Varisha dengan penuh profesionalisme menjelaskan dengan rinci agenda pertemuan berikutnya kepada Ganendra. Suaranya tenang dan jelas, dan matanya fokus pada bosnya yang menatapnya dengan serius. Ganendra dikenal sebagai seorang pria yang tajam dan sangat memperhatikan setiap detail, sehingga kemampuan Varisha dalam mengelola jadwal dan informasi sangat dihargai olehnya.
"Dalam pertemuan besok," Varisha memulai penjelasannya, "Anda akan bertemu dengan tim pengembangan produk untuk mendiskusikan perkembangan terbaru dalam proyek XY-123. Pertemuan ini akan diadakan di ruang konferensi utama pada pukul 10 pagi. Seluruh dokumen dan presentasi yang Anda butuhkan sudah saya siapkan.”
"Saya juga sudah menyiapkan jadwal pertemuan selanjutnya untuk hari ini, Pak," katanya dengan suara yang tenang.
Ganendra selesai meresensi beberapa dokumen dan menatap ke arah Varisha. “"Terima kasih, Varisha. Kamu sudah bekerja keras hari ini."
Varisha tersenyum dengan tulus. "Sama-sama, Pak."
Sebelum Varisha sempat meninggalkan ruangan, Ganendra memberikan instruksi tambahan. "Oh, Varisha, saya lupa memberitahumu. Tolong urus reservasi di restoran yang biasa untuk acara makan malam dengan keluarga saya malam ini.”
Varisha, tanpa ragu mengangguk dengan penuh tanggung jawab. "Baik, Pak. Saya akan mengurus reservasinya dan memastikan semuanya berjalan lancar."
"Terima kasih, Varisha," ucap Ganendra dengan senyuman ramah.
Setelah mengambil catatan dan instruksi lebih lanjut, Varisha meninggalkan ruangan dengan penuh semangat untuk menyelesaikan tugas tambahan yang baru saja diberikan oleh atasannya. Dia segera kembali ke tempatnya untuk memesan meja di restoran yang dimaksud.
Selanjutnya, setelah melakukan permintaan Ganendran, Varisha terus melakukan pekerjaannya. Ia memilih untuk menyibukkan pikirannya yang sempat kacau karena bertemu dengan Arshaka. Varisha terus bekerja sampai tidak menyadari langit yang sudah gelap dan hanya tersisa beberapa karyawan yang sedang lembur untuk menyelesaikan tugasnya.
Varisha menghela napas sejenak sebelum bangkit dari tempatnya. Ia meninggalkan ruangan dengan langkah yang mantap. Namun, saat dia melangkah keluar, dia merasa ponselnya bergetar di dalam saku blazernya. Dengan cepat, dia mengeluarkan ponselnya dan melihat panggilan masuk dari Ganendra.
Dia menjawab panggilan tersebut dan mendengarkan dengan cermat. "Varisha, bisakah kamu mengantarkan beberapa dokumen yang tertinggal di meja kerja saya ke restoran?"
“Baik, Pak. Saya akan segera ke sana.”
Setelah panggilan itu berakhir, Varisha segera mengumpulkan dokumen yang diminta Ganendra dan melangkah ke lobi kantor. Di sana ia melihat Tio, supir pribadi Ganendra yang sudah menunggunya.
Tio tersenyum ramah ketika Varisha mendekat. "Selamat malam, Mbak Varisha. Tuan meminta saya untuk mengantarkan Mbak ke restoran."
Varisha tersenyum kembali. "Terima kasih, Pak. Saya siap untuk berangkat."
***
Ketika Varisha tiba di restoran, dia segera masuk dan menemukan Ganendra sedang duduk di meja yang telah dipesan. Adelia, adik Ganendra, duduk di sebelahnya. Wanita muda itu tampak cantik dan anggun, dengan senyuman lembut yang muncul di wajahnya ketika dia melihat Varisha datang.
"Selamat malam, Pak Ganendra, Mbak Adelia," ujar Varisha dengan sopan.
"Ini dokumen yang Anda minta, Pak," kata Varisha dengan suara yang tegas dan penuh keyakinan, sambil menyerahkan dokumen itu pada bosnya.
Ganendra mengangguk dan mengambil dokumen itu dengan penuh apresiasi. "Terima kasih, Varisha. Kamu selalu bisa diandalkan."
“Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya pamit pulang,” balas Varisha sambil tersenyum lembut.
“Kenapa harus buru-buru? Apa kamu sudah makan malam?” tanya Adelia dengan suara lembutnya.
“Kalau kamu belum makan malam, lebih baik kita makan malam bersama saja,” lanjut Adelia.
"Terima kasih, Mbak, tapi saya tidak mau mengganggu acara makan malam ini. Saya lebih baik pulang dan membiarkan kalian menikmati waktu bersama," jawab Varisha dengan sopan.
"Tidak ada masalah, Varisha. Sebenarnya, malam ini bukan acara formal. Kami hanya ingin bersantai dan berbicara sejenak. Jadi, tidak ada salahnya kalau kamu bergabung. Lagipula kamu juga sudah cukup bekerja keras hari ini,” ujar Ganendra sambil menatap ke arah Varisha.
Varisha melirik ke arah Ganendra dan Adelia secara bergantian, lalu mengangguk dan akhirnya duduk di antara mereka. Dia merasa agak tidak enak hati, tetapi tidak ingin mengecewakan bosnya.
Tak lama kemudian, Arshaka datang ke restoran. Penampilannya yang elegan dan tenang menarik perhatian semua orang di sekitarnya, termasuk Varisha. Detik itu, dunia Varisha terasa berputar cepat. Kehadiran Arshaka membuatnya terkejut, dan tubuhnya mulai gemetar. Namun, kegugupannya tidak bisa hilang begitu saja ketika Arshaka duduk di hadapannya. Pertemuan ini membawa kembali kenangan yang Varisha ingin lupakan.
