Share

Aku Ingin Mencumbu Dirimu

“Jadi, besok malam tidak akan ada Jenar Suksma Arawinda maupun Nona Penggoda,” ucap Mada dengan menggosok kedua tangan di atas paha.

Dalam keheningan yang tercipta, Mada menggerakan dagu ke arah Jenar yang masih memperhatikan dengan saksama gaun serta topeng tersebut.

“Jika bukan Jenar ataupun Nona Penggoda,” jedanya dengan bersemu merah jambu sebelum menatap Mada dengan lebih serius.

“Aku harus menjadi siapa, Pak Mada?”

Pria dihadapannya menjawab dengan cukup tegas, hanya dua kata yang dia sampaikan dan membuat Jenar merasa bulu kuduknya meremang.

“Orang lain.”

Jenar terhenyak mendengar penuturan dari Mada, dia terdiam sejenak lalu memperhatikan si presdir yang bahkan tidak tersenyum sama sekali, nampak begitu serius menyampaikan tujuannya.

“Apakah ini lelucon?”

“Apakah aku terlihat seperti sedang bercanda, Jenar?”

Mada mengangkat sebelah alisnya hingga Jenar buru-buru menunduk.

“Take it or leave it. Kalau kamu setuju, silakan bawa dua kotak itu ke tempatmu bekerja. Jika tidak, aku terpaksa mencari wanita lain untuk menemani.”

Kalimat terakhir yang disampaikan oleh Mada membuat Jenar membulatkan kedua bola mata, buru-buru dia merapikan dua kotak tadi termasuk menyisipkan kembali tali berwarna perak ke dalam kotaknya.

“Terima kasih banyak, Pak.”

“Sama-sama,” balas Mada sebelum mengeluarkan ponsel lalu menghela napas panjang ketika Jenar sibuk berusaha mengangkat kotak yang berat tersebut kemudian hendak pamit undur diri.

Baru dua langkah Jenar menjauh dari sana, Jenar mampu mendengar suara Mada yang menjawab panggilan dengan nada yang terdengar riang gembira.

“Hai, apa kabar?”

***

[Pak Mada : Jenar, tolong kirim alamatmu.]

Keesokan siangnya, Jenar sedang sibuk mengamati satin wrapped gown tersebut dengan saksama.

Tangan kanannya sejak semalam tidak pernah berhenti mengelus permukaannya yang halus sedangkan tangan kirinya memegang topeng yang diberikan oleh Mada.

Dia menarik napas panjang ketika ponselnya berdering, memutus pandangan Jenar dari gaun tersebut sebelum meletakan topeng dan berjalan ke arah ranjang.

[Jenar Suksma : Baik Pak.]

[Jenar Suksma : Mengirimkan lokasi.]

[Pak Mada : Ok.]

Setelah kemarin pagi, Mada tidak berkata apa-apa lagi kepada Jenar selain hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan.

Berat untuk Jenar akui, selama tiga minggu lebih mengenal Mada, tidak ada sehari pun pria itu berhenti menggodanya untuk alasan apapun itu.

Dia akan menyelipkan lelucon yang membuat Jenar jengah sekaligus penasaran dan menunggu-nunggu serangan godaan dari Tuan Penggoda.

Mada seperti sedang diserang oleh angin ribut sejak mengangkat telepon.

***

Secantik-cantiknya Jenar menyiapkan diri, dia tidak tahu apakah ini akan membuat Mada terkesima.

Dia tidak memiliki ekspektasi apapun sampai sebuah mobil mewah berhenti di depan tempat tinggalnya dan Jenar melangkah masuk ke dalam dengan tenang.

“Siang, Pak Mada,” sapanya penuh sopan santun yang langsung diralat oleh Mada.

“Mada saja, jangan pakai Pak.”

“Eh—”

Jenar yang tengah mencoba menyilangkan sabuk pengaman di depan dada sontak melirik ke arah Mada yang masih bungkam.

Lelaki itu tidak menjelaskan apa-apa lagi sehingga sekretaris itu menganggukan kepala, tidak ingin membuat Mada kembali berada di dalam mode nya yang jelek.

“Baik, Mada.”

“Jangan terlalu formal,” kata Mada beberapa saat kemudian setelah menggaruk dagu lalu melempar pandang ke arah kanan, dia mengatakannya dengan nada yang teramat lirih hingga Jenar mencium ketiaknya sendiri.

Ketiaknya tidak berbau, mulutnya juga. Kenapa Mada seolah-olah sedang dalam fase menghindari dirinya?

“Pak—eh—Mada, aku bau tubuh, ya?” tanya Jenar ceplas ceplos hingga Mada mengubah pegangannya pada kemudi lalu menoleh ke arah sekretarisnya ini.

“Stunning,” kata Mada hingga Jenar tersipu.

Dia bahkan mulai melupakan fakta bahwa sampai detik ini, Mada masih memakai cincin kawin yang pertama kali Jenar lihat beberapa waktu yang lalu.

“Hmm.”

Jenar bergumam dan meremas kotak kecil yang menyimpan topeng seperti pesanan Mada.

“Kalau aku tidak salah ingat, bukankah acara charity-nya malam hari?”

“Benar.”

“Tapi sekarang masih siang,” ucap Jenar dengan menatap ke arah Mada yang kontras dengannya karena pria itu terlihat begitu santai, Jenar merasa dia seperti tante girang.

“Aku punya kejutan,” balas Mada dengan penuh teka teki kepada Jenar.

***

Rasanya, Jenar mulai menghapal tiap ruangan di apartemen Mada, dia mulai merasa nyaman berada di sana.

