, Nisa pasti sedang menyiapkan makan malam. Hatinya berperang hebat.Tapi akhirnya, ia menulis: “Aku datang.”***Ruma