เข้าสู่ระบบEsok harinya, Bagas terlihat berdiri di depan sebuah gedung putih dengan pintu kaca di depannya. Di atas pintu ada penanda nama — Re:Vive.
Ia kembali menatap kartu di tangannya. Ada sedikit keraguan di sana, apalagi mengingat tatapan Renata yang cukup mencurigakan kemarin. Namun apa yang bisa ia lakukan? Ia sama sekali tidak punya pilihan. Lisensinya sebagai dokter telah di cabut, mungkin ini satu-satunya jalan keluar—atau setidaknya pelarian. Begitu melangkah masuk, Bagas disambut oleh udara dingin dan aroma lavender yang menenangkan. Suasana lobi begitu bersih dan elegan. Dari arah koridor, seorang wanita muda muncul tergesa. Seragam perawat abu-abu yang ia kenakan sedikit miring di bagian kancing, menyingkap garis pada bagian atas tubuhnya yang nyaris tumpah setiap kali ia menarik napas. Rambutnya terurai sebagian, beberapa helai menempel di kulit leher yang berkeringat halus. “Ah! Dokter Bagas, ya?” katanya cepat sambil menepuk dadanya lega. “Saya hampir saja terlambat menyambut Anda.” Bagas menatapnya sejenak. Pandangannya turun perlahan, berhenti tepat di lekuk kain yang menegang pada lekukan indah di bagian atas tubuh wanita itu. Suara langkah sepatu di koridor seakan menghilang, menyisakan keheningan yang aneh—atau gairah yang bangkit dalam diri Bagas. “Oh, hehe maaf, Dok. Saya buru-buru tadi.” Wanita itu langsung membenarkan kancing baju di area tubuh bagian atasnya yang nampak terbuka. Bagas hanya mengangguk pelan. “Kamu tahu nama saya?” “Madame Renata bilang Anda akan datang pagi ini.” “Oh, begitu ya,” sahut Bagas singkat. “Perkenalkan, saya Mayra. Saya perawat baru di sini... dan saya juga asisten pribadi anda,” katanya lagi dengan senyum manis dan tatapan penuh arti. “Asisten pribadi?” Bagas sedikit terkejut. “Iya, benar, Dok. Kata Madame Renata, saya akan menjadi asisten anda disini.” Bagas memperhatikan Mayra sekali lagi. Untuk seorang perawat, penampilannya terlalu mencolok. Seragam abu-abunya nampak begitu ketat hingga memperlihatkan bentuk tubuhnya secara nyata. “Maaf, Dok. Apa ada yang salah?” tanya Mayra sambil kembali tersenyum tipis. “Tidak, tidak ada.” Bagas kembali bersikap profesional. “Saya Bagaskara,” katanya pelan. Ia bahkan tidak menyebut gelar dokternya. “Baik, Dok. Mari saya antar. Madame Renata sudah menunggu di belakang.” Mayra kembali tersenyum, lalu berbalik arah dan berjalan mendahului Bagas. “Mari, Dok,” katanya kembali sambil menoleh sedikit. Bagas mengangguk pelan dan langsung mengikutinya dari belakang. Ruang Madame Renata yang berada di ujung membuat Bagas harus berjalan sedikit lama di belakang Mayra. Yang mana hal ini membuatnya sedikit kurang nyaman. Seragam ketat yang Mayra kenakan tentu saja memperlihat bagian belakangnya yang seolah menari-nari di depan Bagas. Bagas akhirnya mengalihkan pandangan dengan melihat-lihat sekitar. Ia melihat ada beberapa lukisan wanita tanpa wajah di dinding. Ia tidak merasa aneh karena hal itu memang sering ditemukan di tempat-tempat terapi mental untuk menggambarkan ekspresi dan mental issue. Detak langkah mereka menggema di lantai marmer putih bersih. “Sebentar, Dok.” Langkah Mayra berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu kayu hitam bertuliskan logo Re:Ve di atasnya. Mayra mengetuk dua kali. “Madame Renata. dr. Bagaskara sudah datang.” Dari dalam, terdengar suara lembut tapi penuh wibawa. “Silahkan masuk.” Mayra kembali menatap Bagas sejenak. Senyumnya kembali muncul. “Silahkan, Dok,” katanya pelan sambil menyingkir mempersilahkan Bagas masuk ke dalam. Bagas langsung melangkah masuk. Di sana, terlihat Madame Renata