Menikah adalah impian semua orang termasuk juga Sarah. Namun jika ditanya perihal bagaimana penikahan yang ia impikan. Sarah pasti akan menjawab dengan tegas, pernikahan yang sederhana, saling mencintai satu sama lain, saling menerima dan sama-sama mengharai.
Sarah walaupun dari keluarga religius, ia tidak memiliki tipe pria spesifik seperti kakaknya Hanum. Dulu Hanum memiliki tipe pria yang sholeh, rajin beribadah, perangai yang baik, bertanggung jawab dan ditambah memiliki wajah yang tampan supaya paket komplit katanya. Tapi bagi Sarah itu terlalu berlebihan.
Ia menyederhanakan tipe pria nya sendiri yaitu bertanggung jawab, berpikiran terbuka dan bisa menghargai orang lain.
Bertanggung jawab tandanya mampu mempertanggung jawabkan komitmen-komitmen hidup berumah tangga. Berpikir terbuka artinya mau sama-sama belajar dan beradaptasi. Sedangkan menghargai orang lain supaya bisa menghargai keberadaan satu sama lainnya.
Namun itu semua bisa dilihat dengan cara saling mengenal lebih dulu, tidak bisa mendadak. Ya walaupun Abangnya Rizam pernah menasehati, bahwa pria dan wanita yang saling mengenal lama belum tentu bisa mempertahankan kehidupan rumah tangga. Tetapi tetap saja, Sarah akan menyolot bahwa saling mengenal itu penting sebelum menjalani hidup berumah tangga. Karena ya pada dasarnya Sarah termasuk tim dekat kemudian menikah bukan menikah baru dekat. Sehingga ia kurang setuju untuk dijodohkan dengan sosok pria yang bernama Rafi Anggara Jaya.
Mengingat sosok pria asing yang hanya Sarah lihat di foto menjadikan ia kembali lesu dan frustasi. Dari foto, pria itu memang tampan tapi tetap saja Sarah tidak mengenalinya.
“Haduh haduh... diliat-liat dari tadi lesu sangat mbaknya,” ucap wanita berusia empat puluh limaan tahun yang baru saja memberesi buku-buku di rak.
Sarah memang sedang berada di perpustakaan, tempat dimana ia bisa berdiam dan menenangkan pikiran yang sedang berkecamuk dan kusut. Berhubung tidak ada siswa-siswi yang berkunjung maka stiker didekat pintu masuk yang bertuliskan harap diam ini perpustakaan tidak lagi berlaku.
“Pusing aku Bu,” jawab Sarah jujur.
Ia menyenderkan punggungnya ke kursi kayu. Kekacauan di pikirannya membuat semua menjadi berantakan, apapun yang Sarah lakukan pada akhirnya ia selalu kepikiran dengan perkataan Abinya kemarin.
“Pusing masalah hutang atau pusing masalah uang sekolah anak?”
Mendengar pertanyaan yang terlontar dari petugas perpustakaan yang bernama Bu Yanti itu membuat Sarah semakin lesu. Apa hanya orang-orang yang sudah berumah tangga saja yang merasakan pusing, sedangkan orang seperti Sarah tidak bisa pusing.
“Ya bukan masalah itu Bu,” keluh Sarah. Ia menghela nafas dan tidak lagi berminat untuk berbicara.
Namun mengingat banyak pengalaman Bu Yanti dalam biduk berumah tangga membuat Sarah kembali menegakkan duduknya sedikit lebih bersemangat. Ia mungkin bisa mendapatkan solusi atau bisa menyerap soal pernikahan dari sudut pandang seorang wanita yang sudah pernah menikah dua kali.
“Bu Yanti, menikah itu bagaimana?” pertanyaan Sarah terlontar dengan pelan. Namun langsung mendapatkan penuh perhatian oleh sosok wanita usia empat puluh lima tahun yang duduk di bangku sebrang.
“Eh kamu mau nikah apa Sar? Kok mencurigakan, tiba-tiba tanya begitu? Jangan-jangan gara-gara Nela jadi pingin menikah juga ya?”
