Share

Bab 8: Kabar dari Imelda

Pesan dari Nely kuabaikan. Kini balon percakapan dari Imelda kuklik.

Wa’alaikumussalam.

Mohon maaf Mbak Alya, aku membalasnya lama. Karena sempat beda pendapat sama Mas Rifki. Namun, aku berhasil yakinkan dia. Akhirnya diizinkan juga membalas pesan Mbak Alya. Sebelumnya terima kasih sudah berbagi cerita. Aku ikut prihatin dengan rumah tangga Mbak Alya. Meski aku enggak kaget dengan perangai Nely. Pesanku hati-hati saja menghadapinya. Dia itu tipe orang bermuka dua. Dia bisa menyamar jadi perempuan yang lembut dengan suara yang mendayu-dayu, tetapi di sisi lain dia juga bisa sangat kasar kata-katanya. Aku sudah kenyang dapat terornya. Bahkan sampai sekarang. Semoga suami Mbak Alya segera tersadarkan siapa Nely sebenarnya.

Tentang kelakuan Nely yang suka meninggalkan anak-anak itu bukan perkara baru, Mbak. Dari dulu dia memang suka pergi-pergi. Itulah yang jadi salah satu alasan mengapa Mas Rifki sampai hati menceraikannya padahal sudah punya anak dua. Alasan lain yang lebih parah ada, lain kali saja aku ceritakan. Kalau bicara ke orang lain, Nely bilang kalau suaminya kurebut. Tak jarang orang akan percaya begitu saja tanpa tahu masalah yang ada di dalam rumah tangganya.

Aku juga sering dapat laporan dari gurunya anak-anak di sekolah. Pas waktu menjemput pulang sekolah sering terlambat. Kemudian tiba-tiba ada tukang ojek yang menjemput tanpa ada konfirmasi lebih dulu. Tentu itu menjadikan gurunya khawatir, sehingga lebih memilih mengantarnya sendiri. Kalau terjadi penculikan nanti pihak sekolah yang disalahkan.

Oh ya, ini rencananya pengiriman jatah bulanan anak-anak ke depannya akan kami alihkan ke Mbah kakungnya anak-anak saja. Selama ini kami kirim ke Nely langsung. Setelah cerita dari Mbak Alya, kami merasa khawatir jatah anak-anak digunakan untuk urusan lainnya. Ada pikiran juga untuk mengambil hak asuh anak-anak jika memang Nely sering mengabaikan mereka.

Terimakasih Mbak atas informasinya. Semoga Mbak Alya diberi kemudahan menghadapi ujian ini.

Wassalam.

Alhamdulillah, Imelda bersedia membuka komunikasi. Ngeri membaca informasi tentang Nely darinya. Nanti akan kusampaikan kepada Mas Wildan, semoga ia sadar siapa wanita yang sedang dihadapinya.

***

“Alhamdulillah, itu bunda sudah datang,” seru kakakku kepada Rheza yang sedang rewel.

“Ya sayang, maaf ya bunda tadi masih ada perlu.” Kucoba mengambil alih Rheza setelah cuci tangan.

“Sepertinya dia ngantuk Al, kamu keloni saja biar tidur!” saran kakakku. Akhirnya, kubopong Rheza ke kamar sambil nenen. Aku memang memunyai prinsip anak-anak harus minum ASI sampai usia dua tahun. Menjadi wanita bekerja tak boleh mengantarkanku mengabaikan hak anak tentang asupan makanan terbaiknya ini. Sebulan lagi Rheza baru kusapih. Tetapi sepertinya air susuku sekarang sudah tak terlalu bancar. Mungkin karena selera makanku turun drastis akhir–akhir ini. Bisa jadi juga aku stres sehingga menghambat keluarnya.

Benar, Rheza tenyata ngantuk. Hanya saja dia tidak bisa memulai tidur, makanya rewel. Lima menit aku keloni dia sudah terlelap. Sementara itu kakak perempuanku sepertinya sudah siap menanyakan masalah yang yang ingin diketahuinya dari tadi.

“Al, ada masalah apa di rumah mertuamu?”

