Share

Temen Tapi Demen 4

TEMEN TAPI DEMEN 4

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

      Merasakan perasaan yang lain dari biasanya pastilah membutuhkan keyakinan yang teramat yakin. Dan sekarang itulah yang ingin dilakukan oleh Soni. 

Akalnya masih saja belum mau menerima hatinya yang mulai berbeda saat bersama Shasa. 

Setelah menjemur handuk, Soni memilih duduk sebentar di kursi panjang depan teras. Mencoba menetralkan hatinya agar kembali seperti semula.

Hanya butuh sepuluh menit, Soni lalu kembali ke kamarnya. Shasa masih saja rebahan di atas kasur busanya.

Perlahan Soni mendekat. Diusapnya pelan tangan Shasa, takut kalau ketiduran.

“Sha ... Shasa ... kamu gak tidur kan?” tanya Soni lirih.

Shasa tidak merespon. Malah tubuhnya menggeliat berganti miring menghadap ke arah selatan. Membuat anak rambut menjadi berantakan hingga menutupi wajah cantiknya. 

Soni tergerak ingin merapikannya.

Walau ada keraguan, tetapi Soni menguatkan hatinya dan berhasil mengangkat tangan kanannya menyentuh rambut dan menyelipkannya di belakang telinga Shasa.

Entah karena terbawa perasaan, Soni mulai mendekat ke kepala Shasa. Sempat berhenti sejenak, namun kemudian secara perlahan mendaratkan satu kecupan di kepala Shasa. Lembut.

“Aku sayang sama kamu, Sha. Aku harap selamanya kita bisa seperti ini. Tidak berubah meski rasa mulai berubah,” batin Soni dalam hati.

Soni mulai sadar bahwa kini perasaannya sudah mulai berubah dari temen menjadi demen. 

Setelah menarik diri, Soni meninggalkan Shasa yang tertidur di kamarnya. Kemudian berlalu pergi untuk membantu bapaknya sebentar.

Soni menuju gudang yang terletak di sebelah barat rumahnya. Di sana terlihat Bapak masih berteman dengan kalender. Walau tidak seramai pada musim hajatan, tetapi ada saja yang menggunakan jasa tarubnya. 

“Pak, aku bantu ya? Udah selesai belum?” tanya Soni yang sudah berada di samping bapaknya.

“Udah, ini baru aja. Shasa mana? Udah pulang?” 

“Belum. Lagi ketiduran di kamar. Jadi aku tinggal aja.”

“Kenapa ditinggal? Takut jatuh cinta ya kalau diliatin terus?” tanya Bapak yang kini menatap mata elang anaknya.

“Bapak bisa aja.” Soni menjawab dengan sebiasa mungkin. Padahal bapaknya sudah tahu dari dulu kalau anak bujangnya terlihat berbeda saat bersama Shasa.

Bapak dan anak itu kini saling tertawa dan bercanda satu sama lain. Inilah kedekatan keluarga yang sebenarnya.

“Kalau demen tinggal bilang. Jangan dipendam. Entar keburu ditikung orang. Terus Shasa ngapain nyariin kamu?” tanya Bapak yang mulai terdengar serius.

“Belum sekarang lah, Pak. Masih ingin nyari tahu apa Shasa juga punya perasaan yang sama. Shasa minta ditemenin nonton Sheila entar malem. Boleh kan, Pak?” 

“Boleh aja. Asal kamu tanggung jawab buat jagain anak orang.”

“Dari dulu juga selalu dijagain.”

“Lah terus mau sampai kapan jagainnya? Jagain temen sama jagain calon manten beda,” goda Bapak entah untuk yang keberapa.

Soni memilih diam tidak menjawab pertanyaan sang bapak. Karena hatinya juga mulai bertanya kepada diri sendiri.

Walaupun begitu, obrolan mereka kembali mengundang tawa. Kemudian mereka berdua sibuk mencocokkan kembali harta karun di buku dan di kalender agar tidak ada yang terlewat.

“Shasa bangunin aja, Son. Udah mau jam makan siang soalnya,” titah Bapak yang melihat jam dinding sudah berada di angka sebelas.

