Share

Bab 6: Pernikahan Batil

Pesan yang kukirim lewat inbox kepada mantan suaminya Nely belum mendapat tanggapan. Begitu pun kepada Imelda. Sepertinya mereka adalah pasangan yang kurang aktif di dunia maya. Baru saja kubatin, tak lama kemudian ada notifikasi masuk dari messenger. Alhamdulillah dari Pak Rifki. Segera kubaca isi balasannya.

Wa’alaikumussalam.

Mohon maaf saya sudah tidak ada hubungan lagi dengan Nely. Sehingga saya pun tidak mau terlibat dengan kehidupan pribadinya lagi. Urusan saya dengan dia tidak lebih hanya karena anak-anak masih dalam pengasuhannya. Selebihnya saya tidak mau ikut campur. 

Balasan dari Pak Rifki itu sedikit membuatku putus asa. Memang benar sih dia sudah tidak ada urusan lagi dengan mantan istrinya, tetapi tidak adakah sedikit empati untukku yang sekadar ingin menggali informasi?

Maka, sebelum Imelda menjawab balasan serupa sebagaimana yang dilakukan suaminya, aku mengirimkan pesan lagi kepadanya. Berharap bisa menggerakkan hatinya agar bersedia membuka sedikit informasi tentang Nely kepadaku.

Assalamu’alaikum. 

Mbak Imelda mohon maaf saya lancang menulis cerita ini. Mengapa saya membutuhkan informasi tentang Bu Nely? Karena sosoknya begitu misterius, tiba-tiba memasuki kehidupan rumah tangga saya. Suami saya sepertinya sangat percaya kepada Bu Nely bahwa ia orang baik. Salah satunya menikah bukan karena mengincar harta. Tidak pula menuntut nafkah materi. Bahkan, Bu Nely itu siap membiayai keperluan saat bersama suami saya. Saya belum paham komitmen berumahtangga seperti apa yang akan mereka bangun. Padahal suami saya juga liburnya hanya seminggu dalam sebulan. 

Kata suami, Bu Nely sanggup datang setiap kali kapal sandar. Padahal, setelah saya telusuri akunnya, jarak tempat tinggalnya ratusan kilometer ke pelabuhan. Tentu hal itu membutuhkan akomodasi yang tidak sedikit. Belum lagi sewa hotel yang harus dibayar. Anggap saja kita ambil harga hotel yang standar, 500 ribu sekali check in. Seumpama Bu Nely merapat ke pelabuhan seminggu sekali saja, minimal biaya akomdasi dan sewa hotel yang diperlukan sudah satu juta perminggunya. Sebulan bisa empat juta. Belum lagi saat pergi ke pelabuhan tidak selalu bersama anak-anak. Artinya, pengasuhan anak-anak pun terabaikan karena ibunya sering kluyuran ke luar provinsi. Saya tidak tahu Bu Nely itu kerjanya apa, kesannya kok begitu mudah mengeluarkan uang. Itu sementara uneg-uneg yang ingin saya sampaikan. Semoga rahmat Allah selalu terlimpah untuk keluarga kita.

Wassalam.

Pesan kukirim. Semoga segera mendapat respons.

Baru dua hari menginap di rumah sakit, diri ini sudah lelah jiwa dan raga. Malam ini aku meminta ART-ku, Bik Sum, untuk menemani di sini. Hasil visitasi dari dokter bedah anak tadi, insyaallah besok siang Rheza sudah diperbolehkan pulang asalkan suhu badannya sudah normal. Sebenarnya aku mengajukan pulang malam ini, tetapi belum diizinkan karena suhu badannya masih anget-anget kuku, kisaran 37,5 derajat celcius.

Bik Sum kuminta menjaga Rheza sekarang. Rasanya aku butuh merebahkan badan sebentar. Sekadar meluruskan punggung dan memejamkan mata barang sekejap. Netra ini sudah sangat sepet. Kepala pun terasa penat. Aku berpesan pas azan Isya berkumandang agar dibangunkan.

Belum lama tertidur, betisku seperti ada yang menggoyang-goyang. Kemudian samar kudengar, “Bu Alya, ada tamu.” Mendengar itu aku langsung bangun. Di sebelah ranjang anakku sudah berdiri sosok bergamis hijau botol, pun dengan warna kerudungnya. Wajah itu mengulaskan senyum.

“Ustazah Firoh –“ sapaku sedikit kaget. Tidak menyangka beliau datang. 

“Assalamu’alaikum, maaf loh Bu Alya, saya jadi ganggu waktu istirahatnya. Ini tadi saya mau langsung pamit saja. Tapi Panjenengan malah dibangunkan.”

Mboten nopo-nopo Ustazah, lagian saya belum Isya’an. Kok tahu saya di sini?”

“Iya, tadi pagi itu mau mampir ke rumah Panjenengan, anterin buletin ini. Tapi kata tetangga, Panjenengan di sini. Mohon maaf, saya baru sempat malam ini besuknya.”

