“Oh iya halo,” suara lembut seorang wanita menyapa ramah gendang telinganya.
Laki-laki itu pun berdiri meninggalkan kursi kebesarannya untuk menuju sofa di ruang kerjanya. Tubuhnya tinggi, tegap, berbalut jas formal yang pas di badan sehingga menambah kesan karismatik sesuai dengan tampangnya yang bersih dan enak dipandang.
Di satu-satunya meja kerja terdapat name tag stand yang menampilkan namanya beserta jabatan yang disandang. Yaitu Rafi Anggara Jaya dengan jabatan marketing manager.
“Maaf Sarah, apa saya ganggu? Kamu lagi sibuk?” pertanyaan itu terlontar akibat tidak ada respon setelah beberapa kali ia menghubungi wanita itu.
“Nggak terlalu sibuk, ini baru pulang kerja, maaf Mas tadi belum sempat respon chatnya.”
Mas?
Entah bagaimana panggilan umum itu membuat Rafi berdebar sejenak. Ia selalu dipanggil Mas di rumah karena memiliki adik, namun saat Sarah yang faktanya merupakan wanita yang akan dijodohkan dengannya memanggil Mas, terasa saja anehnya, berbeda dengan yang lain.
“Oh baru pulang kerja, berarti saya mengganggu ya karena mungkin kamu mau istirahat?”
Rafi menyenderkan punggungnya ke sofa setelah melepas kancing jas dan melonggarkan dasi yang terasa mencekik. Jam di dinding menunjukkan pukul satu yang tandanya ia telah melewatkan waktu istirahat sekali lagi.
“Nggak, nggak ganggu juga.”
“Kok ada juganya?” tanya Rafi langsung.
“Maksudnya nggak ganggu.”
Laki-laki itu tersenyum simpul. Jabatan sebagai marketing manager membuatnya mampu berkomunikasi dengan baik walaupun dengan orang yang sebelumnya belum ia kenali. Apalagi jabatan tersebut sudah ia emban selama tiga tahun terakhir. Tepatnya pada usia 23 tahun Rafi sudah menjabat sebagai marketing manager. Sedangkan pada usia 19 tahun ia sudah bekerja di perusahaan tempatnya bekerja kini sembari berkuliah.
“Baiklah kalau seperti itu, saya menghubungi kamu karena mau berkenalan lebih dulu, sebelum berdiskusi lebih lanjut tentang perjodohan yang sudah diniatkan oleh keluarga, oh ya kamu sudah tau kan kalau kita akan dijodohkan?”
“Iya sudah tau.”
“Jadi bagaimana menurut mu, Sarah?”
Pertanyaan itu tidak langsung mendapat jawaban. Tidak ada suara yang mampu Rafi dengar sehingga ia kembali berkata.
“Kalau kamu mau menolak nggak apa-apa, nggak usah sungkan ataupun nggak enak hati, saya orangnya fleksibel menerima kalau kamu menerima, menolak kalau kamu menolak.”
“Maaf Mas saya belum bisa mengambil keputusan, saya belum tau karena terlalu mendadak.”
“Oke nggak masalah, itu wajar karena ini menyangkut pernikahan, nggak bisa diburu-buru dan mendadak seperti ini,” kata Rafi menanggapi dengan santai.
“Mungkin besok saya bisa kasih keputusan.”
“Nggak usah terlalu terburu,” jawab Rafi agak kaget juga dengan perkataan Sarah yang ia nilai terburu-buru.
“Gak papa, karena pada akhirnya harus menerima juga kan?”
Suara itu pelan terdengar namun masih mampu masuk ke pendengaran Rafi. Dari dalam lubuk hatinya ia merasa bersimpati akan keadaan Sarah yang seperti sudah pasrah dan tidak mampu melawan. Tetapi Rafi tidak bisa berkata-kata selain mengakhiri sambungan telepon dan memberikan kalimat menenangkan agar tidak tergesa-gesa. Bahkan ia juga memberikan opsi untuk membantu Sarah jika ingin menolak perjodohan.
Entahlah, Rafi hanya reflek berkata demikian. Ia sendiri tidak ada niatan untuk menolak seperti perjodohan-perjodohan sebelumnya yang dicanangkan oleh Mama nya.
Mungkin karena sudah lelah, atau karena perempuan yang akan dijodohkan Mama nya adalah Sarah?
