Share

Bab 5 Dia Lagi

“Wah, sepertinya kita jodoh, ya. Baru saja bertemu di kantin, sekadang bertemu lagi di perpustakaan.”

Perasaan Rinjani semakin tidak karuan. Dia mengabaikan orang di depannya dan masuk begitu saja. Terdegar jika Arsha mengejek Agam saat melihat Rinjani mengabaikannya.

“Kasian sekali Kakak Sepupuku yang jelek ini,” sindir Arsha seraya menyusul Rinjani masuk.

Tangan sawo matang itu menari-nari, menyusuri buku-buku yang berjajar rapi di rak. Tadinya Rinjani berniat untuk tidak jadi masuk ke perpustakaan, jika saja dia tidak ingat bahwa buku yang akan dia pinjam, dibutuhkan hari ini.

Buku tebal bersampul kuning tua sudah berada di tangan Rinjani, dia hendak ke meja penjaga untuk mencatat pinjamannya, sebelum Arsha menghentikan langkah gadis itu.

“Rin, bukannya kamu sudah pinjam buku Pengantar Bisnis, ya?”

“Ketinggalan.”

“Ya ampun ….”

“Sha, nanti temenin makan es krim, ya. Mau perbaikan mood.”

“Kalau toko es krim mah siap kapan aja,” sahut Arsha sambil tersenyum lebar.

“Tapi Cuma temenin, mau makan bayar sendiri. Aku masih marah sama kamu.”

“Ya Tuhan … untung sayang.” Arsha memeluk Rinjani untuk menggodanya.

“Awas, ih. Jauh-jauh, sana!”

Rinjani dan Arsha masih terus berbisik. Mereka berdua tidak sadar jika perbincangannya didengarkan oleh seseorang yang berdiri di belakang mereka. Senyum jenaka menghiasi wajah lelaki itu saat mendengar nama sebuah café es krim disebut. Hal itu membuatnya sangat senang dan merencanakan kejahilan terhadap Rinjani.

***

Kelas hari ini telah berakhir. Sesuai rencana, Rinjani dan Arsha pergi bersama untuk makan es krim di tempat kesukaan mereka. Keduanya berjalan cepat menuju parkiran di mana mobil Rinjani terparkir.

“Sha, udah ngabarin rumah, ‘kan?” tanya Rinjani saat sudah duduk di bangku kemudi.

“Udah, kok. Kalau pergi sama kamu mah, aman. Asal jangan pulang pagi, aja.”

Keluarga Rinjani dan Arsha memang sudah saling mengenal. Kebetulan ibunya Arsha juga teman sekolah Hanna—ibu Rinjani. Jadi saat Rinjani dan Arsha pergi berdua, orang tua mereka tidak akan melarang.

Keheningan tercipta di mobil Rinjani karena Arsha sibuk dengan ponselnya. Matanya terus menatap benda pipih di genggamannya, senyum manis terpatri di wajah gadis itu membuat Rinjani menggeleng. Rinjani yakin, kini Arsha sedang melihat-lihat foto idolanya.

“Udah sampe, ayo turun!” Rinjani sengaja menaikkan nada bicaranya, karena Arsha tidak sadar jika sudah sampai tujuan.

Terlihat jika Arsha terkejut, matanya membulat. “Rin, gitu, ih. Kaget tau.”

“Salah sendiri,” sahut Rinjani lalu keluar mobil lebih dahulu.

“Eh, tungguin!”

 Rinjani dan Arsha segera masuk ke kedai es krim. Mereka tidak tahu jika ada dua orang lelaki yang mengikuti. Rinjani langsung mengambil tempat duduk di dekat jendela lalu segera memanggil pelayan.

Seorang wanita berseragam datang menghampriri. Senyum ramah terpatri di wajah wanita tersebut. Nada bicaranya sangat lembut saat menanyakan pesanan sang pelanggan. Rinjani dan Arsha merupakan pelanggan tetap di kedai tersebut, jadi perlakuannya jelas istimewa.

Saat Rinjani dan Arsha sedang menunggu pesanan mereka, tiba-tiba saja ada dua lelaki yang duduk di kursi kosong dekat mereka. Rinjani menoleh, matanya memelotot ke arah lelaki tersebut.

“Hai, Jodoh, kita ketemu lagi,” sapa Agam.

“Ngapain di sini? Ngikutin kita, ya?” tanya Arsha dengan nada tidak suka.

“Diem deh, Sha. Aku itu lagi menyapa jodohku,” sahut Agam tanpa menoleh kepada Arsha karena matanya masih betah menatap wajah cengo Rinjani.

“Udah dibilagin jangan ganggu sahabatku. Pergi sana! Dasar sepupu laknat!”

“Tunggu, deh. Kalian saudara?” tanya Rinjani tiba-tiba.

“Iya, Sayang. Arsha itu anaknya tanteku.”

Baru saja Rinjani ingin memprotes panggilan Agam kepadanya, tiba-tiba seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka.