Kuterima buletin yang mengangkat judul ‘Umat Wajib Membela Kehormatan Nabi SAW’ itu.

“Sendiri saja, Ustazah?” sapaku sambil tengok kanan kiri, tetapi tidak ada siapa-siapa.

“Dianter suami tadi. Kebetulan suami ada kajian di rumah teman. Nanti selesai kajian baru dijemput.”  

Mendengar pernyataan Ustazah Firoh barusan, berarti beliau agak lama menunggu suaminya di sini. Apakah ini pertanda kalau aku harus bicara dengan orang yang paham agama tentang masalah rumah tanggaku? Secara Ustazah Firoh ini pemahaman masalah fikihnya bagus. Aku tahunya setelah beberapa kali mengikuti pengajian rutin yang diadakan di musala dekat rumahnya. Beliau sebagai pengisi tetapnya.  

Segera kuminta Bik Sum untuk keluar membeli diapersnya Rheza karena stok menipis. Sambil kuberi tahu agar menunggu dulu di lobi sampai Ustazah Firoh pulang. Aku atur demikian agar aku dan Ustazah Firoh bisa leluasa bicara nantinya. Biar nanti Bik Sum kuberi tahu sendiri masalah ini.

“Ustazah, monggo duduk dulu biar tidak capek berdiri.” Kupersilakan beliau duduk di kursi dekat jendela. Sementara aku menyeret kursi jatah pasien sebelah yang sekarang lagi tidak dihuni. 

“Ustazah, ngapunten. Apa jika kita menceritakan masalah rumah tangga itu termasuk membuka aib?”

Wanita berkacamata itu tampak berpikir sejenak. Suasana kamar hening karena Rheza masih terlelap dalam tidurnya.

“Kalo menceritakannya pada orang yang tepat dengan tujuan mencari solusi pemecahan masalah, insyaallah bukan mengumbar aib. Tapi kalo menceritakannya hanya untuk bahan rasan-rasan, ya lain lagi.”

Aku mencerna kalimat itu pelan-pelan. Setelah itu kusampaikan niatku, “Rumah tangga saya dalam masalah, Ustazah. Saya ingin mengetahui pendapat Ustazah untuk masalah ini.”

“Masalah apa?”

“Suami saya nikah lagi diam-diam.”

“Astaghfirullahal’azim.…” sahut Ustazah Firoh terlihat kaget dan langsung membetulkan letak kacamatanya. Kemudian duduknya berubah tegap yang sebelumnya bersandar di punggung kursi. Kuceritakan semuanya kepada Ustazah Firoh. Awal mula aku mengetahui masalah ini hingga sikap Nely kepadaku.

“Bismillah, semoga apa yang saya sampaikan tidak melenceng dari syariat. Setiap keluarga pasti ada ujiannya, Bu Alya. Saya diuji anak yang menderita kelainan mental dari ia lahir sampai sekarang usianya sudah belasan. Panjenengan kebetulan diuji suami yang mendua,” jelas Ustadzah Firoh.

 “Satu hal yang harus Panjenengan pegang. Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha, Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya,” lanjut Ustazah Firoh.

Aku tertunduk. Ayat itu sudah kuhafal, tetapi memaknainya masih dangkal. Baru setelah dihadapkan ujian secara langsung seperti saat ini, begitu terasa kandungannya. 

“Sampai di sini Panjenengan bisa memahami? Pertama tata mind set kita dulu ketika mendapat masalah. Dan saya berharap Panjenengan pegang ayat tadi. Jika pemahaman itu Panjenengan pegang, insyaallah nanti akan terasa ringan menjalaninya.”

“Jadi saya harus positif thinking bahwa saya mampu menyelesaikan masalah ini, Ustazah?”

“Betul. Pahami faktanya! Kemudian kembalikan kepada syariat bagaimana mestinya mengatur masalah itu. Jangan pakai standar lain! Apakah Bu Alya sudah paham fakta pernikahan yang dilakoni suami seperti apa?”

“Maksudnya, Ustazah?”

“Ya pernikahan itu kan ada rukun dan syarat sahnya. Apa Bu Alya sudah memastikan semuanya terpenuhi? Ya maaf, kita harus memastikan saja terlebih dulu. Sebab pernikahannya ‘kan dilakukan diam-diam. Khawatir ada rukun dan syarat yang diabaikan.”

“Oh, inggih…inggih….kenapa saya tidak berpikir ke sana, inggih.” Aku hanya manggut-manggut kemudian menggelengkan kepala. 

“Ya wajar. Bu Alya ‘kan masih syok. Maklum jika belum bisa berpikir jernih,” ucap Ustazah Firoh disertai seulas senyum. Seolah ia paham sekali apa yang kurasakan kini.

“Trus apa yang harus saya lakukan sekarang, Ustazah?”

