Pintu kamar hotel tertutup dan Andi langsung menyerbu Ana dengan ciuman ganas hingga membuat gadis itu kehilangan keseimbangan.
"Triana...Triana...Triana...." Andi berkali-kali menyebutkan nama Ana dan itu membuat Ana bahagia, gadis itu tersenyum disela ciuman mereka. Andi terus mendesak, mendorong Ana hingga berbaring di kasur tanpa melepas ciumannya. "Napas... Napas...." Ana berseru dan Andi menghentikan ciumannya. "Kasih aku waktu buat napas dulu," ujar Ana sambil terengah-engah. Sepanjang hidupnya, ini ciuman paling memabukkan dan Ana kewalahan tapi juga menikmati. Andi tidak tinggal diam, ia memang menghentikan ciumannya tapi tangannya bergerak menyingkap rok mini Ana, cukup dengan satu gerakan ringan hawa dingin langsung menerpa selangkangan Ana karena Andi berhasil melepaskan celana pendeknya. "Kalau mau berhenti, sekarang saatnya," ujar Andi sambil mendaratkan ciuman di kaki dan paha Ana membuat gadis itu bergidik. Ana tidak menunjukkan penolakan justru mendesah saat tangan Andi mengelus selangkangan Ana, desahan ringan yang membuat Andi makin kehilangan akal. Ana menggeleng, menolak tawaran Andi untuk berhenti dan Andi tersenyum penuh kemenangan. "Aku pastiin kamu cuma bisa mendesah dan menikmati malam ini," kata Andi lalu mulai bermain dengan lidahnya. Andi benar-benar membuktikan ucapannya, tidak sadar bahwa kejadian malam ini akan mengaburkan batas pertemanan yang mereka jaga. Esok harinya Andi bangun tanpa Ana di sisinya, selain sisi ranjang yang berantakan dan aroma gadis itu yang tertinggal, jejak Ana menghilang seolah tadi malam hanyalah mimpi Andi seperti bayangan yang sudah-sudah. "Halo. Iya, gue nginep sama temen." Andi mengangkat ponselnya yang berdering dan Destra berbicara di ujung sana. "Temen yang mana? Lo kan baru beberapa hari di Jakarta?" Destra bertanya lagi tapi Andi tidak ingin menjawab. Membayangkan kejadian semalam diketahui Destra berarti sama saja memberi tahu Ifa yang merupakan saudara sepupu Ana, Andi yakin ia bisa berakhir dibunuh jika Ifa tahu hal yang ia lakukan dengan sepupu gadis itu semalam. Andi mematikan panggilan lalu bergelung bangkit dari kasur, ia meneliti kamar hotel dan mencari jejak Ana tapi hanya aroma parfumnya yang tertinggal. Segera ia membersihkan diri dan pulang ke rumah, ada beberapa hal yang harus ia bicarakan dengan Ana dan ia yakin gadis itu pasti pulang ke rumah karena tidak mungkin kabur ke rumah Ifa dan menemui keluarga besarnya. Andi tiba di rumah dan langsung menuju ke kamarnya, menurut keterangan asisten rumah tangga yang tadi Andi tanyai, pagi-pagi subuh tadi Ana pulang dan langsung masuk ke kamar. Andi tahu kalau ia menggedor pintu kamar Ana, besar kemungkinannya gadis itu tidak akan membuka pintu tapi Andi tahu jalan rahasia. Andi masuk ke kamar dan menuju pintu sambungan yang ditutupi dengan gantungan baju, pintu terbuka dan langsung terhubung ke kamar yang ditempati Ana. Mulanya pintu sambungan ini dibangun karena Andi yang masih takut tidur sendiri, ibu pasti akan membunuhnya kalau tahu sekarang Andi menggunakan pintu ini untuk memata-matai seorang gadis. "Ana?" Panggil Andi dan sosok yang ada di balik selimut langsung menarik selimutnya makin erat. "Kita