Share

Teman Dekat

Setelah selesai membeli buku, Shela dan Arthur kembali ke motor. Mereka tidak langsung pulang melainkan mampir terlebih dahulu ke warung bakso kesukaan mereka.

Arthur mengendarai motornya dengan santai. Bukan karena dia tidak berani bermain dengan kecepatan, namun karena dia sedang menikmati momen seperti ini. Saat-saat ketika dia bisa begitu dekat dengan Shela.

Setelah beberapa saat akhirnya mereka sampai di warung bakso yang cukup ramai, lalu terdapat tulisan 'Gepeng' di bagian depannya.

Shela dan Arthur segera masuk dan memesan porsi bakso seperti biasa. Mereka juga memilih duduk di tempat kesukaan mereka yaitu tepat di bawah kipas angin.

"Besok weekend, ada rencana mau kemana?" tanya Arthur.

"Kosong. Kenapa? Mau ngajak jalan?" Shela tersenyum kuda sambil menatap Arthur. Dia sudah paham jika Arthur bertanya seperti itu pasti ia akan mengajaknya keluar.

Arthur mengacak puncak kepala Shela. "Bagus, deh. Aku mau ngajak kamu ke rumah. Udah lama nggak main, 'kan?"

"Em ... gimana ya?" Shela berpura-pura untuk mempertimbangkan jawaban, padahal dia sudah sangat tahu apa jawabannya. Kedua alisnya dinaik turunkan untuk menggoda sahabatnya itu.

Tingkah lakunya yang terkesan menggemaskan itu membuat Arthur terkekeh. Lalu tangannya mencubit kedua pipi Shela. "Gimana, hm??"

Shela tertawa sambil menggosok pipinya. "Ish, Iya iya besok kita pergi."

Arthur hanya tersenyum saat mengamati perempuan di depannya itu. Tidak tahu harus sampai kapan dia menyimpan perasaannya. Mungkin sampai Shela mmemikirkan untuk menerima seorang sahabat menjadi sepasang kekasih.

Tidak lama kemudian pesanan mereka akhirnya datang. Shela langsung menarik mangkoknya ke hadapannya. Aroma khas dari kuah bakso langsung membuat perutnya semakin berontak.

Dia menuangkan apa saja yg ada di atas meja, mulai dari saus, kecap, cuka, lalu yang terakhir adalah sambal. Namun ketika dia hendak menyendok sambal, Arthur sudah terlebih dulu merebutnya.

"Satu sendok aja udah cukup," ucap Arthur sambil menuangkan satu sendok sambal di mangkok Shela.

Dia sudah paham, perempuan itu sangat menyukai makanan pedas. Jika dia tidak menghentikannya mungkin Shela akan menuangkan tujuh sendok sambal. Itu tidak sehat dan pasti akan melukai perutnya.

"Kebiasaan, deh." Shela mengerutkan bibirnya, meskipun begitu matanya tidak bisa berbohong jika dia merasa senang dengan cara Arthur memperlakukannya.

"Iya, kebiasaan yang mungkin akan berlaku lama," lirih Arthur yang hanya di dengar oleh dirinya sendiri.

***

"Jadi gimana, Shel? Kamu udah bilang sama Arthur?" tanya suara yang terdengar dari ponsel Shela. Siapa lagi jika bukan Neva?

Sedari tadi Neva sudah mengebomnya dengan pesan, namun karena dia baru saja pulang akhirnya dia tidak membalasnya. Setelah sampai di kost barulah dia menghubungi Neva.

"Udah, Nev. Tapi ya gitu lah, mungkin dia masih belom pengin pacaran," jawab Shela yang tidak tahu itu adalah kenyataan atau tidak.

"Kenapa gitu, sih? Emang selera dia yang gimana?" Neva masih bertanya lagi. Sepertinya dia tidak akan menyerah begitu saja sampai dia benar-benar bisa mendapatkan Arthur.

"Em ... aku juga nggak ngerti. Dari dulu emang dia nggak pacaran."

"Ya udah lah, aku mau cari tau lebih banyak lagi, deh." Neva memutus sambungan telepon secara sepihak. Entah, mungkin dia merasa kurang puas dengan jawaban Shela.

Haruskah Shela merasa bersalah? Bukan seperti itu. Dia tidak rela jika Arthur bersama dengan Neva yang suka bergonta-ganti pasangan. Lalu dia sendiri masih tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.

**

Shela mengurut kakinya setelah sampai di tempat kost-nya. Hari itu sepertinya dia salah memakai sepatu, karena nampak pada tumit kakinya yang lecet kemerehan karena sepatu sempit yang ia gunakan.

Sebenarnya tanpa sebab dia menggunakan sepatu tersebut. Karena itu adalah hadiah dari Arthur saat dirinya ulang tahun beberapa waktu yang lalu.

