Share

06. Bicara Berdua

“Itu kue nya sudah matang belum, coba kamu liatin dulu.”

Sarah pun hanya mengangguk. Gadis itu meletakkan pisau ke wastafel kemudian mencuci tangannya dan beralih ke pemanggangan untuk melihat kue brownis terakhir yang di oven.

“Sudah matang Mi, tapi kayaknya agak gosong.” Sarah mengeluarkan loyang yang ada di urutan tiga paling bawah, kemudian ia juga mengeluarkan kedua loyang dari urutan satu dan dua bergantian.

“Gosong sampai item?”

“Nggak sampai item, cuman coklat kaya gini.”

Gadis itu menunjukkan sisi bawah kue brownis yang tampak kecoklatan kearah Uminya yang sedang mengulek bumbu dengan cobek.

“Nggak papa, yang agak gosong-gosong itu buat makan kita saja, nggak disuguhkan ke tamu,” kata Umi yang kemudian diangguki Sarah.

Beberapa jam sudah berlalu, Sarah dan Umi sudah sibuk di dapur sejak jam di dinding menunjuk pukul lima dini hari. Dan sekarang baru pukul tujuh sedangkan Sarah sudah berkeringat seperti baru saja berolahraga.

Ia pun menggulung rambut lurus sebahunya agar tidak menjuntai mengganggu aktivitas memasak. Barulah setelah memberesi kue dan memasukkannya kedalam toples, Sarah kembali berkutat dengan ikan gurame yang belum selesai ia bersihkan.

Beberapa menu masakan akan disuguhkan ke tamu yang hadir nanti sekitaran pukul sepuluh pagi menjelang siang. Ada sop ceker, gurame sambal balado, sayur capcay, kerupuk dan beberapa kue kering dan buah pencuci mulut.

“Bang Rizam kemarin nelpon, tanya-tanya soal pernikahan kamu yang mau dilaksanakan kapan. Kata Abang insyaallah dua hari sebelum hari H mau pulang biar bisa bantu-bantu,” ucap Umi sembari memasukkan ceker ke dalam panci diatas kompor.

“Kalau Kak Hanum belum bisa memastikan bisa pulang atau enggak, tapi dia bilang bakal diusahakan, katanya masa adik sendiri mau nikahan kakaknya nggak datang.”

Sarah yang sedang mencuci ikan gurame di wastafel tampak diam dan mendengarkan ucapan Uminya. Banyak sekali nasihat baik dari Abi ataupun Umi semenjak Sarah menyetujui perjodohan ini seminggu yang lalu. Sarah sendiri hanya mendengarkan saja yang terkadang masuk keotaknya untuk menjadi pembelajaran, terkadang juga hanya mampir karena nasihat-nasihat itu kembali keluar dari telinga kirinya.

Begitulah Sarah, ia mulai banyak diam dan tampak pasrah sejak seminggu setelah mengiyakan perjodohan. Sikapnya itu tidak seperti biasanya. Ia juga telah mematikan ponsel sudah seminggu dan mengajukan resign dua hari yang lalu.

Melihat anak bungsunya yang diam saja, Umi pun kembali berkata. “Sarah, menikah itu kewajiban, kamu bisa liat Bang Rizam dan Kak Hanum dimana mereka juga pernah ada di posisi kamu, tapi sekarang pernikahan mereka baik-baik saja dan insyaallah bahagia.”

“Umi tau kekhawatiran kamu, keraguan dan juga kebingungan kamu, tapi kamu harus percaya bahwa Abi tidak akan menjerumuskan anak-anaknya, termasuk kamu.”

“Iya Umi,” sahut Sarah.

“Umi selalu do’a untuk anak-anak Umi yang baik-baik, senantiasa bahagia dan sejahtera, dan Umi sangat yakin Rafi bisa melakukan lebih dari keinginan Umi untuk kamu.”

Sarah ingin menyahut, benarkah? Namun ia urungkan dan kembali diam sembari meletakkan sembilan ekor ikan gurame yang sudah bersih ke baskom. Tangannya ia cuci dengan sabun kemudian mengelapnya dan menoleh pada Umi yang kini sedang menyiapkan alat penggorengan.

“Selain sudah bekerja di usia muda, apa lagi Mi cerita tentang Mas Rafi?” tanya Sarah mengalihkan topik pembicaraan. Ia lebih baik mendengar tentang calon suaminya ketimbang nasihat Umi yang sudah sering ia dengar.

“Ini Umi cerita sesuai apa yang dikatakan Tante Vanya ya?” Sarah pun mengagguk untuk menjawab.

