Sarah Diba Alaesya merupakan anak bungsu Kyai H. Zaelani dan Hj. Aisyah. Seorang gadis yang dikenal polos, pendiam dan alim karena pakaian kebesaran yang ia kenakan.
Namun bagi Sarah sendiri ia bukan orang yang seperti orang lain gambarkan. Ia belum alim seperti dugaan orang lain hanya karena pakaian kebesaran dan reputasi keluarga yang religius.
Ia hanyalah gadis biasa seperti teman-temannya tidak terlalu polos dan juga tidak terlalu pendiam. Bahkan menurut Sarah sendiri, ia termasuk pembangkang dibanding kakak dan abangnya. Ia merupakan anak bungsu yang berkemauan keras, egois dan keras kepala. Tidak segan-segan membantah jika ada keputusan yang kurang pas menurutnya.
Seperti sekarang, suasana menyenangkan yang tadi melingkupi ruang makan kini menjadi tidak mengenakkan. Bukan menegangkan tetapi tidak mengenakan bagi Sarah. Hasrat makannya pun telah pudar beberapa menit yang lalu, ia menatap pada semangkok sayur asam tidak lagi berminat seperti sebelumnya.
“Tapi Sarah belum mau menikah Bi,” ucap gadis bersurai panjang itu pelan tidak berani menatap mata Abinya yang tetap memancarkan ketenangan tanpa terganggu dengan kalimat bantahan anak bungsunya. Abi sudah paham betul dengan watak keras anak bungsunya.
“Umur kamu berapa?” tanya Abi tetap tenang.
“Dua puluh empat tahun,” jawab Sarah mulai tidak suka dengan pembicaraan yang akan menyudutkannya.
“Kalau tidak salah, Sarah pernah bilang sama Abi, bilangnya mau menikah di umur 24 tahun, betul kan?”
Sarah terdiam menunduk. Ia jelas ingat perkataan yang pernah ia lontarkan kepada Abinya bahwa ingin menikah di usia 24 tahun. Pada saat itu Sarah berusia 17 tahun, tidak tau menahu jika Abi menyimpan pernyataannya dan akan mengabulkannya saat usianya 24 tahun sesuai keinginan Sarah sendiri.
Ia kini sangat menyesali perkataan tersebut. Tradisi perjodohan keluarganya nyatanya akan berimbas padanya juga. Namun karakteristik sikap Sarah yang memang dasarnya keras dan pembangkang tetap ingin menolak dan membantah ucapan-ucapan Abinya.
“Iya Sarah pernah bilang begitu tapi itu sudah dulu Bi, hanya imajinasi dan angan-angan Sarah di masa remaja saja, tapi sekarang Sarah belum mau menikah Bi,” ucap Sarah diakhiri dengan permohonan yang amat sangat.
Ia ingin bekerja, ingin mendapat banyak pengalaman, masih ingin ke Jakarta dan ke tempat-tempat yang ia impikan untuk didatangi. Dan pada intinya Sarah masih ingin bebas belum mau terikat dengan pernikahan. Ia menatap Uminya yang sedari tadi hanya diam, meminta pertolongan lewat pandangan mata yang memohon. Namun Umi mengalihkan pandangan seolah-olah memang tidak bisa berbuat apa-apa. Sarah tau bahwa kuasa di rumah ini memang berada di tangan Abinya.
“Abi tau, tapi coba kamu pikirkan kembali, berdoa pada Tuhan, Shalat untuk meminta petunjuk,” ucap Abi lembut dengan tenang.
Pria paruh baya dengan segala kewibawaan dan ketenangannya itu pun berdiri dari duduknya. Mencondongkan tubuh khas bapak-bapak sedikit kedepan dan mengulurkan tangan kanannya untuk mengusap atas kepala anak bungsunya yang keras kepala.
“Pikirkan dengan tenang, minta petunjuk Tuhan,” ucapnya dan setelah itu pergi dari ruang makan.
Sarah masih menunduk, bingung, bimbang, kaget, ingin melawan semua menjadi satu. Namun semua itu tertahan akibat ketakutan pada Abinya.
Sebenarnya Abi bukanlah seorang ayah yang marah jika keputusan bulatnya harus dibantah ataupun di tolak. Bahkan Sarah belum pernah melihat Abinya marah. Namun karena itulah Sarah takut. Ia ingat betul jika kakak pertamanya Hanum yang sok-sok an mau kabur dari rumah karena tidak mau dijodohkan tapi mengalami kecelakaan tersrempet motor. Tidak sampai parah dan dibawa ke rumah sakit. Namun rasa sakit akibat terkilir mampu menyadarkan Hanum akan dosanya yang telah melawan orang tua.
