Share

04. Mimpi jadi kenyataan

“Loh kok sudah pulang Sar?”

Pertanyaan Umi menyambut Sarah yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ia kemudian menyalimi tangan Uminya yang sedang duduk membaca buku di sofa ruang tamu.

“Sudah Mi, izin sama Pak Harun soalnya mendadak pusing,” jawab Sarah dengan apa adanya.

Ia tidak bohong saat mengatakan pusing. Umi pun meneliti raut wajah anak bungsunya yang sedikit pucat dan lesu. Padahal saat berangkat Sarah tampak segar dan baik-baik saja.

“Kamu sakit?”

“Nggak tau Mi cuma sedikit pusing aja, Sarah pamit istirahat dulu ya Mi?”

Umi mengangguk. “Yasudah, kalau belum baikan makan dan langsung minum obat.”

Sarah hanya mengangguk. Ia kemudian berjalan lesu menuju kamarnya. Rasanya ia benar-benar ingin istirahat. Lelah sekali, padahal Sarah tidak banyak tugas hari ini. Ia hanya mendengarkan cerita Bu Yanti saja.

Sesampainya di kamar, Sarah langsung menutup pintu kamarnya, kemudian meletakkan tas selempang ke sembarang tempat dan ia pun segera menjatuhkan dirinya ke kasur tanpa melepaskan hijab serta seragam kerja kebesarannya.

Gadis berparas menenangkan itu memejamkan matanya lama, meresapi rasa pusing yang mendera.

[Saya Rafi. Rafi anggara jaya.]

[Kamu sudah tau kan bahwa kita akan dijodohkan?]

[Dan saya menghubungi kamu, sebab ingin tau pendapat kamu atas perjodohan ini.]

[Saya sendiri fleksibel, nggak akan sakit hati jika kamu menolak, jadi nggak perlu sungkan kalau mau menolak.]

[Anggap saja kita sedang berdiskusi.]

[Oh ya saya orangnya nggak kaku tenang saja.]

Rentetan chat dari Rafi Anggara Jaya kembali teringat dengan sangat jelas. Belum ada yang Sarah balas sebab ia sudah pusing dan syok lebih dulu.

Tangan kanannya memijit pelipisnya masih dengan mata yang terpejam. Hanya gara-gara soal pernikahan otaknya menjadi semrawut, acak-acakan dan stres. Kalau seperti ini bagaimana bisa ia menenangkan diri dan berpikir jernih seperti maunya Abi dan Umi.

Disaat-saat tertekan seperti inilah, Sarah jadi ingin langsung menolak mentah-mentah penawaran Abi. Namun dipikir lagi, menolak tentu tidak akan menyelesaikan masalah apalagi menyangkut dua belah pihak keluarga yang sudah meniatkan perjodohannya dengan Rafi Anggara Jaya.

“Ya Allah..” ucap Sarah lelah bercampur pasrah. “Aku belum mau menikah,” lanjutnya kemudian.

Dan entah sejak kapan, mungkin karena memang sedang banyak pikiran, lelah juga bercampur pusing sehingga pada menit berikutnya Sarah sudah terlelap dengan nyenyak. Ia bahkan tak terganggu dengan getaran ponsel berasal dari kantong seragamnya yang beberapa kali berbunyi.

***

“Sarah kamu belum siap-siap?” suara Umi yang tiba-tiba terdengar mengagetkan Sarah yang sedang khusyuk makan di meja makan sendirian.

Ia mendongakkan kepalanya, melihat Umi yang sudah rapih dengan gamis dan make up tipis-tipis. Sarah juga melirik Abi yang berjalan melewati ruang makan, sudah rapih juga, memakai celana dasar serta kemeja panjang.

Sarah yang merasa tidak tau Umi dan Abinya mau pergi kemana pun langsung bertanya.  “Umi sama Abi mau pergi?” tanyanya yang tidak sengaja mengabaikan pertanyaan Umi sebelumnya.

“Kok kamu malah tanyanya seperti itu? Om Jaya dan keluarganya mau datang ke rumah kita.”

“Om Jaya siapa sih Umi?” tanya Sarah sambil kembali makan. Ia sendiri santai saja, memakai pakaian rumahan celana training dan kaos oblong tanpa menguncir rambut sepunggungnya. Bertolak belakang dengan Umi yang kini menampilkan wajah syok menatap anak bungsunya itu.

“Jadi kamu lupa? Om Jaya ayahnya Rafi. Dan kamu tanya Rafi siapa, Rafi Anggara Jaya calon mu.”

Sarah langsung kaget bukan main. Ia menatap Uminya dengan mulut yang masih penuh makanan belum ia telan. Perlahan ia pun menelan makanannya dan ingin mengajukan protes karena tidak diberitahu lebih dulu, namun sebelum kalimat protesnya keluar, Umi lebih dulu menyanggah.

“Umi sudah kasih tau dan kamu jawab iya didalam kamar.”

“Kapan? Umi nggak ngasih tau aku kok, kayaknya nggak bilang iya, dan seingat ku Umi nggak ngasih—“

Tin.. Tin..

Sarah tidak melanjutkan kalimatnya, ia saling lirik dengan Umi setelah mendengar suara klakson mobil. Dan ketika terdengar percakapan Abi dan tamu di luar, seketika itu juga Sarah langsung berlari menuju kamarnya sambil berseru.

“Umi gimana ini!”

Sarah panik. Sesampainya di dalam kamar, malah ia semakin bingung. Bukannya mengganti pakaian yang pantas malah berjalan bolak-balik dan tiba-tiba ngeblank tidak tau harus berbuat apa. Belum lagi perakapan-percakapan yang terdengar di ruang tamu membuat Sarah semakin ketar-ketir.

“Nak Rafi coba tengokin Sarah di dalam kamar.”

Hah? Demi apa Abi bilang seperti itu?

“Iya Abi.”

Suara maskulin yang terdengar asing di telinga Sarah pun menjawab. Suara itu terdengar jelas hingga membuat degupan jantung Sarah semakin menggila. Ia menunggu harap-harap cemas saat langkah kaki terdengar semakin mendekat.

Semakin dekat dan semakin dekat, hingga..

Tok.. tok.. tok..

Sarah terdiam kaku, tak terdengar lagi degupan jantung yang bertalu-talu. Ia memperhatikan dirinya didalam cermin. Wajah pias akibat menahan napas, kemudian ia memperhatikan pintu yang masih di ketuk.

Tok.. tok.. tok..

Drtt.. drtt.. drtt..

Drtt.. drtt.. drtt..

Terkejut bukan main, Sarah akhirnya terbangun dari tidurnya. Ia masih linglung, masih menggunakan hijab. Dan karena kembali merasakan getaran di saku rok, ia pun segera merogoh kedalam saku dan mengambil benda pipih yang masih saja bergetar.

Tanpa melihat kontak yang tertera Sarah pun langsung mengangkatnya.

“Halo,” sapanya masih dengan nyawa yang belum terkumpul.

“Halo, Sarah.”

Suara khas laki-laki yang terdengar tidak asing itu pun seketika menyadarkan Sarah sepenuhnya. Buru-buru ia melihat kontak si pemanggil. Dan benar, ternyata suara tersebut milik seseorang yang ada dalam mimpinya tadi yaitu Rafi Anggara Jaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status