perlu bicara." Andi mencoba menarik selimut Ana tapi tenaga Ana juga cukup besar hingga membuat Andi kewalahan. "Aku bahkan masih ingat desahan kamu tapi sekarang kamu sembunyi?" Andi mencoba bernegosiasi tapi Ana belum mau membuka selimut. "Kita perlu bicara. Kamu buka selimutnya dengan sukarela atau aku buka paksa selimutnya termasuk semua yang melekat di badan kamu saat ini persis seperti yang ku lakuin semalam." Ancam Andi dan Ana bergeming. Andi tersenyum miring melihat selimut yang semula heboh bergerak kini jadi terdiam, ia pun menarik selimut tersebut dengan sekali hentakan dan terlihat Ana yang mengenakan baju tidur longgar hingga mata Andi langsung tertuju pada belahan dada gadis itu. "Mau ngomongin apa?" cicit Ana pelan, ia bahkan tidak berani menatap Andi berbeda dengan semalam yang begitu liat memanggil nama Andi disetiap penyatuan keduanya. "Kenapa kamu kabur?" Andi langsung mengutarakan isi hatinya. Seumur hidupnya, ini kali pertama Andi ditinggal kabur oleh seorang wanita setelah menghabiskan malam bersama dan itu melukai harga dirinya. "Aku nggak kabur, cuma mau cepet pulang aja takut dicariin." Ana memberikan alasan. "Siapa yang nyariin?" cerca Andi lagi dan Ana terdiam. "Ku pikir kita sama-sama menikmati kejadian semalam, kenapa sekarang aku merasa cuma dimanfaatkan?" Andi protes dan Ana langsung mendongak dengan tatapan heran. Andi tahu tuduhannya barusan keterlaluan, kalau pun ada pihak yang dimanfaatkan tentu saja Andi yang memanfaatkan Ana untuk mewujudkan mimpi-mimpi indahnya yang setiap malam membayangkan bagian-bagian yang tersembunyi di balik baju Ana. "Kamu cuma mau diam aja?" Andi bertanya lagi dan Ana akhirnya menghela napas. "Aku minta maaf kalau menurutmu aku cuma manfaatin kamu, aku cuma takut kepergok Ifa atau teman-teman yang lain dan bikin suasana jadi canggung. Aku takut kamu nyebarin kejadian semalam ke teman-teman dan mereka bakalan berasumsi macam-macam. Aku nggak bisa melabeli hubungan semalam dengan status apapun karena aku juga belum siap mulai hubungan sama cowok." Ana akhirnya menjawab. Andi duduk di atas kasur, melihat Ana yang hanya menggunakan baju longgar membuat hasrat Andi bangkit lalu sebuah ide gila melintas di otaknya begitu saja. "Kamu nggak perlu canggung, Na. Kamu tetep temanku, sepupu Ifa yang menginap di rumah ini. orang-orang cukup tahu itu dan apa yang terjadi di kamar biarkan aja tetep di kamar." Andi memberikan jawaban, suaranya terdengar lebih berat dan ada kabut gairah di matanya. Tangan Andi menyentuh pipi Ana dan membelainya, sentuhan Andi membuat Ana merinding tapi ia juga menikmatinya. "Maksudnya gimana?" Ana bertanya lagi, suaranya kini bergetar karena wajah Andi yang mendekat hingga Ana bisa mencium aroma pasta gigi yang tadi dikenakan Andi. "Kita tetap temenan. Teman di depan orang-orang, teman yang saling bantu, termasuk bantuin buat nemuin pelepasan masing-masing." Andi menyelesaikan kalimatnya lalu mencium leher Ana membuat gadis itu mendongak. "Kamu nggak perlu memberikan label, kita cukup jadi teman, termasuk teman di ranjang." Andi mendorong Ana hingga gadis itu berbaring dan dalam sekejap ia sudah berada di atas Ana. "Ndi, kita lagi ada di