Daksa melangkah masuk ke dalam restorannya dengan setengah berlari. Para pegawai yang melihatnya memberikan anggukan sopan. Daksa menyapu pandangan ke seluruh sudut restorannya. Dan ketika matanya menemukan Eros yang sedang duduk di meja dekat jendela, pria itu langsung menghampiri dengan langkah pasti.
“Gawat apanya?” suara yang keluar dari mulut Daksa terdengar seperti keluhan.
Eros mendongak, wajahnya yang masih setengah melamun itu membuat Daksa mengerutkan kening tidak mengerti. Lalu dua detik kemudian Eros memekik, membuat Daksa ikut terkejut.
“Kenapa sih?” semakin lama, Daksa semakin tidak mengerti tingkah sahabat yang lebih tua darinya itu.
“Lo telat, bro!”
“Apanya?” ulang Daksa lebih kalem, pria itu duduk di hadapan Eros.
“Cewek itu udah pergi.” wajah Eros langsung murung.
Perubahan drastis emosi Eros membuat Daksa menghela napas pelan. “Kadang gue nggak ngerti kenapa lo bisa jadi kekanak-kanakan tiap di depan gue, Ros. Umur lo udah 29 tahun tapi kelakuan lo masih …” Daksa menggantungkan kalimatnya.
“Justru karena umur gue udah 29 tahun, gue jadi makin frustrasi!”
“Soal kencan lagi?” tebak Daksa.
Eros mengangguk. “Kemarin gue ngasih tahu lo soal akun Vinder yang gue buatin itu, ‘kan?” Daksa mengangguk, Eros melanjutkan, “Malemnya gue lupa logout dan nyari cewek pakai akun lo. Ternyata gue dan cewek itu match. Gue ngajak dia ketemu hari ini, tapi …” Eros tidak berani melanjutkan kalimatnya.
“Cewek itu nggak mau sama lo karena lo bukan gue?”
Eros mengangguk, lalu menggeleng. Daksa semakin mengerutkan kening tidak mengerti.
“Terus? Lo frustrasi gara-gara apa?”
“Dia bilang ‘kalau kamu tetap menahan saya, maka saya akan menganggap kamu berusaha menipu saya’, itu yang bikin gue frustrasi. Image gue sebagai pria dewasa hancur karena dianggap penipu!” Eros mengusap wajahnya kasar.
Daksa lagi-lagi hanya bisa menghela napas lelah. “Lo seluang apa sih sampai mikirin perkataan orang?”
“Bro, masalahnya bukan perkataan cewek itu. Tapi rasa malu gue pas tahu kalau yang denger kalimat itu bukan cuma gue. Restoran lagi rame, terus cewek itu ngomong di depan banyak orang kayak gini. Image gue …” Eros memasang tampang memelas sambil menyapu seisi restoran yang tertangkap mata.
Daksa melempari Eros dengan sapu tangan di meja. “Mau image lo tercoreng di depan cewek itu atau pelanggan restoran, sama aja lo terlalu mikirin pandangan orang lain! Bodoh, lo beneran Dokter bukan, sih?”
“Iya juga. Tapi sedikit orang yang nganggep gue penipu, itu lebih baik.”
“Pertanyaannya, lo beneran penipu?” Daksa menopang dagunya dengan tangan di atas meja.
“Nggak lah!” sanggah Eros cepat.
“Ya udah. Selesai.” Daksa kini bersandar di kursi kayu bergaya kuno yang didudukinya.
Eros melongo. Kemudian terdiam dalam pikirannya sendiri. Pria itu memejamkan mata sesaat, kemudian akhirnya menghela napas. “Bro, kalau lo setenang dan sedewasa ini, kenapa lo bisa ceroboh dan gegabah ninggalin dunia kedokteran? Lo waktu itu nggak tahu ya rumah sakit caos kayak apa?”
“Sedikit banyak gue denger rumornya, sih. Katanyanya banyak Profesor yang sedih karena anak emasnya mutusin ninggalin dunia kedokteran.” Daksa berkata seakan orang yang dia bicarakan bukan dirinya sendiri.
“Anak emas yang membangkang.” Eros menambahkan.
“Dan anak emas yang membangkang ini bakal buka cabang restoran baru.” Daksa berkata dengan gaya yang memamerkan dirinya sendiri.
“APA?”
“Kenapa lo yang kaget gitu?” Daksa tampak tenang.