“Loh, Mbak, kok pesanannya jadi dua kali lipat?”

“Iya, tadi mas ini yang minta,” jawab pelayan tersebut sambil menunjuk Agam.

Setelah meletakkan pesanan, pelyan tersebut undur diri seraya tersenyum ramah. Rinjani balas tersenyum, namun setelahnya, raut wajah gadis itu berubah muram. Bibirnya mengerucut dan dari tatapan matanya terlihat jelas jika dia kesal.

Tanpa memerdulikan keberadaan orang di sekitarnya, Rinjani menikmati es krim vanilla cokelat pesanannya. Dia terus makan meski lelaki di sampingnya mengajaknya berbicara.

“Aku udah selesai, Sha. Pulang, yuk!” ajak Rinjani seraya bangkit dari kursinya.

Tidak seperti dugaan Rinjani, ternyata Agam membiarkan dia pergi begitu saja. Aneh, kok nggak ditahan? Eh, apaan sih, Rin. Bagus, dong, batin Rinjani.

Arsha segera menyusul Rinjani yang sudah berada di kasir. “Cepet banget, sih. Biasanya juga sampai sore.”

“Males, ada mereka. Nanti cari tempat lain aja. Dah, yuk!” rinjani berkata sambil menarik prgelangan tangan Arsha.

Mata sipit itu terus saja memperhatikan tingkah Rinjani. Dia tahu betul bahwa gadis tersebut tidak nyaman dan merasa gugup. Terlihat dari cara dia berjalan yang sangat terburur-buru. Senyum misterius terpatri di wajah Agam saat Rinjani sudah keluar dari pintu kedai.

“Kok nggak dikejar, Gam?”

“Buat apa,” sahutnya tak acuh.

Veren memasang wajah terkejut yang terkesan berlebihan. Matanya membulat dan mulutnya terbuka, menatap tidak percaya pada lelaki di hadapannya. “Serius? Cuma segitu perjuangannya? Masa sih, cewek kaya Rinjani bisa bikin seorang playboy seperti Agam menyerah? Wow, amazing!”

Sudut bibir Agam tertarik ke atas membentuk senyum jahil. “Kata siapa nyerah? Ya, nggak, lah. Permainan baru saja dimulai.”

“Maksudnya?”

“Lihat!” ucap Agam sambil terus menatap arah pintu masuk.

Veren yang memang penasaran segera menoleh. Matanya membulat tidak percara. Pasalnya dari arah pintu ada dua orang gadis yang tengah berjalan cepat menuju meja mereka.

Kekehan keluar dari mulut Agam ketika melihat wajah cengo milik Veren. “Sudah aku bilang. Rinjani akan menjadi milikku.”

Agam dan veren menoleh secara bersamaan saat meja mereka digebrak. Terlihat dua gadis sedang berdiri di samping meja mereka. Satu gadis sedang wajah merah padam dan napas putus-putus karena marah, dan satunya lagi sedang berusaha menenangkannya.

“Hai, Jodoh. Udah kangen, ya? Makanya balik lagi.”

“Balikin kunci mobilku!” ucap Rinjani sedikit keras sambil menyadongkan tangannya.

“Kunci mobil apa, sih, Sayang?”

“Nggak usah sayang-sayang! Buruan balikin kuncinya!”

“Nggak ada. Kamu lupa naruh, kali,” elak Agam. 

“Tadi aku taruh di tas ini, aku nggak lupa.” Rinjani menjealaskan sambil menunjukkan bagian kecil dari tasnya.

“Mungkin jatuh,” sahut Veren.

“Rin, terus kita pulangnya gimana?”

“Kalian tenang saja. Veren, kamu temani Arsha di sini. Biar aku antar Rinjani lebih dulu, setelah itu kujemput kalian.”

Rinjani memincingkan mata tidak suka pada Agam. “Nggak bisa gitu, dong. Mobilku gimana?”

“Udah, ya, Sayang. Kamu nggak usah khawatir. Aku bakal bantu cari kunci mobilmu, besok pasti udah ketemu.”

Akhirnya Rinjani hanya bisa pasrah diantar pulang oleh Agam. Mereka berdua berjalan beriringan menuju parkiran. Tepat di saat mobil Agam meninggalkan area kedai tersebut, tawa Veren pecah.

“Kenapa ketawa?” tanya Arsha yang merasa heran.

Bukannya menjawab, Veren justru menarik tangan Arsha untuk keluar dari kedai. Gadis itu dibawa mendekati mobil Rinjani. Lalu Veren mematikan alrm mobil dan membuka pintunya.

“Loh, kok kuncinya ada sama kamu?”

“Biasalah, si Agam kalau udah ada maunya, isengnya kambuh.”

Arsha berkacak pinggang, matanya melotot marah. Dia benar-benar kesal pada kelakuan sepupunya itu. “Jadi, Agam sengaja lakuin ini biar bisa anterin Rinjani?”

“Yup, tepat sekali. Udah biarin aja. Ayo, masuk! Mau pulang, nggak?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status