Share

Dua

Masih berada di kedai, tiba-tiba ada seorang gadis menghampiri meja Deandra dan teman-temannya. Penampilannya yang anggun, dan wajahnya yang terlihat imut terkesan sangat manis. Dapat ditebak, gadis tersebut adalah adik tingkat Deandra.

"Maaf, Kak. Boleh aku gabung? Ada yang mau aku tanyakan sama Kak, Dean," ucap gadis tersebut seraya menunduk.

"Oh, ya, sudah. Sil---" Andre menghentikan ucapannya, ketika melihat Deandra tiba-tiba menarik sebuah kursi untuk gadis tersebut.

"Duduk!" titah Deandra.

"Terima kasih, Kak," ucap gadis tersebut seraya tersenyum manis.

Sedangkan Andre dan Gino, keduanya saling melirik ketika melihat sikap perhatian Deandra.

'Selera si Dean, lumayan juga,' batin Andre seraya menatap Deandra dan gadis tersebut.

Gadis tersebut, memang benar adik tingkat mereka, yang bernama Anggun. Ia menemui Deandra untuk menanyakan perihal tugas, pasalnya Deandra adalah salah satu seniornya yang cukup cerdas.

"Bagaimana, sudah paham?" tanya Deandra kepada gadis tersebut.

"I--iya, sudah, Kak. Terima kasih, kalau gituh aku dul---" Ucapan Anggun lebih dulu dipotong oleh Andre.

"Jangan buru-buru, duduk saja dulu," titah Andre.

"Tap---" lagi-lagi ucapan Anggun dipotong oleh Andre.

"Anggap saja imbalan untuk Dean, ya, 'kan?" ucap Andre seraya melirik Dean. Dean hanya mengangguk sebagai jawaban, ia tak menolak, karena jujur ia merasa nyaman berada di dekat Anggun.

"Iya deh," jawab Anggun pasrah.

"Mau pesan apa?" tanya Andre kepada Anggun.

"Em ... ini saja deh," tunjuknya pada salah satu menu di buku.

Ketiga lelaki dan seorang gadis tersebut, mereka tengah asyik melahap makanan mereka, sesekali Deandra melirik ke arah Anggun yang tengah lahap menyantap makanannya. Sesekali juga kedua teman Deandra menangkap kelakuan Dean tersebut.

"Sorry ... ada sesuatu di bibir lo," ucap Dean seraya membersihkan bibir Anggun dengan tisu.

Kejadian tersebut, tak luput dari pandangan Karina saat itu. Hatinya sangat panas melihat semua itu, dengan emosi yang memburu, ia berjalan menghampiri meja Dean.

BRAK!

"Sini lo, dasar perempuan ganjen!" ujar Karina seraya menarik kasar lengan Anggun.

"Ya, ampun! Karina lo bisa enggak, sih, santai saja! Kalau kita jantungan bagaimana?" tutur Andre.

"Bodo amat!" ucap Karina ketus.

Deandra hanya diam mengamati pergerakan Karina. Ia yakin Karina akan berbuat suatu hal di luar batas, dan benar saja Karina menyiram Anggun dengan segelas jus, lalu ia mendorong Anggun dengan kasar, hingga Anggun terduduk di lantai.

"Itu pantas untuk perempuan jal---" Ucapan Karina terpotong oleh bentakan Deandra.

"KARINA!" teriak Deandra seraya mengangkat sebelah tangannya, dan ....

PLAK!

"De--Dean," ucap Karina lirih dan terbata.

Gadis tersebut mematung di tempatnya, seraya memegang sebelah pipinya yang terasa panas, akibat tamparan Dean. Dengan kedua mata berkaca-kaca, Karina menatap semuanya secara bergantian, setelah itu ia berlari meninggalkan kedai seraya terisak.

"Lo keterlaluan, Dean!" ucap Gino geram.

"Terus gue harus diam?" sahut Deandra seraya membantu Anggun berdiri.