Rafi pun tak tau, intinya saat melihat beberapa foto Sarah yang diberikan Mama nya, ia merasa sedikit tertarik sehingga tidak langsung menolak seperti sebelumnya. Sebab Rafi tidak bisa memungkiri keadaan yang ada, kenyataan alami seorang laki-laki yang tertarik dengan apa yang terlihat lebih dulu. Yaitu paras Sarah yang cantik alami. Dan ditambah dengan pernyataan yang benar bahwa sebejat-bejatnya lelaki tetap menginginkan perempuan baik-baik untuk menjadi istrinya.
Jujur, ia bukanlah laki-laki baik yang religius sebanding dengan Sarah dan keluarganya yang pernah ia dengar dari cerita Papa. Rafi kecil hingga besar tinggal di Jakarta yang mana sudah berteman akrab dengan hal baik-baik dan hal buruk.
Oleh karena itulah kombinasi kehidupan baik dan buruk Rafi jalani, sehingga ketika teman akrabnya yang bernama Aldi tau ia akan dijodohkan dengan wanita yang berpenampilan seperti Sarah langsung berkomentar.
“Kasian gue sama si Sarah, kok bisa dapetnya elo.”
Bahkan Aldi dengan mulut lemes nya juga berkomentar, “lo harus tobat, belajar wudhu yang bener, sholat lima waktu, bersyahadat di depan ustad masuk agama Islam.”
“Anjir, lo pikir gue non islam.”
“Islam buat identitas doang, tapi hidup jauh dari agama.”
“Ngaca njiir, gue hidup jauh dari agama, lo lebih jauh.”
“Makanya itu lo mesti tobat, untung Tuhan masih baik sama lo.”
Tobat?
Rasa-rasanya Rafi mulai merasa tertohok dengan kenyataan yang ada. Ia pun langsung meluruhkan dirinya ke sofa dan menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang jadi kemana-mana.
***
“Eh Mas Rafi, sini bentar.”
Ucapan Mama menghentikan langkah Rafi yang baru saja melewati ruang tamu. Ia baru pulang dari kantor dan masih berpakaian kerja lengkap. Niatnya ingin langsung ke kamar tanpa lebih dulu menyapa Mama dan adik perempuannya yang sedang asik menonton tv di ruang keluarga. Namun karena di panggil, ia pun berbalik tidak jadi menaiki tangga penghubung menuju lantai dua.
“Apa Mah?”
“Sini, Mama mau kasih kabar gembira.” Perkataan Mama yang sangat antusias menarik perhatian Rafi untuk semakin mendekat. Bahkan Bella, adik Rafi pun juga beralih ke Mama dan jadi ikut penasaran.
“Kamu sudah hubungi calon mantu Mamah?”
“Sudah,” jawab Rafi cepat. Ia bisa melihat cahaya di mata Mama, berbinar terang ketika mengatakan ‘calon mantu mamah’. Siapa lagi jika bukan Sarah.
“Emang kamu bilangnya gimana?” tanya Mama yang membuat anak sulungnya itu bingung.
“Bilang gimana apanya?”
“Kata Papa, Sarah sudah nerima perjodohan ini.”
“Hah demi apa!” Bukan Rafi yang berseru kaget melainkan Bella yang jadi heboh sendiri. Gadis berusia 20 tahun itu bahkan menatap kakaknya dengan tatapan curiga sekaligus menuntut jawaban.
“Lo ngomong apa ‘dah Mas? Masa Mbak Sarah cepat banget nerimanya.”
“Iya kamu ngomong apa Mas?” Mama ikutan bertanya. Sebab suaminya pernah memberitahu bahwa mungkin butuh waktu untuk Sarah memberikan jawaban. Suaminya itu diberi tahu Zaelani, Abi Sarah sendiri.
“Tapi ya bagus berarti Sarah bakal jadi mantu Mamah.”
Mama tiba-tiba berseru senang, ia jadi tidak begitu peduli dengan apa yang diobrolkan anak dan calon menantunya. Sebab yang terpenting adalah anak sulungnya akan segera menikah dengan gadis baik-baik. Yaitu impian sejak lama yang ingin Mama lihat dan wujudkan sehingga ia selama tiga bulan terakhir bekerja dengan keras mencari gadis-gadis baik untuk dijodohkan dengan anak sulungnya itu.
“Lo nggak maksa Mbak Sarah kan Mas? Ancem-ancem dia?” tanya Bella masih menuntut jawaban.