rumah." Ana memperingatkan meski Andi yang kini menciumi lehernya membuat Ana juga hampir kehilangan kewarasan. "Cuma ada pada ART dan kita aman selama kamu nggak berisik." Andi sudah berhasil menurunkan celana dalam Ana lalu mulai bermain di sana. Sementara Ana mengigit bibir mencegah suaranya keluar sambil meremas rambut Andi yang justru semakin liar mempermainkan bagian tubuhnya yang paling sensitif itu.Tok...tok..tok... Ana langsung mendorong Andi untuk menjauh, ia merapikan rambut dan bajunya yang bersikap sementara Andi justru menjilati tangannya yang sedikit basah. "Non Ana, sudah bangun? Maaf, kata Ibu kalau jam 8 belum bangun suruh dibangunin buat sarapan."" Terdengar suara asisten rumah tangga di balik pintu. "Sudah, Mbak. Ini baru mau mandi dulu." Ana memastikan tampilannya sudah rapi dan hendak membuka pintu ketika tiba-tiba badannya limbung ke kasur, Ana hendak berteriak tapi Andi lebih dulu mengunci bibir Ana dengan bibirnya. "Mau dianterin ke kamar apa gimana sarapannya, Non?" tanya asisten lagi dan Ana tidak bisa menjawab karena bibir Andi yang menciumnya. Ana langsung melotot tapi Andi justru mengunci sisi kanan dan kiri kepala Ana dengan dua tangannya, sehingga Ana tidak bisa melepaskan ciumannya. "Non?" Ana panik, sementara ciuman Andi tidak juga terlepas. "An...." Ana bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena ciuman Andi yang begitu menggebu-ge
Pintu kamar hotel tertutup dan Andi langsung menyerbu Ana dengan ciuman ganas hingga membuat gadis itu kehilangan keseimbangan. "Triana...Triana...Triana...." Andi berkali-kali menyebutkan nama Ana dan itu membuat Ana bahagia, gadis itu tersenyum disela ciuman mereka. Andi terus mendesak, mendorong Ana hingga berbaring di kasur tanpa melepas ciumannya. "Napas... Napas...." Ana berseru dan Andi menghentikan ciumannya. "Kasih aku waktu buat napas dulu," ujar Ana sambil terengah-engah. Sepanjang hidupnya, ini ciuman paling memabukkan dan Ana kewalahan tapi juga menikmati. Andi tidak tinggal diam, ia memang menghentikan ciumannya tapi tangannya bergerak menyingkap rok mini Ana, cukup dengan satu gerakan ringan hawa dingin langsung menerpa selangkangan Ana karena Andi berhasil melepaskan celana pendeknya. "Kalau mau berhenti, sekarang saatnya," ujar Andi sambil mendaratkan ciuman di kaki dan paha Ana membuat gadis itu bergidik. Ana tidak menunjukkan penolakan justru mendesah s
"Nggak apa-apa. Aku gak kemana-mana." Andi masih memeluk Ana yang menangis.Andi melirik meja mereka yang berada di seberang ruangan, beberapa dalam kondisi teler sedangkan sisanya tidak terlihat kemungkinan sedang menari atau sudah berakhir di kamar masing-masing, Tiadak ada yang bisa diharapkan untuk menenangkan Ana. Andi melepas jaketnya lalu memakaikannya ke Ana dan membawa gadis itu keluar dari area bar.Lift mereka tiba di rooftop, Ana sudah lebih tenang sehingga kini Andi hanya perlu merangkul Ana yang sedikit limbung."Maaf merepotkan," ujar Ana saat keduanya tiba di rooftop.Keduanya duduk bersandar pada tembok, menikmati semilir angin malam yang menggelitik.Tidak ada percakapan, hanya Ana yang duduk memeluk lutut dan Andi yang menghisap rokok elektrik, wangi vanila dari asap rokok elektrik bercamour dengan udara malam dan parfum Andi yang tertingal di jaket menyelimuti Ana."Keberatan kalau aku ngerokok?" Andi mengeluarkan sebungkus rokok.Ana menggeleng."Nikotin sialan,"
