“Wah, sepertinya kita jodoh, ya. Baru saja bertemu di kantin, sekadang bertemu lagi di perpustakaan.”
Perasaan Rinjani semakin tidak karuan. Dia mengabaikan orang di depannya dan masuk begitu saja. Terdegar jika Arsha mengejek Agam saat melihat Rinjani mengabaikannya.
“Kasian sekali Kakak Sepupuku yang jelek ini,” sindir Arsha seraya menyusul Rinjani masuk.
Tangan sawo matang itu menari-nari, menyusuri buku-buku yang berjajar rapi di rak. Tadinya Rinjani berniat untuk tidak jadi masuk ke perpustakaan, jika saja dia tidak ingat bahwa buku yang akan dia pinjam, dibutuhkan hari ini.
Buku tebal bersampul kuning tua sudah berada di tangan Rinjani, dia hendak ke meja penjaga untuk mencatat pinjamannya, sebelum Arsha menghentikan langkah gadis itu.
“Rin, bukannya kamu sudah pinjam buku Pengantar Bisnis, ya?”
“Ketinggalan.”
“Ya ampun ….”
“Sha, nanti temenin makan es krim, ya. Mau perbaikan mood.”
“Kalau toko es krim mah siap kapan aja,” sahut Arsha sambil tersenyum lebar.
“Tapi Cuma temenin, mau makan bayar sendiri. Aku masih marah sama kamu.”
“Ya Tuhan … untung sayang.” Arsha memeluk Rinjani untuk menggodanya.
“Awas, ih. Jauh-jauh, sana!”
Rinjani dan Arsha masih terus berbisik. Mereka berdua tidak sadar jika perbincangannya didengarkan oleh seseorang yang berdiri di belakang mereka. Senyum jenaka menghiasi wajah lelaki itu saat mendengar nama sebuah café es krim disebut. Hal itu membuatnya sangat senang dan merencanakan kejahilan terhadap Rinjani.
***
Kelas hari ini telah berakhir. Sesuai rencana, Rinjani dan Arsha pergi bersama untuk makan es krim di tempat kesukaan mereka. Keduanya berjalan cepat menuju parkiran di mana mobil Rinjani terparkir.
“Sha, udah ngabarin rumah, ‘kan?” tanya Rinjani saat sudah duduk di bangku kemudi.
“Udah, kok. Kalau pergi sama kamu mah, aman. Asal jangan pulang pagi, aja.”
Keluarga Rinjani dan Arsha memang sudah saling mengenal. Kebetulan ibunya Arsha juga teman sekolah Hanna—ibu Rinjani. Jadi saat Rinjani dan Arsha pergi berdua, orang tua mereka tidak akan melarang.
Keheningan tercipta di mobil Rinjani karena Arsha sibuk dengan ponselnya. Matanya terus menatap benda pipih di genggamannya, senyum manis terpatri di wajah gadis itu membuat Rinjani menggeleng. Rinjani yakin, kini Arsha sedang melihat-lihat foto idolanya.
“Udah sampe, ayo turun!” Rinjani sengaja menaikkan nada bicaranya, karena Arsha tidak sadar jika sudah sampai tujuan.
Terlihat jika Arsha terkejut, matanya membulat. “Rin, gitu, ih. Kaget tau.”
“Salah sendiri,” sahut Rinjani lalu keluar mobil lebih dahulu.
“Eh, tungguin!”
Rinjani dan Arsha segera masuk ke kedai es krim. Mereka tidak tahu jika ada dua orang lelaki yang mengikuti. Rinjani langsung mengambil tempat duduk di dekat jendela lalu segera memanggil pelayan.
Seorang wanita berseragam datang menghampriri. Senyum ramah terpatri di wajah wanita tersebut. Nada bicaranya sangat lembut saat menanyakan pesanan sang pelanggan. Rinjani dan Arsha merupakan pelanggan tetap di kedai tersebut, jadi perlakuannya jelas istimewa.
Saat Rinjani dan Arsha sedang menunggu pesanan mereka, tiba-tiba saja ada dua lelaki yang duduk di kursi kosong dekat mereka. Rinjani menoleh, matanya memelotot ke arah lelaki tersebut.
“Hai, Jodoh, kita ketemu lagi,” sapa Agam.
“Ngapain di sini? Ngikutin kita, ya?” tanya Arsha dengan nada tidak suka.
“Diem deh, Sha. Aku itu lagi menyapa jodohku,” sahut Agam tanpa menoleh kepada Arsha karena matanya masih betah menatap wajah cengo Rinjani.
“Udah dibilagin jangan ganggu sahabatku. Pergi sana! Dasar sepupu laknat!”
“Tunggu, deh. Kalian saudara?” tanya Rinjani tiba-tiba.