"Ya, tapi ... 'kan, lo bisa pakai cara lain, jangan main tangan juga," jelas Gino.

"Oke, gue salah," sahut Deandra. Ia pun mengakui kesalahannya, tak seharusnya ia menampar Karina di depan banyak orang yang notabenenya seorang perempuan.

"Ayo, gue antar ke toilet," ucap Dean.

"Enggak usah Kak, gue bis---" Ucapan Anggun terpotong, kala tangan Deandra menarik lengannya.

Kedua teman Deandra menarik nafasnya kasar, melihat sikap Deandra yang seperti itu.

* * *

Tepat di sebuah toilet kampus, Karina dan Deandra juga Anggun, mereka berpapasan di sana.

"Eh, Dean ... ngapain?" tanya Karina seraya tersenyum manis ke arah Dean, ia seperti sudah melupakan kejadian di mana Dean menamparnya tadi.

Dean sempat tertegun, melihat senyuman tulus Karina untuknya, tak dapat dipungkiri pipi Karina masih sangat memerah akibat tamparannya tadi, kedua kelopak matanya pun masih membengkak.

"Bukan urusan lo!" sahut Dean cuek. Ia segara menarik kembali lengan Anggun. Namun langkahnya dihentikan oleh Karina.

"Tunggu!" ujar Karina.

"Maaf soal tadi," ucap Karina tulus kepada Anggun.

"I--iya, enggak apa-apa," sahut Anggun.

"Thank, ya," ucap Karina. Anggun mengangguk sebagai jawabannya.

"Sudah, 'kan?" ucap Dean seraya menatap dingin Karina. Karina mengangguk seraya tersenyum manis ke arah Dean.

Karin tersenyum hambar, melihat kepergian Deandra bersama adik tingkatnya tersebut. Tak terasa bulir bening kembali membasahi kedua pipi mulusnya.

'Harus sesakit ini ya? Mencintai seorang Deandra Aditya,' ucap Karina dalam hati.

'Dengan sikap lo yang begini saja, gue sudah jatuh cinta. Apa lagi kalau sikap lo sedikit lembut sama gue, mungkin gue akan jatuh cinta sama lo secara berlipat-berlipat,' ucap Karina lagi dalam hati.

* * *

Di sisi lain seorang gadis tengah terduduk di bawah teriknya sinar matahari, ia adalah Kiana yang tengah menunggu taksi dan lain sebagainya.

Saat merasa tak tahan dengan panasnya matahari, Kiana melihat sebuah moge berwarna merah menyala hendak melintas di hadapannya. Buru-buru ia berdiri di tengah jalan, dengan ketua tangan di rentangkan, seperti orang yang hendak bunuh diri.

Karena ulahnya tersebut, pemilik moge merah itu, hampir saja terjatuh.

"Woi! Kalau mau bunuh diri jangan di sini!" ucap orang tersebut seraya berteriak geram.

"Siapa yang mau bun---" Ucapan Kiana terhenti, kala pemilik moge tersebut membuka helm fullfacenya.

'Tampan banget,' ucap Kiana dalam hati. Ia sampai tak sadar, saat ini ia tengah menatap lelaki tersebut dengan mulut menganga.

"Woi! Malah melamun," ujar Gino. Lelaki pemilik moge merah tersebut adalah Gino, teman kuliah Deandra sekaligus sahabatnya.

"Eh, iya. Siapa yang mau bunuh diri! Aku cuman mau minta antar pulang," sahut Kiana dengan wajah yang sudah memerah bak udang rebus.

"Hah?" kini giliran Gino yang dibuat menganga tak percaya. Pasalnya ia tak mengenal gadis berseragam SMA itu, mengapa tiba-tiba meminta dirinya untuk mengantarnya pulang.

"Ogah! Kenal juga enggak," sahut Gino.

"Oh, jadi enggak mau, nih?" tanya Kiana seraya bertolak pinggang di hadapan moge Gino.