Dia berjalan dengan santai seolah dirinya merupakan seorang nyonya Lawana sebelum menemukan seorang perempuan paruh baya dengan rambut yang terikat kencang dibelakang kepala serta posturnya yang tegak.

Dengan percaya diri, Jenar langsung menabur senyum lalu mendekati si perempuan lalu menyodorkan tangan.

“Selamat siang Nyonya Lawana, saya Jenar. Sekretarisnya Pak Mada.”

“Nyonya?” tanya si perempuan yang berparas ayu itu kepada Jenar yang langsung kalang kabut.

“Ah, maaf. Ibu. Ibu Lawana,” ralat Jenar dengan canggung sebelum menarik mundur tangannya sedangkan Mada mendengkus pelan.

“Tuan Mada, apakah—”

“Benar,” balas Mada dengan meneguk air mineral dari balik bar sedangkan Jenar mengernyitkan alis.

“M—maksudnya?”

Melalui ekor mata, Jenar terus mengikuti arah yang dituju oleh Mada sebelum pria itu menghilang sepenuhnya ketika deham cukup kencang terdengar di telinganya hingga Jenar memutar tubuh lalu tersenyum canggung.

“Saya Hanum, personality branding Tuan Mada,” jelas perempuan bernama Hanum itu kepada Jenar yang bingung dan mencoba tersenyum meski canggung.

“Dan kali ini, sebelum datang ke acara charity, Tuan Mada meminta saya untuk mengajarkan beberapa dasar gestur serta intonasi saat berbicara untuk Nona Jenar.”

Jadi, ini adalah hadiah yang diberikan oleh Mada untuk Jenar?

***

Jenar rasanya lelah bukan main setelah berjam-jam berlatih bersama Hanum hingga tangannya menjadi kebas.

Dari mulai berjalan, berbicara serta gestur-gestur kecil harus Jenar ulangi agar semua menjadi sempurna sampai dirinya semaput dan sejak tadi dia duduk sambil mengunyah makanan yang dipesan oleh Mada sedangkan Hanum sudah pergi.

“Bagaimana?” tanya Mada yang melangkah keluar dari kamar tidur, dia memakai kemeja yang dipadukan dengan vest serta jas yang senada dengan warna pakaian Jenar.

“Tampan,” balas Jenar dengan mulut yang terbuka lebar karena dia benar-benar mengagumi penampilan Mada seolah-olah pria itu baru saja melangkah keluar dari dunia dongeng.

Mada menggelengkan kepala dengan kedua tangan yang berada di belakang punggung.

“Aku? Tentu saja aku tampan, namun maksudku bukan itu. Kemarilah,” katanya hingga Jenar buru-buru berdiri.

“L—lalu?”

“Pembelajaran singkat dengan Hanum. Itu menyenangkan, bukan?”

“Menyenangkan sekaligus melelahkan.”

Mada memajukan langkah, suara sepatu yang dikenakan menggema diruangan yang di dominasi oleh warna hitam tersebut, nampak kelam sekaligus elegan.

Dia berhenti tepat di depan Jenar yang masih mencoba mencerna semua hal ini, mereka bersitatap, aroma maskulin dan dominan menguar deras dari tubuh si pria, rasanya Jenar ingin sekali mendaratkan wajahnya di dada Mada.

Rasanya, Jenar ingin mengulang intimasi di antara mereka berdua namun kali ini, dia tidak mau ada alkohol yang terlibat di antaranya.

“Apa aku melupakan suatu janji?”

“Tidak,” kata Jenar spontan dengan mengadah, menatap manik mata Mada yang terlihat sedikit kehijauan tertimpa cahaya lampu.

“Tentu aku melupakan sesuatu. Jadi, sekarang lepas sepatumu.”

“Apakah sepatuku jelek?”

“Bagus, hanya saja kurang cocok,” balas Mada hingga Jenar memutuskan untuk melakukan yang diminta hingga tingginya makin tenggelam di depan Mada.

Mada melirik Jenar yang sudah bertelanjang kaki sebelum dia menunduk, menarik keluar benda yang dia sembunyikan dibelakang punggung sejak tadi hingga Jenar memundurkan tubuh karena kaget.

“Pak Mada—”

“Sepatu yang aku bawa sepertinya lebih cocok dipadukan dengan gaun yang kamu kenakan, Jenar,” jelasnya sambil memakaikan sepatu hak tinggi itu di kaki Jenar.

Jenar sedikit oleng dan memutuskan untuk meletakan tangannya di bahu Mada sampai pria itu selesai memakaikan sepatunya.

“Sudah,” kata Mada dengan berdiri lalu menatap Jenar sepenuhnya.

Salah satu tangannya berada di dalam kantung celana sedangkan tangan yang berbeda mengelus pipi Jenar.

“Kamu cantik.”

“Terima kasih, Pak Mada,” balas Jenar dengan suara pelan ketika Mada tiba-tiba menariknya, mengalungkan lengan di pinggang langsing si perempuan.

Wajah mereka teramat dekat, Jenar ingin sekali rasanya mencium Mada ketika presdir itu buru-buru melipat bibir, menjauhkan jaraknya dari Jenar.

Mada memegang dagu Jenar lalu berbisik pelan, matanya penuh binar-binar sedangkan Jenar meremang dibuatnya.

"Rasanya aku ingin mencumbu dirimu."

"Ada acara yang harus didatangi. Bukan begitu, Pak?" tanya Jenar takut-takut meski dia juga ingin bercumbu rayu dengan Mada.

“Kamu benar dan panggil aku Mada khusus untuk malam ini. Maka aku akan memanggilmu dengan …”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status