“Iya, Sayang. Arsha itu anaknya tanteku.”
Baru saja Rinjani ingin memprotes panggilan Agam kepadanya, tiba-tiba seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka.
“Loh, Mbak, kok pesanannya jadi dua kali lipat?”
“Iya, tadi mas ini yang minta,” jawab pelayan tersebut sambil menunjuk Agam.
Setelah meletakkan pesanan, pelyan tersebut undur diri seraya tersenyum ramah. Rinjani balas tersenyum, namun setelahnya, raut wajah gadis itu berubah muram. Bibirnya mengerucut dan dari tatapan matanya terlihat jelas jika dia kesal.
Tanpa memerdulikan keberadaan orang di sekitarnya, Rinjani menikmati es krim vanilla cokelat pesanannya. Dia terus makan meski lelaki di sampingnya mengajaknya berbicara.
“Aku udah selesai, Sha. Pulang, yuk!” ajak Rinjani seraya bangkit dari kursinya.
Tidak seperti dugaan Rinjani, ternyata Agam membiarkan dia pergi begitu saja. Aneh, kok nggak ditahan? Eh, apaan sih, Rin. Bagus, dong, batin Rinjani.
Arsha segera menyusul Rinjani yang sudah berada di kasir. “Cepet banget, sih. Biasanya juga sampai sore.”
“Males, ada mereka. Nanti cari tempat lain aja. Dah, yuk!” rinjani berkata sambil menarik prgelangan tangan Arsha.
Mata sipit itu terus saja memperhatikan tingkah Rinjani. Dia tahu betul bahwa gadis tersebut tidak nyaman dan merasa gugup. Terlihat dari cara dia berjalan yang sangat terburur-buru. Senyum misterius terpatri di wajah Agam saat Rinjani sudah keluar dari pintu kedai.
“Kok nggak dikejar, Gam?”
“Buat apa,” sahutnya tak acuh.
Veren memasang wajah terkejut yang terkesan berlebihan. Matanya membulat dan mulutnya terbuka, menatap tidak percaya pada lelaki di hadapannya. “Serius? Cuma segitu perjuangannya? Masa sih, cewek kaya Rinjani bisa bikin seorang playboy seperti Agam menyerah? Wow, amazing!”
Sudut bibir Agam tertarik ke atas membentuk senyum jahil. “Kata siapa nyerah? Ya, nggak, lah. Permainan baru saja dimulai.”
“Maksudnya?”
“Lihat!” ucap Agam sambil terus menatap arah pintu masuk.
Veren yang memang penasaran segera menoleh. Matanya membulat tidak percara. Pasalnya dari arah pintu ada dua orang gadis yang tengah berjalan cepat menuju meja mereka.
Kekehan keluar dari mulut Agam ketika melihat wajah cengo milik Veren. “Sudah aku bilang. Rinjani akan menjadi milikku.”
Agam dan veren menoleh secara bersamaan saat meja mereka digebrak. Terlihat dua gadis sedang berdiri di samping meja mereka. Satu gadis sedang wajah merah padam dan napas putus-putus karena marah, dan satunya lagi sedang berusaha menenangkannya.
“Hai, Jodoh. Udah kangen, ya? Makanya balik lagi.”
“Balikin kunci mobilku!” ucap Rinjani sedikit keras sambil menyadongkan tangannya.
“Kunci mobil apa, sih, Sayang?”
“Nggak usah sayang-sayang! Buruan balikin kuncinya!”
“Nggak ada. Kamu lupa naruh, kali,” elak Agam.
“Tadi aku taruh di tas ini, aku nggak lupa.” Rinjani menjealaskan sambil menunjukkan bagian kecil dari tasnya.
“Mungkin jatuh,” sahut Veren.
“Rin, terus kita pulangnya gimana?”
“Kalian tenang saja. Veren, kamu temani Arsha di sini. Biar aku antar Rinjani lebih dulu, setelah itu kujemput kalian.”
Rinjani memincingkan mata tidak suka pada Agam. “Nggak bisa gitu, dong. Mobilku gimana?”
“Udah, ya, Sayang. Kamu nggak usah khawatir. Aku bakal bantu cari kunci mobilmu, besok pasti udah ketemu.”
Akhirnya Rinjani hanya bisa pasrah diantar pulang oleh Agam. Mereka berdua berjalan beriringan menuju parkiran. Tepat di saat mobil Agam meninggalkan area kedai tersebut, tawa Veren pecah.
“Kenapa ketawa?” tanya Arsha yang merasa heran.
Bukannya menjawab, Veren justru menarik tangan Arsha untuk keluar dari kedai. Gadis itu dibawa mendekati mobil Rinjani. Lalu Veren mematikan alrm mobil dan membuka pintunya.
“Loh, kok kuncinya ada sama kamu?”
