Home / Romansa / Terapi Hasrat Dokter Bagas / Bab 2 — Klinik Re:Vive

Share

Bab 2 — Klinik Re:Vive

Author: Dark_Pen
last update Last Updated: 2025-10-16 09:21:34

Esok harinya, Bagas terlihat berdiri di depan sebuah gedung putih dengan pintu kaca di depannya. Di atas pintu ada penanda nama — Re:Vive.

Ia kembali menatap kartu di tangannya. Ada sedikit keraguan di sana, apalagi mengingat tatapan Renata yang cukup mencurigakan kemarin. Namun apa yang bisa ia lakukan? Ia sama sekali tidak punya pilihan. Lisensinya sebagai dokter telah di cabut, mungkin ini satu-satunya jalan keluar—atau setidaknya pelarian.

Begitu melangkah masuk, Bagas disambut oleh udara dingin dan aroma lavender yang menenangkan. Suasana lobi begitu bersih dan elegan.

Dari arah koridor, seorang wanita muda muncul tergesa. Seragam perawat abu-abu yang ia kenakan sedikit miring di bagian kancing, menyingkap garis dadanya yang nyaris tumpah setiap kali ia menarik napas. Rambutnya terurai sebagian, beberapa helai menempel di kulit leher yang berkeringat halus.

“Ah! Dokter Bagas, ya?” katanya cepat sambil menepuk dadanya lega.

“Saya hampir saja terlambat menyambut Anda.”

Bagas menatapnya sejenak. Pandangannya turun perlahan, berhenti tepat di lekuk kain yang menegang di dada wanita itu. Suara langkah sepatu di koridor seakan menghilang, menyisakan keheningan yang aneh—atau gairah yang bangkit dalam diri Bagas.

“Oh, hehe maaf, Dok. Saya buru-buru tadi.” Wanita itu langsung membenarkan kancing baju di area dadanya yang nampak terbuka.

Bagas hanya mengangguk pelan. “Anda tahu nama saya?”

“Madame Renata bilang Anda akan datang pagi ini.”

“Oh, begitu ya,” sahut Bagas singkat.

“Perkenalkan, saya Mayra. Saya perawat baru di sini... dan saya juga asisten pribadi anda,” katanya lagi dengan senyum manis dan tatapan penuh arti.

“Asisten pribadi?” Bagas sedikit terkejut.

“Iya, benar, Dok. Kata Madame Renata, saya akan menjadi asisten anda disini.”

Bagas memperhatikan Mayra sekali lagi. Untuk seorang perawat, penampilannya terlalu mencolok. Seragam abu-abunya nampak begitu ketat hingga memperlihatkan bentuk tubuhnya secara nyata.

“Maaf, Dok. Apa ada yang salah?” tanya Mayra sambil kembali tersenyum tipis.

“Tidak, tidak ada.” Bagas kembali bersikap profesional. “Saya Bagaskara,” katanya pelan. Ia bahkan tidak menyebut gelar dokternya.

“Baik, Dok. Mari saya antar. Madame Renata sudah menunggu di belakang.”

Mayra kembali tersenyum, lalu berbalik arah dan berjalan mendahului Bagas. “Mari, Dok,” katanya kembali sambil menoleh sedikit.

Bagas mengangguk pelan dan langsung mengikutinya dari belakang.

Ruang Madame Renata yang berada di ujung membuat Bagas harus berjalan sedikit lama di belakang Mayra. Yang mana hal ini membuatnya sedikit kurang nyaman. Seragam ketat yang Mayra kenakan tentu saja memperlihat bagian belakangnya yang seolah menari-nari di depan Bagas.

Bagas akhirnya mengalihkan pandangan dengan melihat-lihat sekitar. Ia melihat ada beberapa lukisan wanita tanpa wajah di dinding. Ia tidak merasa aneh karena hal itu memang sering ditemukan di tempat-tempat terapi mental untuk menggambarkan ekspresi dan mental issue.

Detak langkah mereka menggema di lantai marmer putih bersih.

“Sebentar, Dok.”

Langkah Mayra berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu kayu hitam bertuliskan logo Re:Ve di atasnya.

Mayra mengetuk dua kali.

“Madame Renata. dr. Bagaskara sudah datang.”

Dari dalam, terdengar suara lembut tapi penuh wibawa.

“Silahkan masuk.”

Mayra kembali menatap Bagas sejenak. Senyumnya kembali muncul.

“Silahkan, Dok,” katanya pelan sambil menyingkir mempersilahkan Bagas masuk ke dalam.