Sarah pun takut. Ia takut akan akibatnya melawan orang tua.
***
Tok... tok... tok...
Ketukan pintu terdengar dan mengagetkan Sarah yang sedang melamun menatap langit-langit kamar sambil rebahan di kasurnya. Ia menoleh saat pintu kamar terbuka dan menampilkan wanita paruh baya yang tak lain adalah Uminya.
“Umi masuk ya?”
“Iya Umi, masuk aja,” jawab Sarah sembari mengganti posisi menjadi duduk. Rambut lurus sepunggungnya tergerai dengan indah. Tidak ada yang pernah melihat mahkota milik Sarah selain keluarganya sendiri.
“Sudah shalat dhuhur?” tanya Umi lembut keibuan.
“Sudah tadi, habis makan langsung shalat,” Sarah menjawab.
Ia kembali termenung ketika mengingat kejadian di meja makan. Perasaan tak mengenakkan masih terdampar di hatinya. Sarah sudah melaksanakan shalat tapi belum plong. Mungkin juga karena tidak khusyuk beribadah akibat terus kepikiran dengan perkataan Abinya.
“Kamu marah sama Abi nggak?”
Pertanyaan Umi membuat Sarah menoleh sepenuhnya. Kemudian menggeleng dengan kuat karena ia tidak merasa marah dengan Abi nya.
“Cuman masih bingung aja,” kata Sarah setelahnya. Ia jujur pada Umi, berkeluh kesah tentang perasaannya kini. Mencurahkan semua keunek-unekannya yang mengganjal. Seperti belum siap menjadi istri, belum siap menikah dan kekhawatiran mengenai calon yang disiapkan Abi. Ia bahkan jujur bahwa belum bisa berserah dan ikhlas, Sarah masih berpegangan dengan prinsip harus mengenal sikap dan sifat sosok yang akan menjadi suaminya. Tidak bisa tiba-tiba dan mendadak. Apalagi dengan orang yang sebelumnya sama sekali tidak ia kenal.
“Umi gimana? Aku takut gak bisa cocok dengan calon yang disiapkan Abi, kalau karakternya bertentangan sama aku gimana?”
Umi mengusap kepala anaknya dengan lembut. Ia tersenyum menenangkan ikut merasakan kekhawatiran anak bungsunya. Tiga puluh tahun yang lalu ia pun merasakan hal yang sama seperti anaknya.
“Bismillah ya, Umi selalu berdoa yang terbaik buat anak-anak Umi, kamu percaya Abi kan? Nggak mungkin Abi menyerahkan anaknya ke seseorang yang nggak bertanggung jawab, percaya deh sama Umi, calon kamu sopan dan bertanggung jawab.”
Perkataan Umi menenangkan, namun belum bisa menghilangkan perasaan cemas Sarah. Malah ia merasa semakin cemas, semakin ragu dan semakin bingung.
Ia pun menjatuhkan tubuhnya kebelakang dan menutup wajahnya merasa frustasi. Inikah yang dirasakan Kak Hanum sampai-sampai nekat kabur dari rumah? Jika iya, memang pantas sekali.
Lalu Sarah pun berteriak seperti orang menangis dengan tetap menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Ia benar-benar frustasi hingga mengumpati tradisi perjodohan keluarganya di dalam hati.
“Sudah sudah, tenangkan diri kamu dulu Sarah.”
“Mi, aku nggak bisa tenang, aku belum mau menikah Mi, aku belum mau jadi istri,” seru Sarah semakin histeris. Ia bahkan berteriak semakin kencang membuat Umi hanya menggelengkan kepalanya.
Ia mengerti akan sikap anak bungsunya itu. Sarah hanya shock karena tiba-tiba disuruh menikah. Setelah tenang nanti, pasti anak bungsunya itu bisa berpikir dengan jernih. Karena sebetulnya Sarah tetap memiliki dua pilihan yaitu menolak atau menerima.
“Sudah, daripada berteriak-teriak seperti itu kamu nggak mau lihat calon yang disiapkan Abi apa? Ini Umi bawa foto-fotonya.” Umi mencoba menenangkan anaknya dengan memperlihatkan apa yang ia bawa.
Seketika Sarah diam memperhatikan apa yang digenggam Uminya. Kemudian langsung bangun bersila dan memperhatikan dengan seksama foto-foto yang menampilkan seorang pria berjas rapih berpose dengan gaya cool. Gadis itu memperhatikan dengan teliti dan mendengarkan informasi tentang laki-laki tersebut dari Uminya.