Tuduhan dari Bu Yanti membuat Sarah meringis. Sebegitu mencurigakannya kah jika bertanya soal pernikahan itu tandanya mau menikah? Tetapi ya Sarah akui, ia bertanya demikian karena memang sedang dipusingkan soal penikahan.
“Bukan begitu Bu, cuma ingin tau aja,” jawab Sarah sekenanya. Ia tidak mengiyakan atau mentidakkan pertanyaan Bu Yanti karena takut nanti ada kesalahan.
“Kaya ada tanda-tanda menikah kamu Sar,” balas Bu Yanti belum merasa puas dengan jawaban Sarah.
“Aku ingin tau tentang pernikahan karena bagaimana pun aku akan menikah juga Bu, entah kapan, tapi setidaknya dari sekarang tau ilmu-ilmu berumah tangga dari orang-orang yang sudah berpengalaman, maka dari itu aku tanya soal pernikahan sama Ibu.”
Walaupun masih menyipit curiga, Bu Yanti pun berkata. “Yakin, mau tanya-tanya kehidupan berumah tangga?”
Sarah mengangguk. Sudah kepalang bertanya maka harus mendapatkan jawaban, pikir Sarah.
Bu Yanti menghela nafas, ia kemudian menyenderkan punggungnya dan mulai membayangkan masa lalu yang menyakitkan.
“Kamu tau Sar, menikah itu harus didasari dengan saling cinta dan sayang satu sama lain. Dulu saya mengenal mantan suami cukup singkat, tiga bulan. Dan selama tiga bulan itu saya pikir sudah mengenali watak mantan suami. Tapi setelah menikah malah banyak sekali sikap dan sifatnya yang belum pernah saya pahami. Alhasil karena waktu itu masih sama-sama muda punya ego tinggi, kita sering bertengkar dan pada akhirnya berujung perceraian.”
“Dari situ saya sadar, terlalu terburu untuk menikah apalagi dengan orang yang belum saya kenal lama. Bayangkan Sarah, tiga bulan terlalu singkat untuk mengenal seseorang dimana orang tersebut akan hidup dengan kita.”
“Tapi tiga tahun setelah perceraian, saya kenal dengan suami yang sekarang. Malah cukup singkat juga kita saling kenal. Hanya empat bulan dan kemudian melangsungkan pernikahan.”
Bu Yanti terdiam sejenak untuk mengambil nafas, kemudian kembali melanjutkan cerita. “Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya kenapa nggak trauma dengan pernikahan sebelumnya yang memang mirip, cukup singkat untuk berkenalan. Tapi dulu saya memang trauma, hanya saja suami meyakinkan saya, keyakinan itulah yang saya nilai tulus dan alhamdulillah saya nggak salah menilai.”
Bu Yanti menoleh pada Sarah yang hanya diam menyimak. Gadis polos itu terlihat mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
“Dan soal kehidupan pernikahan itu sebenarnya cukup rumit. Dua kepala harus jadi satu untuk menemukan solusi dan keputusan yang pas. Kamu bayangkan sendiri Sar ketika dua orang sama-sama mau menang, alhasil ya jadi bertengkar dan nggak menemukan solusi.”
“Jadi, setelah menikah bukan hanya cinta dan sayang saja, tapi harus sama-sama mau belajar, sama-sama menghargai dan menghormati, jangan maunya menang sendiri yang berarti harus belajar mengenyampingkan ego. Dan yang nggak kalah penting pastinya harus terbiasa dengan sikap dan sifat pasangan. Kalau kita belum terbiasa ya harus belajar membiasakan diri. Tapi bukan berarti kita menerima saja keburukan pasangan, ya sepinter-pinternya kita jika itu buruk ya diomongkan dengan baik-baik supaya bisa intropeksi diri.”
Sarah mengangguk-anggukkan kepala paham. Ia bisa membayangkan sendiri bagaimana dua orang yang bebeda pemikiran harus menyatukan banyak hal demi kebaikan bersama. Pasti sangat sulit.