“Lo … lo beneran serius di bidang ini?” wajah Eros seakan tidak percaya.
“Lo pikir selama 3 tahun ini gue cuma main-main?” Eros membalas dengan nada yang serius.
“Nggak. Tapi gue selalu mikir kalau suatu saat lo bakal balik jadi Dokter.” Eros menghela napas pelan.
“Entahlah. Gue bahkan nggak kepikiran ngulang sekolah kedokteran.”
“Apa karena ...”
“Pelanggan makin banyak. Gue harus ngurus restoran sekarang, pasti di dapur kekurangan tenaga. Lo boleh di sini atau langsung balik. Kalau mau makan panggil Rizal.” Daksa memotong kalimat Eros begitu saja, seakan tidak ingin mendengar kelanjutan pertanyaan Eros. Pria itu bangkit kemudian menepuk bahu sahabatnya dua kali.
Sampai Daksa menghilang di balik pintu dapur, Eros mengembuskan napas yang terasa menjadi lebih berat. Ia tahu akan mendapat respon seperti itu dari Daksa, namun Eros tetap berharap suatu saat Daksa mau mendengarkannya.
***
Setelah keluar dari restoran bergaya tradisional klasik itu, Natya buru-buru menjauh dari keramaian. Natya berjalan di trotoar sambil berusaha mengatur napasnya yang perlahan sesak. Perutnya terasa mual dan kepalanya yang pening berusaha ia tahan dengan tangan.
“Ah, penyakit ini …” Natya meringis. “Di dalem restoran sama cowok nggak dikenal, terlebih salah orang … mimpi buruk apa gue semalem.” keluh Natya.
Tangan Natya bergerak merogoh tas kerjanya, mencari ponsel. Setelah berhasil menggenggam benda berbentuk persegi panjang itu, Natya buru-buru mengeluarkannya. Gadis berusia 26 tahun itu menggulir layar kontak telepon di ponselnya dengan cepat.
“Lupa. Nita dipanggil sama nyonya besar, mana bisa dia pegang handphone.”
Natya kembali menggulir layar ke atas, mencari kontak orang lain yang bisa dihubungi. Beno. “Dia sibuk nggak, ya? Kalau gue telepon setelah nolak ajakan makannya, kelihatan kayak kurang ngajar, ‘kan?” gadis itu bermonolog.
“Busway penuh kalau sore, no way. Naik ojol aja, deh.” Natya akhirnya memutuskan pilihannya. Ia segera memesan ojek online melalui aplikasi berwarna hijau di ponselnya.
Beberapa menit kemudian ojek yang dipesannya datang. Natya langsung menaiki motor itu dan mengenakan helm. Gadis itu harus segera mendapatkan terpaan angin agar rasa mualnya segera menghilang. Dan ketika rasa mual dan peningnya memudar, Natya akhirnya mengembuskan napas lega. Natya termenung di atas jok motor yang dinaikinya, mengulang seluruh kejadian yang dilaluinya selama seharian itu.
“Hm … mau gimana pun disangkal, kayaknya cowok di depan lift itu nggak asing. Tapi pernah lihat di mana, ya?” Natya lagi-lagi mulai bermonolog dengan dirinya sendiri.
Abang ojek yang mendengar gumamannya melirik dari kaca spion, namun tidak bertanya. Natya kembali berpikir keras, berusaha mengingat wajah pria yang mungkin pernah dilihatnya. Lalu setelah lima menit berkecamuk dengan pikirannya sendiri, Natya tersadar dan memekik.
“Daksa!” seruan Natya membuat abang ojek yang memboncengnya itu terlonjak kaget. “Maaf, bang.” ucapnya kemudian.
‘Iya, cowok di depan lift itu Daksa, ‘kan?’ Natya membatin. Lalu dengan cepat ia membuka aplikasi Vinder, dan membuka riwayat pesan dengan akun yang bernama ‘Daksa Shaka Prawara’. Natya juga menatap foto profil yang dipasang akun itu lekat-lekat.
“Bener ternyata.” gumamnya sepelan mungkin. ‘Tapi emang agak beda karena aslinya dia kelihatan lebih keren’ Natya kembali membatin, dan tanpa sadar ia tersenyum.
“Eh? Apa? Nggak mungkin!” secepat itu pula Natya menghapus bayangan Daksa di pikirannya.
