Home / Romansa / Terapi Hasrat Dokter Bagas / Bab 3 — Pasien Pertama

Share

Bab 3 — Pasien Pertama

Author: Dark_Pen
last update Last Updated: 2025-10-16 09:23:33

Malam harinya, Bagas duduk di depan laptopnya yang terbuka.

‘Penyembuhan dengan metode yang berbeda.’

Kata-kata itu masih terngiang di kepalanya. Ia masih penasaran, metode apa yang dimaksud Renata.

Di internet, ia mulai mencari informasi tentang klinik rehabilitasi Re:Vive. Tidak banyak informasi yang ia dapatkan. Tidak ada laman web resmi, tidak ada media sosial, bahkan kontak resmi klinik itu pun tak ditemukan. Re:Vive seolah benar-benar begitu privat, begitu rahasia.

Namun setelah mencoba dengan beberapa kata kunci berbeda, akhirnya ia menemukan sedikit informasi samar. Bukan dari situs resmi, tapi cukup untuk dijadikan acuan.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Re:Vive adalah klinik rehabilitasi mental khusus wanita. Klinik itu dikenal sangat tertutup, hanya melayani orang-orang kalangan atas yang memiliki akses tertentu. Rumor yang beredar juga mengatakan, metode yang digunakan di sana sangat berbeda—bahkan tidak pernah dipublikasikan.

“Hmm… ini aneh.”

Bagas mengelus dagunya pelan sambil terus menatap layar laptopnya. Ia kembali mengetik, mencocokkan beberapa kata kunci lain, berharap mendapatkan petunjuk tambahan. Namun sejauh ini, ia tidak menemukan apapun lagi. Re:Vive seolah-olah benar-benar tak dikenal oleh dunia luar.

Sampai akhirnya, matanya menangkap sebuah tautan forum. Si penulis mengaku sebagai mantan vendor Office Boy yang pernah bekerja di sebuah klinik misterius.

Dalam tulisannya, pria itu mengatakan bahwa setiap hari selalu ada mobil-mobil mewah yang datang ke belakang gedung klinik—tertutup rapat oleh bangunan lain di sekitarnya. Dan, hampir setiap kali, ia melihat wanita-wanita berpenampilan elegan turun dari mobil itu. Usia mereka beragam, dari tiga puluhan hingga lima puluhan tahun.

“Sepertinya ini sesuai dengan deskripsi—”

Ucapan Bagas terhenti. Matanya melebar. Ia membaca ulang kalimat terakhir di forum itu.

‘…Dan bukan hanya itu yang membuatku merasa aneh. Suatu hari, aku mendengar jeritan aneh dari sebuah ruangan—bukan jeritan kesakitan, tapi desahan yang terdengar… nikmat. Suara itu membuatku bergidik.

Tapi yang paling tidak bisa kulupakan adalah ketika aku membersihkan ruang praktik itu. Lantai dan seprai selalu basah setiap kali seorang pasien selesai “berkonsultasi”.’

Bagas membeku di tempat. Jari-jarinya yang tadi sibuk mengetik kini terdiam di atas papan ketik.

“I–ini tidak seperti yang kubayangkan…” ucapnya pelan.

***

Pagi harinya, terlihat sebuah sedan putih menepi dan berhenti di area parkir klinik. Bagas keluar dari sana, ia tampak rapi dengan jas putih yang kini ia kenakan kembali. Senyum hangat dan tatapan ramah terlihat di wajahnya, ia siap untuk membuka lembaran baru hari ini.

“Selamat pagi, Dok.”

Bagas langsung disambut oleh Mayra saat tiba di lobi. Pakaiannya masih sama, mencolok seperti kemarin. Bahkan hari ini dia tidak lagi berusaha membenarkan kancing yang terbuka di area dadanya. Seolah hal itu memang sengaja di perlihatkan.

“Selamat pagi,” jawabnya singkat. Ia tersenyum ramah. “Di mana ruangan saya?”

“Ruangan anda di lantai dua. Mari Dok, saya antar.”

Bagas mengangguk pelan lalu berjalan mengikuti Mayra.

Di lantai dua, ia kembali di sambut dengan beberapa lukisan dengan tema yang sama seperti di lantai bawah. Lukisan wanita dengan pakaian terbuka—tanpa wajah berjejer rapi menghiasi dinding.

“Di sini, memang banyak lukisan seperti itu, ya?” tanya Bagas akhirnya.