“Dalam kehidupan pernikahan juga kita harus dituntut untuk dewasa. Bohong kalau kehidupan rumah tangga seseorang yang dianggap baik itu nggak pernah bertengkar, pasti ada saja selisih paham. Karena itulah gunanya kedewasaan, apalagi rumah tangga itu banyak yang bisa didebatkan, terutama masalah keuangan, ya kebutuhan sehari-hari. Kalau kita nggak bisa menyikapinya dengan kedewaasaan ya jadi bertengkar terus ujung-ujungnya.”
“Intinya begitulah gambaran kehidupan berumah tangga yang saya alami. Masalah terlalu cepat menikah hanya kenal hitungan bulan menurut saya nggak terlalu berpengaruh kalau kita bisa menilai dengan baik. Tapi yang pasti karena kuasa Tuhan, buktinya saya menikah pertama dengan waktu yang cepat, tapi bercerai dan yang kedua dengan waktu yang singkat juga beda satu bulan bertahan sampai sekarang. Kuasa Tuhan dan kalau orang Jawa bilang mergo Gusti Allah, jodoh ada ditangan Tuhan, banyak-banyak berdo’a saja.”
Melihat perempuan di sebarangnya yang hanya diam membuat Bu Yanti tersenyum. Entah apa maksud Sarah menanyakan perihal penikahan, yang pasti Bu Yanti merasakan kebingungan dalam diri Sarah.
“Mbaknya kok jadi kayak ketakutan buat menikah,” ucap Bu Yanti dengan bercanda. “Nanti kalau kamu sudah menikah pasti tau sendiri Sar, pokoknya pondasinya itu ada pada diri kita sendiri, ya yang mau belajar, jangan maunya menang sendiri, belajar menyikapi masalah dengan baik. Dan soal masalah dalam rumah tangga itu pasti ada saja, tapi kalau kamunya sudah punya pondasi yang tadi, pasti bisa meminimalisir permasalahan biar nggak melebar. Sudahlah, nanti juga kamu tau dan mengalaminya sendiri,” kata Bu Yanti mengakhiri sesi sharing mengenai dunia berumah tangga.
Sarah pun memejamkan matanya sejenak. Entah kenapa setelah mendengar cerita dan nasihat dari Bu Yanti, ia semakin bingung dan malah membayangkan ia bersama pria tidak dikenal yang bernama Rafi Anggara Jaya saling bertengkar dan beradu mulut.
Sebab mereka belum saling mengenal dan tentunya Sarah paham dengan dirinya yang masih ber ego tinggi dan maunya menang sendiri. Jika Rafi sosok yang sama dengan dirinya, wassalam, kehidupan rumah tangga yang menyenangkan yang diimpi-impikan Sarah akan musnah saat itu juga.
Tapi ada yang salah, kenapa Sarah malah membayangkan hidup berumah tangga dengan Rafi?
Drtt... drtt... drtt..
Bunyi getar yang berasal dari notifikasi ponsel milik Sarah menyadarkan lamunan si pemiliknya. Ia pun melihat nomor baru muncul diatas layar yang menyala.
(+628584783xxxx) : Sarah Diba Alaesya?
Sarah kemudian langsung membalas chat dari nomor baru itu, takut penting.
(Sarah) : Iya, siapa?
(+628584783xxxx) : Saya Rafi. Rafi Anggara Jaya
Deg! Jemari Sarah seketika mati rasa dan degupan jantungnya mulai menggila. Ia tidak sadar dengan tatapan Bu Yanti yang makin mencurigainya.