Tuh kan benar dugaanku. Dia langsung to the point ke inti masalah. Aku sudah tak bisa mengelak dari pertanyaan kakakku. Maka, kuajak ia pindah ke kamar sebelah agar tak mengganggu Rheza yang baru saja terlelap. Kucerikatan semuanya dari awal hingga peristiwa barusan di rumah ibu mertua.

“Edan itu si Wildan, hidupnya baru enak dikit saja sudah banyak tingkah.” Sudah kuduga respon kakakku pasti berang. Apalagi Mas Wildan ada tanggungan utang padanya.

“Oya, bilang ke suamimu itu Al, suruh lunasi utangnya sekarang juga. Cash enggak pake dicicil.” Inilah yang membuat kakakku enggak terima. Mas Wildan masih punya pinjaman untuk tambahan biaya sekolahnya beberapa waktu lalu. Utang belum lunas, sudah bikin ulah.

Layaknya pekerjaan di bidang lain, di kapal pun anak buah kapal –ABK, yang mau naik jabatan juga harus sekolah lagi. Selama sekolah tentu tak mendapat gaji. Di sinilah kebutuhan membengkak sementara pemasukan berkurang. Sehingga kami terpaksa utang untuk mencukupi kebutuhan. Kami berjanji akan mengangsurnya setiap bulan saat gajian. Namun, karena kakakku geram dengan tingkah Mas Wildan, ia meminta pinjamannya dikembalikan sekaligus. Sekarang juga.

“Enggak ada yang melarang orang nikah lagi. Tapi kalo sudah pantas. Lah nyukupi kebutuhan anak istri saja masih kau rewangi bekerja, kok nambah istri. Wis keblinger bojomu iku, Al.” Tuduhan kakakku itu tak berlebihan. Aku jadi enggak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluargaku yang lain jika tahu masalah ini. Kakakku yang terkenal kalem saja bisa sebegini emosinya. Lantas bagaimana Bapak dan Ibuku?

“Oya, kamu tahu alamat wanita itu?”

“Sepertinya di Instagramnya ada foto yang disertai lokasi rumanhnya, Mbak.” Segera kubuka ponsel. Kuklik aplikasi berlogo kamera dengan background warna degradasi ungu ke jingga itu. Begitu ketemu akunnya Nely, segera ku-scroll foto-foto yang telah di-upload-nya. Kutunjukkan gambar itu kepada kakakku.

Oalah, arek’e biasa. Masih cakepan kamu. Sudah jangan minder. Besok kita datangi rumahnya.”

“Tapi di sini cuma tertera desa, kecamatan, dan kabupatennya, Mbak.”

“Ya dicarilah, Al. Nanti kusampaikan ke Masmu. Sepertinya dia punya kenalan dari daerah itu. Nanti diajak sekalian buat bantu gantiin nyopir kalo Masmu capek.”

Jarak rumahku ke rumah Nely bisa dibilang tidak dekat. Meski masih satu provinsi, tetapi harus melewati tiga kabupaten lagi baru sampai. Tak kusangka kakakku punya pikiran sejauh itu. Aku memang mendapat saran dari Ustazah Firoh kemarin agar memastikan model pernikahan yang dilakoni Mas Wildan dan Nely. Gayung bersambut kakakku mengajak mencari alamatnya Nely. Syukurlah, aku jadi enggak perlu pusing mengajak orang lain. Bertepatan besok itu hari Sabtu, sehingga aku libur kerja.

“Kita nanti ke sana ngomong apa saja, Mbak?” Jujur aku masih belum tergambar apa yang akan kami lakukan di sana nanti.

“Ya diniatkan silaturahmi ke orang tuanya. Kita ngomong baik-baiklah. Sekiranya kondisi ini bisa diperbaiki. Syukur-syukur jika orang tuanya juga nggenah. Biar bisa nasihati anaknya. Aku enggak tega lihat anakmu masih kecil-kecil trus kehilangan bapaknya.”

Kata-kata kakakku membuatku terenyuh. Tadi dia begitu emosi mendengar Mas Wildan nikah lagi, kini masih berusaha memperbaiki kondisi. Bisa jadi kalau orang lain langsung memintaku bercerai.

“Sudah sore, aku balik dulu. Jangan lupa banyak berdoa. Minta sama Allah diberi kekuatan, abot masalah iki.”

“Inggih, Mbak. Matur nuwun, ngapunten ngrepoti Panjenengan,” ucapku dari hati terdalam.