"Ya, iyalah! Masa mau!" sahut Gino seraya melirik ke arah lain.

"Oke ... aku bakalan teriak minta tolong dan bilang kalau Kakak ini, penculik!" ancam Kiana.

"Teriak saja! Lagian mana ada, penculik mukanya ganteng begini," sahut Gino seraya bercermin di kaca mogenya.

"TOLONG-TO---" Ucapan Kiana yang setengah berteriak itu dipotong oleh Gino.

"Oke! Gue antar, buruan naik!" titah Gino seraya mengacak rambut frustasi.

"Mimpi apa gue semalam," ucap Gino seraya memasang helm fullfacenya lagi.

"Terima kasih, Kak tampan," ucap Kiana seraya memegang pinggang Gino.

"Woi! Singkirin tangan lo, nanti gue dikira tukang cabul bonceng anak kecil kaya lo," titah Gino dengan suara yang kurang jelas.

"His ... dasar pelit!" ucap Kiana seraya memanyunkan bibirnya.

'Ngomong-ngomong ... siapa, sih, namanya dia?' ucap Kiana membatin.

'Ah, nanti saja aku tanya kalau sudah sampai,' sambungnya lagi dalam hati.

Setelah beberapa menit, moge Gino memasuki kompleks perumahan elite.

"Stop, Kak, stop!" ujar Kiana seraya memukul-mukul pundak Gino.

"Aduh, apa lagi, sih?" tanya Gino geram.

"Sampai sini saja, Kak. Maaf ya, enggak bisa sampai rumah aku," ucap Kiana.

"Enggak masalah, syukur banget malah enggak nyampe rumah lo," ucap Gino.

BUGH!

"Aw ...! Enggak tahu cara berterima kasih lo, ya?" tanya Gino geram. Ia benar-benar dibuat emosi oleh kelakuan Kiana.

"Tahu kok, Kak," sahut Kiana.

Cups!

Gino mematung di tempatnya, seraya menatap punggung gadis berseragam SMA itu yang tengah berlari dan semakin menjauh dari pandangannya.

"Sial*n! Berani banget tuh, bocah!" ucap Gino geram, buru-buru ia memasang helm fullfacenya kembali, ketika teringat sang kekasih yang sudah menunggunya.

* * *

Saat ini Kiana telah berada di dalam kamarnya, ia terduduk di atas tempat tidurnya seraya memeluk boneka beruang berukuran besar. Ia sesekali tersenyum mengingat kejadian tadi, sekaligus mengingat wajah tampan Gino. Namun, seketika wajahnya memerah ketika mengingat ulahnya yang tadi, ia pun tak tahu mengapa ia sangat berani mencium pipi Gino, padahal sebelumnya ia belum pernah mencium pipi lelaki selain ayahnya dan kakaknya.

"Ya, ampun! Kok aku bisa lupa ya, kalau begini di mana mau cari tahu namanya," ucap Kiana seraya menepuk jidatnya.

Pikirannya teralihkan, kala ponsel pintar miliknya berdering. Buru-buru ia meraih penda pipih tersebut dan mengangkat panggilan teleponnya.

"Halo, Kak?" sapa Kiana.

"Halo, di mana kamu Kian?" tanya Deandra dari sebarang telepon sana.

"A--aku di rumah, Kak," sahut Kiana gugup.

"Ck! Sekarang Kakak ada di sekolah kamu, nih! Lain kali bilang kalau sudah pulang Kiana!" ucap Deandra kesal.

Kiana pun mendengar, sang kakak berdecak kesal di sebarang telepon sana.

"Iya, Kak Dean, Maaf. Kiana salah," ucap Kiana.

"Yaudah, enggak apa-apa, lain kali jangan diulangi," titah Deandra.

"Kakak tutup teleponnya," ucap Deandra lagi.

"Hampir saja, untung Kak Dean yang tampan itu, baik banget," ucap Kiana seraya membaringkan tubuhnya.