Bagas langsung melangkah masuk. Di sana, terlihat Madame Renata duduk di balik meja marmer hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan gaun formal berwarna krem muda namun terlihat sedikit ketat dan terbuka di area dada.

“Terima kasih, Mayra,” katanya pelan sambil menatap perawat itu seolah mengisyaratkan ruangan ini bukanlah tempatnya.

“Baik, Madame. Saya permisi.” Mayra membungkuk sejenak, lalu keluar dan kembali menutup pintu dengan rapat.

“Selamat datang di Re:Vive, dr. Bagaskara,” ucap Renata, akhirnya. “Senang akhirnya Anda datang.”

Bagas masih diam, ia tidak memberikan respon apa-apa.

Madame Renata kembali tersenyum. “Silahkan duduk,” katanya lagi.

Bagas menarik kursi dan duduk di hadapan wanita yang tampak begitu berbeda dengan yang dia temui di ruang sidang kemarin. Posisi duduk yang berhadapan membuat matanya spontan tertuju ke arah belahan dada yang nampak terbuka.

“Kenapa Dokter? Anda terlihat gugup, apa ada masalah dengan pakaian saya?” Renata menatap Bagas dengan senyuman yang sulit di artikan.

“Tidak, tidak ada,” jawab Bagas singkat sambil mengalihkan pandangannya.

“Baiklah. Sesuai perkataan saya kemarin, anda saat ini akan bekerja untuk saya. Anda akan menjadi terapis utama di klinik ini.”

Bagas masih diam, dia masih mencoba mencerna satu persatu kata yang keluar dari mulut Renata.

“Saya percaya anda bisa.” Renata kembali menatap Bagas. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu.

“Re:Vive, bukan hanya klinik terapis mental seperti pada umumnya. Anda akan menyembuhkan para wanita yang merasa gagal dalam hidup, para wanita yang merasa tidak diterima oleh dunia, oleh keluarga atau oleh cintanya sendiri.”

“Wanita?” gumam Bagas namun masih terdengar.

“Benar, kami tidak menerima pasien pria disini.”

“Tapi, izin praktek saya telah dicabut.” Akhirnya Bagas bersuara.

“Saya tahu, dan itu juga sebabnya saya memilih anda, Dokter.”

“Maksud anda?” Bagas heran, keningnya mengkerut.

“Saya tidak perlu izin praktik anda disini. Saya hanya ingin anda menjadi terapis utama yang akan membantu para wanita menyembuhkan lukanya.”

Renata bangkit, dan mulai mendekat ke arah Bagas.

“Ini kontraknya, tanda tangani. Dan besok anda bisa langsung mulai bekerja disini.” Renata memberikan map warna hitam kepada Bagas.

Bagas mengambil map tersebut. Menatapnya pelan dan kemudian menoleh ke arah Renata.

“Kenapa saya?”

Renata tersenyum tipis, senyum yang sangat sulit diartikan.

“Dokter. Terkadang untuk menyembuhkan luka, kita juga harus merasakan luka yang sama.”

Madame Renata sedikit membungkuk di depan Bagas, hingga belahan dadanya yang nampak dalam sedikit terlihat. Ia nampak gugup dan berusaha mengalihkan pandangannya ke arah wajah Renata agar tidak dikira kurang ajar.

“Dokter. Saya tahu anda terluka berat sekarang.” Senyumnya manis terlalu manis untuk seorang atasan yang sedang merekrut pekerja. “Saya tahu, dunia anda begitu berantakan saat ini,” lanjutnya.

“Iya. Dunia saya memang berantakan saat ini. Tapi, saya tidak butuh di kasihani.”

Renata kembali tersenyum. Wajahnya semakin mendekat, begitu dekat. “Menarik,” bisiknya pelan.

Renata kembali berdiri tegak, seketika Bagas merasa lega.

“Saya merekrut anda bukan karena kasihan, tapi karena anda memang layak untuk pekerjaan ini, Dokter.”

“Anda tidak perlu khawatir soal lisensi anda. Karena tempat ini tidak sama dengan tempat sebelumnya anda bekerja.”

Renata berjalan pelan dan duduk di tepi meja tepat di hadapan bagas.

“Disini anda akan menyembuhkan mereka dengan metode yang berbeda,” lanjutnya kembali.

“Metode yang berbeda? Apa maksud anda?”

“Metode yang tidak pernah diajarkan di sekolah manapun.”

Renata kembali berdiri, merapikan roknya di bagian belakang. Lalu ia mendekat dan menepuk bahu Bagas. “Saya yakin, anda tau maksud saya apa.”