“Ya udah. Aku ke kamar dulu,” pamit Soni dan langsung beranjak pergi menuju ke kamar. 

Begitu juga dengan Bapak yang langsung menutup gudang dan masuk ke rumah lewat pintu belakang.

Soni membuka pintu dengan sangat pelan agar tidak membangunkan Shasa. Akan tetapi suara derit pintu masih saja terdengar lirih hingga membuat Shasa terpaksa membuka kedua matanya.

“Maaf, kamu jadi ke-bangun. Tapi kebeneran sih, udah siangan soalnya. Lagian ngapain main kalau cuma buat numpang tidur?” tanya Soni yang kemudian duduk di tepian kasur busanya.

“Ya maaf. Semalem gak bisa tidur soalnya bayangin lihat Om Duta nyanyi. Udah gitu kepikiran terus kalau kamu gak mau nemenin,” jawab Shasa seraya mengucek kedua matanya yang masih terasa berat.

Panggilan ‘aku kamu’ kini mulai terdengar biasa di rungu masing-masing.

“Ya udah, bangun. Mau pulang apa mau sekalian makan di sini? Kebetulan ibuku udah lagi nyiapin makan di dapur,” tawar Soni.

“Ikut makan aja, biar ada energi buat pulang nanti.”

“Emang tadi ke sininya jalan kaki?”

Shasa mengangguk sekali sebagai jawaban. Kemudian berusaha bangkit berdiri dan berjalan keluar dari kamar Soni.

“Habis makan entar aku anterin pulang. Matahari lagi tinggi-tingginya, entar panas.” Soni menjawab sambil berjalan mengiringi Shasa menuju dapur.

Tante Niar dan Om Hadi sudah terlihat duduk berjejer di kursi meja makan yang berukuran sedang.

“Sini, Sha ikut makan siang. Tante pas masak kesukaan kamu loh ... ada tempe mendo sama sayur kangkung pakai telur puyuh. Tante jadi inget kamu pas lihat kangkung di warung Bu Dina. Eh, pas kamu main,” ucap Tante Niar dengan ramah.

Om Hadi pun nampak tersenyum geli sambil menutup bibirnya dengan satu tangannya. Mungkin saking lucunya melihat tingkah kami berdua yang sudah seperti pacaran. Padahal cuma temenan.

Shasa menarik satu kursi dan mendudukinya dengan pelan. Begitu juga Soni yang mengambil kursi berjejer dengan Shasa.

“Ayo makan, Sha? Jangan malu-malu, kan udah sering ke sini,” ucap Om Hadi.

Soni pun langsung mengambilkan nasi ke piring yang berada di depan Shasa.

“Segini cukup?” tanya Soni sambil melihat ke arah Shasa.

“Ya udah, segitu aja, Son. Pakai sayur juga telur puyuhnya, tempe mendonya juga,” jawab Shasa sambil jemarinya menunjuk ke arah tengah meja.

Setelah semua tersaji, lalu Soni menyodorkannya pada Shasa. Kemudian ia mengambil lagi untuk dirinya sendiri.

“Pak, Ibu juga mau diambilin telur puyuh sama mendo-nya. Ibu jadi iri lihat tingkah mereka,” rengek manja ibu Soni yang mampu membuat kedua orang di depannya menjadi saling pandang.

“Ya udah, sini ... Bapak ambilin tiga telur puyuh, sama mendo-nya satu. Sekalian disuapin juga gak?” jawab Bapak sambil mengerlingkan mata kanannya. Genit.

“Boleh deh, Pak. Biar ada yang iri,” jawab Ibu tak kalah manja.

Soni yang melihat adegan di depannya hanya bisa tertunduk malu. Apalagi Shasa, ia langsung terdiam dan hanya fokus mengunyah makanan.

“Kalian kenapa gak pacaran aja sih? Terus nikah?” tanya Ibu Soni yang terdengar blak-blakan.

Uhuk!

Shasa tersedak sayur kangkung hingga terasa mengganjal di tenggorokan karena pertanyaan tante Niar. Bahkan Shasa sampai terbatuk beberapa kali.

Soni dengan tanggap langsung mengambilkan segelas air putih untuk Shasa. Dengan sekali tegukan air putih itu sudah tersisa separuh.

