Home / Young Adult / Teman Tapi Panas / 3. Momen Pertama

Share

3. Momen Pertama

last update Last Updated: 2025-07-09 21:48:34

Andi menahan napas saat gadis itu mendekat, bau parfum manis Ana menggelitik hidung menggoda Andi untuk mengendus si pemilik tubuh, padahal ia yakin tidak mencium parfum itu saat mereka makan malam tadi.

Hormon sialan, maki Andi dalam hati.

"Makasih, Trifandi." Ana beranjak dari kasurnya. 

Andi berusaha menoleh ke lemari pakaian yang terletak di sisi kanannya, ia harus mengalihkan pandangan dari baju tidur longgar yang membuat pikirannya membayangkan hal-hal yang ditutupi di baliknya. Lebih mudah jika ia langsung keluar kamar seperti pesan ibunya, sayangnya Andi tidak berniat menuruti saran itu sekarang, ia justru semakin ingin berlama-lama dengan Ana.

Ana meminum wedang jahenya seteguk kemudian mendesah lega, cairan hangat itu membuat perutnya lebih nyaman. Ia sama sekali tidak menyadari jika suaranya barusan justru makin membuat Andi panas dingin, Ana mengikuti arah pandang Andi dan menemukan rak kaca berisi action figur dari anime Naruto yang terletak di samping lemari baju.

"Gila!" pekik Ana sambil melangkah menuju lemari kaca, matanya berbinar saat menatap tokoh-tokoh kesukaannya itu dalam bentuk mini.

"Kamu bisa dibunuh Mas Dwi kalau berani menyentuh harta karun itu." Andi mengikuti langkah Ana yang kini sudah berdiri di depan lemari kaca.

"Memangnya kakakmu sejahat itu?" Ana balik bertanya meski pandangannya masih fokus pada karakter Itachi, dalam hati Ana mati-matian menahan diri untuk tidak menyentuh mainan itu.

"Aku pernah dicuekin selama seminggu karena nyolong Itachi, sejak itu aku dilarang masuk kamar ini." Andi menggaruk lehernya yang tidak gatal.

Itu terjadi saat Andi kelas 1 SMA, ia yang kesal karena tidak diizinkan meminjam nekat mencuri Itachi dan membawanya ke sekolah untuk dipamerkan dengan teman-temannya. Sepulang sekolah ia disambut bogem milik Dwi, Ibu bahkan berteriak histeris karena mengira keduanya akan saling membunuh.

Andi memandang Ana yang tampak lesu, matanya menatap karakter Itachi sementara tangan kanannya yang tidak memegang gelas mengelus permukaan lemari, seolah sedang membayangkan rasanya memegang benda itu. Andi tahu ia mungkin akan dibunuh kakaknya setelah ini tapi tangannya tetap bergerak membuka pintu lemari dan mengambil karakter Itachi.

"Nih," ujar Andi seraya menyodorkan benda itu di depan wajah Ana.

Ana ragu untuk memegang benda itu tapi matanya kini kembali berbinar, Andi melihatnya seperti anak anjing yang minta diadopsi, Andi mengingat baik-baik ekspresi ini, mungkin wajah Ana yang tengah memohon untuk disentuh juga akan tampak menggemaskan itu. Sedetik kemudian Andi sadar jika pikirannya sudah melenceng jauh, ia benar-benar harus menyucikan pikirannya yang lebih liar hari ini.

Ana akhirnya menyentuh karakter itu dengan ujung jari telunjuknya, hanya menempel selama sedetik lalu ditariknya lagi jarinya itu. Andi jelas melihat Ana masih ingin memainkan benda tersebut, ia pun heran karena Ana kini justru kelihatan tidak tertarik.

"Takut rusak. Aku udah diijinkan numpang di sini, masa mau ngerusakin benda juga," jelas Ana yang tampak menghibur diri.

Ana menyukai anime asal Jepang itu sejak kecil, meski yang ditayangkan televisi kebanyakan hanya episode yang diulang, Ana tidak pernah bosan menontonnya. Saat akhirnya ia mengenal internet, Ana akhirnya menonton anime itu secara penuh setelah merengek.

