Share

Bab 7: Bertemu Si Ulat Bulu

Pagi ini aku harus check lock finger print ke kantor. Sejenak kukesampingkan masalah dengan Mas Wildan. Sebab menjadi abdi negara tak bisa menjadikanku seenaknya bolos kerja. Meski memang ada alasan kuat sebenarnya, anak sakit. Namun, sekarang aturan kepegawaian lebih ketat. Tidak ada izin menjaga anak sakit. Jika keadaan memaksa tidak masuk, maka harus mengajukan cuti.

Saat mengajukan cuti, konsekuensinya tunjangan akan dikurangi. Belum lagi mengurus kelengkapan administrasinya cukup menyita waktu. Untungnya pimpinanku pengertian. Aku hanya diminta datang pagi untuk absen digital -finger print- lalu mengecek berkas-berkas yang perlu dibubuhi tanda tanganku. Setelah itu aku diizinkan kembali mengurus keperluan Rheza yang rencananya akan pulang dari rumah sakit hari ini. Baru nanti sore aku kembali ke kantor untuk melakukan absen pulang melalui mesin sidik jari lagi.

Kendaraan kupacu lebih kencang agar bergegas kembali ke rumah sakit. Meski sudah ada kakak perempuanku dan Bik Sum di sana, tetap saja hati ini tidak tenang. Ketika sampai di rumah sakit, persetujuan dari dokter untuk kepulangan Rheza sudah didapat. Urusan administrasi dan obat dari apotek pun sudah selesai. Rheza segera kugendong menuju parkiran mobil. Kemudian kuserahkan ke Bik Sum karena aku harus memegang kemudi. Kontak mobil kumasukkan ke lubangnya. Mesin mobil menyala seiring ponselku yang berkedip-kedip tanda ada panggilan masuk. Rupanya ada telepon dari Bu Lek Titik, adiknya ibu mertua.

“Hallo Mbak Alya, ini Lek Titik.”

Inggih, Bu Lek. Ada apa?”

“Lek sekarang sebenarnya mau berangkat jenguk Rheza, tapi ---“ bicara Bu Lek terjeda. Seperti ada yang mau disampaikan tetapi ditahan.

“Rheza sudah pulang ini, Lek. Mboten usah dijenguk. Nanti saja Rheza yang main ke sana,” terangku. Aku khawatir saja beliau merasa sungkan, barangkali memang masih ada kerepotan.

“Ini loh Mbak Alya, wanita yang ngaku istrinya Mas Wildan itu loh datang ke rumah ibu mertua Sampean.”

Astaghfirullah, wanita itu lagi. Kemarin menjemput suamiku kemudian mengantar ke pelabuhan. Sekarang balik ke sini lagi, mendatangi ibu mertuaku. Benar-benar enggak punya capek orang ini.

Sampean mau ke sini ta? Kalo iya, Lek tunggu. Kalo tidak, Lek berangkat ke sana.”

Rumah tempat tinggal Bu Lek memang berhimpitan dan satu halaman dengan rumah ibu mertua. Jadi, sudah bisa dipastikan informasi ini valid. “Hm…gini saja, Lek. Panjenengan di rumah saja. Tolong pantau perkembangan di sana. Nanti saya hubungi lagi. Ini saya masih di jalan.”

Kulihat dari kaca spion dalam, kakakku memandangku penuh tanya. “Telepon dari siapa, Al?” Hmm…mati aku. Aku tak mungkin membohonginya. Tapi bercerita kepadanya sekarang juga tidak mungkin kulakukan.

“Bu Lek Titik, Mbak.” Kulihat kembali ekspresi wajahnya dari kaca spion dalam. Sepertinya dia paham kalau aku masih enggan bercerita. Kuda besi ini sudah melaju di jalan raya. Pikiranku kurang fokus saat ini. Hingga hampir saja lampu merah di perempatan tak kuhiraukan. Akibatnya mobil kurem mendadak.