duduk di balik meja marmer hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan gaun formal berwarna krem muda namun terlihat sedikit ketat dan terbuka di area atas tubuhnya. “Terima kasih, Mayra,” katanya pelan sambil menatap perawat itu seolah mengisyaratkan ruangan ini bukanlah tempatnya. “Baik, Madame. Saya permisi.” Mayra membungkuk sejenak, lalu keluar dan kembali menutup pintu dengan rapat. “Selamat datang di Re:Vive, dr. Bagaskara,” ucap Renata, akhirnya. “Senang akhirnya Anda datang.” Bagas masih diam, ia tidak memberikan respon apa-apa. Madame Renata kembali tersenyum. “Silahkan duduk,” katanya lagi. Bagas menarik kursi dan duduk di hadapan wanita yang tampak begitu berbeda dengan yang dia temui di ruang sidang kemarin. Posisi duduk yang berhadapan membuat matanya spontan tertuju ke arah belahan pada lekukan indah tubuh bagian atasnya yang nampak terbuka. “Kenapa Dokter? Anda terlihat gugup, apa ada masalah dengan pakaian saya?” Renata menatap Bagas dengan senyuman yang sulit di artikan. “Tidak, tidak ada,” jawab Bagas singkat sambil mengalihkan pandangannya. “Baiklah. Sesuai perkataan saya kemarin, anda saat ini akan bekerja untuk saya. Anda akan menjadi terapis utama di klinik ini.” Bagas masih diam, dia masih mencoba mencerna satu persatu kata yang keluar dari mulut Renata. “Saya percaya anda bisa.” Renata kembali menatap Bagas. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu. “Re:Vive, bukan hanya klinik terapis mental seperti pada umumnya. Anda akan menyembuhkan para wanita yang merasa gagal dalam hidup, para wanita yang merasa tidak diterima oleh dunia, oleh keluarga atau oleh cintanya sendiri.” “Wanita?” gumam Bagas namun masih terdengar. “Benar, kami tidak menerima pasien pria disini.” “Tapi, izin praktek saya telah dicabut.” Akhirnya Bagas bersuara. “Saya tahu, dan itu juga sebabnya saya memilih anda, Dokter.” “Maksud anda?” Bagas heran, keningnya mengkerut. “Saya tidak perlu izin praktik anda disini. Saya hanya ingin anda menjadi terapis utama yang akan membantu para wanita menyembuhkan lukanya.” Renata bangkit, dan mulai mendekat ke arah Bagas. “Ini kontraknya, tanda tangani. Dan besok anda bisa langsung mulai bekerja disini.” Renata memberikan map warna hitam kepada Bagas. Bagas mengambil map tersebut. Menatapnya pelan dan kemudian menoleh ke arah Renata. “Kenapa saya?” Renata tersenyum tipis, senyum yang sangat sulit diartikan. “Dokter. Terkadang untuk menyembuhkan luka, kita juga harus merasakan luka yang sama.” Madame Renata sedikit membungkuk di depan Bagas, hingga belahan bukit kembarnya yang nampak dalam sedikit terlihat. Ia nampak gugup dan berusaha mengalihkan pandangannya ke arah wajah Renata agar tidak dikira kurang ajar. “Dokter. Saya tahu anda terluka berat sekarang.” Senyumnya manis terlalu manis untuk seorang atasan yang sedang merekrut pekerja. “Saya tahu, dunia anda begitu berantakan saat ini,” lanjutnya. “Iya. Dunia saya memang berantakan saat ini. Tapi, saya tidak butuh di kasihani.” Renata kembali tersenyum. Wajahnya semakin mendekat, begitu dekat. “Menarik,” bisiknya pelan. Renata kembali berdiri tegak, seketika Bagas merasa lega. “Saya merekrut anda bukan karena kasihan, tapi karena anda memang layak untuk pekerjaan ini, Dokter.” “Anda tidak perlu khawatir soal lisensi anda. Karena tempat ini tidak sama dengan tempat sebelumnya anda bekerja.” Renata berjalan pelan dan duduk di tepi meja tepat di hadapan bagas. “Disini anda akan menyembuhkan mereka dengan metode yang berbeda,” lanjutnya kembali. “Metode yang berbeda? Apa maksud anda?” “Metode yang tidak pernah diajarkan