Arshaka duduk di meja yang sama dengan tatapannya yang tenang, menatap Varisha seperti tidak ada apa-apa. Bagi orang lain yang tidak mengetahui sejarah mereka, mereka hanya tampak seperti dua orang yang berada di meja makan yang sama di restoran mewah itu.
Adelia, dengan senyum cerah di wajahnya, menyambut Arshaka dengan hangat. "Varisha, ini Kak Arshaka, tunanganku," kata Adelia dengan penuh kebanggaan. Tatapannya antara Arshaka, Varisha, dan kemudian kembali ke Arshaka mencerminkan kebahagiaannya.
Varisha mencoba menyusun kalimat-kalimat di benaknya, mencari sesuatu yang tepat untuk diucapkan. Namun, kata-kata sepertinya telah membeku di tenggorokannya. Dia mencoba mengatasi kebingungan yang melandanya dengan memberikan senyuman lembut.
Sementara, Arshaka hanya terdiam, tidak menunjukkan ekspresi emosi apa pun di wajahnya. Dalam keheningan yang mencekam, mereka mulai menjalani makan malam. Suasana yang seharusnya penuh kehangatan dan tawa, terasa sepi dan canggung bagi Varisha.
Ganendra mencoba mengurangi ketegangan dengan memulai percakapan tentang pekerjaan. Dia mulai menceritakan proyek-proyek terbaru di perusahaannya, berbicara dengan semangat tentang visi dan rencananya. Meskipun Varisha tahu dia harus mendengarkan, pikirannya tetap melayang ke Arshaka yang duduk di seberangnya.
Malam itu, suasana di restoran terasa sangat canggung bagi Varisha. Meskipun Adelia berusaha membuat percakapan ringan, Varisha merasa pikirannya kosong setiap kali pandangannya tidak sengaja bertemu dengan tatapan dingin Arshaka. Perasaan tidak nyaman yang ada di dalam dirinya semakin kuat, dan ia meremas ujung roknya dengan ketegangan yang terasa.
Setelah makan malam selesai, Varisha pamit untuk pulang. Namun, Adelia menahannya dengan tangan lembut. "Kenapa tidak tinggal sebentar, Varisha? Kita bisa mengobrol lebih lama," kata Adelia dengan senyuman yang mencoba memberi kenyamanan.
Varisha ragu sejenak, kemudian menatap mata Adelia dengan penuh kerendahan hati. "Terima kasih, Mbak, tapi saya merasa cukup lelah. Saya rasa lebih baik kalau saya pulang sekarang."
***
Keheningan malam menyelimuti jalanan sekitar restoran setelah Varisha meninggalkan restoran. Hati dan pikirannya masih terusik oleh pertemuan tiba-tiba dengan Arshaka. Ia merasa campuran emosi yang rumit: canggung, takut, marah, dan sedikit terkejut.
Varisha berdiri di depan restoran, menunggu taksi yang telah dipesannya melalui aplikasi di ponselnya. Malamnya terasa semakin panjang, dan ia ingin segera kembali ke apartemennya untuk merenung dan meredakan perasaannya.
Saat menunggu, dua orang pria yang tampak mabuk melangkah mendekati Varisha. Mereka tertawa keras dan berbisik-bisik sambil melihat ke arahnya. Pikiran Varisha mulai dipenuhi oleh kekhawatiran saat mereka mendekatinya. Dia mencoba untuk tetap tenang dan menghiraukan mereka, berharap mereka akan pergi begitu saja. Namun, pria-pria itu semakin mendekat, dan satu di antara mereka mulai berbicara dengan nada merendahkan. Mereka mulai menggodanya, mencoba membuatnya merasa tidak nyaman. Hatinya berdegup lebih kencang ketika mereka semakin mendekat.
Varisha merasa ketidaknyamanan yang mendalam. Dia mencoba untuk menghindar dan melangkah mundur untuk menjaga jarak dari pria-pria itu, tetapi langkahnya terhenti ketika dia merasakan tangan yang tiba-tiba menangkap lengan bajunya.
Saat dia berbalik untuk menatap siapa yang telah menahannya, pandangannya langsung bertemu dengan Arshaka. Pria itu berdiri tegak di hadapannya, dan dengan cepat, Arshaka memeluknya dengan erat.
"Tenang, Varisha," bisik Arshaka dengan suara pelan yang hanya bisa didengar olehnya. "Jangan lakukan apa pun."
Beberapa saat berlalu, dengan Arshaka yang masih memeluknya erat. Varisha mencoba mendorong dirinya keluar dari pelukan pria itu. Dia tidak ingin menciptakan situasi kesalahpahaman, terutama dengan Adelia dan Ganendra yang mungkin saja melihatnya.
"Tolong, lepaskan saya, Pak" bisik Varisha, wajahnya merona kecemasan.
Arshaka tidak menjawab, dia hanya memandang Varisha dengan tatapan dinginnya. Varisha bisa merasakan denyut jantungnya yang semakin cepat. Ketegangan semakin meningkat ketika Varisha melihat Adelia dan Ganendra yang mulai keluar dari restoran. Varisha merasa cemas, takut apa yang akan terjadi jika mereka melihat Arshaka memeluknya dengan begitu erat di sini.
Tiba-tiba, tanpa pikir panjang, Varisha menarik diri dari pelukan Arshaka dengan keras dan mengambil langkah cepat ke arah taksi yang telah tiba. Tanpa berpikir panjang, dia menarik tubuh Arshaka dan membawanya dengan cepat ke dalam taksi.
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin