Share

Mr. Perfectly

DUA HARI YANG LALU, Abigail Russell genap berusia 20 tahun. Di penghujung tahun, dia memutuskan untuk menghabiskan waktu di City of Love, begitulah orang-orang menjuluki Paris yang terkenal dengan kota mode dunia. Jika orang-orang berkunjung ke Paris dengan kekasih mereka, Abigail Russell justru berkunjung sendiri ke Paris yang dielu-elukan sebagai kota romantis.

Di bangku taman yang berada di bawah Menara Eiffel tempat orang-orang melamar kekasihnya, Abigail duduk ditemani seorang pria berbadan kurus, tinggi, dengan rambut yang diikat ke atas sambil menikmati gelato. Pria itu bernama Pierre Ernest. Abigail baru mengenalnya sejam yang lalu lewat aplikasi kencan. Menggelikan harus berkencan dengan pria yang berkenalan hanya melihat foto profilnya. Namun, itu lebih baik daripada harus sendirian menghabiskan waktu liburan.

"Pardon, puis-je parler à la jolie fille à côté de vous?" (Maaf, bisakah aku berbicara dengan perempuan cantik di sebelahmu?)

Seorang pria berkaos Polo gelap setinggi satu kaki lebih tinggi dari lima kaki empat inci dari Abigail Russell berbicara pada Pierre dengan bahasa Prancis-nya yang fasih, suara beraksennya menusuk Abigail seperti abrasi.

Pria itu bersurai hitam pekat membingkai pas wajah tampannya, dia memiliki rahang persegi yang tegas dengan janggut berusia beberapa hari. Selain itu, yang tak kalah luput dari pandangan, dia memiliki hidung klasik yunani. Abigail tidak heran jika perempuan-perempuan rela melepaskan pakaian mereka untuk Benjamin Marchetti.

"C'est mon amant, si tu veux lui parler, alors tu dois m'impliquer." (Dia kekasihku, jika kau ingin berbicara dengannya, maka kau harus melibatkan aku.)

"Kekasih?" Netra biru Benjamin yang sedingin Alaska melirik sekilas ke arah perempuan dengan kulit pucat seperti boneka porselen sebelum beralih menatap Pierre dengan seringai serigala di bibir. "Mais, c'est ma femme." (Tapi, dia istriku.)

Oh, Tuhan, Abigail tidak percaya jika Benjamin Marchetti mengakuinya sebagai istri setelah dua tahun pernikahan mereka selalu pisah ranjang. Meskipun, berstatus sebagai Nyonya Marchetti nyatanya identitas Abigail begitu tertutup rapat, bahkan media pun tidak tahu jika Benjamin Marchetti sudah menikah.

Pierre terkejut mendengarnya. "Êtes-vous ivre, Monsieur? C'est mon rendez-vous, vous voyez qu'il ne porte pas de bague en signe de possession." (Apa kau mabuk, Monsieur? Dia teman kencanku, kau lihat dia tidak memakai cincin sebagai tanda kepemilikan.)

"Je veux juste parler à ma femme." (Aku hanya ingin berbicara dengan istriku.)

Abigail mengelus lengan Pierre dan berujar dengan bahasa Inggris. "Kau boleh pergi, aku akan mengatasi pria ini."

Pierre bertanya dengan bahasa Inggris-nya yang payah, "Tapi, bagaimana dengan kencan kita?"

"Anggap saja sudah berakhir."

"A-apa ... tapi ...."

"Dia suamiku."

Abigail tidak percaya mengatakan itu, jika saja gelato-nya masih tersisa, ia akan melempar gelato itu ke wajah Benjamin, tetapi pengakuan Abigail berhasil membuat Pierre mengalah dan meninggalkan ia bersama Benjamin.

Benjamin mengambil duduk di sebelah Abigail, tempat di mana Pierre sebelumnya duduk di sana. Benjamin tersenyum, dia memiliki bibir tipis pada bagian atas dan penuh pada bagian bawah menunjukkan bahwa di sana ia memberikan penguasaan dalam seni berciuman. "Seleramu begitu rendah, Abigail-girl. Bukankah jelas-jelas kau mempunyai suami yang tampan, daripada harus berkencan dengan pria lidi tadi?"

Demi Tuhan, Abigail tidak menyangka bahwa suaminya sedang mengejek Pierre.

"Bukan urusanmu. Apa yang kau lakukan di sini? Menganggu acara kencan orang lain, huh?" Abigail melihat sekilas ke arah Benjamin, lalu melihat ke arah trotoar. Ini pertama kali mereka berbicara setelah dua tahun menikah. Abigail tidak tahu apakah ia harus memeluk atau mencium pria itu untuk melepas rindu. Namun, Abigail jelas tidak akan melakukannya mengingat ia yang terlebih dahulu menggugat cerai.

"Seharusnya, aku yang bertanya seperti itu padamu, Abigail-girl. Kau mengikutiku?"

Abigail mendengkus. "Tingkat kepercayaan dirimu memang perlu diacungi jempol, Ben. Untuk apa aku mengikutimu? Kau pikir aku tidak punya kerjaan lain selain mengikutimu?"