“Oh, lukisan itu? Iya Dok, Madame Renata katanya memang mendesain tempat ini khusus untuk wanita yang kehilangan arah. Dan lukisan itu adalah representasinya,” jawab Mayra sambil memelankan langkah hingga kini mereka berjalan berdampingan.

Bagas hanya mengangguk pelan, tidak lagi menjawab.

“Ini Dok, ruangan anda.” Mayra berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu kayu hitam sedikit mengkilap.

Bagas mengerutkan keningnya saat ia melihat plat namanya sudah tertulis di pintu kayu tersebut.

“Baiklah, terima kasih, Suster. Saya bisa masuk sendiri.”

“Baik, Dok.”

Saat membuka pintu, Bagas langsung disambut oleh aroma lavender yang menangkan. Ia tersenyum, seolah hari ini ia kembali ke dunianya.

Ruangan berukuran 4×5 meter itu nampak tenang. Hening. Hanya suara samar pendingin ruangan dan detak jam dinding yang terdengar.

Bagas berdiri menatap sekeliling ruangan. Ruangan ini memang didesain cukup nyaman. Ada dua sofa empuk saling berhadapan di tengah-tengah ruangan. Ada meja kecil yang menjadi pemisah antara keduanya. Namun pandangan Bagas langsung berhenti pada sudut ruangan, disana terdapat ranjang yang ada penutup tirainya.

Ia berjalan mendekat melihat lebih jelas ranjang tersebut.

“Ini… sedikit aneh,” gumamnya.

Posisi Bagas disini adalah seorang terapis—psikolog klinis. Biasanya ranjang hanya ada ruang medis, baik itu di rumah sakit atau di ruang psikiater yang menangani pasien akut.

“Sebenarnya metode penyembuhan seperti apa yang dilakukan disini?”

Bagas diam sejenak, lalu ia berjalan mendekati jendela, membuka sedikit tirai agar sinar mentari masuk ke dalam. Di sudut juga terlihat sebuah rak yang di penuhi buku.

Setelah puas memandangi ruang kerja barunya, akhirnya ia duduk di sofa.

Beberapa lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar.

“Silahkan masuk,” ucap Bagas singkat.

Pintu terbuka dan terlihat Mayra membawa sebuah berkas di tangannya.

“Ini Dok, berkas pasien anda hari ini.”

Karena posisi Bagas yang sedang duduk, Mayra harus membungkuk untuk memberikan berkas itu kepadanya.

Mata Bagas langsung terhenti di belahan dada yang nampak karena dua kancing atas terbuka. Namun Mayra seolah tidak risih, dia tampak tersenyum.

“Terima kasih,” ucap Bagas singkat. Ia langsung mengalihkan pandangannya.

Bagas membuka map tersebut dan sebuah nama tertulis di halaman pertama.

Clara Wibisono.

Usia 30 tahun.

“Kata Madame Renata, dia pasien tetap disini, Dok. Madame Renata juga bilang, dia cocok untuk sesi pertama anda,” ucap Mayra menjelaskan.

“Cocok?” alis Bagas terangkat.

Mayra tersenyum, lalu pamit.

Namun, sebelum Mayra keluar. Bagas kembali memanggil.

“Suster Mayra.”

“Iya, Dok.” Mayra menoleh.

“Kancing baju anda terbuka. Tolong dirapikan,” kata Bagas tanpa menoleh.

“Oh, iya. Maaf, Dok.” Mayra buru-buru menutup dadanya dengan tangan.

Bagas hanya mengangguk pelan.

“Anda boleh keluar sekarang.”

“Baik, Dok.”

Setelah pintu ditutup, Bagas membuka semua berkas itu. Di sana tidak ada apa-apa selain namanya saja. Tidak ada penjelasan, dan tidak ada hasil evaluasi. Ia sedikit heran.

“Katanya ini pasien tetap, tapi kenapa tidak ada penjelasan apa-apa?” batinnya, lalu menutup map itu kembali.

Dengan tidak adanya penjelasan dan hasil evaluasi, Bagas harus memulai ini semua dari nol.

Tidak berselang lama setelah Mayra keluar tadi, pintu kembali diketuk dari luar.

“Masuk,” ucap Bagas.

Pintu terbuka. Suster Mayra kembali, namun kali ini ia tidak sendiri.

“Silahkan masuk, Bu,” ucap Mayra sopan.

“Baik, terima kasih.”

Mayra menoleh ke arah Bagas. “Dok. Nanti kalau perlu apa-apa, panggil saya saja,” katanya pelan sambil tersenyum manis.