“Nggak lah,” jawab Rafi. Ia sebetulnya kaget bukan main, masalahnya Sarah bilang kepadanya akan memutuskan besok. Tapi hari belum berganti namun Sarah sudah memutuskan. Apakah itu tidak terlalu cepat? Namun kenapa muncul sedikit perasaan senang dalam diri Rafi?
“Sudah, kamu ini Bell nggak percaya sama kemampuan negosiasi Mas mu sendiri,” lerai Mama yang sungguh tidak peduli dengan mengapa Sarah cepat menerima perjodohan. Ia sudah tidak tahan untuk menyiapkan berbagai rencana tentang pernikahan anaknya. Karena itulah ia menoleh pada anak sulungnya semakin berbinar.
“Besok pagi kita langsung diskusi sama papa ya, sekarang papa tidur kecapaian, mama sih maunya cepat cepat, minggu besok kita ke rumah Sarah buat lamaran, minggu berikutnya langsung resepsi ijab kabul, nanti mama yang siapin semuanya.”
Rentetan ucapan Mama yang seperti sudah merencanakan banyak hal itu membuat Rafi pasrah saja. Ia tidak ingin berdebat dengan mamanya dan menghilangkan binaran kebahagiaan di mata wanita yang melahirkannya itu.
“Terserah mama sama papa saja nanti, ini aku mau keatas, mandi dan istirahat, capek mah,” ucap Rafi. Ia berencana untuk menghubungi Sarah, meminta penjelasan alasan mengapa keputusannya cepat sekali.
Karena masih teringat dengan jelas kalimat pasrah yang gadis itu ucapkan di sambungan telepon, “Gak papa, karena pada akhirnya harus menerima juga kan?”
Memang ada perasaan senang yang muncul ketika mendengar kabar bahwa perempuan itu menerima perjodohan, namun perasaan tak tega juga dirasakan Rafi. Ia bisa membantu jika Sarah ingin menolak saja. Namun sudah panggilan ke lima, Sarah tidak mengangkat teleponnya, bahkan Rafi sudah mengirimi banyak chat dan sama sekali tidak dibalasnya.
"Rafi belum bangun?" suara Mama Vanya menegur begitu Sarah mendekat untuk membantu kegiatan di dapur. Jam di dinding masih menunjuk pukul lima pagi, sedangkan Mama sedang sibuk membuat sarapan serta Bik Inah sedang mencuci piring kotor yang menumpuk banyak akibat acara syukuran tadi malam."Masih sholat Mah, tadi dibangunin susah.""Nggak biasanya dia bangun susah, apa di rumah memang seperti itu Sar?"Sarah semakin mendekat mengambil alih penggorengan. "Di rumah Mas Rafi selalu bangun pagi, mungkin karena kangen suasana rumah lama jadi kebawa susah bangun."Mama Vanya mengangguk sembari memotong-motong sayuran di talenan kayu. Namun ia seketika tersenyum ketika sadar sesuatu. "Oh ya, Rafi sholat, Sar?" tanyanya yang membuat Sarah keheranan sendiri."Iya," jawab perempuan berhijab itu."Ya ampun, kamu memang perempuan baik Sarah, Mamah jadi merasa berhutang budi."Sarah semakin tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahinya mencoba mencerna
"Naraya agak pendiam ya, Mas? maksudnya waktu kumpul dia banyak diam, tapi pas aku sama dia, malah kelihat cerewet." Sarah sudah melepaskan hijabnya, dia juga sudah berganti dengan celana training panjang serta kaos panjang. Sebelumnya keluarga yang lain sudah pamit pulang ke rumah masing-masing. Acara syukuran wisuda Bella sudah selesai dengan meninggalkan kesan kehangatan di malam yang semakin larut. "Dia memang seperti itu," balas Rafi yang berbaring menatap langit-langit kamar tepat di samping Sarah. Tidak ada pembatas diantara mereka. Setelah melawan kegugupan dengan dibantu kalimat menenangkan Rafi, akhirnya Sarah mampu berbagi satu ranjang dengan suaminya. Jika dipikir hal tersebut harusnya menjadi wajar. Namun berhubung baik Rafi maupun Sarah selama hidup bersama belum pernah tidur di kamar yang sama membuat mereka agak canggung. "Sarah," panggil Rafi menolehkan kepala ke samping. Panggilan nama dengan suara maskulin yang agak rendah itu mulai
