Share

02. Namanya...

Sarah Diba Alaesya merupakan anak bungsu Kyai H. Zaelani dan Hj. Aisyah. Seorang gadis yang dikenal polos, pendiam dan alim karena pakaian kebesaran yang ia kenakan.

Namun bagi Sarah sendiri ia bukan orang yang seperti orang lain gambarkan. Ia belum alim seperti dugaan orang lain hanya karena pakaian kebesaran dan reputasi keluarga yang religius.

Ia hanyalah gadis biasa seperti teman-temannya tidak terlalu polos dan juga tidak terlalu pendiam. Bahkan menurut Sarah sendiri, ia termasuk pembangkang dibanding kakak dan abangnya. Ia merupakan anak bungsu yang berkemauan keras, egois dan keras kepala. Tidak segan-segan membantah jika ada keputusan yang kurang pas menurutnya.

Seperti sekarang, suasana menyenangkan yang tadi melingkupi ruang makan kini menjadi tidak mengenakkan. Bukan menegangkan tetapi tidak mengenakan bagi Sarah. Hasrat makannya pun telah pudar beberapa menit yang lalu, ia menatap pada semangkok sayur asam tidak lagi berminat seperti sebelumnya.

“Tapi Sarah belum mau menikah Bi,” ucap gadis bersurai panjang itu pelan tidak berani menatap mata Abinya yang tetap memancarkan ketenangan tanpa terganggu dengan kalimat bantahan anak bungsunya. Abi sudah paham betul dengan watak keras anak bungsunya.

“Umur kamu berapa?” tanya Abi tetap tenang.

“Dua puluh empat tahun,” jawab Sarah mulai tidak suka dengan pembicaraan yang akan menyudutkannya.

“Kalau tidak salah, Sarah pernah bilang sama Abi, bilangnya mau menikah di umur 24 tahun, betul kan?”

Sarah terdiam menunduk. Ia jelas ingat perkataan yang pernah ia lontarkan kepada Abinya bahwa ingin menikah di usia 24 tahun. Pada saat itu Sarah berusia 17 tahun, tidak tau menahu jika Abi menyimpan pernyataannya dan akan mengabulkannya saat usianya 24 tahun sesuai keinginan Sarah sendiri.

Ia kini sangat menyesali perkataan tersebut. Tradisi perjodohan keluarganya nyatanya akan berimbas padanya juga. Namun karakteristik sikap Sarah yang memang dasarnya keras dan pembangkang tetap ingin menolak dan membantah ucapan-ucapan Abinya.

“Iya Sarah pernah bilang begitu tapi itu sudah dulu Bi, hanya imajinasi dan angan-angan Sarah di masa remaja saja, tapi sekarang Sarah belum mau menikah Bi,” ucap Sarah diakhiri dengan permohonan yang amat sangat.

Ia ingin bekerja, ingin mendapat banyak pengalaman, masih ingin ke Jakarta dan ke tempat-tempat yang ia impikan untuk didatangi. Dan pada intinya Sarah masih ingin bebas belum mau terikat dengan pernikahan. Ia menatap Uminya yang sedari tadi hanya diam, meminta pertolongan lewat pandangan mata yang memohon. Namun Umi mengalihkan pandangan seolah-olah memang tidak bisa berbuat apa-apa. Sarah tau bahwa kuasa di rumah ini memang berada di tangan Abinya.

“Abi tau, tapi coba kamu pikirkan kembali, berdoa pada Tuhan, Shalat untuk meminta petunjuk,” ucap Abi lembut dengan tenang.

Pria paruh baya dengan segala kewibawaan dan ketenangannya itu pun berdiri dari duduknya. Mencondongkan tubuh khas bapak-bapak sedikit kedepan dan mengulurkan tangan kanannya untuk mengusap atas kepala anak bungsunya yang keras kepala.

“Pikirkan dengan tenang, minta petunjuk Tuhan,” ucapnya dan setelah itu pergi dari ruang makan.

Sarah masih menunduk, bingung, bimbang, kaget, ingin melawan semua menjadi satu. Namun semua itu tertahan akibat ketakutan pada Abinya.

Sebenarnya Abi bukanlah seorang ayah yang marah jika keputusan bulatnya harus dibantah ataupun di tolak. Bahkan Sarah belum pernah melihat Abinya marah. Namun karena itulah Sarah takut. Ia ingat betul jika kakak pertamanya Hanum yang sok-sok an mau kabur dari rumah karena tidak mau dijodohkan tapi mengalami kecelakaan tersrempet motor. Tidak sampai parah dan dibawa ke rumah sakit. Namun rasa sakit akibat terkilir mampu menyadarkan Hanum akan dosanya yang telah melawan orang tua.