Masih berada di kedai, tiba-tiba ada seorang gadis menghampiri meja Deandra dan teman-temannya. Penampilannya yang anggun, dan wajahnya yang terlihat imut terkesan sangat manis. Dapat ditebak, gadis tersebut adalah adik tingkat Deandra.

"Maaf, Kak. Boleh aku gabung? Ada yang mau aku tanyakan sama Kak, Dean," ucap gadis tersebut seraya menunduk.

"Oh, ya, sudah. Sil---" Andre menghentikan ucapannya, ketika melihat Deandra tiba-tiba menarik sebuah kursi untuk gadis tersebut.

"Duduk!" titah Deandra.

"Terima kasih, Kak," ucap gadis tersebut seraya tersenyum manis.

Sedangkan Andre dan Gino, keduanya saling melirik ketika melihat sikap perhatian Deandra.

'Selera si Dean, lumayan juga,' batin Andre seraya menatap Deandra dan gadis tersebut.

Gadis tersebut, memang benar adik tingkat mereka, yang bernama Anggun. Ia menemui Deandra untuk menanyakan perihal tugas, pasalnya Deandra adalah salah satu seniornya yang cukup cerdas.

"Bagaimana, sudah paham?" tanya Deandra kepada gadis tersebut.

"I--iya, sudah, Kak. Terima kasih, kalau gituh aku dul---" Ucapan Anggun lebih dulu dipotong oleh Andre.

"Jangan buru-buru, duduk saja dulu," titah Andre.

"Tap---" lagi-lagi ucapan Anggun dipotong oleh Andre.

"Anggap saja imbalan untuk Dean, ya, 'kan?" ucap Andre seraya melirik Dean. Dean hanya mengangguk sebagai jawaban, ia tak menolak, karena jujur ia merasa nyaman berada di dekat Anggun.

"Iya deh," jawab Anggun pasrah.

"Mau pesan apa?" tanya Andre kepada Anggun.

"Em ... ini saja deh," tunjuknya pada salah satu menu di buku.

Ketiga lelaki dan seorang gadis tersebut, mereka tengah asyik melahap makanan mereka, sesekali Deandra melirik ke arah Anggun yang tengah lahap menyantap makanannya. Sesekali juga kedua teman Deandra menangkap kelakuan Dean tersebut.

"Sorry ... ada sesuatu di bibir lo," ucap Dean seraya membersihkan bibir Anggun dengan tisu.

Kejadian tersebut, tak luput dari pandangan Karina saat itu. Hatinya sangat panas melihat semua itu, dengan emosi yang memburu, ia berjalan menghampiri meja Dean.

BRAK!

"Sini lo, dasar perempuan ganjen!" ujar Karina seraya menarik kasar lengan Anggun.

"Ya, ampun! Karina lo bisa enggak, sih, santai saja! Kalau kita jantungan bagaimana?" tutur Andre.

"Bodo amat!" ucap Karina ketus.

Deandra hanya diam mengamati pergerakan Karina. Ia yakin Karina akan berbuat suatu hal di luar batas, dan benar saja Karina menyiram Anggun dengan segelas jus, lalu ia mendorong Anggun dengan kasar, hingga Anggun terduduk di lantai.

"Itu pantas untuk perempuan jal---" Ucapan Karina terpotong oleh bentakan Deandra.

"KARINA!" teriak Deandra seraya mengangkat sebelah tangannya, dan ....

PLAK!

"De--Dean," ucap Karina lirih dan terbata.

Gadis tersebut mematung di tempatnya, seraya memegang sebelah pipinya yang terasa panas, akibat tamparan Dean. Dengan kedua mata berkaca-kaca, Karina menatap semuanya secara bergantian, setelah itu ia berlari meninggalkan kedai seraya terisak.

"Lo keterlaluan, Dean!" ucap Gino geram.

"Terus gue harus diam?" sahut Deandra seraya membantu Anggun berdiri.