“Biasalah, si Agam kalau udah ada maunya, isengnya kambuh.”
Arsha berkacak pinggang, matanya melotot marah. Dia benar-benar kesal pada kelakuan sepupunya itu. “Jadi, Agam sengaja lakuin ini biar bisa anterin Rinjani?”
“Yup, tepat sekali. Udah biarin aja. Ayo, masuk! Mau pulang, nggak?”
Mata gadis itu terus saja menatap ke luar jendela. Dia merasa tidak nyaman berada satu mobil dengan Agam. Rinjani sedikit menyesal Karena tidak memaksa Arsha untuk ikut dengannya. Agam tidak jauh berbeda, baru kali ini dia merasa gugup saat berdua dengan seorang gadis. Mungkin karena Rinjani berbeda dari gadis-gadis yang biasa mengejarnya. Jika biasanya Agam akan rishi karena ocehan mereka, kali ini lelaki itu justru harus mencari topik pembicaraan. Dahi pria itu berkerut dan jarinya tidak mau diam, terus saja mengetuk-etuk setir mobil. Agam sedang mencari cara agar suanana tidak terus membosankan. “Rin, rumahmu di mana?” Agam membuka suara untuk memecah keheningan. Rinjani tidak menoleh, sepertinya pemandangan di luar mobil memang lebih menarik dibanding pria di dekatnya. “Jalan aja, nanti kalau udah deket aku kasih tau.” Agam menghela napas lelah, dia tidak tahu cara agar Rinjani mau banyak berbicara. Padahal saat beberapa hari ini Aga
Keesokan harinya Rinjani bangun lebih pagi. Tidak seperti biasanya, tadi malam gadis itu tidur lebih awal dan sangat lelap. Mungkin karena tubuhnya lelah atau mungkin traumanya perlahan mulai terobati. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, itu artinya Rinjani masih memliki waktu satu jam sebelum kelas pertamanya dimulai. Gadis itu sudah siap berangkat ke kampus dia tidak mau berlari-lari karena takut tertinggal kelas, seperti tempo hari. Setelah mengambil sarapannya serta berpamitan dengan kedua orang tuanya, Rinjani bergegas ke garasi rumahnya. Rinjani membuka pintu dan di sambut langit pagi yang terlihat biru cerah membuat suasana hati Rinjani semakin bersemangat. Seolah-olah alam semesta sedang memberi tahu Rinjani, bahwa akan ada awal yang istimewa untuk hari ini. Namun, hal itu hanya bertahan sebentar. Saat Rinjani menilik garasi, dia baru ingat kalau mobilnya belum dikembalikan. “Oh, sial! Bagaimana mungkin aku lupa. Minta dijemput Ars
“Ya Tuhan, jauhkan aku dari manusia-manusia bucin, ini,” sindir Arsha dengan nada yang sengaja dibuat-buat. Mata Rinjani memincing, menyorot tajam kepada Arsha, seolah-olah laser mematikan terpancar dari sana. Tangan Arsha trangkat mengacungkan symbol peace tanda damai kepada sahabatnya yang marah. Gadis itu tidak mau jika terkena amukan Rinjani yang sangat mengerikan,layaknya singa betina yang melindungi anaknya. Rinjani mengalihkan tatapannya kepada Agam. Sorot tidak suka terlihat jelas di sana, menutup rasa terbiasa yang sebenarnya sudah hadir. “Mending kamu pergi dari sini. Aku muak melihatmu terus-menerus,” usir Rinjani sambil terus memperlihatkan raut tidak suka. Bukannya tersinggung, bibir pria itu justru tertarik ke atas menciptakan sebuah senyuman yang mengerikan. Agam merasa semakin tertantanng untuk bisa meluluhkan hati Rinjani dan mendapatkan cintanya. “Nggak usah gitu, Sayang …. Nanti ujungnya cinta …,” god
“Mulai, deh. Udah sana Mama keluar aja. Rin mau mandi, pengin berendam juga,” usir Rinjani yang sudah paham dengan sifat sang ibu yang suka menggoda. Bukannya langsung pergi, Hanna justru semakin gencar menggoda Rinjani. “Aduh senangnya, Anak Mama udah mulai peka lagi. Nanti malam sekalian kenalan sama anak Tante Eisha, ya.” Mata Rinjani terbuka lebar, bibirnya maju mengerucut menandakan jika gadis itu sudah kesal. “Udah, deh, Ma. Kalau gitu terus mending Rin nggak usah ikut sekalian.” “Oke-oke, Mama keluar sekarang …. Mandi yang bersih biar wangi dan nggak malu-maluin!” teriak Hanna dari balik pintu membuat Rinjani sangat kesal tetapi justru berakhir tertawa mendapati tingkah aneh sang ibu. Mata bulat itu melihat ke arah pintu, lalu sebuah senyuman terukir di wajah gadis itu. Rinjani sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu ada untuknya. Terutama sosok ibu yang selalu bisa memahami suasana hatinya, serta tahu bagaimana cara membuat dia kembali