Ada dua laki-laki yang membuat Ana berdebar, pertama adalah Itachi yang tersenyum saat menolak mengajak Sasuke bermain, kedua adalah Satria yang mengajarinya PR matematika.

"Ada yang lebih seru," ujar Andi sambil menarik tangan Ana menuju pintu yang ternyata terhubung ke kamarnya.

Andi membuka lemari kamarnya, mengeluarkan satu set pakaian yang mirip dengan kostum Itachi dari lemarinya. Andi memang senang mengoleksi pakaian anime, ia sempat ikut komunitas yang suka mengadakan cosplay, Andi bahkan rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menjahit baju yang sama persis dengan karakter yang ingin ia perankan.

"Tunggu lima menit aja. Aku bakalan berubah jadi Itachi." Setelah berkata demikian, Andi kabur ke kamar mandi sementara Ana masih mengamati lemari yang terbuka.

"Trifandi, aku boleh pinjam kostum yang lain?" Teriak Ana karena Andi sudah berada di kamar mandi.

"Pakai aja, aku nggak akan bunuh orang cuma karena baju dipakai," sahut Andi dari kamar mandi. Ana segera meraih satu kostum dan menghilang ke kamarnya.

"Cocok nggak?" tanya Ana setelah hampir sepuluh menit kemudian.

Di tempatnya Andi justru terbengong-bengong, pedang di tangannya terjatuh karena terkejut, buyar sudah rencananya untuk berpose keren karena kini justru ia yang dibuat terkejut. Di depannya Ana berdiri dengan pose siap menyerang, masalahnya adalah pada kostum yang dipilih gadis itu, Ana memilih kostum Ino yang memiliki jaring-jaring dan belahan rok cukup tinggi. Andi yakin ia bisa mengeluarkan air liur kalau lebih lama lagi menatap paha mulus Ana yang tersingkap.

"Nggak bagus, ya?" tanya Ana yang melihat Andi membatu di tempat.

Andi buru-buru menggeleng sambil memungut pedangnya yang terjatuh, "Bagus, kok. Aku cuma kaget karena tadi lagi mau pose keren. Sumpah, bagus." Andi menaikkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.

Ana tersenyum senang lalu mulai berpose seolah melakukan berbagai jurus, Andi mencoba fokus memeriksa pedangnya meski matanya beberapa kali tetap mencuri pandang ke arah paha Ana, ia lelaki normal yang mengagumi tubuh indah wanita, selama ia tidak bergerak menyentuh Ana dan melecehkan wanita itu maka masih sah-sah saja.

"Kamu beneran sabuk hitam?" tanya Andi meski ia masih berfokus pada pedangnya.

Andi sibuk mengelap permukaan pedang dengan tisu basah, padahal pikirannya justru membayangkan jika pedang ini berubah menjadi Ana yang terbaring penuh harap di bawahnya. Ana seperti magnet yang selalu menarik perhatiannya, sungguh suatu hal yang aneh karena Andi sudah lama tidak merasakan debaran seperti ini pada seorang wanita.

"Iya. Waktu aku SMA banyak kasus penculikan, Bude yang khawatir lalu mendaftarkan aku ikut pencak silat." Ana kini duduk di kasur Andi, ia mengambil selembar tisu dan ikut membersihkan kunai yang sempat ia mainkan tadi.

"Kenapa pencak silat? Bukan karate atau yang lain?"

"Karena itu asli Indonesia. Aku ingat almarhum ayahku juga bisa pencak silat, jadi anggap saja aku mengikuti jejaknya." Ana menjawab tanpa mengangkat kepala, ia masih fokus pada kunainya.

Andi yang baru tahu fakta mengenai ayah Ana pun menatap gadis itu dengan pandangan iba, Ana bisa berbicara sesantai itu mengenai hal ini, padahal ini adalah salah satu momen menyedihkan yang ia miliki. Andi sejujurnya ingin bertanya lebih lanjut tapi ia takut dianggap lancang, ia juga tidak ingin membuat Ana sedih karena merindukan ayahnya. Ayah Andi memang masih hidup, beliau bekerja di Tokyo sebagai seorang peneliti biologi tapi Andi kerap merindukan ayahnya itu. Ia tidak bisa membayangkan rasanya jadi Ana yang tidak bisa melihat ayahnya lagi.

