Share

03. Soal pernikahan

Menikah adalah impian semua orang termasuk juga Sarah. Namun jika ditanya perihal bagaimana penikahan yang ia impikan. Sarah pasti akan menjawab dengan tegas, pernikahan yang sederhana, saling mencintai satu sama lain, saling menerima dan sama-sama mengharai.

Sarah walaupun dari keluarga religius, ia tidak memiliki tipe pria spesifik seperti kakaknya Hanum. Dulu Hanum memiliki tipe pria yang sholeh, rajin beribadah, perangai yang baik, bertanggung jawab dan ditambah memiliki wajah yang tampan supaya paket komplit katanya. Tapi bagi Sarah itu terlalu berlebihan.

Ia menyederhanakan tipe pria nya sendiri yaitu bertanggung jawab, berpikiran terbuka dan bisa menghargai orang lain.

Bertanggung jawab tandanya mampu mempertanggung jawabkan komitmen-komitmen hidup berumah tangga. Berpikir terbuka artinya mau sama-sama belajar dan beradaptasi. Sedangkan menghargai orang lain supaya bisa menghargai keberadaan satu sama lainnya.

Namun itu semua bisa dilihat dengan cara saling mengenal lebih dulu, tidak bisa mendadak. Ya walaupun Abangnya Rizam pernah menasehati, bahwa pria dan wanita yang saling mengenal lama belum tentu bisa mempertahankan kehidupan rumah tangga. Tetapi tetap saja, Sarah akan menyolot bahwa saling mengenal itu penting sebelum menjalani hidup berumah tangga. Karena ya pada dasarnya Sarah termasuk tim dekat kemudian menikah bukan menikah baru dekat. Sehingga ia kurang setuju untuk dijodohkan dengan sosok pria yang bernama Rafi Anggara Jaya.

Mengingat sosok pria asing yang hanya Sarah lihat di foto menjadikan ia kembali lesu dan frustasi. Dari foto, pria itu memang tampan tapi tetap saja Sarah tidak mengenalinya.

“Haduh haduh... diliat-liat dari tadi lesu sangat mbaknya,” ucap wanita berusia empat puluh limaan tahun yang baru saja memberesi buku-buku di rak.

Sarah memang sedang berada di perpustakaan, tempat dimana ia bisa berdiam dan menenangkan pikiran yang sedang berkecamuk dan kusut. Berhubung tidak ada siswa-siswi yang berkunjung maka stiker didekat pintu masuk yang bertuliskan harap diam ini perpustakaan tidak lagi berlaku.

“Pusing aku Bu,” jawab Sarah jujur.

Ia menyenderkan punggungnya ke kursi kayu. Kekacauan di pikirannya membuat semua menjadi berantakan, apapun yang Sarah lakukan pada akhirnya ia selalu kepikiran dengan perkataan Abinya kemarin.

“Pusing masalah hutang atau pusing masalah uang sekolah anak?”

Mendengar pertanyaan yang terlontar dari petugas perpustakaan yang bernama Bu Yanti itu membuat Sarah semakin lesu. Apa hanya orang-orang yang sudah berumah tangga saja yang merasakan pusing, sedangkan orang seperti Sarah tidak bisa pusing.

“Ya bukan masalah itu Bu,” keluh Sarah. Ia menghela nafas dan tidak lagi berminat untuk berbicara.

Namun mengingat banyak pengalaman Bu Yanti dalam biduk berumah tangga membuat Sarah kembali menegakkan duduknya sedikit lebih bersemangat. Ia mungkin bisa mendapatkan solusi atau bisa menyerap soal pernikahan dari sudut pandang seorang wanita yang sudah pernah menikah dua kali.

“Bu Yanti, menikah itu bagaimana?” pertanyaan Sarah terlontar dengan pelan. Namun langsung mendapatkan penuh perhatian oleh sosok wanita usia empat puluh lima tahun yang duduk di bangku sebrang.

