Share

Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut
Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut
Penulis: Ana Sh

Bab 1: Mendadak Operasi

Sebagai istri seseorang yang bekerja di kapal, ketangguhanku sekali lagi diuji. Anak laki-lakiku yang divonis hernia sejak usia tiga bulan, kini harus dilarikan ke rumah sakit. Balita yang belum genap dua tahun ini menangis begitu kencang dalam gendongan. Ususnya turun ke buah zakar sehingga salah satu zakarnya membesar.

Biasanya saat hernianya kambuh, ia kugendong dan kuayun hingga posisi kepala di bawah. Setelah itu kupijat area di bawah perutnya agar ususnya kembali naik ke rongga perut, tetapi kali ini upaya itu tidak berhasil. Rheza tetap menjerit dan menangis, sehingga tetanggaku datang menghampiri. Mereka menyarankan Rheza untuk dibawa ke rumah sakit karena khawatir ususnya terjepit. Sebelum semuanya terlambat.

Di sinilah aku sekarang --di bangku tunggu-- menanti Rheza selesai dioperasi. Aku sendirian tanpa ditemani suami. Sebab Mas Wildan belum gilirannya libur. Karena hari ini kapal dijadwalkan tiba di pelabuhan, kucoba menghubungi ponselnya. Namun, hanya operator yang menjawab. Aneh, harusnya sekarang sudah ada sinyal karena jadwal kapal sudah saatnya berlabuh.

Dalam situasi normal, biasanya aku hanya menunggu beberapa jam lagi agar bisa terhubung dengan Mas Wildan. Sebab, kadang memang ada keterlambatan akibat cuaca di tengah laut yang kurang bersahabat. Kedatangan kapal pun bisa molor dari jadwal yang telah ditentukan. Karena sekarang kondisinya genting, kuputuskan untuk menghubungi Mila, yang suaminya juga kerja satu kapal dengan Mas Wildan.

Setelah nada panggilan ke empat, akhirnya telepon diangkat. Selepas mengucap salam, aku langsung bertanya kepadanya, “Mil, kapalnya belum nyampe ya? Aku telepon suamiku HP-nya enggak aktif terus.”

“Kapal sudah nyampe dari Subuh tadi, Say. Aku sudah nelepon Mas Dhimas sampai kupingku panas.”

Jantungku berdetak lebih kencang. Apa? Kapal sudah nyampe Subuh? Sementara sekarang sudah Isya, mengapa Mas Wildan belum memberi kabar juga?

            “Hm…tolong tanyakan ke suamimu ya, Mil. Mas Wildan kenapa enggak aktif HP-nya. Kali saja rusak atau gimana gitu.”

Oke, Say. Tunggu sebentar ya. Ntar kutelpon balik.”

Oke, trims ya.”

Sambil menunggu kabar dari Mila, kucoba lagi menghubungi ponsel Mas Wildan. Dia harus tahu jika anaknya sedang dioperasi. Beberapa bulan ini kami sudah riwa-riwi ke dokter bedah anak, menjadwalkan operasi hernia secepatnya. Namun, rencana operasi berulang kali diundur karena kondisi Rheza yang tak mendukung, terkadang batuk dan pilek. Setelah sembuh, eh berikutnya gantian berat badannya yang kurang. Anakku memang sulit gemuk. Sakit hernia yang dideritanya membuat dia sering menangis ketika kambuh. Alhasil, energinya banyak yang terbuang sebab tangisan.

Kucoba lagi menghubungi Mas Wildan. Alhamdulillah kali ini teleponnya tersambung. Mas, ayo angkat teleponnya, Mas! Begitu Mas Wildan mengucap salam, aku segera bicara.

“Mas … cepet pulang, Mas! Rheza masuk rumah sakit.”

“Loh, Rheza kenapa?” Kutangkap nada kepanikan dalam suaranya.

“Dia dioperasi karena ususnya kejepit.”

“Baik, aku segera pulang sekarang.”

“Mas sekarang di mana?”

Belum dijawab pertanyaanku itu, tetapi panggilan sudah ditutup.

Tak lama kemudian ponselku berbunyi lagi. Panggilan dari Mila.

“Kata suamiku Pak Wildan lagi enggak di kapal, Say. Sudah turun sejak tadi sore setelah bongkar muatan selesai.”

“Ya Mil, sudah bisa kuhubungi barusan.”

“Ada apa? Tumben kamu panik banget.”

“Enggak pa-pa, Mil. Ini anakku sakit.”

“Sakit apa?”

“Hernianya kambuh. Ini lagi dioperasi.”

“Ya ampun … semoga lancar ya, operasinya! Besok pas longgar aku jenguk.”

“Enggak perlu Mil, rumahmu jauh. Operasi kecil saja kok. Makasih perhatiannya.”

Sejam kemudian tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor yang belum kusimpan. Kuklik nomor asing tersebut. Foto profilnya sudah membuatku memicingkan mata. Laki-laki dan perempuan memakai kaus couple warna hitam dengan tulisan warna putih. Wajah laki-laki itu sangat kukenal. Ya betul ini Mas Wildan. Lantas perempuan ini siapa?

Tanganku gemetar melihat foto profil itu. Belum lagi melihat gambar yang dikirim. Foto itu masih buram. Harus kuklik dulu agar ter-d******d sempurna. Sekian detik kemudian barulah gambar itu terlihat jelas. Mereka berdua selfie di atas ranjang. Dari model furniture dan ornamen yang tertangkap kamera, mereka tampaknya ada pada sebuah kamar hotel yang cukup mewah. Tubuh keduanya ditutup selimut tebal warna putih. Senyum Mas Wildan dan perempuan itu merekah. Gawaiku langsung terjatuh di pangkuan. Kedua tanganku mengepal. Air mata seketika tumpah tak mampu kutahan.

