Share

Teman Tapi Suami Istri
Teman Tapi Suami Istri
Penulis: Apri April

01. Bagaimana menikah?

“Gimana Nel, rasanya menikah? Enak toh?” seorang ibu-ibu berseragam batik bertanya begitu seorang guru muda masuk ke kantor dengan membawa tumpukan buku didekapannya. Ia meletakkan buku-buku tersebut di meja tepat disamping Sarah yang sedang berkutat dengan laptop.

Sarah pun melirik sekilas pada Nela yang belum menjawab pertanyaan dari Bu Wati. Ia sedari tadi diam saja, fokus dengan pekerjaan dan hanya menimpali sesekali obrolan gosip dua ibu guru yang sedang menunggu giliran untuk masuk ke dalam kelas setelah istirahat.

“Enak bu, enak banget,” jawab Nela santai. Ia kemudian menyeret kursi kayu ke depan meja Sarah setelah mengambil sobekan kardus untuk mengipasi dirinya.

Pagi menjelang siang ini memang terasa panas. Apalagi ruangan kantor yang kecil dan pengap. Kipas angin di dinding yang sudah menyala itu pun tidak bisa menghalau hawa panas di kantor.

“Nah kan enak, gimana gimana malam pertamanya? Sarah pingin denger tuh.”

“Loh, kok aku bu? Dari tadi diam loh ini,” jawab Sarah menghentikan aktivitas mengetiknya.

Bu Wati dan Bu Sri pun tertawa tatkala melihat kepanikan gadis berpakaian muslimah itu. Mereka memang kerap menggoda Sarah si operator yang polos dan cantik.

“Gak mau cerita lah bu, nanti Sarah langsung pingin lagi,” ucap Nela santai. “Pingin ada calonnya sih mending, ini pingin tapi nggak ada calonnya kan bahaya, dosa nanti,” lanjutnya.

“Hish Mbak Nela,” timpal Sarah kesal. Ia lebih baik kembali mengerjakan tugasnya yang sedang menginput data siswa, berusaha menulikan telinga yang mulai panas akibat terus-terusan digempur dengan obrolan ala orang dewasa yang sudah menikah.

Sarah Diba Alaesya sebenarnya juga sudah dewasa, berusia 24 tahun yang mana harusnya sudah terbiasa dengan obrolan-obrolan dewasa. Namun nyatanya ia tetap canggung dan sulit menerima tema obrolan yang masih dianggapnya tabu itu.

Faktor keluarga mungkin mempengaruhi sikap tertutup Sarah. Ia di kampung terkenal dengan reputasi keluarga agamis dan religius. Oleh sebab itulah pakaian yang ia gunakan lebih tertutup dari yang lain.

Dan Sarah sendiri bekerja di sekolah menengah pertama di kampungnya sebagai operator sudah ia lakukan selama dua tahun terakhir. Dulu Nela juga masih gadis seperti dirinya. Namun beberapa minggu yang lalu Nela melangsungkan pernikahan yang meriah.

Suaminya seorang polisi. Namun bukan itu yang menjadi permasalahan. Melainkan hanya Sarah lah yang kini berstatus lajang diantara yang lain. Oleh karena itu ia semakin menjadi bulan-bulanan bulian guru-guru dan staf yang lain.

“Nah tinggal Sarah kan? Nela sudah, ya tinggal kamu Sar.” Suara lantang seorang bapak-bapak memenuhi ruangan kantor yang mulai berisik dan penuh. Guru-guru yang lain sudah berkumpul di kantor.

Jika sudah seperti ini, Sarah ingin pergi ke perpus yang letaknya agak jauh dari kantor. Mendekam disana sembari memainkan ponsel akan lebih baik ketimbang menjadi bahan kongekan.

“Kamu itu loh Sar, mau kapan lagi coba? Sudah bapak tawarin jadi mantu, sama si Bayu aja malah nggak mau. Anak bapak ganteng toh kayak bapaknya, masa nggak mau?”

Sarah hanya menanggapi dengan senyum-senyum tidak jelas. Gadis itu sudah tidak kaget lagi dengan ucapan-ucapan Pak Harun, kepala sekolah yang sangat menyenangkan dan disayangi oleh guru atau staf yang lain.

Jelas Pak Harun becanda. Ia hanya berusaha mengompori agar semakin riuh untuk menyudutkan Sarah si gadis polos yang pendiam.

***

“Huft capeknya,” keluh Sarah ketika sampai di pagar bambu bercat biru yang mengelilingi rumahnya.

Ia pun masuk ke halaman rumah dan bertemu Abi nya yang sudah berpakaian rapih, berbaju kokoh memakai peci dan membawa sajadah keluar dari pintu depan.

“Mau ke masjid, Bi?” sapa Sarah sembari menyalimi tangan kanan Abi.

“Iya, kamu jalan kaki?”

Sarah menggeleng. “Nebeng sama Mbak Nela sampai depan gang.”

“Oh,” Abi mengangguk pelan. “Ya sudah, nanti kamu jangan tidur dulu Sar, Abi mau bicara.”