“Kamu itu adikku, Al. Masak aku tega biarkan kamu kena masalah sendirian. Sudah enggak usah sungkan gitu.” Kakakku lalu pamit. Dia memelukku erat dan kurasakan air matanya jatuh membasahi kerudungku.

Wis ya Al, yang kuat!” pesan kakakku dengan matanya yang basah, menjadikanku ikut berkaca-kaca. Bukan karena masalah yang menimpa, tetapi rasa pedulinya yang ingin keluargaku tetap utuh.

Aku bingung harus mencari informasi kepada siapa untuk menemukan alamat lengkap Nely besok. Lalu aku teringat Imelda. Barangkali dia pernah ke rumah Nely sehingga bisa sedikit memberi gambaran. Segera kukirim pesan kepadanya. Kubilang kalau aku besok mau ke rumah Nely. Alhamdulillah, pesan segera dibalas. Malah dia menyertakan nomor ponsel agar kami bisa lebih leluasa berbicara. Tanpa menunggu lama, nomor yang dia berikan langsung kusimpan. Segera kutelepon Imelda. Panggilan segera diangkat. Dari suara salam yang diucapkan, memang kentara jika dia masih muda.

“Ya Mbak Alya, aku bisa bantu apa?” sapanya dengan logat melayu yang cukup kental.

“Iya, Mbak. Saya besok berencana ke rumah Bu Nely sama kakak saya. Barangkali Mbak Imelda pernah ke sana. Bisa minta tolong kasih petunjuk.”

Imelda lalu menyebutkan gang yang harus kumasuki dari jalan provinsi. Katanya rumahnya hanya berjarak dua ratus meteran dari jalan raya dan menghadap ke utara.

“Oya, Mbak. Kalo karakter orang tuanya Bu Nely gimana, ya? Biar saya siap-siap juga hadapi mereka.”

“Kalo ibunya hampir sama sikapnya kayak Nely, Mbak. Dulu sebelum Mas Rifki kenal sama aku, mereka sudah ada masalah sebenarnya. Nely sudah mau dicerai karena dia ketahuan punya hubungan dengan laki-laki lain saat ditinggal Mas Rifki tugas ke luar negeri. Tapi enggak jadi cerai karena ibunya ngancam mau bunuh diri.”

Astaghfirullahbenarkah cerita ini? Kudengarkan dengan seksama agar tak ada informasi yang terlewat. Imelda masih melanjutkan ceritanya.

“Kalo bapaknya lebih enak, Mbak. Pak Danu itu lebih bijak nyikapi masalah. Karena beliau juga ketua RT saat itu. Jadi kalo Nely salah, ya diperlakukan salah. Enggak kayak ibunya, anaknya salah masih saja dibela.”

Oh … gitu ya, Mbak. Makasih banyak infonya.”

Oh ya, satu lagi. Pak Danu sama istrinya tahun lalu pergi haji, semoga hati mereka masih bersih menyikapi ini. Jujur aku kaget Nely enggak berubah. Malah semakin menjadi.”

“Kalo menurut Mbak Imelda, kira-kira ortunya Bu Nely tahu tidak jika anaknya nikah lagi?”

Feeling-ku mereka enggak tahu, Mbak. Enggak mungkin sepertinya mereka setuju dengan pernikahan siri. Sementara Pak Danu tokoh masyarakat yang cukup disegani di kampungnya. Beliau juga pensiunan pegawai negeri.”

“Ya, Mbak. Terima kasih ya infonya. Sangat membantu.”

“Sama-sama, semoga berhasil ya. Oya, satu lagi. Nely itu enggak punya kerjaan, Mbak. Dia sekarang pegang uang karena semua tabungan selama jadi istrinya Mas Rifki dia yang pegang. Mungkin sekarang uangnya masih banyak, makanya bisa foya-foya. Kami saja yang di sini menerima banyak tagihan utang dari teman-temannya. Pokoknya hati-hati ya, Mbak! Jangan percaya dia enggak butuh materi dari suami Mbak Alya. Itu strategi dia saja. Dia itu pinter sandiwara.”