“Eh kamu mau nikah apa Sar? Kok mencurigakan, tiba-tiba tanya begitu? Jangan-jangan gara-gara Nela jadi pingin menikah juga ya?”

Tuduhan dari Bu Yanti membuat Sarah meringis. Sebegitu mencurigakannya kah jika bertanya soal pernikahan itu tandanya mau menikah? Tetapi ya Sarah akui, ia bertanya demikian karena memang sedang dipusingkan soal penikahan.

“Bukan begitu Bu, cuma ingin tau aja,” jawab Sarah sekenanya. Ia tidak mengiyakan atau mentidakkan pertanyaan Bu Yanti karena takut nanti ada kesalahan.

“Kaya ada tanda-tanda menikah kamu Sar,” balas Bu Yanti belum merasa puas dengan jawaban Sarah.

“Aku ingin tau tentang pernikahan karena bagaimana pun aku akan menikah juga Bu, entah kapan, tapi setidaknya dari sekarang tau ilmu-ilmu berumah tangga dari orang-orang yang sudah berpengalaman, maka dari itu aku tanya soal pernikahan sama Ibu.”

Walaupun masih menyipit curiga, Bu Yanti pun berkata. “Yakin, mau tanya-tanya kehidupan berumah tangga?”

Sarah mengangguk. Sudah kepalang bertanya maka harus mendapatkan jawaban, pikir Sarah.

Bu Yanti menghela nafas, ia kemudian menyenderkan punggungnya dan mulai membayangkan masa lalu yang menyakitkan.

“Kamu tau Sar, menikah itu harus didasari dengan saling cinta dan sayang satu sama lain. Dulu saya mengenal mantan suami cukup singkat, tiga bulan. Dan selama tiga bulan itu saya pikir sudah mengenali watak mantan suami. Tapi setelah menikah malah banyak sekali sikap dan sifatnya yang belum pernah saya pahami. Alhasil karena waktu itu masih sama-sama muda punya ego tinggi, kita sering bertengkar dan pada akhirnya berujung perceraian.”

“Dari situ saya sadar, terlalu terburu untuk menikah apalagi dengan orang yang belum saya kenal lama. Bayangkan Sarah, tiga bulan terlalu singkat untuk mengenal seseorang dimana orang tersebut akan hidup dengan kita.”

“Tapi tiga tahun  setelah perceraian, saya kenal dengan suami yang sekarang. Malah cukup singkat juga kita saling kenal. Hanya empat bulan dan kemudian melangsungkan pernikahan.”

Bu Yanti terdiam sejenak untuk mengambil nafas, kemudian kembali melanjutkan cerita. “Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya kenapa nggak trauma dengan pernikahan sebelumnya yang memang mirip, cukup singkat untuk berkenalan. Tapi dulu saya memang trauma, hanya saja suami meyakinkan saya, keyakinan itulah yang saya nilai tulus dan alhamdulillah saya nggak salah menilai.”

Bu Yanti menoleh pada Sarah yang hanya diam menyimak. Gadis polos itu terlihat mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

“Dan soal kehidupan pernikahan itu sebenarnya cukup rumit. Dua kepala harus jadi satu untuk menemukan solusi dan keputusan yang pas. Kamu bayangkan sendiri Sar ketika dua orang sama-sama mau menang, alhasil ya jadi bertengkar dan nggak menemukan solusi.”

“Jadi, setelah menikah bukan hanya cinta dan sayang saja, tapi harus sama-sama mau belajar, sama-sama menghargai dan menghormati, jangan maunya menang sendiri yang berarti harus belajar mengenyampingkan ego. Dan yang nggak kalah penting pastinya harus terbiasa dengan sikap dan sifat pasangan. Kalau kita belum terbiasa ya harus belajar membiasakan diri. Tapi bukan berarti kita menerima saja keburukan pasangan, ya sepinter-pinternya kita jika itu buruk ya diomongkan dengan baik-baik supaya bisa intropeksi diri.”