"Ya, tapi ... 'kan, lo bisa pakai cara lain, jangan main tangan juga," jelas Gino.

"Oke, gue salah," sahut Deandra. Ia pun mengakui kesalahannya, tak seharusnya ia menampar Karina di depan banyak orang yang notabenenya seorang perempuan.

"Ayo, gue antar ke toilet," ucap Dean.

"Enggak usah Kak, gue bis---" Ucapan Anggun terpotong, kala tangan Deandra menarik lengannya.

Kedua teman Deandra menarik nafasnya kasar, melihat sikap Deandra yang seperti itu.

* * *

Tepat di sebuah toilet kampus, Karina dan Deandra juga Anggun, mereka berpapasan di sana.

"Eh, Dean ... ngapain?" tanya Karina seraya tersenyum manis ke arah Dean, ia seperti sudah melupakan kejadian di mana Dean menamparnya tadi.

Dean sempat tertegun, melihat senyuman tulus Karina untuknya, tak dapat dipungkiri pipi Karina masih sangat memerah akibat tamparannya tadi, kedua kelopak matanya pun masih membengkak.

"Bukan urusan lo!" sahut Dean cuek. Ia segara menarik kembali lengan Anggun. Namun langkahnya dihentikan oleh Karina.

"Tunggu!" ujar Karina.

"Maaf soal tadi," ucap Karina tulus kepada Anggun.

"I--iya, enggak apa-apa," sahut Anggun.

"Thank, ya," ucap Karina. Anggun mengangguk sebagai jawabannya.

"Sudah, 'kan?" ucap Dean seraya menatap dingin Karina. Karina mengangguk seraya tersenyum manis ke arah Dean.

Karin tersenyum hambar, melihat kepergian Deandra bersama adik tingkatnya tersebut. Tak terasa bulir bening kembali membasahi kedua pipi mulusnya.

'Harus sesakit ini ya? Mencintai seorang Deandra Aditya,' ucap Karina dalam hati.

'Dengan sikap lo yang begini saja, gue sudah jatuh cinta. Apa lagi kalau sikap lo sedikit lembut sama gue, mungkin gue akan jatuh cinta sama lo secara berlipat-berlipat,' ucap Karina lagi dalam hati.

* * *

Di sisi lain seorang gadis tengah terduduk di bawah teriknya sinar matahari, ia adalah Kiana yang tengah menunggu taksi dan lain sebagainya.

Saat merasa tak tahan dengan panasnya matahari, Kiana melihat sebuah moge berwarna merah menyala hendak melintas di hadapannya. Buru-buru ia berdiri di tengah jalan, dengan ketua tangan di rentangkan, seperti orang yang hendak bunuh diri.

Karena ulahnya tersebut, pemilik moge merah itu, hampir saja terjatuh.

"Woi! Kalau mau bunuh diri jangan di sini!" ucap orang tersebut seraya berteriak geram.

"Siapa yang mau bun---" Ucapan Kiana terhenti, kala pemilik moge tersebut membuka helm fullfacenya.

'Tampan banget,' ucap Kiana dalam hati. Ia sampai tak sadar, saat ini ia tengah menatap lelaki tersebut dengan mulut menganga.

"Woi! Malah melamun," ujar Gino. Lelaki pemilik moge merah tersebut adalah Gino, teman kuliah Deandra sekaligus sahabatnya.

"Eh, iya. Siapa yang mau bunuh diri! Aku cuman mau minta antar pulang," sahut Kiana dengan wajah yang sudah memerah bak udang rebus.

"Hah?" kini giliran Gino yang dibuat menganga tak percaya. Pasalnya ia tak mengenal gadis berseragam SMA itu, mengapa tiba-tiba meminta dirinya untuk mengantarnya pulang.

"Ogah! Kenal juga enggak," sahut Gino.

"Oh, jadi enggak mau, nih?" tanya Kiana seraya bertolak pinggang di hadapan moge Gino.