Rinjani dan kedua orang tuanya sudah berada di rumah. Acara makan malam sudah selesai, dan kesepakatan kerjasama untuk membuka cabang toko perhiasan sudah ditandatangani. Sejak kembali dari acara makan malam tadi, Rinjani terus memasang wajah tanpa senyum. Hanna yang menyadari perubahan putrinya hanya bisa menghela napas. Karena mau memancing bembicaraan untuk membuat Rinjani tertawa juga bukan saat yang tepat. “Lihat itu putrimu! Bagaimana dia bisa punya kekasih kalau terus saja bersikap dingin begitu,” keluh Hanna kepada suaminya sambil memerhatikan Rinjani yang langsung ke kamarnya Tama memeluk sang istri dari samping seraya berkata, “Sudah, biarkan saja. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti punya. Lebih baik kita istirahat, ini sudah malam.” Sementara itu, Rinjani yang sudah berada di kamar memilih untuk mandi sebelum tidur. Hati dan logikanya sedang berperang, dan gadis itu butuh penyegaran. Setelah selesai mandi, di naik ke ranjang dan
“Agam!” Varen menepuk pundak Agam dan membuatnya tersadar dari lamunan. Tanpa memerdulikan Varen, Agam pergi begitu saja. Yang ada di pikiran pria itu saat ini hanyalah Rinjani. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Langkahnya terlihat sangat buru-buru dan sorot di mata pria itu menyiratkan kegelisahan. Agam langsung melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus dengan kecepatan tinggi. “Kamu kenapa, Rin … kamu kenapa?” gumam Agam sambil berusaha untuk tetap fokus menyetir. *** “Permisi, Tante, Om. Bagaimana keadaan Rinjani?” tanya Agam dengan napas terputus-putus begitu dia sampai di depan ruangan di mana Rinjani sedang diperiksa. “Dia masih di dalam, dokter masih memeriksanya,” jawab Tama masih sambil menenangkan sang istri. Agam memilih duduk di kursi tunggu tak jauh dari kedua orang tua Rinjani. Kedua tangan pria itu ditautkan dan kakinya terus bergerak tanda bahwa Agam sedang gelisah. Beberapa saat kemudi
Saat Agam sedang sendirian di kamar, sambil terus memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan Rinjani, dia teringat sesuatu. Ucapan Hanna setelah makan malam kala itu terus berputar di otaknya. “Agam, Tante tau kamu anak baik. Tante cuma mau bepesan sama kamu …. Jika kamu sudah berhasil meluluhkan hati Rinjani, jangan pernah kecewakan dia, apalagi meninggalkannya. Rin sebenarnya berhati lembut, hanya saja … trauma itu masih belum sembuh.” “Trauma?” Dahi Agam berkerut, dia sedikit tidak percaya jika dugaannya kala itu memang benar adanya. “Trauma apa, Tan?” “Malam semakin larut. Tante pamit pulang, ya. Sebaiknya kamu juga ke parkiran sekarang, Tante yakin ibumu juga sudah menunggu.” Agam semakin penasaran dengan trauma yang dimiliki Rinjani. Terlebih saat Hanna berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu yakin, ini bukan trauma biasa. Dengan terpaksa, Agam mengiyakan ucapan Hanna. Dia yakin,
Berkali-kali pria itu membuka ponsel pintar miliknyanya, lalu menutupnya kembali. Dia merasa perlu, tetapi ragu untuk menghubungi Rinjani. Yang sebenarnya adalah, Agam takut egonya kembali terluka, dia masih merasa bahwa ini bukan sepenuhnya salahnya. Agam masih merasa jika Rinjani tidak seharusnya menampar dirinya. “Telpon … jangan. Tapi …. Argh, kenapa jadi begini, sih! Baru juga perkenalan udah bikin marah, Agam … Agam …, buruk sekali nasibmu. Pria itu merasa lelah berperang dengan dirinya sendiri. Dibaringkan tubuh kekar itu pada ranjang berukuran besar, lenganya terangkat menutupi mata yang terpejam. Kepalanya berdenyut nyeri menciptakan rasa tidak nyaman. “Ya, Tuhan, kenapa serumit ini?” Akhirnya, Agam memilih untuk menghubungi sepupunya. Berharap gadis itu bisa memberinya solusi, atau setidaknya bisa membantu mengurangi beban pikiran. “Halo, Sha,” sapa Agam saat panggilan ketiga yang akhirnya dijawab. Terdengar suara dengusan ma