“Baik, terimakasih, Suster.”

Pintu kembali ditutup. Bagas bangkit menyambut pasien pertamanya.

“Silahkan duduk, Bu.”

“Terima kasih, Dok.”

Mereka berdua saling duduk berhadapan. Wanita itu tampak cantik dengan rambut bergelombang sebahu. Kulitnya putih bersih, begitu serasi dengan outer biru muda yang dia kenakan. Tubuhnya ramping, pakaiannya yang ketat memperjelas lekuk tubuhnya yang nampak ideal dan mempesona.

“Dengan ibu Clara Wibisono?”

“Benar, Dok.”

Bagas tersenyum. “Saya dr. Bagaskara. Mulai hari ini saya yang akan mendampingi sesi terapi anda.”

“Baik, Dok.” Clara balas tersenyum.

“Baiklah, Bu Clara. Kita mulai sesi konselingnya, ya?”

Clara mengangguk pelan.

“Bisa ibu ceritakan, bagaimana perasaan ibu akhir-akhir ini?”

Clara diam sejenak, lalu dia menekuk wajahnya.

“Saya… kesepian, Dok.” Kalimat itu keluar begitu pelan dari mulutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 9 — Pasien Kedua

    Tok Tok Tok!Lamunan Bagas buyar saat ketukan samar terdengar di pintu ruangan.“Masuk,” katanya tegas. Bagas membenarkan posisi duduknya di atas sofa.Pintu terbuka dan siluet tubuh seorang wanita nampak masuk ke dalam.“Dok.” Itu Suster Mayra, ia tersenyum tipis sambil membungkuk rendah ke arah Bagas“Bagaimana, Dok, sesi terapinya?” tanya Mayra sambil mengulum senyum di bibirnya.“Lancar,” jawab Bagas singkat. Ia bangkit dan mendekat ke arah Suster Mayra.“Suster,” katanya lembut sambil menatap dalam ke arah perempuan yang mengenakan seragam abu-abu tersebut.“I-iya, Dok.” Mayra sedikit gugup karena pandangan Bagas tampak berbeda ke arahnya.“Tadi… saat sesi terapi, apa suster mendengar sesuatu?”“Hah! Ma-maksudnya, Dok?”Bagas tersenyum. Ia hanya ingin memastikan jika Suster Mayra tidak mendengar apa-apa tadi selama sesi terapi berlangsung.“Tidak, tidak ada. Lupakan saja.” Bagas kembali ke sofa.“Memangnya ada apa tadi, Dok? Apa ada masalah saat sesi terapi?” Mayra nampak penasar

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 8 — Gairah Bagas

    “Ugh!” Lenguhan dan desahan mulai keluar dari bibir Clara saat batas moral di dalam diri Bagas mulai kabur. Lelaki itu menjadi liar, ia mengecup, mencumbu dan memainkan dua bukit cinta dengan begitu bergairah. “Ahh! Dok!” Clara menjambak lembut rambut Bagas, menahan kepala Bagas ke bawah hingga dokter muda itu hampir sesak dengan dua bukit yang kini menghimpitnya. “Shh! Terus Dok!” Tangan Clara mulai bermain—melepas satu persatu kancing kemeja biru muda yang Bagas kenakan. Tangannya yang lembut mulai menelusup kedalam, membelai bulu halus yang tumbuh di sepanjang dada lelaki itu yang bidang. Bahkan dua ujung kecil dada Bagas tidak luput dari sentuhan Clara. Ia membelai, bahkan sesekali mendekatkan wajahnya dan memainkan lidah mungilnya di sana. Bagas benar-benar sudah tidak tahan lagi. Batas moral yang sedari tadi mulai menipis akhirnya hilang sepenuhnya. Clara tersentak saat Bagas mengangkat dan mendekap tubuhnya. Clara tersenyum saat Bagas mulai menggendong dirinya menuju ke