Bisa-bisanya kamu enak-enakkan sama perempuan lain, Mas. Sementara aku tiap malam terjaga menenangkan Rheza saat hernianya kambuh. Segera kuseka buliran bening yang keluar dari kedua netra. Aku tak ingin menangis untuk masalah ini. Terlalu berharga air mataku jika tumpah untuk mereka. Namun, tetap saja buliran bening ini terus menganak sungai. Hingga Ibu dan kakak perempuanku datang menghampiri.

“Alya, gimana kondisi Rheza?” tanya Ibuku cemas.

“Masih belum selesai operasinya, Bu. Mungkin sebentar lagi. Nanti akan dipanggil jika sudah selesai.”

“Sudah Nduk, jangan nangis terus kayak gini. Pasrah saja sama Gusti Allah. Dokter juga akan melakukan yang terbaik buat Rheza. Mudah-mudahan lancar operasinya. Biar enggak kambuh lagi hernianya.” Ibu pikir aku menangis karena Rheza dioperasi. Padahal karena ayahnya Rheza layak dikebiri.

“Wildan sudah tahu kalo anaknya operasi sekarang?”

“Sudah, Bu. Ini lagi perjalanan pulang.”

Benar-benar panjang umur suamiku itu. Baru saja namanya disebut, kini sosoknya terlihat keluar dari lift. Kuamati dia yang melangkah ke arah kami. Laki-laki ini memang terlihat semakin menawan. Lihatlah alisnya yang tebal. Juga rambut dan cambangnya yang dirapikan dengan model terkini. Namun, mata ini langsung kupejamkan begitu membayangkan dia telah menyentuh perempuan lain, sehingga kepalaku menggeleng-geleng tanpa dibuatnya. Tahan emosimu Alya. Tahan! Ini rumah sakit.

Laki-laki berjaket cokelat itu mengangsurkan tangannya untuk kucium seperti biasa. Aku hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. "Aku pilih naik pesawat ini tadi. Biar bisa segera melihat Rheza," ucap Mas Wildan. Dia seolah memberi penjelasan atas pandanganku yang mengintimidasinya. Padahal, bukan hal itu yang ingin kudengar darinya.

“Keluarga Anak Rheza!” panggil perawat yang muncul dari balik pintu ruang pemulihan pasca operasi.

“Ya, Mbak!” Aku segera berdiri diikuti Ibu dan Mas Wildan.

“Anak Rheza sudah selesai operasinya, tapi sekarang belum sadar. Silakan salah satu anggota keluarga menunggu di dalam!”

Mas Wildan meminta untuk melihat Rheza terlebih dahulu. Kemudian disusul Ibu dan kakak perempuanku secara bergantian, setelah itu barulah aku masuk. Kususuri ranjang pasien yang berjejer, sehingga kudapati wajah anakku di sana. Tubuhnya masih terbungkus baju pasien warna hijau muda. Di hidungnya ada alat bantu penyuplai kebutuhan oksigen. Kubuka kain yang menutupi raga mungil itu. Ada perban di bagian bawah perut sebelah kirinya, kira-kira sepanjang sepuluh centi meter.

Aku pandangi lekat muka anakku. Wajah selucu ini, ternyata tak cukup mengalihkan hasrat bapaknya dari pesona perempuan di luar sana. Apa yang harus bunda lakukan sekarang, Nak? Apakah memisahkanmu dari seorang ayah yang telah berkhianat adalah pilihan tepat? Kuraih tangan mungilnya. Lalu kuhujani kecupan. Bahuku terguncang oleh isakan. Tiba-tiba kurasakan tangan seseorang memegang dan setengah memijit.

“Dik, kamu istirahat saja dulu. Ibu ingin gantiin jaga Rheza.” Perhatiannya masih sama, tetapi kali ini aku merasa muak.

Dengan berat hati kutinggalkan Rheza. Kemudian mengikuti langkah Mas Wildan hingga kami ke luar dari ruang pemulihan.

“Dik, kamu belum makan ya? Ayo kita cari makan di kantin!”

“Aku enggak lapar, Mas!”

“Jangan begitu. Nanti kalo kamu sakit siapa yang bakal jagain anak-anak?”

“Oh, jadi bagimu keberadaanku hanya seperti baby sitter sekarang?” Emosiku mulai meninggi.

“Kok ngomong gitu?”

“Enggak apa-apa. Lupakan! Ayo kita cari makan!”

Hampir saja aku tak bisa mengendalikan amarah. Kutenangkan jantungku yang berdetak lebih cepat. Aku ingin tahu sampai kapan Mas Wildan bersandiwara di depanku. Sementara perempuan itu sudah tak tahan ingin menunjukkan permainannya.

Kantin rumah sakit cukup lengang. Mas Wildan sedang memesan makanan. Sementara aku dibuat penasaran dengan bunyi notifikasi pesan masuk yang beruntun. Siapa mengirim pesan sebanyak ini? Setelah kucek, ternyata perempuan itu lagi. Kali ini ia mengirim 25 buah foto. Kuklik tanda plus di antara gambar yang tertindih itu. Kini setiap gambar seolah mengejekku satu persatu. Oh, rupanya mereka telah mengunjungi banyak tempat. Luar biasa. Jadi, sudah berapa lama mereka bermain di belakangku? Siapa perempuan yang telah menaklukkanmu itu, Mas?

.

.

[Bersambung]

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cahaya Asa
kasihan banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status