Bagas terdiam sejenak. Lalu kembali menekuk wajahnya menatap map yang ia pegang. Perlahan… ia mulai membukanya.

“Dokter. Tandatangani kontrak itu. Saya yakin, anda akan menemukan kembali kehidupan anda di tempat ini.”

“Benar,” lirih Bagas. “Lagi pula, apa yang harus aku takutkan? tidak ada lagi yang harus aku jaga dan pertahankan. Semuanya telah hancur.”

Dia membuka map, mengambil pulpen dan akhirnya menandatangani kontrak kerja tersebut.

“Bagus, Dokter. Anda telah membuat pilihan yang tepat.”

Renata tersenyum dan kembali duduk di kursinya. Dia menjulurkan tangan.

“Selamat Dokter. Mulai hari ini anda resmi menjadi bagian dari Re:Vive.”

“Terima kasih Madame.” Bagas menjabat tangannya.

“Besok anda bisa langsung masuk. Anda akan diberikan ruang khusus untuk konsultasi dan terapi bersama pasien.”

Bagas mengangguk pelan.

“Dan satu lagi dokter. Ingat, tidak ada batasan untuk metode penyembuhan disini.”

Senyum itu kembali terlukis di bibir Renata, senyum yang begitu sulit dipahami akan makna di baliknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 9 — Pasien Kedua

    Tok Tok Tok!Lamunan Bagas buyar saat ketukan samar terdengar di pintu ruangan.“Masuk,” katanya tegas. Bagas membenarkan posisi duduknya di atas sofa.Pintu terbuka dan siluet tubuh seorang wanita nampak masuk ke dalam.“Dok.” Itu Suster Mayra, ia tersenyum tipis sambil membungkuk rendah ke arah Bagas“Bagaimana, Dok, sesi terapinya?” tanya Mayra sambil mengulum senyum di bibirnya.“Lancar,” jawab Bagas singkat. Ia bangkit dan mendekat ke arah Suster Mayra.“Suster,” katanya lembut sambil menatap dalam ke arah perempuan yang mengenakan seragam abu-abu tersebut.“I-iya, Dok.” Mayra sedikit gugup karena pandangan Bagas tampak berbeda ke arahnya.“Tadi… saat sesi terapi, apa suster mendengar sesuatu?”“Hah! Ma-maksudnya, Dok?”Bagas tersenyum. Ia hanya ingin memastikan jika Suster Mayra tidak mendengar apa-apa tadi selama sesi terapi berlangsung.“Tidak, tidak ada. Lupakan saja.” Bagas kembali ke sofa.“Memangnya ada apa tadi, Dok? Apa ada masalah saat sesi terapi?” Mayra nampak penasar

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 8 — Gairah Bagas

    “Ugh!” Lenguhan dan desahan mulai keluar dari bibir Clara saat batas moral di dalam diri Bagas mulai kabur. Lelaki itu menjadi liar, ia mengecup, mencumbu dan memainkan dua bukit cinta dengan begitu bergairah. “Ahh! Dok!” Clara menjambak lembut rambut Bagas, menahan kepala Bagas ke bawah hingga dokter muda itu hampir sesak dengan dua bukit yang kini menghimpitnya. “Shh! Terus Dok!” Tangan Clara mulai bermain—melepas satu persatu kancing kemeja biru muda yang Bagas kenakan. Tangannya yang lembut mulai menelusup kedalam, membelai bulu halus yang tumbuh di sepanjang dada lelaki itu yang bidang. Bahkan dua ujung kecil dada Bagas tidak luput dari sentuhan Clara. Ia membelai, bahkan sesekali mendekatkan wajahnya dan memainkan lidah mungilnya di sana. Bagas benar-benar sudah tidak tahan lagi. Batas moral yang sedari tadi mulai menipis akhirnya hilang sepenuhnya. Clara tersentak saat Bagas mengangkat dan mendekap tubuhnya. Clara tersenyum saat Bagas mulai menggendong dirinya menuju ke