Rafi dan Sarah akhirnya tiba di kediaman orang tua Rafi saat adzan isya berkumandang. Gadis itu keluar dari mobil dan kemudian diikuti dengan Rafi. Mereka dengan kompak masuk ke dalam rumah yang belum terlalu ramai, sebab acara syukuran akan dilaksanakan sehabis isya. Lagipula syukuran wisuda Bella hanya akan dihadiri oleh kerabat dekat. Kata Rafi, keluarganya itu memang sering berkumpul bersama di acara-acara tertentu. "Jangan gugup, Sarah, mereka baik-baik," ucap laki-laki yang kini sudah berpakaian rapih dan bersih. Setelah sampai, mereka langsung izin ke kamar karena Rafi sendiri ingin membersihkan diri sehabis bekerja. Sarah melirik suami didepannya. Genggaman tangan di pangkuan perempuan itu memanglah menandakan bahwa ia sangat gugup. Terlebih memang dasarnya Sarah tipe orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan atau orang baru. Sehingga ia merasa gugup untuk keluar kamar dan menyambut keluarga lain yang sepertinya mulai berdatangan. "Kamu gug
Jakarta dan kemacetan adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas begitu saja. Ada Jakarta ada macet, itu adalah hal wajar dan sudah lumrah. Sarah yang duduk di kursi penumpang hanya menatap kendaraan-kendaraan di depan yang sedang mengantri. Sedangkan banyak motor melaju lebih leluasa dan bisa mencari celah untuk terus berlanjut. Namun kendaraan mobil yang ia tumpangi hanya bisa diam dan menunggu mobil di depan bergerak. Sesekali perempuan berpenampilan muslimah itu menatap ke sekeliling gedung yang nampak dari jalanan. Gedung-gedung pencakar langit yang tidak ia temui di kota kelahirannya. Sebab lebih modern dan lebih banyak. Walau Sarah sudah tinggal hampir tiga bulanan di Jakarta. Ia masih kagum dan tetap ingin menjelajah pada setiap sudut ibu kota. Karena Rafi belum bisa menepati janji sebelumnya bahwa akan mengajak Sarah jalan-jalan berkeliling kota. Kesibukannya bekerja dan sekaligus sedang menggarap sebuah usaha baru, membuat laki-laki itu mengurungkan niat untuk
Pagi kembali menjelang, di luar masih dingin dan gelap. Jam dinding yang terletak di tembok dapur menunjuk angka lima pada jarum yang pendek dan jarum yang panjang menunjuk angka enam. Sedangkan seorang perempuan berambut panjang sebahu dan lurus itu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan. Sarah hanya sendiri, sebab Bik Arni melakukan pekerjaan lain di luar. Perempuan itu tidak pernah keberatan untuk masak, sebab ia memang suka memasak sehingga Sarah sering kali menyuruh Bik Arni untuk melakukan pekerjaan lain dan cukup ia saja yang memasak. Tetapi tetap saja terkadang mereka bisa memasak bersama juga. Lalu suara acara televisi yang berasal dari ruang keluarga adalah tanda bahwa Rafi sudah bangun. Laki-laki itu mempunyai kebiasaan sehabis bangun pagi langsung menyalakan televisi, biasanya sembari mengemil. Lapar adalah kebiasaan setelah bangun tidur Rafi dan juga Sarah. "Sarah," panggil suara tak asing dari arah belakang. Tanpa menoleh pun perempuan ya
Hari semakin siang, jam di dinding pun berdetak hingga menunjuk angka satu. Namun gadis pirang yang penampilan modis itu hanya menatap sahabatnya yang sedang makan dengan lahap nasi sayur yang ia beli di depan rumah sakit. Adilla pada akhirnya meminta ganti shift dengan temannya hanya demi menjaga Bayu. Kata perawat, Bayu bisa pulang setelah menghabiskan satu kantong cairan infus guna menyuntikkan nutrisi yang kurang dalam tubuhnya itu. Adilla duduk di kursi samping keranjang, melipat kedua tangannya sembari terus menatap Bayu dengan seksama. Gadis itu sedang mencari-cari sesuatu yang disembunyikan, siapa tau ia dapat mengetahui hanya dengan melihat gurat wajah Bayu. Tetapi laki-laki itu terlalu lahap memakan makanannya seperti orang kelaparan, sehingga Adilla tidak bisa menangkap sesuatu yang mencurigakan. "Aaaaa ..." Bayu menyodorkan sesendok nasi beserta sayur di depan mulut Adilla. Siapa yang tidak risih ditatap intens seperti sedang menangkap basah malin