Kemudian Umi menceritakan tentang Rafi yang pernah ia dengar dari ibunya langsung. Yaitu seorang yang bertanggung jawab, pintar bicara, konsisten dalam mengerjakan sesuatu. Umi juga menceritakan tentang pertama kali melihat Rafi saat usianya dua tahun dimana anaknya aktif tidak bisa diam.

“Dan kata Tante Vanya, anak sulungnya itu pelupa parah, Umi juga nggak paham pelupanya bagaimana, tapi katanya parah,” Umi mengakhiri ceritanya sambil menaburkan bawang goreng ke sop ceker yang sudah matang. Sedangkan Sarah sedang membuat bumbu balado menyambi menggoreng ikan.

“Nanti kamu sendiri yang paling tau sikap dan sifat calon suami mu, karena bagaimanapun istri itu yang paling tau karakter suaminya bukan ibunya.”

Istri? Suami?

Sarah malah jadi gagal fokus dengan dua sebutan yang diucapkan Umi. Ia mulai menarik-narik keputusan mengiyakan perjodohan ini. Benarkah? Keputusannya benarkah? Apa tidak menyesal telah mengabaikan pertolongan Rafi?

***

Bismillah.

Itulah kalimat yang selalu Sarah sebutkan dalam hati ketika harus melakukan sesuatu yang tidak ia yakini sendiri. Seperti ketika mengiyakan perjodohan kepada Abinya, ia mengucapkan bismillah untuk senantiasa meneguhkan hati yang bimbang.

Apa akan manjur dan tidak bimbang lagi?

Sejujurnya tetap saja bimbang, bahkan beberapa kali Sarah sempat menyesali keputusannya. Namun dengan bismillah Sarah jadi sedikit ikhlas, walaupun ikhlasnya terkadang masih ikhlas-nggak-ikhlas-nggak tapi ia sudah berteguh dengan keputusannya.

Seperti sekarang, ia mengucapkan bismillah didalam hati tatkala Umi menyematkan cincin di jari manisnya. Jantungnya berdegup kencang ketika cincin emas polos itu tersemat di jarinya dengan sempurna. Rasanya ia ingin menangis ketika segala impian yang ingin ia capai menguap dalam pikiran.

Dan suasana haru kemudian melingkupi ruang tamu saat Umi memeluk erat anak bungsunya itu. Sedangkan Tante Vanya terharu di pelukan Om Jaya. Ia tidak bisa menahan air mata kebahagiaan ketika melihat gadis muslimah nan cantik rupawan itu akan menjadi menantunya.

“Mas Rafi sini, sekarang gantian Mama memasangkan cincinya,” ucapan Tante Vanya menyadarkan laki-laki muda satu-satunya yang hanya diam di sebelah Abi. Ia pun langsung bergeser untuk medekat kearah Mamanya yang siap memasangkan cincin yang sama seperti yang dipakai Sarah.

Acara pertunangan antara Sarah dengan Rafi memang dilaksanakan dengan sederhana. Hanya kedua keluarga yang mana untuk memperkenalkan satu sama lain. Dan bertukar cincin hanya untuk simbol pengikat dan pengakuan secara resmi saja.

Setelah acara inti dan acara makan-makan selesai, kedua keluarga kembali duduk di ruang tamu mengobrol banyak hal. Sarah banyak diam, hanya sesekali menimpali saat ditanya saja. Berbeda dengan Rafi yang sangat aktif menimpali obrolan keluarga dari A sampai Z. Kemampuan berbicaranya sudah Sarah akui, benar yang dikatakan Umi jika Rafi pandai berbicara.

“Maaf Abi, boleh saya bicara berdua sama Sarah?” pertanyaan Rafi pada Abi menghentikan sejenak obrolan Umi dan Tante Vanya. Bahkan Sarah yang tadinya hanya diam menyimak pun langsung menoleh dan seketika bertemu pandang dengan Rafi sekilas.

“Oh boleh, silahkan,” sahut Abi memberi izin. Ia pun kemudian menoleh pada anak bungsunya. “Sarah, temani Mas Rafi dulu, kalian perlu bicara.”

“Iya, baik Bi.”

Sarah berjalan lebih dulu setelah berpamitan, kemudian disusul Rafi yang mengikutinya keluar rumah.

Sejujurnya jantung Sarah cukup berdegup kencang, ia berusaha mati-matian untuk tenang dan tidak gugup. Bahkan ia menekan-nekan jemarinya sendiri untuk menghalau kegugupan yang semakin terasa.

"Disini saja, silahkan duduk Mas."

Pandangan Sarah langsung bertubrukan dengam sorot mata tajam milik Rafi saat berbalik. Dan hal itu membuat Sarah semakin merasakan sesak akan degupan jantungnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status