Hentakan musik terdengar bersahutan dengan tawa dan teriakan penyemangat, di atas meja Destra menari bersama seorang gadis, tangannya merangkul pinggang gadis tersebut sementara si gadis mengalungkan tangannya di leher Destra dan mengoyangkan badan mengikuti irama musik."Si anjing, dia nggak lupa dua minggu lagi mau nikah kan?" Umpat Andi melihat tingkah Destra yang justru memeluk gadis dengan pakaian terbuka itu lebih erat.Andi menoleh pada meja sebelah tampak Ifa—calon istri Destra—justru baru menyelesaikan one shoot drink dengan laki-laki yang bertelanjang dada."Pantesan jodoh." Andi lalu melipir menuju meja bar area VIP yang tampak lebih sepi, ia memesan segelas bir dan menikmati bir itu dalam ketenangan. Beberapa gadis tampak bertukar pandangan dan memberikan senyuman nakal yang jelas Andi pahami arah tujuannya.Malam Minggu jelas puncak keramaian diskotik, lantai dansa penuh dengan manusia yang berjoget seperti cacing kepanasan, beberapa bahkan sambil bertukar ciuman atau mul
Andi menahan napas saat gadis itu mendekat, bau parfum manis Ana menggelitik hidung menggoda Andi untuk mengendus si pemilik tubuh, padahal ia yakin tidak mencium parfum itu saat mereka makan malam tadi.Hormon sialan, maki Andi dalam hati."Makasih, Trifandi." Ana beranjak dari kasurnya. Andi berusaha menoleh ke lemari pakaian yang terletak di sisi kanannya, ia harus mengalihkan pandangan dari baju tidur longgar yang membuat pikirannya membayangkan hal-hal yang ditutupi di baliknya. Lebih mudah jika ia langsung keluar kamar seperti pesan ibunya, sayangnya Andi tidak berniat menuruti saran itu sekarang, ia justru semakin ingin berlama-lama dengan Ana.Ana meminum wedang jahenya seteguk kemudian mendesah lega, cairan hangat itu membuat perutnya lebih nyaman. Ia sama sekali tidak menyadari jika suaranya barusan justru makin membuat Andi panas dingin, Ana mengikuti arah pandang Andi dan menemukan rak kaca berisi action figur dari anime Naruto yang terletak di samping lemari baju."Gila!
"Trifandi Dewangga! Kalau kamu nggak pulang, Ibu bakal nyuruh ayahmu buat bikin perusahaan cuci-cuci kamu itu bangkrut." Suara itu melengking dari speaker ponsel yang diangkat sembarangan oleh Raka—teman sekamarnya—dan kini menggema di seluruh apartemen kecil mereka di Jakarta."Nyokap lu megang saham BUMN, apa gimana sih? Kok kayak nuklir hidup gitu," gumam Raka sambil menyerahkan ponsel ke Andi yang masih tengkurap di balik selimut.Andi hanya mendengus, separuh wajahnya masih terkubur bantal. “Lu ngangkat duluan siapa suruh.”“Gue kira itu pacar lu yang mana lagi.”“Pacar lu juga bukan yang mana-mana. Lu tuh…”“TRIFANDI!!!”Mereka berdua refleks menoleh ke ponsel yang masih menyala.Dan begitulah, sang “Kanjeng Ratu Dewangga” kembali mengancam mengirim utusan kerajaan dari Semarang hanya untuk menyeret anak bungsunya pulang demi sebuah… pesta pernikahan. Bukan milik Andi, tentu saja. Tapi milik Destra, sepupu sekaligus sahabat brengseknya dan selalu dianggap "anak kebanggaan keluar