di sekolah manapun.” Renata kembali berdiri, merapikan roknya di bagian belakang. Lalu ia mendekat dan menepuk bahu Bagas. “Saya yakin, anda tau maksud saya apa.” Bagas terdiam sejenak. Lalu kembali menekuk wajahnya menatap map yang ia pegang. Perlahan… ia mulai membukanya. “Dokter. Tandatangani kontrak itu. Saya yakin, anda akan menemukan kembali kehidupan anda di tempat ini.” “Benar,” lirih Bagas. “Lagi pula, apa yang harus aku takutkan? tidak ada lagi yang harus aku jaga dan pertahankan. Semuanya telah hancur.” Dia membuka map, mengambil pulpen dan akhirnya menandatangani kontrak kerja tersebut. “Bagus, Dokter. Anda telah membuat pilihan yang tepat.” Renata tersenyum dan kembali duduk di kursinya. Dia menjulurkan tangan. “Selamat Dokter. Mulai hari ini anda resmi menjadi bagian dari Re:Vive.” “Terima kasih Madame.” Bagas menjabat tangannya. “Besok anda bisa langsung masuk. Anda akan diberikan ruang khusus untuk konsultasi dan terapi bersama pasien.” Bagas mengangguk pelan. “Dan satu lagi dokter. Ingat, tidak ada batasan untuk metode penyembuhan disini.” Senyum itu kembali terlukis di bibir Renata, senyum yang begitu sulit dipahami akan makna di baliknya.Sementara Helena, ia terus saja mengikuti Bagas hingga ke dalam ruangannya. Bagas mendengus kesal, ini cukup mengganggu baginya.“Kenapa kamu harus ke sini, sih? Kalau memang ada perlu, kan kita bisa bicara nanti,” kata Bagas sambil duduk di balik meja kerjanya.Helena tersenyum, ia ikut bersandar di meja sambil tangannya melingkar di leher Bagas.“Aku kangen,” katanya manja.“Iya, tapi kan bisa nanti saja. Aku ada pasien hari ini.”“Hmm!”Helena menghela napas berat, ia menarik tangannya. Wajahnya langsung murung dan cemberut.Bagas menarik napas dalam-dalam, ia mengusap wajahnya kasar. Ia bangkit dan memegang pipi Helena.“Helena, nanti kita bicarakan, ya? Ini di klinik, loh. Apalagi sebentar lagi aku ada pasien.”Bagas dengan lembut mengelus pipi wanita itu. Ia juga mengecup bibirnya pelan. Hingga akhirnya Helena kembali tersenyum dengan pipi yang merona.“Ya udah.”Akhirnya Helena mengalah.“Nanti malam kita ketemu, ya. Ada sesuatu yang penting yang mau aku bicarakan. Tentang Yanu
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah ventilasi kontrakan sederhana itu, menyapu wajah Bagas yang masih terlelap. Ia mengerjap pelan, tangannya secara refleks meraba sisi tempat tidur, namun ia hanya menemukan sprei yang sudah dingin.Bagas segera membuka mata sepenuhnya dan mencium aroma harum nasi goreng serta bawang putih yang digoreng, memenuhi ruangan sempit tersebut. Ia menoleh ke arah dapur kecil dan mendapati Mayra sudah rapi mengenakan pakaian santai, rambutnya dicepol asal-asalan, sedang sibuk di depan kompor.Bagas bangkit, hanya mengenakan celana panjangnya yang sempat berserakan semalam. Ia berjalan tanpa suara dan tiba-tiba melingkarkan lengannya di pinggang Mayra dari belakang."Ehh! Dok, udah bangun?" Mayra tersentak kecil, namun sedetik kemudian ia menyandarkan kepalanya di bahu Bagas dengan senyum malu-malu.“Jangan panggil Dok, kita tidak sedang di klinik,” jawab Bagas sambil mempererat pelukannya.Mayra hanya tersenyum lembut, ia mengangguk pelan
