Share

(Mendadak) Kesayangan Presdir

Mobil mewah dengan kaca gelap itu masih melaju dengan perlahan memasuki area tempat charity berlangsung.

Jenar duduk dengan anggun sambil memandang kotak berisikan topeng sedangkan Mada di sebelahnya terus mengingatkan Jenar dengan berisik.

“Jenar, ingat apa yang aku katakan tadi, aku akan memanggilmu dengan sayang," kata Mada mengingatkan dengan memutar tangan di atas kemudi sebelum Jenar berdeham.

"Aku harap kamu tidak mengartikannya berbeda."

“Nasi jatuh juga bisa dipanggil sayang,” balas Jenar serampangan kepada Mada yang menggeleng pelan lalu membasahi bibir.

“Jangan berbicara kepada siapapun jika tidak ada aku disampingmu, kamu harus diam, anggaplah sedang menjadi patung.”

"Oh tentu saja," balas Jenar dengan mengedarkan pandang ke arah luar, memandang para tamu undangan yang tampil semarak dengan gaun mewah serta tukedo yang nampak pas di badan lalu dia menghela napas gusar.

Bagi Jenar, ini adalah dunia yang berbeda dan baru baginya.

Bagi Mada, ini adalah dunia yang memuakan namun mau tidak mau, kehadirannya diperlukan sebagai bukti eksistensi bahwa Lawana Corporation masih berdiri dengan kokoh.

“Aku mengingatnya dengan sangat baik.”

"Jangan terlihat tegang, santai saja."

Perlahan, Mada menghentikan laju kendaraan seperti yang diinstruksikan petugas vallet padanya.

Dia melepaskan sabuk pengaman serta memiringkan tubuh untuk menatap Jenar yang masih meremas kotak topeng itu sejak tadi.

“Mada, kamu tahu? Sekarang aku seperti masuk ke dalam sarang serigala,” ceplos Jenar dengan singkat sambil menyipitkan mata ketika dia terkena lampu sorot dari arah yang berlainan.

“Lihat aku,” pinta Mada yang mencondongkan tubuh ke arah Jenar sehingga perempuan itu menoleh, balas menatap si lelaki gagah dengan tubuh atletis ini.

“Apapun yang terjadi di dalam acara charity, jangan pernah menyebutkan siapa namamu.”

Klak.

Suara sabuk pengaman yang dibuka oleh Mada terdengar sebelum benda hitam itu meluncur meninggalkan tubuh Jenar.

Jenar menunduk, menatap jemari Mada yang panjang-panjang diselimuti urat tipis dipermukaannya.

“Perintah dimengerti,” balas Jenar saat Mada mengangguk, keduanya saling bersitatap dengan intens.

Jenar ingin sekali bertanya kepada Mada, adakah tujuan tertentu dibalik hal ini karena nampaknya pria itu terlihat sangat hati-hati, tetapi pertanyaan itu tertelan begitu saja kembali ke relung hati.

Good girl,” bisik Mada sambil mengusap area leher serta bahu jenjang milik Jenar sebelum memundurkan tubuhnya sendiri.

Dia ingin mencium perempuan itu tetapi urung, benaknya sedang tidak bekerja dengan sempurna.

“Kemari,” ucap Mada hingga Jenar yang sudah terbebas dari sabuk pengaman bergerak dan mencondongkan tubuhnya ke arah si pria.

Tanpa ragu, Mada meraih kotak berisikan topeng yang berada di pangkuan Jenar, membukanya kemudian meraih benda pipih itu, memegangnya sempurna di tangan.

“Jenar, seperti yang aku katakan tadi ..." bisik si pria dengan memakainkan topeng itu kepada Jenar secara lembut, penuh kehati-hatian.

Dari jaraknya sekarang yang ada tepat di depan mata Jenar hanyalah bibir Mada, yang tidak terlalu tebal, namun proporsional untuk melumat miliknya, lembut sekaligus terasa sangat hangat.

“Apapun yang terjadi di dalam sana ..."

Mada berbisik dengan cukup sensual kepada Jenar, tangannya mengikat pita dibelakang kepala secara pelan lalu berusaha merapikan helai rambut Jenar agar tidak terjepit di antara pita.

“Kamu hanya harus mengangguk, jangan melakukan yang lebih dari itu,” pungkasnya sebelum memundurkan diri, mengecek topeng yang tersemat di wajah Jenar.

"Oke," balas Jenar seakan-akan dia habis melakukan misi rahasia. “Dan aku akan memanggilmu Mada.”

“Benar, panggil aku Mada,” kata Mada dengan merogoh sesuatu di dalam kompartemen lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil.

“Mana jari manismu?”

Jenar menelan saliva, dia mendadak tidak yakin dengan apapun yang berada di benak seorang Mada Lawana saat ini.

Rasanya sedikit janggal dan harusnya Jenar bisa menolak apabila dirinya merasa tidak nyaman, tetapi dia sudah sampai sejauh ini.

Mada juga memberikannya barang-barang mahal dari atas rambut hingga kaki yang katanya, tidak perlu diganti.

Pelan, Jenar bertanya kepada Mada. “Haruskah sampai sejauh ini?”