Informasi dari Imelda ini poin yang sangat penting. Telepon dengan Imelda sudah kuakhiri dengan mengucap banyak terima kasih. Kebuka semua kedokmu sekarang, Nel. Kalau begini kondisimu enggak perlu lama kau akan kalang kabut. Ternyata dia tak se-wow yang kukira. Kupikir saja dia benar-benar wanita kaya yang enggak butuh harta. Ternyata sama saja. Janda yang cari penghidupan.

Baru saja kutaruh gawai di atas meja, panggilan telepon masuk. Ternyata Mas Wildan. Tumben tidak pakai video call. Segera kugeser ikon telepon warna hijau. Tanpa salam dia langsung bicara.

“Dik, kamu habis buat keributan ya di rumahnya Ibu?” hardiknya. Dari intonasinya dia terlihat sangat marah.

“Kata siapa?”

“Ibu barusan telepon, nangis-nangis ke aku. Ya ampun, Dik. Enggak bisa ta kamu tenang hadapi masalah ini?”

“Mana bisa aku tenang, Mas. Sementara suamiku mulai berani ganjen menggoda janda,” teriakku.

“Kamu ‘kan yang mulai pertengkaran itu? Coba kamu enggak nuduh Nely macam-macam. Pasti kalian enggak akan ribut di rumah Ibu,” berangnya. Mas Wildan menghindar dari pernyataanku barusan. Dia malah melimpahkan kesalahan kepadaku.

“Ya Allah, Mas. Sebegitunya kamu bela Nely?” Tangisku kini pecah.

“Ya enggak bela. Dia ‘kan berkunjung baik-baik ke Ibu. Tiba-tiba kamu datang bikin gaduh. Pasti Lek Titik ya yang ngabari?”

Aku diam saja tak menjawab pertanyaan yang dia sendiri sudah tahu jawabannya itu.

“Sudahlah jangan ikut-ikutan Lek Titik. Dari dulu Lek Titik sama Ibu itu kurang akur. Makanya suka kalo lihat keluarga kita hancur.”

Tak kuhiraukan masalah Lek Titik dengan ibu mertua. Lalu kualihkan pada kabar yang lebih penting. “Mas, aku barusan telepon istrinya Pak Rifki, mantan suaminya Nely. Ternyata Nely enggak sebaik yang kamu ceritakan, Mas. Dia ---“ bicaraku terpaksa terjeda sebab Mas Wildan memotongnya.

“Kamu itu, Dik. Cari informasi ke istrinya Rifki. Ya jelas saja pasti jelek-jelekin Nely,” sangkalnya.

“Ya enggak gitu, Mas. Nely itu enggak kaya Mas. Dia banyak utangnya.”

Lalu terdengar bunyi panggilan diakhiri. Entah Mas Wildan mendengar atau tidak kalimat terakhirku barusan. Namun sepertinya dia mendengar, makanya panggilan langsung ditutupnya sepihak. Mata hatimu benar-benar telah tertutup, Mas.

***

Pagi ini aku bersiap ke rumah Nely. Sebenarnya aku gerogi karena tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Apa dia akan memaki-makiku juga di rumahnya nanti? Sambil menunggu kakakku datang kubuat kopi agar pikiranku lebih rileks. Namun, niat itu kuurungkan sebab ada panggilan dari Mila.

“Ya, Mil. Ada apa?”

“Gila wanita itu, Say. Barusan suamiku telepon, katanya wanita itu mau ikut layar.”

“Hah, yang bener? Tahu dari mana?” Aku masih tak percaya dengan kabar ini.

“Iya bener, Say. Katanya Mas Dhimas, Pak Wildan lagi ngurusin free pass buat Nely. Itu, tiket gratis buat anggota keluarga ABK.”

Hm…nekat juga dia, banyak utang saja belagu. Mendengar kabar Nely mau ikut layar, hatiku gado-gado rasanya. Nyesek karena dia sama Mas Wildan, tetapi ada untungnya juga. Nanti pas aku ke rumahnya enggak perlu melihat wajahnya yang menyebalkan.

***

.

.

[Bersambung]

Ana Sh

Makasih teman-teman sudah singgah baca kisahnya Alya. Sudi kiranya tinggalin komentar ya. Biar tambah semangat nambah babnya. Love You all.

| 1
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sofian
ini menjelekan matabat seorang prlaut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status