“Namanya Rafi Anggara Jaya, berusia dua puluh tujuh tahun anaknya sahabat Abi, Om Jaya.”
Menikah adalah impian semua orang termasuk juga Sarah. Namun jika ditanya perihal bagaimana penikahan yang ia impikan. Sarah pasti akan menjawab dengan tegas, pernikahan yang sederhana, saling mencintai satu sama lain, saling menerima dan sama-sama mengharai.Sarah walaupun dari keluarga religius, ia tidak memiliki tipe pria spesifik seperti kakaknya Hanum. Dulu Hanum memiliki tipe pria yang sholeh, rajin beribadah, perangai yang baik, bertanggung jawab dan ditambah memiliki wajah yang tampan supaya paket komplit katanya. Tapi bagi Sarah itu terlalu berlebihan.Ia menyederhanakan tipe pria nya sendiri yaitu bertanggung jawab, berpikiran terbuka dan bisa menghargai orang lain.Bertanggung jawab tandanya mampu mempertanggung jawabkan komitmen-komitmen hidup berumah tangga. Berpikir terbuka artinya mau sama-sama belajar dan beradaptasi. Sedangkan menghargai orang lain supaya bisa menghargai keberadaan satu sama lainnya.Namun itu semua bisa dilihat dengan ca
“Loh kok sudah pulang Sar?” Pertanyaan Umi menyambut Sarah yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ia kemudian menyalimi tangan Uminya yang sedang duduk membaca buku di sofa ruang tamu. “Sudah Mi, izin sama Pak Harun soalnya mendadak pusing,” jawab Sarah dengan apa adanya. Ia tidak bohong saat mengatakan pusing. Umi pun meneliti raut wajah anak bungsunya yang sedikit pucat dan lesu. Padahal saat berangkat Sarah tampak segar dan baik-baik saja. “Kamu sakit?” “Nggak tau Mi cuma sedikit pusing aja, Sarah pamit istirahat dulu ya Mi?” Umi mengangguk. “Yasudah, kalau belum baikan makan dan langsung minum obat.” Sarah hanya mengangguk. Ia kemudian berjalan lesu menuju kamarnya. Rasanya ia benar-benar ingin istirahat. Lelah sekali, padahal Sarah tidak banyak tugas hari ini. Ia hanya mendengarkan cerita Bu Yanti saja. Sesampainya di kamar, Sarah langsung menutup pintu kamarnya, kemudian meletakkan tas selempang ke sembarang tempat
“Oh iya halo,” suara lembut seorang wanita menyapa ramah gendang telinganya. Laki-laki itu pun berdiri meninggalkan kursi kebesarannya untuk menuju sofa di ruang kerjanya. Tubuhnya tinggi, tegap, berbalut jas formal yang pas di badan sehingga menambah kesan karismatik sesuai dengan tampangnya yang bersih dan enak dipandang. Di satu-satunya meja kerja terdapat name tag stand yang menampilkan namanya beserta jabatan yang disandang. Yaitu Rafi Anggara Jaya dengan jabatan marketing manager. “Maaf Sarah, apa saya ganggu? Kamu lagi sibuk?” pertanyaan itu terlontar akibat tidak ada respon setelah beberapa kali ia menghubungi wanita itu. “Nggak terlalu sibuk, ini baru pulang kerja, maaf Mas tadi belum sempat respon chatnya.” Mas? Entah bagaimana panggilan umum itu membuat Rafi berdebar sejenak. Ia selalu dipanggil Mas di rumah karena memiliki adik, namun saat Sarah yang faktanya merupakan wanita yang akan dijodohkan dengannya
“Itu kue nya sudah matang belum, coba kamu liatin dulu.” Sarah pun hanya mengangguk. Gadis itu meletakkan pisau ke wastafel kemudian mencuci tangannya dan beralih ke pemanggangan untuk melihat kue brownis terakhir yang di oven. “Sudah matang Mi, tapi kayaknya agak gosong.” Sarah mengeluarkan loyang yang ada di urutan tiga paling bawah, kemudian ia juga mengeluarkan kedua loyang dari urutan satu dan dua bergantian. “Gosong sampai item?” “Nggak sampai item, cuman coklat kaya gini.” Gadis itu menunjukkan sisi bawah kue brownis yang tampak kecoklatan kearah Uminya yang sedang mengulek bumbu dengan cobek. “Nggak papa, yang agak gosong-gosong itu buat makan kita saja, nggak disuguhkan ke tamu,” kata Umi yang kemudian diangguki Sarah. Beberapa jam sudah berlalu, Sarah dan Umi sudah sibuk di dapur sejak jam di dinding menunjuk pukul lima dini hari. Dan sekarang baru pukul tujuh sedangkan Sarah sudah berkeringat seperti b