“Harus,” kata Mada dengan nada tegas yang tidak ingin dibantah ketika Jenar mengulurkan jari manisnya kepada Mada.

“Sedikit kekecilan,” decihnya pelan dengan berdeham kencang lalu mengamati jari manis Jenar dan berdecak puas.

“Lihat gumpalan lemak itu, mirip adonan roti yang mengembang.”

“Hei!” protes Jenar dengan membulatkan mata, tidak terima dengan ucapan Mada.

“Asal bapak tahu, jari-jari gemuk ini adalah jari yang mengatur segala hal untuk presdir Lawana."

Trust me, aku suka jemari itu, Jenar. Kamu tahu … cara menempatkannya dengan tepat,” bisiknya sensual dengan salah satu alisnya yang terangkat.

“Jari ini untuk bekerja di depan layar—"

“Pekerjaan di kantor dan pekerjaan di apartemen,” sanggah Mada cuek dan asal jeblak, membuat gambaran dirinya yang tegas di kantor perlahan sirna.

Dia mengambil topengnya sendiri yang di selimuti warna merah serta hitam lalu memakainya dengan cepat sebelum menoleh ke arah Jenar.

“Siap?” tanya Mada sebelum keluar dari sisi pengemudi lalu berputar dan membuka pintu untuk Jenar, membungk sedikit lalu mengulurkan tangannya yang lain pada Jenar.

“Siap, Mada,” balas Jenar yang tengah berada di awang-awang karena bermain peran menjadi seorang nyonya Lawana.

***

Ini adalah kali pertama Jenar menyambangi acara charity.

Dia duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja dengan nomor tujuh dan dari posisinya sekarang, dia tegak lurus menatap ke arah panggung yang memiliki penataan remang-remang.

Jenar merasa pusing, ruangan itu memiliki terlalu banyak campuran parfum hingga dia merasakan mual.

Di sebelahnya, Mada sibuk membuka sebuah amplop lalu nampak menggoreskan angka di sana kemudian mengangkat sedikit tangan sebelum dihampiri oleh petugas yang langsung menerima amplop tersebut tanpa ragu.

“Pak Mada, itu amplop apa?” bisik Jenar pada Mada yang memiringkan tubuh ke arah sekretarisnya.

“Oh itu cek,” balasnya santai dengan mengangguk ketika petugas yang lain hendak menawarkan white wine sebelum acara dimulai.

Mada mengambil dua, untuknya dan Jenar. Keduanya saling bersulang sebelum meneguk sampai habis dan Mada melanjutkan tuturnya.

“Donasi. Ini adalah charity, acara lembaga amal. Sudah merupakan kegiatan rutin Lawana Corporation untuk memberikan donasi.”

“Besarannya bebas?” tanyanya ingin tahu.

“Kamu akan pingsan kalau melihat angka nol yang lebih banyak dari donat di cafetaria Lawana.”

Mereka asyik bertegur sapa sebelum bangku di sebelah Mada terisi oleh tiga orang sekaligus.

Percakapan mereka terputus dan sesuai perintah Mada, Jenar tidak mengatakan apa-apa.

Pria itu yang sibuk bertegur sapa lalu mewakili semua hal yang Jenar ingin sampaikan seakan-akan Mada dapat membaca pikirannya.

“Kalian berdua ternyata masih terlihat sangat harmonis, ya? Dan oh … cocok sekali kalian memakai warna merah. Harusnya aku tahu itu. Sejak dulu kalian memang tercipta untuk satu sama lain.”

“Thank you,” balas Mada dengan menyentuh telapak tangan Jenar, membuat perempuan itu terhuyung mendekat kepadanya.

“Kami juga masih memakai cincin yang sama,” jelasnya lagi sementara Jenar sibuk mencerna apa yang hendak dikatakan oleh Mada kepada tiga orang tadi karena Jenar memegang peranannya dengan baik untuk menjadi patung dibalik topeng.

“Hanya saja, kehidupan pernikahan kami bukan untuk konsumsi publik,” kata si pria dengan menoleh ke arah Jenar lalu tersenyum simpul dibalik topeng yang dikenakan.

Mada sedikit meremas tangan Jenar, memberi penekanan di sana.

“Betul kan, Sayang?”

“Oh, benarkah, Bianca?” tanya salah satu dari tiga orang tadi sambil memandang Jenar kelewat serius.

Lagi, Jenar mendengar nama Bianca disebut, padahal kesepakatannya dengan Mada bukan seperti ini.

Memang, apa kesepakatan mereka berdua? apa yang direncanakan oleh Mada?

"Sayang," panggil Mada lagi dan dari balik topeng, Jenar dapat melihat bahwa Mada melotot, memaksanya untuk memberikan respons dengan anggukan.

Akan tetapi, Jenar tidak bisa.

Dia merasa terganggu dengan nama yang terucap, dia juga terganggu karena Mada tiba-tiba mengubah manuvernya.

“Kamu mengira aku Bianca?” tanya Jenar dengan sedikit memiringkan kepala lalu tersenyum hambar.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ecyecy Ecyecy
koin nya mahal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status