Home / Young Adult / Teman Tapi Panas / 7. Pergolakan Batin

Share

7. Pergolakan Batin

last update Last Updated: 2025-09-02 00:23:03

Tok...tok..tok...

Ana langsung mendorong Andi untuk menjauh, ia merapikan rambut dan bajunya yang bersikap sementara Andi justru menjilati tangannya yang sedikit basah.

"Non Ana, sudah bangun? Maaf, kata Ibu kalau jam 8 belum bangun suruh dibangunin buat sarapan."" Terdengar suara asisten rumah tangga di balik pintu.

"Sudah, Mbak. Ini baru mau mandi dulu." Ana memastikan tampilannya sudah rapi dan hendak membuka pintu ketika tiba-tiba badannya limbung ke kasur, Ana hendak berteriak tapi Andi lebih dulu mengunci bibir Ana dengan bibirnya.

"Mau dianterin ke kamar apa gimana sarapannya, Non?" tanya asisten lagi dan Ana tidak bisa menjawab karena bibir Andi yang menciumnya.

Ana langsung melotot tapi Andi justru mengunci sisi kanan dan kiri kepala Ana dengan dua tangannya, sehingga Ana tidak bisa melepaskan ciumannya.

"Non?"

Ana panik, sementara ciuman Andi tidak juga terlepas.

"An...." Ana bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena ciuman Andi yang begitu menggebu-gebu.

Ana dibuat gila, disatu sisi ia dibuat mabuk kepayang dengan ciuman Andi yang begitu menggoda tapi ia juga diliputi panik karena takut pintu kamarnya akan dibuka oleh asisten rumah tangga. Dua manusia lawan jenis, berduaan di dalam kamar dengan posisi yang sangat menantang dan saling tindih. Bisa-bisa besok ia sekalian dinikahkan bersamaan dengan Ifa.

"Aku tunggu di kamar mandi," ujar Andi saat ciumannya terlepas.

Ana mendesah tidak rela karena ia baru menikmatinya ciuman tersebut, sekali lagi Ana merapikan rambutnya, Ana mendesah melihat pantulan dirinya di cermin, bibirnya terlihat sedikit bengkak dan itu wajar mengingat bagaimana Andi memperlakukan bibirnya sejak kemarin.

"Aku mandi dulu aja, Mbak. Menunya ngikutin yang mbak masak aja, kalau belum ada nanti aku bisa masak sendiri kok. Makasih ya, Mbak." pamit Ana lalu kembali menutup pintu kamarnya.

Ana melihat Andi yang bersandar di depan pintu kamar mandi, cowok itu bahkan sudah melepaskan kaos dan celana panjangnya, hanya tersisa celana dalam yang isinya sudah Ana lihat kemarin.

"Aku mau mandi sendiri," ujar Ana mencoba bernegosiasi.

"Aku bisa bantuin, nggak baik loh menolak bantuan seseorang." Andi tidak mau kalah.

"Ndi, tolonglah." Ana memelas. Ia kebingungan cara berbicara dengan Andi.

"Iya ini kan aku mau tolong mandiin." Andi bahkan kini melangkah mendekati Ana yang masih bergeming di depan pintu.

"Jangan kayak gini, Ndi. Aku nggak bisa." Ana mencoba mundur tapi punggungnya membentur pintu.

"Kenapa? Kamu punya pacar?"

Ana menggeleng sebagai jawaban.

"Terus? Aku juga nggak punya pacar. Toh ini saling menguntungkan. Kita sama-sama menikmati ini." Andi masih teguh dengan pendiriannya.

"Aku nggak bisa, Ndi. Kita itu salah, dari awal nggak ada teman yang saling cium dan tidur bareng kayak kita." Ana menyampaikan pendapatnya dan Andi tersenyum miring.

"Serius, Na? Kita mau berputar di alasan itu lagi? Jangan munafik, aku tahu kalau kita sama-sama menikmati ini semua."

"Aku nggak siap dengan hubungan yang serius, Ndi. Aku nggak mau kamu buang waktu aja sama aku. Dari awal kita udah salah, harusnya kita nggak sampai sejauh ini, bahkan mungkin aku harusnya nggak nginep di sini biar kita nggak jadi sejauh ini." Ana mencoba menjelaskan situasinya.

"Terus maunya gimana? Kamu mau kita pacaran? Ayok, kita sama-sama single. Kamu mau kita temenan kayak gini juga aku setuju aja. Kamu maunya gimana? Semuanya nggak ribet, kamu aja yang terlalu overthinking." Andi tanpa sadar menaikkan nada suaranya.