"Ya, itu bisa saja mengingat kau bekerja di perusahaan berita." Benjamin tersenyum miring, membuat Abigail menimang-nimang alat apa yang bisa ia gunakan untuk memukul pria itu. Jelas, dari senyum itu, Abigail tahu Benjamin sedang menyindir kejadian satu minggu lalu. Ia pikir, Benjamin akan meminta maaf, ternyata Abigail terlalu berharap lebih.

"Ya Tuhan, kau pikir aku senang bertemu denganmu di sini? Jelas tidak. Kau menganggu liburanku, kau mengacaukan kencanku, dan well, kau mengusir teman kencanku."

"Kalau begitu, pulanglah." Benjamin menyusurkan tangannya di rambut cokelat keemasan Abigail yang tergerai melewati bahu. Padahal, seingat Benjamin, dulu rambut Abigail hanya sebatas dagu.

Abigail menggeser bokong untuk menjaga jarak dari Benjamin. "Pulang katamu? Kau ingin berapa lama lagi aku terkurung di mansion mewahmu, Ben? Lima tahun? Sepuluh tahun? Atau selamanya?"

"Kau berkencan dengan pria saat kau memiliki suami. Aku suamimu, Abigail Marchetti."

Abigail terdiam sejenak. Dia memandang suaminya, lalu berusaha menyampaikan isi hati yang selama ini ia pendam sendirian. "Suami katamu? Kau hilang tanpa kabar sejak malam pertama kita, bahkan setelah dua tahun kita menikah kau tidak pernah pulang, kau tidak pernah menelepon ataupun menanyakan hariku atau mungkin kau memang tidak peduli padaku. Jika yang kau maksud suami, ya, kau memang suamiku secara hukum."

"Kata-katamu seolah aku orang paling jahat. Padahal, aku menafkahimu." Benjamin menghela napas sambil meluruskan lengan kanannya di sepanjang bangku taman.

"Hentikan, aku tidak suka kau memberiku barang-barang mewah itu. Kau memang jahat, Ben, suami mana yang tega tidur dengan lawan mainnya di film, sedangkan istrinya bahkan tidak pernah disentuh." Rasa kesal mengumpul di tenggorokan Abigail.

Ada keheningan yang kental sebelum Benjamin menjawab, "Kau yang menulis berita skandal suamimu sendiri. Kau bahkan tidak mengetahui kenyataan yang sebenarnya."

Ketidakpercayaan muncul di mata Abigail yang berkilau seperti butiran emas. Dia menatap tajam Benjamin. "Aku melihatnya dengan mataku sendiri, Ben. Kau check-in dengan Monica Jaquetta setelah pemutaran perdana film kalian. Aku bahkan menemui kamar hotelmu dan menemukan Monica di sana. Bagian mana dari kata-kataku yang keliru?"

"Kau cemburu?" Sebelah alis tebal Benjamin yang terkena luka akibat gigitan anjing terangkat naik. Itu bahkan tidak terlihat seperti kekurangan, dia bahkan terlihat sangat liar dengan alis tersebut.

"Bisa-bisanya kau bertanya seperti itu. Kau anggap apa pernikahan kita? Bagaimana bisa kau melanggar janjimu terhadap Tuhan?"

"Kau salah paham, Abigail." Benjamin memijit pangkal hidung, seolah sedang menyusun kata-kata untuk menjelaskan

"Oh, ya?"

"Kami hanya menginap di hotel sebelum mempromosikan film kami ke negara lain. Dan kami mempunyai penerbangan yang panjang dan jelas kami butuh istirahat," jelas Benjamin dengan tenang seolah skandal itu bukan masalah besar.

"Kau berhubungan badan dengannya?" Abigail mengerjap sadar akan pertanyaannya, lalu berseru, "Ya Tuhan, kau tidak perlu menjawabnya. Hadiri saja persidangan kita bulan mendatang."

"Abigail, bukankah terlalu berlebihan jika kau memilih jalur perceraian?"

Abigail membuang pandangan ke lain arah agar tidak beradu tatap dengan Benjamin. "Aku telah memikirkan matang-matang keputusanku, Benjamin. Hubungan kita hanya racun yang jika dibiarkan akan menyakiti masing-masing dari kita."

"Jika itu maumu, aku akan mengikuti alurmu."

Abigail mengigit bibir menahan desakan air mata yang ingin keluar. Dia bangkit berdiri karena berpikir percakapan mereka telah usai dan tidak ada yang perlu dibahas lagi. Namun, dengan cekatan Benjamin mencengkram pergelangan tangannya.

"Aku ingin pulang," ketus Abigail sambil menyentak cengkeraman tangan Benjamin.

"Aku akan mengantarmu."

"Biarkan aku sendiri!" Abigail membentak, marah karena tidak mungkin membiarkan Benjamin melihatnya menangis.

Benjamin tidak membantah apa pun, ia diam membiarkan Abigail berangsur-angsur menjauh darinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status