"Aku juga pernah belajar karate, mau coba sparring?"

Ana mendongak dan mengangguk semangat. Andi mengambil ancang-ancang begitu pula Ana yang memasang kuda-kuda, beruntung kamar Andi cukup luas karena dulunya adalah gabungan dengan ruang bermain. Setelah Andi dan kakaknya dewasa, ruangan itu diubah menjadi bagian dari kamar Andi.

Andi dan Ana mulai menerjang, Andi harus mengakui jika Ana cukup gesit, berkali-kali ia harus rela tubuhnya kena tendang atau pukul, meski ia juga berhasil menyerang gadis itu. Ana terengah-engah, tangannya sakit karena memukul tubuh Andi, seperti yang ia duga, ia kesulitan menumbangkan pria ini karena perbedaan berat tubuh mereka yang jauh. Ana bahkan hampir dibanting Andi saat ia salah menangkis kuncian pria itu, ia harus berhati-hati atau ia akan dikalahkan dengan mudah.

Andi sekali lagi maju menyerang, sasarannya adalah bahu kiri Ana tapi berhasil ditepis, ganti Ana yang melancarkan tendangan. Sayangnya kaki Ana berhasil ditangkap oleh Andi, Ana pun memutar tubuhnya untuk melepas kuncian, sialnya ia tidak berhasil karena Andi masih kuat menahan kakinya, Ana hendak memukul bagian punggung Andi yang terbuka tapi Andi menarik kakinya hingga ia hilang keseimbangan dan justru terjatuh ke belakang. 

Andi yang memegang kaki Ana ikut tertarik berat badan gadis itu, ia pun jatuh menimpa Ana. Keduanya terlalu terkejut untuk bereaksi sampai sebuah suara menggelegar terdengar.

"Trifandi Dewangga!"

“Ibu bilang jangan lama-lama di kamar ini! Kamu mau nyaingin Destra menikah besok?!”

Keduanya menatap ke pintu, di sana Ibu Andi berdiri, Andi jelas melihat ada sepasang tanduk yang tiba-tiba tumbuh di atas kepala ibunya dan nasibnya bisa berakhir malam ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teman Tapi Panas   5. Semua Karena Alkohol

    "Nggak apa-apa. Aku gak kemana-mana." Andi masih memeluk Ana yang menangis.Andi melirik meja mereka yang berada di seberang ruangan, beberapa dalam kondisi teler sedangkan sisanya tidak terlihat kemungkinan sedang menari atau sudah berakhir di kamar masing-masing, Tiadak ada yang bisa diharapkan untuk menenangkan Ana. Andi melepas jaketnya lalu memakaikannya ke Ana dan membawa gadis itu keluar dari area bar.Lift mereka tiba di rooftop, Ana sudah lebih tenang sehingga kini Andi hanya perlu merangkul Ana yang sedikit limbung."Maaf merepotkan," ujar Ana saat keduanya tiba di rooftop.Keduanya duduk bersandar pada tembok, menikmati semilir angin malam yang menggelitik.Tidak ada percakapan, hanya Ana yang duduk memeluk lutut dan Andi yang menghisap rokok elektrik, wangi vanila dari asap rokok elektrik bercamour dengan udara malam dan parfum Andi yang tertingal di jaket menyelimuti Ana."Keberatan kalau aku ngerokok?" Andi mengeluarkan sebungkus rokok.Ana menggeleng."Nikotin sialan,"

  • Teman Tapi Panas   4. Pesta Bujangan

    Hentakan musik terdengar bersahutan dengan tawa dan teriakan penyemangat, di atas meja Destra menari bersama seorang gadis, tangannya merangkul pinggang gadis tersebut sementara si gadis mengalungkan tangannya di leher Destra dan mengoyangkan badan mengikuti irama musik."Si anjing, dia nggak lupa dua minggu lagi mau nikah kan?" Umpat Andi melihat tingkah Destra yang justru memeluk gadis dengan pakaian terbuka itu lebih erat.Andi menoleh pada meja sebelah tampak Ifa—calon istri Destra—justru baru menyelesaikan one shoot drink dengan laki-laki yang bertelanjang dada."Pantesan jodoh." Andi lalu melipir menuju meja bar area VIP yang tampak lebih sepi, ia memesan segelas bir dan menikmati bir itu dalam ketenangan. Beberapa gadis tampak bertukar pandangan dan memberikan senyuman nakal yang jelas Andi pahami arah tujuannya.Malam Minggu jelas puncak keramaian diskotik, lantai dansa penuh dengan manusia yang berjoget seperti cacing kepanasan, beberapa bahkan sambil bertukar ciuman atau mul