Sarah pun takut. Ia takut akan akibatnya melawan orang tua.

***

Tok... tok... tok...

Ketukan pintu terdengar dan mengagetkan Sarah yang sedang melamun menatap langit-langit kamar sambil rebahan di kasurnya. Ia menoleh saat pintu kamar terbuka dan menampilkan wanita paruh baya yang tak lain adalah Uminya.

“Umi masuk ya?”

“Iya Umi, masuk aja,” jawab Sarah sembari mengganti posisi menjadi duduk. Rambut lurus sepunggungnya tergerai dengan indah. Tidak ada yang pernah melihat mahkota milik Sarah selain keluarganya sendiri.

“Sudah shalat dhuhur?” tanya Umi lembut keibuan.

“Sudah tadi, habis makan langsung shalat,” Sarah menjawab.

Ia kembali termenung ketika mengingat kejadian di meja makan. Perasaan tak mengenakkan masih terdampar di hatinya. Sarah sudah melaksanakan shalat tapi belum plong. Mungkin juga karena tidak khusyuk beribadah akibat terus kepikiran dengan perkataan Abinya.

“Kamu marah sama Abi nggak?”

Pertanyaan Umi membuat Sarah menoleh sepenuhnya. Kemudian menggeleng dengan kuat karena ia tidak merasa marah dengan Abi nya.

“Cuman masih bingung aja,” kata Sarah setelahnya. Ia jujur pada Umi, berkeluh kesah tentang perasaannya kini. Mencurahkan semua keunek-unekannya yang mengganjal. Seperti belum siap menjadi istri, belum siap menikah dan kekhawatiran mengenai calon yang disiapkan Abi. Ia bahkan jujur bahwa belum bisa berserah dan ikhlas, Sarah masih berpegangan dengan prinsip harus mengenal sikap dan sifat sosok yang akan menjadi suaminya. Tidak bisa tiba-tiba dan mendadak. Apalagi dengan orang yang sebelumnya sama sekali tidak ia kenal.

“Umi gimana? Aku takut gak bisa cocok dengan calon yang disiapkan Abi, kalau karakternya bertentangan sama aku gimana?”

Umi mengusap kepala anaknya dengan lembut. Ia tersenyum menenangkan ikut merasakan kekhawatiran anak bungsunya. Tiga puluh tahun yang lalu ia pun merasakan hal yang sama seperti anaknya.

“Bismillah ya, Umi selalu berdoa yang terbaik buat anak-anak Umi, kamu percaya Abi kan? Nggak mungkin Abi menyerahkan anaknya ke seseorang yang nggak bertanggung jawab, percaya deh sama Umi, calon kamu sopan dan bertanggung jawab.”

Perkataan Umi menenangkan, namun belum bisa menghilangkan perasaan cemas Sarah. Malah ia merasa semakin cemas, semakin ragu dan semakin bingung.

Ia pun menjatuhkan tubuhnya kebelakang dan menutup wajahnya merasa frustasi. Inikah yang dirasakan Kak Hanum sampai-sampai nekat kabur dari rumah? Jika iya, memang pantas sekali.

Lalu Sarah pun berteriak seperti orang menangis dengan tetap menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Ia benar-benar frustasi hingga mengumpati tradisi perjodohan keluarganya di dalam hati.

“Sudah sudah, tenangkan diri kamu dulu Sarah.”

“Mi, aku nggak bisa tenang, aku belum mau menikah Mi, aku belum mau jadi istri,” seru Sarah semakin histeris. Ia bahkan berteriak semakin kencang membuat Umi hanya menggelengkan kepalanya.

Ia mengerti akan sikap anak bungsunya itu. Sarah hanya shock karena tiba-tiba disuruh menikah. Setelah tenang nanti, pasti anak bungsunya itu bisa berpikir dengan jernih. Karena sebetulnya Sarah tetap memiliki dua pilihan yaitu menolak atau menerima.

“Sudah, daripada berteriak-teriak seperti itu kamu nggak mau lihat calon yang disiapkan Abi apa? Ini Umi bawa foto-fotonya.” Umi mencoba menenangkan anaknya dengan memperlihatkan apa yang ia bawa.

Seketika Sarah diam memperhatikan apa yang digenggam Uminya. Kemudian langsung bangun bersila dan memperhatikan dengan seksama foto-foto yang menampilkan seorang pria berjas rapih berpose dengan gaya cool. Gadis itu memperhatikan dengan teliti dan mendengarkan informasi tentang laki-laki tersebut dari Uminya.

“Namanya Rafi Anggara Jaya, berusia dua puluh tujuh tahun anaknya sahabat Abi, Om Jaya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status