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 7 — Malam Bergelora

    Malam itu, di bawah rinai gerimis yang menari di atas aspal basah, Bagas memacu mobilnya menembus lengangnya kota menuju klinik. Begitu turun dari sedan putihnya, ia menghela napas panjang. Pandangannya terhenti pada pintu kaca di depannya—dingin, berembun, dan seolah menyimpan sesuatu yang membuat kelelakiannya selalu diuji. Hari ini terlalu banyak kejadian yang membuat jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Terlebih kejadian dengan Madame Renata tadi siang—bayangan wanita itu masih menari-nari di kepalanya, membuat setiap langkah menuju klinik terasa semakin berat—dan berdebar. “Halo, Dok.” Suara lembut seorang wanita langsung menyambutnya. “Suster Mayra? anda masih di klinik?” “Iya, Dok. Tadi kata Madame Renata, dokter ada sesi konseling malam. Jadi saya disuruh menemani dokter disini,” jawabnya pelan sambil tersenyum tipis. “Oh begitu ya?” Bagas mengangguk pelan. “Baiklah, saya ke atas dulu. Nanti kalau Bu Clara sudah datang, suruh naik ke ruangan saya.” “Baik

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 6 — Sentuhan Pertama

    Renata berjalan pelan mendekati Bagas. Kemeja transparannya kini telah seutuhnya terbuka. Bagas terus mundur perlahan, hingga ia terhenti saat punggungnya menyentuh dinding. “Kenapa Bagas? Kenapa gugup begitu?” Renata tersenyum seraya melepas kemeja yang masih tersangkut di bahunya. Tidak ada lagi bahasa formal. Kini semua kata yang keluar dari bibir Renata terdengar sangat menggoda. Bagas menelan ludah, ia tidak menyangka akan seperti ini. Matanya membesar menatap payudara besar yang masih dibalut bra ungu tua. “Kenapa, Bagas? Kau tertarik bukan?” Kini Renata tepat di depannya—melingkarkan tangannya di leher Bagas. Pandangan Bagas tidak bisa lepas dari lekuk tubuh Renata bagian atas yang nyaris telanjang. Tidak bisa di pungkiri, di umurnya yang sudah mendekati kepala 4, Renata masih memiliki tubuh yang begitu menggoda. Bagas semakin gugup, ia melihat Renata menjilat bibirnya sendiri. Tatapannya terasa seperti tatapan macan yang siap menerkam mangsa di depannya. “Jadi, kau ingin

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 5 — Gairah Kembali Lahir

    Bibir mereka berdua mulai bertautan lembut. Namun Bagas masih terlihat pasif, ia masih mencoba mencerna semua ini. Tapi tidak dengan Clara. Ia mendekap lembut pinggang Bagas menarik ke arah dirinya. Bagas dapat merasakan benda kenyal di dadanya yang terhimpit. Nafas Clara semakin menggebu. Bahkan kini ia mulai melepas kancing kemeja Bagas satu persatu. Tangannya menelusup ke dalam—mengelus lembut dada bidang pria itu. Darah Bagas langsung mendesir merasakan sentuhan hangat yang kini mulai membangkitkan gairahnya. Ia mulai terbawa suasana, hingga tangannya kini ikut terangkat melingkar di pinggang Clara. Bagas mulai merasakan sesuatu, selalu sisi yang sempat mati dalam dirinya kini mulai hidup kembali. Namun lagi-lagi, gelar Dokter yang ia sandang seakan berbisik. “Ini salah.” Logika dan gairahnya mulai bertarung membuat Bagas mempertanyakan tentang siapa dirinya sendiri. Sementara Clara, semakin lama semakin liar. Bagian atas kemejanya telah terbuka memperlihatkan bahu put

  • Terapi Hasrat Dokter Bagas   Bab 4 — "Saya Kesepian, Dok."

    “Saya kesepian, Dok.” Kalimat itu keluar begitu pelan dari mulutnya.Clara kembali mendongak—duduk dengan postur sempurna, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.Ada getar halus di jemarinya yang Bagas tangkap sekilas.Bagas diam sejenak. Lalu ia kembali tersenyum menunjukkan sisi profesionalitas-nya. “Jadi, begitu ya, Bu?”Bagas menarik nafas pelan. “Apa ibu baru saja kehilangan seseorang?” tanyanya kembali.Clara menggeleng pelan. “Saya tidak kehilangan siapa-siapa, Dok. Saya hanya kehilangan diri saya sebagai seorang istri,” katanya pelan dengan wajah ditekuk.Bibirnya nampak bergetar saat ingin melanjutkan kata-katanya.“Saya tinggal bersama suami saya, Dok. Tapi… rasanya seperti tinggal bersama orang asing.”Bagas menatapnya sejenak, lalu menulis beberapa catatan kecil di bukunya.“Sudah berapa lama ibu merasa seperti itu?” tanya Bagas kembali.“Mungkin… dua tahun, Dok.”“Apa ibu sudah mencoba berbicara dengan suami ibu tentang hal ini?”Clara tertawa kecil, na

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status