“Iya Bi,” jawab Sarah mengangguk. Ia memperhatikan Abi yang mulai menjauh dari halaman rumah.

Sebenarnya ia sangat penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Abinya itu. Namun rasa penasaran tersebut harus Sarah tahan dulu.

Karena matahari sangat terik sekali. Sarah tidak tahan untuk berdiam diri lebih lama di halaman rumah. Ia pun segera masuk dan menuju kamarnya setelah menyalimi Umi yang sedang membaca buku di ruang tengah.

***

Sampai di kamar dan setelah mengunci pintu kamar, Sarah membuka hijab dan kemudian mengganti seragam kerja longgarnya dengan memakai kaos oblong serta celana training. Dia kemudian merebahkan tubuhnya ke kasur sambil memejamkan mata sejenak.

Mungkin jika tak ingat bahwa Abi akan bicara, Sarah akan terlelap seperti biasanya. Sepulang kerja langsung tidur, begitulah kebiasaan Sarah.

“Lagian Abi mau bicara apa ya?” pertanyaan yang dilontarkan Sarah menguap dengan sendirinya tanpa ada yang menjawab.

Daripada semakin penasaran akhirnya Sarah memainkan ponsel, membuka status wha*sapp satu persatu teman-temannya. Dan kemudian tibalah pada status wha*sapp yang menampilkan foto candid seseorang di sebuah pusat perbelanjaan. Adilla, nama kontak si pemilik status tersebut.

(Sarah) : Jadi pingin main ke Jakarta.

Sarah membalas pada status foto tersebut. Tidak lama kemudian bunyi notifikasi pun masuk dari Dilla.

(Dilla) : Sini lah

(Dilla) : Jangan di kampung terus.

(Sarah) : Hahaha iya iya yang sudah jadi anak kota mah

(Sarah) : Enak ya Dil di Jakarta?

(Dilla) : Emang Jakarta makanan Sar haha

(Dilla) : Jakarta itu kejam sis, enak nggak enak harus dienak enakin

(Sarah) : Ya tapi tetap aja pingin kerja di Jakarta

Tok.. tok.. tok..

Suara ketukan pintu mengagetkan Sarah yang sedang berbalas chat dengan sahabatnya Dilla.

“Sar, ayo makan siang, sudah ditunggu Abi,” ucap Umi dibalik pintu.

“Oh iya Mi sebentar,” balas Sarah dan segera turun dari ranjang. Ia pun langsung keluar kamar dan menyusul Umi menuju ruang makan di dapur.

***

Suara dentingan sendok dan piring menguasai sepenuhnya di ruang makan. Abi, Umi dan Sarah tampak khusyuk memakan hidangan yang tersaji.

Sayur asam, tempe goreng, sambal terasi serta kerupuk merupakan sajian nikmat yang Sarah sukai. Sebetulnya ia suka apapun masakan Umi. Tidak pilih-pilih, jika Uminya yang memasak apapun akan ia makan dan sukai.

“Gimana di sekolah Sar? Makin betah?” tanya Abi membuka obrolan.

Sarah mendongak melihat Abi yang sudah selesai makan. Ia sendiri baru akan menambah sayur asam jadi belum selesai makan.

“Betah-betah aja sih Bi, tapi ya itu, sebenarnya Sarah pingin cari pengalaman kerja yang lain, pingin kerja di  Jakarta.”

“Masih pingin kerja? belum mau menikah?” tanya Abi.

Sarah diam sejenak, ia melirik Umi yang hanya diam saja, padahal biasanya Umi paling cerewet membuka obrolan di meja makan. Karena itulah Sarah sadar bahwa apa yang akan dibicarakan Abinya mengenai masalah yang serius, apalagi tiba-tiba bertanya mengenai menikah. Sarah tiba-tiba merasakan kekhawatir pada dirinya.

“Ya sebenarnya masih pingin kerja dulu sih Bi, pingin cari pengalaman,” jawab Sarah pelan.

“Kalau Abi nyuruh kamu menikah bagaimana?”

“Hah? menikah?” ucap Sarah kaget bukan main. Padahal Abi bertanya dengan tenang dan biasa saja, namun itulah yang membuat Sarah was-was.

Ia tidak lupa bahwa kakak dan abangnya menikah secara perjodohan. Dan kenyataan itulah yang membuat Sarah semakin was-was.

“Menikah ya Bi, itu...” Sarah menggaruk tengkuknya merasa bingung, padahal ia ingin mengucapkan banyak alasan. Misalkan saja dia masih muda, masih ingin bekerja, masih ingin mencari pengalaman dan tentunya masih ingin sendiri. Tetapi alasan-alasan itu tertelan dengan sendirinya ketika melihat raut wajah Abi yang sangat tenang.

“Itu Bi, Sarah belum ada calonnya,” akhirnya hanya itu alasan yang keluar dari mulut Sarah. Ia sendiri tidak yakin bahwa alasan tersebut mampu menekan Abinya.

“Masalah calon, Abi sudah menyiapkan.”

Kan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status