“Dari rukun nikah itu coba pastikan wali dari pihak perempuannya siapa? Biasanya rawan pelanggarannya di poin ini. Jika orang tua laki-laki mempelai perempuan masih hidup, berarti harus bapaknya yang menjadi wali nikah. Baru jika bapaknya meninggal, bisa diwakilkan paman dari pihak bapak, saudara laki-laki atau jalur wali berikutnya.”

“Misal, walinya tidak memenuhi syarat itu bagaimana, Ustazah?” tanyaku berhati-hati.

“Siapapun wanita yang menjalani pernikahan namun tanpa izin dari walinya, maka status nikahnya itu batil. Konsekuensi dari pernikahan yang batil ya tidak sah, maka harus dihentikan. Jika tetap dilanjutkan dan pasangan itu melakukan hubungan suami istri, maka mereka bisa dihukumi berzina. Kecuali para pengikut Imam Hanafi yang membolehkan nikah tanpa wali.”

Astaghfirullah…bulu kudukku di tengkuk langsung berdiri mendengarkan penjelasan Ustazah Firoh barusan. Aku harus cepat-cepat mendapatkan informasi perihal masalah ini. 

Inggih Ustazah, saya sekarang mulai paham apa yang harus saya lakukan.”

“Alhamdulillah, semoga dimudahkan urusannya. Nanti jika sudah mendapatkan informasi itu secara valid, kita bahas lagi langkah yang harus Panjenengan ambil berikutnya. Oya, kalau bisa cari tahu apakah orang tua laki-laki dari istri baru suami Panjenengan itu masih hidup atau sudah meninggal. Jika masih hidup langsung didatangi saja. Silaturahmi, bicarakan masalah ini baik-baik.”

Nasihat itu kusimpan baik-baik dalam benak. Tak selang berapa lama kemudian Ustazah Firoh dijemput suaminya. Kami pun bersalaman. Hendak kucium punggung tangannya tetapi beliau menghindar. Lagi-lagi doa dan semangat meluncur dari lisannya sebelum meninggalkanku. 

Lalu ponsel di atas ranjang pasien berbunyi. Panggilan video call dari Mas Wildan. Kebetulan, aku mau menanyakan siapa wali dari pihak perempuan dalam pernikahannya dengan Nely.

“Dik, gimana kabar Rheza?”

“Masih tidur, Mas. Badannya agak anget.”

“Kata dokter gimana?”

“Masih normal, itu reaksi dari pemulihan kondisi tubuhnya sehabis dioperasi.”

“Syukurlah. Oya, kamu jangan berpikir aneh-anehlah. Pake mau meninggalkan Rheza buat jalan sama teman kantor segala. Aku enggak bisa nemani ‘kan karena kerja, bukan jalan-jalan.” Mas Wildan terus saja berkilah.

“Ya, tapi kenapa pake dianter Nely segala? Biasanya 'kan naik bus,” jawabku ketus.

“Mas enggak minta, Dik. Tiba-tiba saja dia telepon kalo sudah di depan rumah sakit.”

“Lah berarti ‘kan mas cerita alamat rumah sakit ini. Halah kalian sama saja,” hardikku.

“Sudahlah jangan bahas itu. Biar masalah dengan Nely Mas urus sendiri. Kamu enggak perlu ikut-ikutan mikir.”

“Ya mana bisa begitu, Ma,” protesku.

“Ya anggap saja dia enggak ada. Selesai ‘kan, Dik? Yang penting, tidak ada hakmu yang kukurangi.” Kuabaikan ocehannya yang ngawur itu tentang pola relasi yang harus aku jalani dengan Nely.

“Oya, pas kalian nikah wali dari pihak Nely siapa, Mas?”

“Kenapa kamu tanya itu?”

“Ya tanya saja. Di sini 'kan orang tua Mas tidak tahu apa-apa. Jangan-jangan ortunya Nely juga sama.”

“Kamu jangan cari-cari kesalahanku dengan Nely, Dik! Mas tahu kamu sulit menerima Mas nikah lagi. Tapi enggak perlu bersikap begitu ‘kan?”

“Loh, kok marah sih Mas? ‘Kan tinggal jawab saja siapa walinya. Selesai, ‘kan? Jangan sampai ya wali nikahnya Nely bukan bapaknya, sementara bapaknya masih hidup. Itu sama saja kalian berzina,” ucapku mantap.

“Kamu itu, Dik! Ditelepon enggak bikin tenang, malah ngajak ribut saja!”

Video call diakhiri sepihak oleh Mas Wildan. Dadaku bergemuruh. Mas Wildan jadi emosional sekarang. Padahal selama ini ia tak pernah bicara nada tinggi kepadaku. Aneh, mengapa pertanyaanku tadi tidak dijawabnya dengan lugas? Atau jangan-jangan pernikahan mereka memang batil?

***

[Bersambung]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status