Shela tak enak karena Arthur terus menanyakan sepatu pemberiannya yang tak pernah Shela gunakan untuk kuliah. Dia tersenyum menatap sepatu berwarna biru langit tersebut. Membayangkan bagaimana Arthur memilihkan sepatu dengan ukuran imut jauh dari perkiraannya.

"Shel, ada yang nyari," bisik Natalie teman satu kost-nya. Dia naik ke atas demi menyampaikan hal tersebut padanya.

"Siapa?" Shela juga ikut berbisik.

"Brian."

Shela menatap Natalie lama. Ada sebuah ingatan buruk tentang Brian yang benar-benar ingin dia lupakan.

"Suruh dia pergi, bilang kalo aku gak ada."

"Yah, telat. Dia katanya nungguin kamu sampe turun."

Shela memutar bola matanya karena jengah. Mahkluk satu itu tak akan pernah menyerah jika keinginannya tidak terpenuhi. Seperti satu ini, dia pasti akan menunggunya di ruang tamu sampai Shela mau menemuinya.

Cowok kasar itu benar-benar sudah dilupakan oleh Shela. Dia tak ingin berhubungan dengannya lagi setelah insiden beberapa bulan yang lalu.

Brian adalah mantan pacar Shela. Lelaki yang sok tampan itu pernah mengisi hari-hari Shela. Sebelum akhirnya dia terpergok oleh gadis itu sedang masuk ke hotel dengan seorang wanita tua yang mungkin bisa disebut tante.

Jika Arthurl tahu dia menemui Brian. Pasti dia tak akan tinggal diam. Karena Arthur sudah memberikan peringatan padanya untuk tidak menemui laki-laki berengsek tersebut lagi.

Shela masih mematung di tengah tangga. Dia ragu untuk menemuinya, apalagi mengobrol dengannya. Sudah tak ada yang bisa mereka bicarakan.

"Kalo kamu masih nemuin Brian, lihat aja nanti. Aku nggak bakal tinggal diem Shel." Arthur menaikkan nada bicaranya saat melihat Shela menangis terisak di depan hotel.

Dia langsung memanggil Arthur begitu mendapatkan bayangan Brian yang masuk ke dalam hotel dengan wanita lain. Hanya ada satu pikiran Shela tentang Brian. Yaitu tentang gosip mengenai dirinya yang menjadi teman tante-tante yang kesepian.

Awalnya dia tak percaya karena cinta sudah menutup mata hatinya. Namun setelah dia mencoba menyelidikinya sendiri dan menemukan kebenaran dia tak bisa menerima kenyataan tersebut.

"Aku masih gak percaya, kalo dia kayak gitu." Shela masih terisak, Arthur yang melihatnya tentu saja tidak tega. Dia menenggelamkan wajah sahabatnya itu dalam dadanya. Untuk menumpahkan semua kesedihannya.

"Udah Shel, cowok kayak gitu gak pantes kamu tangisin." Arthur mengusap lembut rambut Shela, darahnya mendidih ketika melihat Brian yang baru saja keluar dengan wanita tua itu dan masuk ke dalam mobilnya.

"Tunggu dulu, aku mau kasih dia pelajaran." Arthur hendak meninggalkan Shela untuk menghentikan mobil Brian, entah apa yang akan dilakukannya. Namun sepertinya hal buruk akan terjadi jika Shela tak lekas menahannya.

"Udah, kita pulang aja." Shela menarik lengan Arthur mengajaknya untuk pulang. Tak ada yang perlu di bicarakan lagi dengan Brian. Hubungannya sudah benar-benar selesai saat itu juga.

Shela melihat Brian dari celah tangga. Dia benar-benar tak ingin bertemu dengan pria itu. Namun jika dia tak menemuinya mungkin Brian akan membuat masalah di kost-nya.

Dengan langkah malas akhirnya dia turun. Brian yang mendengar suara langkah langsung menoleh ke arahnya.

"Shel," panggilnya Brian pelan.

"Ada apa?" tanya Shela tanpa melihat ke arahnya.

"Aku mau minta maaf."

"Iya udah aku maafin,"

"Tapi...," ucapannya terhenti.

"Kenapa?"

"Bukannya ini gak adil ya?"

"Gak adil apalagi sih?! Udah deh gak usah cari masalah lagi. Hubungan kita udah kelar lama. Jadi gak usah diungkit lagi."

Brian tersenyum sinis, dia berdiri dan menghampiri Shela. Gadis itu memundurkan langkahnya karena takut jika Brian akan melukainya.

"Kamu pas pacaran sama aku deket sama Arthur aku biarin. Tapi, kamu cuma liat hal itu sekali aja udah lebay banget."

Shela mendelik. Bagaimana bisa dua hal tersebut disamakan? Arthur dan dia hanya berteman. Sedangkan Brian Dan wanita tua itu pasti melakukan hal yang lebih saat di hotel.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status