“Astaghfirullah….” ucap kami hampir berbarengan. Kulirik Bik Sum mengelus dadanya.

“Kamu enggak apa-apa, Al?” Lagi-lagi pertanyaan kakak memancingku untuk bercerita lebih.

“Ya, Mbak. Maaf sedikit kurang konsentrasi. Ada masalah di rumah ibu mertua. Habis ini aku mau ke sana. Minta tolong Panjenengan tinggal dulu di rumah temani Bik Sum, inggih.” Aku putuskan untuk mendatangi Nely saja. Daripada aku di sini, tetapi pikiranku melayang ke sana. Percuma, itu membuatku tidak fokus melakukan pekerjaan. Seperti lampu merah yang nyaris kuterjang barusan.

***

Benar saja, di halaman rumah ibu mertuaku sudah terparkir mobil warna putih. Tak hanya warna, merknya pun sama persis dengan yang kutunggangi. Berarti benar kata kakak laki-lakiku kapan hari saat bilang melihat Mas Wildan naik mobil yang sama dengan mobilku. Akhirnya, aku yang mengalah parkir di pinggir jalan. Sebab pekarangan depan itu hanya cukup dihuni satu buah kendaraan roda empat. Sisanya ada pohon mangga dan jambu yang cukup memakan tempat namun membuat teduh. Rindangnya pohon di halaman sedikit menyuplai oksigen ke otakku yang mulai terasa panas.

Saat kubuka pintu mobil, terlihat beberapa tetangga melongok dari teras rumahnya. Sepertinya mereka bersiap melihat perhelatan yang seru. Apakah mereka sudah mengendus siapa wanita yang datang duluan ke rumah ibu mertuaku itu? Kuulaskan senyum kepada tetangga yang sempat bertatapan denganku.

Aku melangkah ke rumah Mbah Uti di mana Bu Lek Titik juga tinggal satu atap dengannya. Beliau yang duduk di teras segera berdiri mengetahui kedatanganku. Segera kucopot alas kaki dan mengucapkan salam kepada wanita yang sudah berusia kepala delapan itu.  Lalu kucium punggung tangannya, kulitnya yang sudah keriput terasa agak kasar.

“Sendiri ae, Nak? Yo opo kabare Rheza, sudah sehat ta? Buyut belum bisa jenguk…huk… huk….,” sapa Mbah Uti.

Inggih, Mbah. Alhamdulillah Rheza sampun sehat.” Wanita yang telah melahirkan enam anak itu kutuntun masuk ke ruang tamu. Agar angin bercampur debu jalanan tak mengganggu pernapasannya. Sebelum masuk ke rumah Mbah Uti, sekilas kulirik ruang tamu ibu mertua. Ada sekelebat bayangan orang, mungkin Nely.

“Mbak Alya, Lek gregeten sama ibu Sampean iku. Begitu ngerti wanita itu turun dari mobil bawa parsel, langsung disambut ramah. Seandainya Lek yang jadi mertua Sampean, sudah Lek usir wanita enggak punya malu itu!” Bu Lek Titik yang keluar dari kamarnya langsung emosi menceritakan situasi terakhir.

Inggih, Lek. Saya ke rumah ibu dulu.” Tanpa banyak bicara kuangkat bokongku yang tadi sempat mendarat di kursi tamu ini. Kuambil napas dalam-dalam lalu kehembuskan perlahan. Semoga diri ini cukup tenang menghadapi wanita yang telah lancang masuk dalam mahligai rumah tanggaku ini.

Cukup sepuluh langkah kakiku sudah menjejak di ruang tamu ibu mertua. “Assalamu’alaikum, Bu.” Salamku tak ada yang menjawab. Ruang tamu ini kosong. Berarti Nely sudah sangat diterima keberadaannya di rumah ini. Secara untuk ukuran tamu, dia sudah masuk ke ruang keluarga, tak hanya duduk manis di ruang tamu.