“Loh kok sudah pulang Sar?” Pertanyaan Umi menyambut Sarah yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ia kemudian menyalimi tangan Uminya yang sedang duduk membaca buku di sofa ruang tamu. “Sudah Mi, izin sama Pak Harun soalnya mendadak pusing,” jawab Sarah dengan apa adanya. Ia tidak bohong saat mengatakan pusing. Umi pun meneliti raut wajah anak bungsunya yang sedikit pucat dan lesu. Padahal saat berangkat Sarah tampak segar dan baik-baik saja. “Kamu sakit?” “Nggak tau Mi cuma sedikit pusing aja, Sarah pamit istirahat dulu ya Mi?” Umi mengangguk. “Yasudah, kalau belum baikan makan dan langsung minum obat.” Sarah hanya mengangguk. Ia kemudian berjalan lesu menuju kamarnya. Rasanya ia benar-benar ingin istirahat. Lelah sekali, padahal Sarah tidak banyak tugas hari ini. Ia hanya mendengarkan cerita Bu Yanti saja. Sesampainya di kamar, Sarah langsung menutup pintu kamarnya, kemudian meletakkan tas selempang ke sembarang tempat
“Oh iya halo,” suara lembut seorang wanita menyapa ramah gendang telinganya. Laki-laki itu pun berdiri meninggalkan kursi kebesarannya untuk menuju sofa di ruang kerjanya. Tubuhnya tinggi, tegap, berbalut jas formal yang pas di badan sehingga menambah kesan karismatik sesuai dengan tampangnya yang bersih dan enak dipandang. Di satu-satunya meja kerja terdapat name tag stand yang menampilkan namanya beserta jabatan yang disandang. Yaitu Rafi Anggara Jaya dengan jabatan marketing manager. “Maaf Sarah, apa saya ganggu? Kamu lagi sibuk?” pertanyaan itu terlontar akibat tidak ada respon setelah beberapa kali ia menghubungi wanita itu. “Nggak terlalu sibuk, ini baru pulang kerja, maaf Mas tadi belum sempat respon chatnya.” Mas? Entah bagaimana panggilan umum itu membuat Rafi berdebar sejenak. Ia selalu dipanggil Mas di rumah karena memiliki adik, namun saat Sarah yang faktanya merupakan wanita yang akan dijodohkan dengannya
“Itu kue nya sudah matang belum, coba kamu liatin dulu.” Sarah pun hanya mengangguk. Gadis itu meletakkan pisau ke wastafel kemudian mencuci tangannya dan beralih ke pemanggangan untuk melihat kue brownis terakhir yang di oven. “Sudah matang Mi, tapi kayaknya agak gosong.” Sarah mengeluarkan loyang yang ada di urutan tiga paling bawah, kemudian ia juga mengeluarkan kedua loyang dari urutan satu dan dua bergantian. “Gosong sampai item?” “Nggak sampai item, cuman coklat kaya gini.” Gadis itu menunjukkan sisi bawah kue brownis yang tampak kecoklatan kearah Uminya yang sedang mengulek bumbu dengan cobek. “Nggak papa, yang agak gosong-gosong itu buat makan kita saja, nggak disuguhkan ke tamu,” kata Umi yang kemudian diangguki Sarah. Beberapa jam sudah berlalu, Sarah dan Umi sudah sibuk di dapur sejak jam di dinding menunjuk pukul lima dini hari. Dan sekarang baru pukul tujuh sedangkan Sarah sudah berkeringat seperti b
"Disini saja, silahkan duduk Mas." Sarah buru-buru beralih ketika pandangan mata mereka bertemu. Senyum simpul terbit di bibir laki-laki tampan itu ketika melihat calon istrinya yang masih malu-malu karena belum kenal.Sejujurnya Rafi juga merasa gugup. Ia sudah terbiasa berdiskusi dengan klien yang tidak ia kenali sebelumnya, dari yang penting hingga biasa saja, tapi dengan Sarah tetap saja gugup apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka.“Kamu juga duduk, masa berdiri.”“Oh iya!” seru Sarah tiba-tiba kaget sendiri. Ia sontak duduk di satu kursi kosong sebelah Rafi namun dibatasi dengan meja bundar kecil di sisinya.Laki-laki itu pun tidak bisa menahan senyum gelinya atas tingkah Sarah. Ia berdehem agar mengurangi kecanggungan yang ada.Suasana di teras rumah tampak segar dengan angin sepoi. Apalagi rumah Sarah banyak tertanam bunga dan pohon yang terawat. Walaupun sederhana, Rafi terkesan dengan rumah yang baru ia datang