"Disini saja, silahkan duduk Mas." Sarah buru-buru beralih ketika pandangan mata mereka bertemu. Senyum simpul terbit di bibir laki-laki tampan itu ketika melihat calon istrinya yang masih malu-malu karena belum kenal.Sejujurnya Rafi juga merasa gugup. Ia sudah terbiasa berdiskusi dengan klien yang tidak ia kenali sebelumnya, dari yang penting hingga biasa saja, tapi dengan Sarah tetap saja gugup apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka.“Kamu juga duduk, masa berdiri.”“Oh iya!” seru Sarah tiba-tiba kaget sendiri. Ia sontak duduk di satu kursi kosong sebelah Rafi namun dibatasi dengan meja bundar kecil di sisinya.Laki-laki itu pun tidak bisa menahan senyum gelinya atas tingkah Sarah. Ia berdehem agar mengurangi kecanggungan yang ada.Suasana di teras rumah tampak segar dengan angin sepoi. Apalagi rumah Sarah banyak tertanam bunga dan pohon yang terawat. Walaupun sederhana, Rafi terkesan dengan rumah yang baru ia datang
Karakteristik kampung yang mana gosip akan cepat menyebar luas memang benar adanya. Satu orang berbicara dengan satu orang lainnya. Kemudian satu orang lainnya kembali berbicara dengan geng ibu-ibu gosip dan kemudian menyebar luas lagi hingga seluruh kampung tau. Sehingga yang sedang dibicarakan itu menjadi hot news dan viral.Dan Sarah seminggu yang lalu dari acara pertunangan hingga sekarang acara pernikahan akan digelar menjadi headline mulut ke mulut orang-orang di kampungnya.“Anak bungsunya Pak Zaelani dijodohkan lagi, apa nggak memaksa kehendak anak kalau begitu?”“Eh Bu Tiya nggak tau aja sih, calon lakinya itu kaya loh, kayak Hanum waktu dulu, suaminya kan kaya raya, sekarang pasti hidupnya tentram dan betah-betah aja, nggak kayak awal sampai menghebohkan kampung nolak perjodohan.”“Maksudnya kok dijodoh-jodohkan segala, kalo memang berjodoh kan ketemu juga.”“Duh Bu,
[Keesokan hari setelah acara pernikahan berlangsung] “Abi, Umi, izin untuk bawa Sarah ke Jakarta, tinggal bersama saya. Saya akan perlakukan dengan baik anak bungsu Umi dan Abi.” Perkataan Rafi mengundang perhatian Sarah yang tadi hanya menunduk. Ia sendiri duduk berdampingan dengan Rafi di ruang tamu. Di hadapan mereka Umi dan Abi juga duduk bersebelahan. Sedangkan di sudut lainnya Bang Rizam bersama istrinya Mbak Anya, serta Kak Hanum dengan suaminya Kak Fajar. Keponakan-keponakan Sarah yaitu Attamimi, Bilqis dan Deva sedang bermain di teras. Rafi berkata tegas dan bersungguh-sunggu dengan ucapannya. Bang Rizam selaku Abang yang sangat menyayangi adik bungsunya itu merasa bersyukur dan semakin rela melepaskan sang adik. Sebab ia walaupun terlihat tidak begitu ikut campur dengan perjodohan Sarah, namun nyatanya sebelum acara pertunangan sang adik, Rizam lebih dulu menghubungi Rafi, berbincang-bincang untuk menilai calon dari adiknya itu. “Meman
Pagi sudah menjelang, tidak ada suara ayam yang berkokok, namun sempat ada suara deru mobil di luar. Sarah yang baru saja menyelesaikan ibadah subuh pun segera melipat sajadah dan mukenanya. Lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari geser menempel dinding. Awalnya Sarah tertegun dengan kamar tidur yang akan ia tempati. Saat pertama kali Rafi membuka pintu kamarnya dengan lebar-lebar, wanita itu hanya bisa terpesona. “Sebenarnya ini kamar cadangan, kalau ada tamu bisa tidur di kamar ini, tapi sekarang sudah jadi kamar kamu, sudah saya rapihkan sedikit juga, tapi maaf kalau nggak sesuai sama kamu.”