“Wa’alaikumussalam. Eh … Mbak Alya. A-ada apa kok tiba-tiba ke sini?” Ada nada gemetar mengiringi kalimat basa-basi yang barusan keluar dari lisan mertuaku. Segera kuraih tangannya dan kucium seperti biasa.

“Saya mau ketemu Nely, Bu. Dia masih di sini, ‘kan?” sahutku tegas. Baru kali ini aku bicara kepada ibu mertua dengan nada datar dan sorot mata tajam. Aku masih berdiri karena belum dipersilakan duduk.

Hmm … iya di dalam. Ayo ke dalam saja ta!” ajak ibu mertuaku. Namun, aku ingin menempatkan Nely sebagaimana tamu. Maka, kuputuskan menemuinya di sini saja. Jika aku menemuinya di ruang keluarga, itu artinya aku sudah menganggapnya menjadi bagian anggota keluarga. Aku tak sudi melakukannya.

“Di sini saja, Bu. Tolong Panjenengan panggilkan, saya tunggu.” Akhirnnya ibu mertua mempersilakanku duduk. Beliau segera berbalik ke ruang keluarga. Selang beberapa detik kemudian muncullah wanita dengan gamis nuansa putih. Tingginya kutaksir sekitar 155 cm. Masih lebih tinggi diriku. Kulitnya sawo matang layaknya kulit wanita Jawa pada umumnya. Masih lebih bening kulitku yang kuning langsat. Wajahnya bulat, seimbang dengan bola matanya yang lebar. Kata orang Jawa blolak-blolok. Mungkin itu kelebihannya secara fisik dibandingkan netraku. Aku tak punya mata selebar itu. Sepertinya dia merasa kutelanjangi dari ujung kepala hingga kaki. Namun, ia tetap tenang. Nely mengambil posisi duduk di kursi yang menghadap ke halaman, kursi yang biasa ditempati tuan rumah. Secara etika, dia sudah melewati batas sebagai sesama tamu di rumah ini.

“Mbak Nely, ya?” Kusapa ia terlebih dulu dengan embel-embel ‘mbak’ agar lebih menghargai usianya yang sepertinya lebih tua dua atau tiga tahun dariku.

“Ya, Mbak Alya, ya? Salam kenal,” sahutnya tetap dengan wajah terangkat. Aku salut dengan mentalnya yang begitu kuat. Sepertinya dia sudah terlatih benkonfrontasi dengan orang lain. Oya, bukankah mantan suaminya sudah menikah lagi? Aku yakin dia sudah berpengalaman berkonflik dengan perempuan lain. Sementara aku, baru kali ini mau ngelabrak orang.

“Apa maksudmu tiba-tiba masuk ke dalam rumah tanggaku?” tanyaku sinis.

Dia tersenyum, lalu menjawab, “Tanyakan saja sama suamimu. Dia yang lebih dulu menggodaku.”

“Oh ya? Trus kamu meladeni godaannya?”

Dia membuang muka. Sepertinya tidak menduga seranganku secepat itu. Aku memang tanpa jeda langsung merespon pernyataannya.

“Ya, kenapa? Aku merasa nyaman dengan perhatian yang diberikan Mas Wildan. Dia pun merasakan hal yang sama,” selorohnya diiringi seringai di wajah. Semakin memperlihatkan wataknya, licik.

“Sejak kapan?”

Oh...apa suamimu tak pernah cerita sama sekali tentang diriku? Kami kenal di klub mobil.” Nely tetap tenang menjawab setiap pertanyaanku.

Astaga, memoriku langsung teringat momen kisaran tiga bulan lalu. Saat Mas Wildan meminta izin untuk bergabung di klub mobil agar menambah teman dan informasi tentang seluk beluk kendaraan yang kami miliki. Dan aku mengiyakannya saja waktu itu. Karena pikirku anggota klub mobil biasanya bapak-bapak. Enggak tahu kalau terselip Si Ulat Bulu juga di dalamnya.