"Aku takut, Ndi. Takut aku terlalu nyaman dan merasa memiliki, sementara perbedaan diantara kita banyak banget. Aku takut akhirnya aku yang sakit hati lagi." Ana terduduk lalu menangis.

Andi mendesah, ia kini duduk di pinggir kasur sambil mengamati Ana yang masih menangis. Sisi hatinya ikut terluka melihat Ana yang demikian rapuh.

"Boleh nggak kalau kita fokus ke saat ini aja, Na? Aku ikutin mau kamu tapi jangan suruh aku menjauh. Kamu mau kita pacaran? Kita umumkan aja sekalian kamu juga tahu ibuku suka sama kamu? Kamu maunya gimana? Apapun asal jangan suruh aku menjauh." Andi mengambil pakaiannya yang tergeletak di atas kasur lalu pergi ke kamarnya sendiri.

"Aku nggak ninggalin kamu, aku cuma kasih kamu waktu buat berpikir," ujar Andi sebelum menutup pintu sambungan kamar mereka.

Sementara Ana masih menangis, ditatapnya cincin perak yang bertahun-tahun ini selalu ia kenakan.

"Gimana ini, Mas? Aku ngelukain orang lain lagi cuma karena takut sama masa lalu," ujar Ana pada cincin tersebut.

Kalau saja masa lalunya itu tidak muncul lagi, Ana mungkin akan dengan mudah menerima Andi dan menjalin hubungan dengannya. Tapi kali ini tidak bisa, ada hubungan antara Ifa dan Destra yang juga bisa terkena imbas jika hubungan Ana dan Andi tidak berhasil.

Mungkin harusnya dari awal memang Ana tidak datang ke Jakarta.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teman Tapi Panas   7. Pergolakan Batin

    Tok...tok..tok... Ana langsung mendorong Andi untuk menjauh, ia merapikan rambut dan bajunya yang bersikap sementara Andi justru menjilati tangannya yang sedikit basah. "Non Ana, sudah bangun? Maaf, kata Ibu kalau jam 8 belum bangun suruh dibangunin buat sarapan."" Terdengar suara asisten rumah tangga di balik pintu. "Sudah, Mbak. Ini baru mau mandi dulu." Ana memastikan tampilannya sudah rapi dan hendak membuka pintu ketika tiba-tiba badannya limbung ke kasur, Ana hendak berteriak tapi Andi lebih dulu mengunci bibir Ana dengan bibirnya. "Mau dianterin ke kamar apa gimana sarapannya, Non?" tanya asisten lagi dan Ana tidak bisa menjawab karena bibir Andi yang menciumnya. Ana langsung melotot tapi Andi justru mengunci sisi kanan dan kiri kepala Ana dengan dua tangannya, sehingga Ana tidak bisa melepaskan ciumannya. "Non?" Ana panik, sementara ciuman Andi tidak juga terlepas. "An...." Ana bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena ciuman Andi yang begitu menggebu-ge

  • Teman Tapi Panas   6. Status Baru

    Pintu kamar hotel tertutup dan Andi langsung menyerbu Ana dengan ciuman ganas hingga membuat gadis itu kehilangan keseimbangan. "Triana...Triana...Triana...." Andi berkali-kali menyebutkan nama Ana dan itu membuat Ana bahagia, gadis itu tersenyum disela ciuman mereka. Andi terus mendesak, mendorong Ana hingga berbaring di kasur tanpa melepas ciumannya. "Napas... Napas...." Ana berseru dan Andi menghentikan ciumannya. "Kasih aku waktu buat napas dulu," ujar Ana sambil terengah-engah. Sepanjang hidupnya, ini ciuman paling memabukkan dan Ana kewalahan tapi juga menikmati. Andi tidak tinggal diam, ia memang menghentikan ciumannya tapi tangannya bergerak menyingkap rok mini Ana, cukup dengan satu gerakan ringan hawa dingin langsung menerpa selangkangan Ana karena Andi berhasil melepaskan celana pendeknya. "Kalau mau berhenti, sekarang saatnya," ujar Andi sambil mendaratkan ciuman di kaki dan paha Ana membuat gadis itu bergidik. Ana tidak menunjukkan penolakan justru mendesah s