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 7 — Malam Bergelora

    Malam itu, di bawah rinai gerimis yang menari di atas aspal basah, Bagas memacu mobilnya menembus lengangnya kota menuju klinik. Begitu turun dari sedan putihnya, ia menghela napas panjang. Pandangannya terhenti pada pintu kaca di depannya—dingin, berembun, dan seolah menyimpan sesuatu yang membuat kelelakiannya selalu diuji. Hari ini terlalu banyak kejadian yang membuat jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Terlebih kejadian dengan Madame Renata tadi siang—bayangan wanita itu masih menari-nari di kepalanya, membuat setiap langkah menuju klinik terasa semakin berat—dan berdebar. “Halo, Dok.” Suara lembut seorang wanita langsung menyambutnya. “Suster Mayra? anda masih di klinik?” “Iya, Dok. Tadi kata Madame Renata, dokter ada sesi konseling malam. Jadi saya disuruh menemani dokter disini,” jawabnya pelan sambil tersenyum tipis. “Oh begitu ya?” Bagas mengangguk pelan. “Baiklah, saya ke atas dulu. Nanti kalau Bu Clara sudah datang, suruh naik ke ruangan saya.” “Baik

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 6 — Sentuhan Pertama

    Renata berjalan pelan mendekati Bagas. Kemeja transparannya kini telah seutuhnya terbuka. Bagas terus mundur perlahan, hingga ia terhenti saat punggungnya menyentuh dinding. “Kenapa Bagas? Kenapa gugup begitu?” Renata tersenyum seraya melepas kemeja yang masih tersangkut di bahunya. Tidak ada lagi bahasa formal. Kini semua kata yang keluar dari bibir Renata terdengar sangat menggoda. Bagas menelan ludah, ia tidak menyangka akan seperti ini. Matanya membesar menatap payudara besar yang masih dibalut bra ungu tua. “Kenapa, Bagas? Kau tertarik bukan?” Kini Renata tepat di depannya—melingkarkan tangannya di leher Bagas. Pandangan Bagas tidak bisa lepas dari lekuk tubuh Renata bagian atas yang nyaris telanjang. Tidak bisa di pungkiri, di umurnya yang sudah mendekati kepala 4, Renata masih memiliki tubuh yang begitu menggoda. Bagas semakin gugup, ia melihat Renata menjilat bibirnya sendiri. Tatapannya terasa seperti tatapan macan yang siap menerkam mangsa di depannya. “Jadi, kau ingin

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 5 — Gairah Kembali Lahir

    Bibir mereka berdua mulai bertautan lembut. Namun Bagas masih terlihat pasif, ia masih mencoba mencerna semua ini. Tapi tidak dengan Clara. Ia mendekap lembut pinggang Bagas menarik ke arah dirinya. Bagas dapat merasakan benda kenyal di dadanya yang terhimpit. Nafas Clara semakin menggebu. Bahkan kini ia mulai melepas kancing kemeja Bagas satu persatu. Tangannya menelusup ke dalam—mengelus lembut dada bidang pria itu. Darah Bagas langsung mendesir merasakan sentuhan hangat yang kini mulai membangkitkan gairahnya. Ia mulai terbawa suasana, hingga tangannya kini ikut terangkat melingkar di pinggang Clara. Bagas mulai merasakan sesuatu, selalu sisi yang sempat mati dalam dirinya kini mulai hidup kembali. Namun lagi-lagi, gelar Dokter yang ia sandang seakan berbisik. “Ini salah.” Logika dan gairahnya mulai bertarung membuat Bagas mempertanyakan tentang siapa dirinya sendiri. Sementara Clara, semakin lama semakin liar. Bagian atas kemejanya telah terbuka memperlihatkan bahu put

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 4 — "Saya Kesepian, Dok."

    “Saya kesepian, Dok.” Kalimat itu keluar begitu pelan dari mulutnya.Clara kembali mendongak—duduk dengan postur sempurna, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.Ada getar halus di jemarinya yang Bagas tangkap sekilas.Bagas diam sejenak. Lalu ia kembali tersenyum menunjukkan sisi profesionalitas-nya. “Jadi, begitu ya, Bu?”Bagas menarik nafas pelan. “Apa ibu baru saja kehilangan seseorang?” tanyanya kembali.Clara menggeleng pelan. “Saya tidak kehilangan siapa-siapa, Dok. Saya hanya kehilangan diri saya sebagai seorang istri,” katanya pelan dengan wajah ditekuk.Bibirnya nampak bergetar saat ingin melanjutkan kata-katanya.“Saya tinggal bersama suami saya, Dok. Tapi… rasanya seperti tinggal bersama orang asing.”Bagas menatapnya sejenak, lalu menulis beberapa catatan kecil di bukunya.“Sudah berapa lama ibu merasa seperti itu?” tanya Bagas kembali.“Mungkin… dua tahun, Dok.”“Apa ibu sudah mencoba berbicara dengan suami ibu tentang hal ini?”Clara tertawa kecil, na

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status