Memoriku kembali terbuka. Mas Wildan juga pernah mengenalkan anggota klub yang sudah bergabung terlebih dahulu. Salah satunya si Nely ini. Saat itu ditunjukkan gambar Nely dengan dua anak perempuannya. Aku hanya meliriknya sekilas. Lalu terlontar dari mulut suamiku, “Ini loh Dik, kasihan. Janda anak dua ditinggal suaminya karena kepincut perawan.”

Loh kok tahu kalo kepincut perawan?” tanyaku spontan kala itu.

“Sudah umum di grup, semua sudah tahu ceritanya. Sering jadi bahan bully-an juga.”

Aku pun merespon biasa saja. Karena merasa tidak kenal. Juga percaya enggak mungkin Mas Wildan tergoda janda dua anak itu. Namun, tak kusangka rasa kasihan itu menjadi awal mula petaka.    

Oh ya, aku ingat. Kamu janda yang ditinggal suamimu nikah lagi sama perawan itu, ‘kan? Ka-si-han! Trus kamu kesepian? Akhirnya mencari pelampiasan?” Kulontarkan pertanyaan retoris yang pasti mengusik harga diri Nely. Itu jika dia masih merasa punya kehormatan. Kulihat wajah Nely mulai bersungut-sungut.

Lalu kutambahi, “Sama laki-laki beristri lagi. Sepertinya kamu sudah siap disebut rondo gatel.” Kulontarkan semua kesimpulan ini dengan nada yang mantap. Hingga membuat Nely muntab. Lalu ia bangun dari kursinya dan menuju ke arahku. Tangannya hampir saja meraih paksa kerudungku. Namun, tiba-tiba Bu Lek Titik muncul menjadi tamengku.

Eh…eh…eh....jangan sentuh keponakanku! Sampean itu tamu di sini kok ngajak gelut.” Lek Titik segera menghempaskan kasar tangan Nely yang hampir menyambar kerudungku.

“Kalo enggak terima disebut rondo gatel, cari laki-laki single sana! Bukan suami orang.” Lek Titik masih meluapkan emosinya. Rupanya tadi suaraku terdengar ke luar. Sampai Lek Titik mengetahui apa yang kuucapkan. Ibu mertua akhirnya juga ikut ke ruang tamu mendengar ada keributan di sini.

“Aku ya pernah jadi janda, Mbak. Tapi masih bisa jaga sikap. Enggak kayak Sampean. Buktinya aku sekarang ya menikah, tapi sama duda. Nikah resmi. Enggak kayak Sampean, nikah siri sama suami orang lagi. Jelek-jelekin janda lainnya saja.” Lek Titik masih saja mengata-ngatai Nely.

Sementara Nely menggerakkan bibirnya ke samping. Kata orang Jawa mencep. Tanda ia tak terima atas tuduhan yang diberikan kepadanya.

“Sudah…sudah…jangan ribut di sini! Ibu malu.” Ibu mertuaku tergugu. Nely mencoba menenangkannya. Hm…pintar sekali dia mencari peluang. Sementara itu, gawaiku berbunyi. Kakakku telepon menyuruh segera kembali karena Rheza menangis mencariku.

“Keributan ini enggak akan terjadi Yu, jika wanita ini langsung diusir,” ucap Lek Titik menyalahkan ibu mertuaku.

“Sudah Lek, sudah. Biarkan saja jika ibu mau menerimanya.”

Aku pun segera berdiri dan pamit kepada ibu mertua yang masih duduk terisak. Sementara Nely kulewati begitu saja. Saat aku menuju teras, tetangga tampak membubarkan diri. Mereka habis dapat hiburan live sinetron rupanya.

Saat kuambil kontak di dalam tas, tampak ponselku menyala. Ada balon percakapan dari Imelda, semoga kabar baik. Kemudian juga ada notifikasi pesan dari Nely. Kuklik pesan dari Nely terlebih dahulu.

[Tunggu pembalasanku]

Duh...mau apa lagi ini Si Ulat Bulu.

***

[Bersambung]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status