  • Teman Tapi Panas   5. Semua Karena Alkohol

    "Nggak apa-apa. Aku gak kemana-mana." Andi masih memeluk Ana yang menangis.Andi melirik meja mereka yang berada di seberang ruangan, beberapa dalam kondisi teler sedangkan sisanya tidak terlihat kemungkinan sedang menari atau sudah berakhir di kamar masing-masing, Tiadak ada yang bisa diharapkan untuk menenangkan Ana. Andi melepas jaketnya lalu memakaikannya ke Ana dan membawa gadis itu keluar dari area bar.Lift mereka tiba di rooftop, Ana sudah lebih tenang sehingga kini Andi hanya perlu merangkul Ana yang sedikit limbung."Maaf merepotkan," ujar Ana saat keduanya tiba di rooftop.Keduanya duduk bersandar pada tembok, menikmati semilir angin malam yang menggelitik.Tidak ada percakapan, hanya Ana yang duduk memeluk lutut dan Andi yang menghisap rokok elektrik, wangi vanila dari asap rokok elektrik bercamour dengan udara malam dan parfum Andi yang tertingal di jaket menyelimuti Ana."Keberatan kalau aku ngerokok?" Andi mengeluarkan sebungkus rokok.Ana menggeleng."Nikotin sialan,"

  • Teman Tapi Panas   4. Pesta Bujangan

    Hentakan musik terdengar bersahutan dengan tawa dan teriakan penyemangat, di atas meja Destra menari bersama seorang gadis, tangannya merangkul pinggang gadis tersebut sementara si gadis mengalungkan tangannya di leher Destra dan mengoyangkan badan mengikuti irama musik."Si anjing, dia nggak lupa dua minggu lagi mau nikah kan?" Umpat Andi melihat tingkah Destra yang justru memeluk gadis dengan pakaian terbuka itu lebih erat.Andi menoleh pada meja sebelah tampak Ifa—calon istri Destra—justru baru menyelesaikan one shoot drink dengan laki-laki yang bertelanjang dada."Pantesan jodoh." Andi lalu melipir menuju meja bar area VIP yang tampak lebih sepi, ia memesan segelas bir dan menikmati bir itu dalam ketenangan. Beberapa gadis tampak bertukar pandangan dan memberikan senyuman nakal yang jelas Andi pahami arah tujuannya.Malam Minggu jelas puncak keramaian diskotik, lantai dansa penuh dengan manusia yang berjoget seperti cacing kepanasan, beberapa bahkan sambil bertukar ciuman atau mul

  • Teman Tapi Panas   3. Momen Pertama

    Andi menahan napas saat gadis itu mendekat, bau parfum manis Ana menggelitik hidung menggoda Andi untuk mengendus si pemilik tubuh, padahal ia yakin tidak mencium parfum itu saat mereka makan malam tadi.Hormon sialan, maki Andi dalam hati."Makasih, Trifandi." Ana beranjak dari kasurnya. Andi berusaha menoleh ke lemari pakaian yang terletak di sisi kanannya, ia harus mengalihkan pandangan dari baju tidur longgar yang membuat pikirannya membayangkan hal-hal yang ditutupi di baliknya. Lebih mudah jika ia langsung keluar kamar seperti pesan ibunya, sayangnya Andi tidak berniat menuruti saran itu sekarang, ia justru semakin ingin berlama-lama dengan Ana.Ana meminum wedang jahenya seteguk kemudian mendesah lega, cairan hangat itu membuat perutnya lebih nyaman. Ia sama sekali tidak menyadari jika suaranya barusan justru makin membuat Andi panas dingin, Ana mengikuti arah pandang Andi dan menemukan rak kaca berisi action figur dari anime Naruto yang terletak di samping lemari baju."Gila!

  • Teman Tapi Panas   2. Semua Berawal

    "Trifandi Dewangga! Kalau kamu nggak pulang, Ibu bakal nyuruh ayahmu buat bikin perusahaan cuci-cuci kamu itu bangkrut." Suara itu melengking dari speaker ponsel yang diangkat sembarangan oleh Raka—teman sekamarnya—dan kini menggema di seluruh apartemen kecil mereka di Jakarta."Nyokap lu megang saham BUMN, apa gimana sih? Kok kayak nuklir hidup gitu," gumam Raka sambil menyerahkan ponsel ke Andi yang masih tengkurap di balik selimut.Andi hanya mendengus, separuh wajahnya masih terkubur bantal. “Lu ngangkat duluan siapa suruh.”“Gue kira itu pacar lu yang mana lagi.”“Pacar lu juga bukan yang mana-mana. Lu tuh…”“TRIFANDI!!!”Mereka berdua refleks menoleh ke ponsel yang masih menyala.Dan begitulah, sang “Kanjeng Ratu Dewangga” kembali mengancam mengirim utusan kerajaan dari Semarang hanya untuk menyeret anak bungsunya pulang demi sebuah… pesta pernikahan. Bukan milik Andi, tentu saja. Tapi milik Destra, sepupu sekaligus sahabat brengseknya dan selalu dianggap "anak kebanggaan keluar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status