“Pelan-pelan, Sha ... nanti gak bisa napas,” ujar Soni sambil tangannya menepuk lembut punggung Shasa.

Bapak dan Ibu pun dibuat takjub oleh perhatian anaknya terhadap Shasa.

Setelah sedikit tenang, Shasa kembali melanjutkan makannya sampai habis tak tersisa. Kemudian ikut membantu tante Niar mencuci piring.

Selama mencuci piring, tidak ada obrolan sama sekali di antara mereka berdua. Hening. Hanya suara dentingan piring dan gelas yang bersuara karena saling beradu.

Ketika semuanya selesai, Shasa langsung berpamitan pulang diantar oleh Soni.

“Shasa pulang dulu, Om, Tante. Makasih udah boleh main dan minta makan juga,” pamit Shasa sedikit malu.

“Tante juga seneng kok, jadi lebih ramai ini rumah. Ya udah, hati-hati pulangnya,” jawab tante Niar dengan senyum teduhnya.

“Hati-hati bawa motornya,” pesan Bapak.

“Pasti lah!” 

Mereka berdua pun mencium punggung tangan Ibu dan Bapak secara bergantian. Lalu perlahan menghilang dari pandangan bersamaan suara deru mesin motor Soni yang ikut tak terdengar lagi.

Sepuluh menit, Soni sudah membawa Shasa ke tempat tujuan dengan aman dan selamat.

“Ya udah, aku langsung balik,” ucap Soni yang masih duduk di roda duanya.

“Iya. Makasih. Entar malem jangan lupa!”

“Iya ... ya udah buruan sana masuk,” suruh Soni. Shasa pun melambaikan tangannya kemudian masuk ke dalam rumah.

Soni pun langsung kembali pulang setelah memastikan Shasa sudah masuk rumah.

***

              Tepat jam sembilan malam, Soni sudah berada di rumah Shasa. Tante Weni menemani Soni mengobrol di ruang tamu sambil menunggu Shasa berdandan.

“Nanti jagain, Shasa ya? Tante khawatir soalnya pasti di sana ramai. Takut ada lelaki hidung belang yang jail asal pegang,” pintanya terdengar serius.

“InsyaAlloh, Tan. Soni pasti jagain Shasa kok,” jawab Soni mantap.

Dari arah berlawanan, terlihat Shasa tengah berjalan ke ruang tamu. Baju kaos warna putih berpadu dengan celana jeans yang tidak terlalu melekat sempurna, membuat kecantikan Shasa semakin terpancar.

Apalagi, rambutnya yang dikucir kuda ke samping.

“Berangkat sekarang, yuk? Rea udah nunggu di pertigaan,” ajak Shasa yang sudah berdiri di sebelah sang ibu.

“Ya udah. Kami berangkat dulu, Tan,” pamit Soni seraya mencium tangan tante Weni.

“Hati-hati ya ...?” ucap Ibu Shasa.

Soni mengangguk. Kemudian berlalu pergi membawa Shasa dalam boncengan roda duanya.

Karena pertemanan mereka yang sudah lama, berpegangan erat saat berboncengan itu sudah hal biasa bagi Shasa. Bahkan banyak orang-orang yang mengira mereka adalah pasangan.

Tepat di pertigaan gang menuju jalan raya, Rea dan abangnya sudah terlihat oleh Shasa.

“Son, kayaknya itu Rea deh?” ucap Shasa sambil menunjuk ke arah yang sedikit temaram.

Soni menghentinkan laju roda duanya tepat di samping abangnya Rea, Reyhan.

“Udah yuk jalan?” ajak Shasa.

Shasa tidak menyadari ada seseorang yang mulai memperhatikan wajahnya dalam diam. Rey, abangnya Rea langsung terpesona pada pandangan pertama ketika melihat Shasa.

Sebagai sesama pria, Soni bisa langsung tahu arti tatapan abangnya Rea.

Ada sepercik api yang perlahan mulai membakar hatinya mengetahui ada pria lain yang mulai memperhatikan Shasa.

Hatinya seolah tidak rela jika membayangkan Shasa dimiliki oleh orang lain selain dirinya.

“Ada apa dengan hatiku ...?”

-------***--------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status