Sarah mengangguk-anggukkan kepala paham. Ia bisa membayangkan sendiri bagaimana dua orang yang bebeda pemikiran harus menyatukan banyak hal demi kebaikan bersama. Pasti sangat sulit.

“Dalam kehidupan pernikahan juga kita harus dituntut untuk dewasa. Bohong kalau kehidupan rumah tangga seseorang yang dianggap baik itu nggak pernah bertengkar, pasti ada saja selisih paham. Karena itulah gunanya kedewasaan, apalagi rumah tangga itu banyak yang bisa didebatkan, terutama masalah keuangan, ya kebutuhan sehari-hari. Kalau kita nggak bisa menyikapinya dengan kedewaasaan ya jadi bertengkar terus ujung-ujungnya.”

“Intinya begitulah gambaran kehidupan berumah tangga yang saya alami. Masalah terlalu cepat menikah hanya kenal hitungan bulan menurut saya nggak terlalu berpengaruh kalau kita bisa menilai dengan baik. Tapi yang pasti karena kuasa Tuhan, buktinya saya menikah pertama dengan waktu yang cepat, tapi bercerai dan yang kedua dengan waktu yang singkat juga beda satu bulan bertahan sampai sekarang. Kuasa Tuhan dan kalau orang Jawa bilang mergo Gusti Allah, jodoh ada ditangan Tuhan, banyak-banyak berdo’a saja.”

Melihat perempuan di sebarangnya yang hanya diam membuat Bu Yanti tersenyum. Entah apa maksud Sarah menanyakan perihal penikahan, yang pasti Bu Yanti merasakan kebingungan dalam diri Sarah.

“Mbaknya kok jadi kayak ketakutan buat menikah,” ucap Bu Yanti dengan bercanda. “Nanti kalau kamu sudah menikah pasti tau sendiri Sar, pokoknya pondasinya itu ada pada diri kita sendiri, ya yang mau belajar, jangan maunya menang sendiri, belajar menyikapi masalah dengan baik. Dan soal masalah dalam rumah tangga itu pasti ada saja, tapi kalau kamunya sudah punya pondasi yang tadi, pasti bisa meminimalisir permasalahan biar nggak melebar. Sudahlah, nanti juga kamu tau dan mengalaminya sendiri,” kata Bu Yanti mengakhiri sesi sharing mengenai dunia berumah tangga.

Sarah pun memejamkan matanya sejenak. Entah kenapa setelah mendengar cerita dan nasihat dari Bu Yanti, ia semakin bingung dan malah membayangkan ia bersama pria tidak dikenal yang bernama Rafi Anggara Jaya saling bertengkar dan beradu mulut.

Sebab mereka belum saling mengenal dan tentunya Sarah paham dengan dirinya yang masih ber ego tinggi dan maunya menang sendiri. Jika Rafi sosok yang sama dengan dirinya, wassalam, kehidupan rumah tangga yang menyenangkan yang diimpi-impikan Sarah akan musnah saat itu juga.

Tapi ada yang salah, kenapa Sarah malah membayangkan hidup berumah tangga dengan Rafi?

Drtt... drtt... drtt..

Bunyi getar yang berasal dari notifikasi ponsel milik Sarah menyadarkan lamunan si pemiliknya. Ia pun melihat nomor baru muncul diatas layar yang menyala.

(+628584783xxxx) : Sarah Diba Alaesya?

Sarah kemudian langsung membalas chat dari nomor baru itu, takut penting.

(Sarah) : Iya, siapa?

(+628584783xxxx) : Saya Rafi. Rafi Anggara Jaya

Deg! Jemari Sarah seketika mati rasa dan degupan jantungnya mulai menggila. Ia tidak sadar dengan tatapan Bu Yanti yang makin mencurigainya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status