Karakteristik kampung yang mana gosip akan cepat menyebar luas memang benar adanya. Satu orang berbicara dengan satu orang lainnya. Kemudian satu orang lainnya kembali berbicara dengan geng ibu-ibu gosip dan kemudian menyebar luas lagi hingga seluruh kampung tau. Sehingga yang sedang dibicarakan itu menjadi hot news dan viral.Dan Sarah seminggu yang lalu dari acara pertunangan hingga sekarang acara pernikahan akan digelar menjadi headline mulut ke mulut orang-orang di kampungnya.“Anak bungsunya Pak Zaelani dijodohkan lagi, apa nggak memaksa kehendak anak kalau begitu?”“Eh Bu Tiya nggak tau aja sih, calon lakinya itu kaya loh, kayak Hanum waktu dulu, suaminya kan kaya raya, sekarang pasti hidupnya tentram dan betah-betah aja, nggak kayak awal sampai menghebohkan kampung nolak perjodohan.”“Maksudnya kok dijodoh-jodohkan segala, kalo memang berjodoh kan ketemu juga.”“Duh Bu,
[Keesokan hari setelah acara pernikahan berlangsung] “Abi, Umi, izin untuk bawa Sarah ke Jakarta, tinggal bersama saya. Saya akan perlakukan dengan baik anak bungsu Umi dan Abi.” Perkataan Rafi mengundang perhatian Sarah yang tadi hanya menunduk. Ia sendiri duduk berdampingan dengan Rafi di ruang tamu. Di hadapan mereka Umi dan Abi juga duduk bersebelahan. Sedangkan di sudut lainnya Bang Rizam bersama istrinya Mbak Anya, serta Kak Hanum dengan suaminya Kak Fajar. Keponakan-keponakan Sarah yaitu Attamimi, Bilqis dan Deva sedang bermain di teras. Rafi berkata tegas dan bersungguh-sunggu dengan ucapannya. Bang Rizam selaku Abang yang sangat menyayangi adik bungsunya itu merasa bersyukur dan semakin rela melepaskan sang adik. Sebab ia walaupun terlihat tidak begitu ikut campur dengan perjodohan Sarah, namun nyatanya sebelum acara pertunangan sang adik, Rizam lebih dulu menghubungi Rafi, berbincang-bincang untuk menilai calon dari adiknya itu. “Meman
Pagi sudah menjelang, tidak ada suara ayam yang berkokok, namun sempat ada suara deru mobil di luar. Sarah yang baru saja menyelesaikan ibadah subuh pun segera melipat sajadah dan mukenanya. Lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari geser menempel dinding. Awalnya Sarah tertegun dengan kamar tidur yang akan ia tempati. Saat pertama kali Rafi membuka pintu kamarnya dengan lebar-lebar, wanita itu hanya bisa terpesona. “Sebenarnya ini kamar cadangan, kalau ada tamu bisa tidur di kamar ini, tapi sekarang sudah jadi kamar kamu, sudah saya rapihkan sedikit juga, tapi maaf kalau nggak sesuai sama kamu.”
“Kamu bisa memilih apapun buat stok bahan masakan,” kata Rafi sembari mendorong trolly disamping Sarah. Laki-laki itu berpakaian santai, kaos oblong dan celana bahan. Sedangkan Sarah memakai pakaian kebesarannya, rok dengan kemeja oversize dan hijab pashmina menutupi dada. “Karena saya nggak tau soal dapur, jadi saya menyerahkan dan percaya ke kamu,” ucap laki-laki itu sekali lagi karena melihat kesungkanan wanita disampingnya. Kini mereka sudah berada di rak bumbu-bumbu dapur dan sayuran di sebuah supermarket daerah Mampang Jakarta Selatan. Sarah mengamati secara seksama, namun yang paling ia amati tentu adalah harganya yang cukup mahal menurutnya. Dengan harga seperti itu Sarah semakin sungkan untuk mengambil banyak bahan masakan. “Sarah,” panggil Rafi. “Ambil-ambil aja,” katanya lagi. Sarah menghela nafas, ia pun kemudian mengangguk dan mulai mengambil bahan masakan yang sangat diperlukan seperti cabai, bawang putih, bawang merah, tomat, sa