"Ya, iyalah! Masa mau!" sahut Gino seraya melirik ke arah lain.

"Oke ... aku bakalan teriak minta tolong dan bilang kalau Kakak ini, penculik!" ancam Kiana.

"Teriak saja! Lagian mana ada, penculik mukanya ganteng begini," sahut Gino seraya bercermin di kaca mogenya.

"TOLONG-TO---" Ucapan Kiana yang setengah berteriak itu dipotong oleh Gino.

"Oke! Gue antar, buruan naik!" titah Gino seraya mengacak rambut frustasi.

"Mimpi apa gue semalam," ucap Gino seraya memasang helm fullfacenya lagi.

"Terima kasih, Kak tampan," ucap Kiana seraya memegang pinggang Gino.

"Woi! Singkirin tangan lo, nanti gue dikira tukang cabul bonceng anak kecil kaya lo," titah Gino dengan suara yang kurang jelas.

"His ... dasar pelit!" ucap Kiana seraya memanyunkan bibirnya.

'Ngomong-ngomong ... siapa, sih, namanya dia?' ucap Kiana membatin.

'Ah, nanti saja aku tanya kalau sudah sampai,' sambungnya lagi dalam hati.

Setelah beberapa menit, moge Gino memasuki kompleks perumahan elite.

"Stop, Kak, stop!" ujar Kiana seraya memukul-mukul pundak Gino.

"Aduh, apa lagi, sih?" tanya Gino geram.

"Sampai sini saja, Kak. Maaf ya, enggak bisa sampai rumah aku," ucap Kiana.

"Enggak masalah, syukur banget malah enggak nyampe rumah lo," ucap Gino.

BUGH!

"Aw ...! Enggak tahu cara berterima kasih lo, ya?" tanya Gino geram. Ia benar-benar dibuat emosi oleh kelakuan Kiana.

"Tahu kok, Kak," sahut Kiana.

Cups!

Gino mematung di tempatnya, seraya menatap punggung gadis berseragam SMA itu yang tengah berlari dan semakin menjauh dari pandangannya.

"Sial*n! Berani banget tuh, bocah!" ucap Gino geram, buru-buru ia memasang helm fullfacenya kembali, ketika teringat sang kekasih yang sudah menunggunya.

* * *

Saat ini Kiana telah berada di dalam kamarnya, ia terduduk di atas tempat tidurnya seraya memeluk boneka beruang berukuran besar. Ia sesekali tersenyum mengingat kejadian tadi, sekaligus mengingat wajah tampan Gino. Namun, seketika wajahnya memerah ketika mengingat ulahnya yang tadi, ia pun tak tahu mengapa ia sangat berani mencium pipi Gino, padahal sebelumnya ia belum pernah mencium pipi lelaki selain ayahnya dan kakaknya.

"Ya, ampun! Kok aku bisa lupa ya, kalau begini di mana mau cari tahu namanya," ucap Kiana seraya menepuk jidatnya.

Pikirannya teralihkan, kala ponsel pintar miliknya berdering. Buru-buru ia meraih penda pipih tersebut dan mengangkat panggilan teleponnya.

"Halo, Kak?" sapa Kiana.

"Halo, di mana kamu Kian?" tanya Deandra dari sebarang telepon sana.

"A--aku di rumah, Kak," sahut Kiana gugup.

"Ck! Sekarang Kakak ada di sekolah kamu, nih! Lain kali bilang kalau sudah pulang Kiana!" ucap Deandra kesal.

Kiana pun mendengar, sang kakak berdecak kesal di sebarang telepon sana.

"Iya, Kak Dean, Maaf. Kiana salah," ucap Kiana.

"Yaudah, enggak apa-apa, lain kali jangan diulangi," titah Deandra.

"Kakak tutup teleponnya," ucap Deandra lagi.

"Hampir saja, untung Kak Dean yang tampan itu, baik banget," ucap Kiana seraya membaringkan tubuhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status