Setelah badai gairah yang meluap-luap itu mereda, keheningan yang damai menyelimuti kamar kontrakan sempit tersebut. Bagas tidak segera beranjak, ia menarik tubuh mungil Mayra ke dalam pelukannya, menyelimuti mereka berdua dengan kain sprei tipis yang masih tersisa di atas ranjang.Mayra menyandarkan kepalanya di dada bidang Bagas, mendengarkan detak jantung pria itu yang perlahan mulai kembali normal. Aroma maskulin yang bercampur dengan sisa-sisa pergumulan mereka membuat Mayra merasa begitu aman. Tanpa sadar, rasa lelah yang luar biasa setelah pertama kali merasakan pengalaman tersebut membuat kelopak matanya terasa berat.Bagas pun demikian. Ia mengelus lembut rambut Mayra yang masih sedikit basah oleh keringat, hingga akhirnya napas keduanya menjadi teratur. Mereka terlelap dalam pelukan hangat, seolah dunia di luar sana berhenti berputar hanya untuk mereka berdua.Hening malam di tempat itu sempat terganggu oleh suara kucing yang melompat di atas atap seng, membuat Bagas perlaha
Bagas terdiam sejenak, membiarkan matanya menjelajahi setiap inci kemolekan alami yang terpampang di depannya. Mayra, dengan wajah yang sudah merah padam hingga ke telinga, mencoba menutupi dadanya dengan tangan yang gemetar. Namun, Bagas dengan lembut meraih tangan itu, mengecup telapak tangannya, dan meletakkannya kembali di sisi tubuhnya."Jangan disembunyikan, Mayra... Kamu sangat sempurna," bisik Bagas dengan suara yang serak dan berat.Mayra tersenyum dengan pipi yang merona. Ia sendiri bingung apa yang ia rasakan kini. Ada rasa malu, senang, sedih. Semuanya bercampur aduk menjadi satu.Bagas kemudian mulai melepaskan pakaiannya sendiri satu per satu dengan gerakan yang sangat tenang, seolah ingin memberi waktu bagi Mayra untuk mempersiapkan diri. Ketika kemeja dan celana Bagas akhirnya terlepas sepenuhnya, mata Mayra yang semula sayu mendadak melebar sempurna.Ia terkesiap, napasnya seolah tertahan di kerongkongan. Pandangannya terpaku pada kejantanan Bagas yang kini berdiri te
Mobil sedan putih milik Bagas akhirnya berhenti tepat di depan sebuah pagar besi kusam, tempat kontrakan sederhana yang dihuni oleh Suster Mayra.Suasana di sekitar gang tersebut cukup sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang mulai menyala temaram, memberikan kesan privasi yang diinginkan Bagas.Suster Mayra masih terpaku, tangannya masih berada dalam genggaman Bagas. Kata-kata pria itu tentang "calon istri" masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuat hatinya dipenuhi bunga-bunga yang mekar seketika."Sudah sampai, Sus," bisik Bagas lembut, wajahnya mendekat ke arah Suster Mayra hingga aroma parfum woody yang maskulin menyapa indera penciuman suster itu."E-eh, iya, Dok. Terima kasih sudah mengantar," jawab Suster Mayra gugup. Ia hendak membuka pintu, namun Bagas belum melepaskan tangannya."Tidak mau mengajak saya masuk dulu? Saya haus sekali, Mayra," pinta Bagas dengan nada suara yang sedikit merendah, kali ini ia menyebut nama aslinya tanpa embel-embel "Suster".Suster Mayra mene
Sore harinya, sesuai janjinya tadi, Bagas terlihat duduk di lobi menunggu Suster Mayra yang hampir selesai dengan pekerjaannya.Ia duduk tenang sambil menyilangkan kakinya. Tangannya sibuk bermain di layar ponsel. Ia sedang membalas pesan singkat dari Helena.“Bagas, Yanuar telah terpancing. Aku berhasil,” tulis Helena di pesan singkatnya.Bagas tersenyum simpul. Matanya berbinar.“Kamu hebat, aku tahu pasti kamu bisa.”Tidak lama kemudian, Helena kembali membalas.“Tapi aku jijik, dia sempat mencium bibirku.”“Cih, dasar!” batin Bagas berdecak kesal. Sesuai dugaannya, Yanuar memang sangat mudah dipancing jika soal perempuan.Bagas kembali mengetik balasan.“Tapi kamu rekam semuanya, kan?”Terlihat tulisan typing di layar ponsel Bagas. Helena sedang mengetik balasan.“Iya, sudah aku rekam. Tapi itu belum cukup. Nanti malam dia pasti bakal balik lagi ke apartemenku.”Bagas tersenyum. Jarinya kembali bermain di layar dan mengetik balasan.“Oke, buat dia terlena hingga dia lupa kalau dia