  • Teman Tapi Panas   3. Momen Pertama

    Andi menahan napas saat gadis itu mendekat, bau parfum manis Ana menggelitik hidung menggoda Andi untuk mengendus si pemilik tubuh, padahal ia yakin tidak mencium parfum itu saat mereka makan malam tadi.Hormon sialan, maki Andi dalam hati."Makasih, Trifandi." Ana beranjak dari kasurnya. Andi berusaha menoleh ke lemari pakaian yang terletak di sisi kanannya, ia harus mengalihkan pandangan dari baju tidur longgar yang membuat pikirannya membayangkan hal-hal yang ditutupi di baliknya. Lebih mudah jika ia langsung keluar kamar seperti pesan ibunya, sayangnya Andi tidak berniat menuruti saran itu sekarang, ia justru semakin ingin berlama-lama dengan Ana.Ana meminum wedang jahenya seteguk kemudian mendesah lega, cairan hangat itu membuat perutnya lebih nyaman. Ia sama sekali tidak menyadari jika suaranya barusan justru makin membuat Andi panas dingin, Ana mengikuti arah pandang Andi dan menemukan rak kaca berisi action figur dari anime Naruto yang terletak di samping lemari baju."Gila!

  • Teman Tapi Panas   2. Semua Berawal

    "Trifandi Dewangga! Kalau kamu nggak pulang, Ibu bakal nyuruh ayahmu buat bikin perusahaan cuci-cuci kamu itu bangkrut." Suara itu melengking dari speaker ponsel yang diangkat sembarangan oleh Raka—teman sekamarnya—dan kini menggema di seluruh apartemen kecil mereka di Jakarta."Nyokap lu megang saham BUMN, apa gimana sih? Kok kayak nuklir hidup gitu," gumam Raka sambil menyerahkan ponsel ke Andi yang masih tengkurap di balik selimut.Andi hanya mendengus, separuh wajahnya masih terkubur bantal. “Lu ngangkat duluan siapa suruh.”“Gue kira itu pacar lu yang mana lagi.”“Pacar lu juga bukan yang mana-mana. Lu tuh…”“TRIFANDI!!!”Mereka berdua refleks menoleh ke ponsel yang masih menyala.Dan begitulah, sang “Kanjeng Ratu Dewangga” kembali mengancam mengirim utusan kerajaan dari Semarang hanya untuk menyeret anak bungsunya pulang demi sebuah… pesta pernikahan. Bukan milik Andi, tentu saja. Tapi milik Destra, sepupu sekaligus sahabat brengseknya dan selalu dianggap "anak kebanggaan keluar

  • Teman Tapi Panas   1. Malam Yang Panas.

    Semua berawal dari pesta bujang semalam. Destra, sahabat karib Andi akan menikah.Awalnya, Andi tidak ingin hadir karena pasti Destra juga akan mengundang Rihana, teman mereka, yang juga mantan FWB Andi. Jelas, Andi tidak mau bertemu dengan wanita itu karena masih memendam kesal sebab perasaannya tak dibalas, dan justru ia hanya dianggap sebagai objek oleh Rihana.Namun, karena paksaan Destra dan ibundanya yang menyuruh pulang, akhirnya Andi kembali ke Jakarta dan akan menghadiri acara pernikahan itu. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan Ana, sepupu jauh dari istri Destra.Awalnya hanya gairah kecil-kecilan saat Ana menginap beberapa hari di rumah Andi. Dan sekarang, entah bagaimana, Andi berakhir di hotel kamar dengan Ana."Na, kalau kamu mau berhenti sekarang waktunya. Aku gak jamin bisa menahan diri.” Andi memberikan peringatan terakhir sebelum kesadarannya ikut meluap dan satu-satunya yang menguasai adalah gairah membara dan tuntutan untuk dilampiaskan.Seumur hidupnya, Trifandi D

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status