“Mba, lagi stres karena kerjaan, ya?” abang ojek yang sedari tadi hanya diam, akhirnya tidak tahan untuk bertanya ketika melihat tingkah Natya dari spion.
“Eh? I-iya, bang. Maaf, saya emang suka ngomong sendiri kalau lagi stres.” dusta Natya. Lebih baik mengiyakan dari pada dianggap gila karena berbicara sendiri tanpa sebab.
‘Mau gimana pun gue kagum sama penampilannya. Tapi nggak mungkin ini suka pada pandangan pertama. Nggak mungkin.’ Natya memejamkan matanya.
‘Tapi kenapa dia bisa ada di kantor gue?’
***
“Jadi lo langsung pergi juga setelah gue cabut?” Nita bertanya dari seberang telepon sambil setengah tertawa.
Sebelumnya, ketika Natya tiba di rumah. Gadis itu langsung mandi dan merapikan rumah yang sedikit berantakan. Selesai merapikan rumah, Natya langsung merebahkan tubuh di atas kasurnya yang terbuat dari kapuk tebal. Ia juga menelepon Nita lalu menceritakan semua yang terjadi setelah sahabatnya itu pergi lebih dulu.
“Iya. Nggak mungkin ‘kan gue tetep di sana sama cowok asing, ditambah gue harus nahan rasa mual dan pusing di kepala yang mendadak muncul. Rasa aman gue hilang begitu lo pergi, Nit.” oceh Natya.
“Uuuu tayaaang. Gue berasa jadi obat penawar, nih.” Nita menggoda dengan candaan.
“Idih!” sanggah Natya dengan seruan.
Tring!
“Bentar, Nit. Gue dapet e-mail.” Natya meletakkan ponsel yang sudah dalam mode loudspeaker, dan memangku laptop yang menyala.
“Dari siapa?”
“Hm … Bu Retno.”
“Lagi?!” Nita memekik.
“Hm. Sebentar gue baca dulu.” Natya langsung membuka e-mail yang didapatnya dari Kepala Editor di kantor penerbitannya itu dengan saksama.
… Dengan ini saya menugaskan kamu agar segera menemui Penulis Sashaka, untuk meminta beliau menyudahi masa vakumnya dan kembali menulis. Saya harap kamu dapat mendapatkan jawaban dari Penulis Sashaka selambat-lambatnya dua hari setelah e-mail ini sampai.
Di bawah ini adalah keterangan penulis.
Nama pena: Sashaka
Nama asli: Daksa Shaka Prawara
Kontrak: Belum diperbarui
“WHAT THE HELL?!”
Natya termenung di tempatnya. Ia menatap layar laptop dengan pandangan kosong, dan sempat membaca ulang email yang didapatnya. Bahkan gadis berusia 26 tahun itu tidak sadar bahwa mulutnya menganga sedari tadi.“Nat? Halo? Kenapa?” Suara Nita di seberang telepon berhasil menyadarkan Natya pada realita. Seketika Natya menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya dengan pandangan memelas. “Meti gue, Nit.”“Kenapa, sih?”“Daksa. Cowok Vinder yang harusnya gue temui tapi salah orang itu … ternyata dia penulis Sashaka yang sejak tiga bulan lalu vakum.” pikiran Natya kini menerawang pada kejadian di depan lift kantornya. Ketika ia menyadari wajah pria dengan jas tersampir yang tampak tidak asing. “Ternyata itu Daksa. Pantesan gue ngerasa nggak asing. Jadi dia tadi sore ketemu seseorang d
Natya berdiri di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sejak turun dari ojek online, Natya tidak bisa mengendalikan ekspresinya yang nampak seperti orang udik baru pertama kali melihat kemewahan duniawi. Mulutnya bahkan sejak tadi terus mengaga dan hampir mengeluarkan liur saking lamanya terbuka. Tangan kanan Natya menggenggam secarik kertas yang telah kusut karena diremas olehnya, dan tangan kirinya mencengkeram erat tas selempang yang tersampir di pundak.“Wah … sekarang gue tahu kenapa dia mau berhenti jadi penulis.” Natya bergumam pada angin yang menerpa wajahnya. “Sadar, Nat! Lo dateng ke sini bukan buat kagum sama istana di depan sana, tapi buat ngebujuk dia nulis lagi … dan akhirnya lo bakal naik gaji!” Natya menepuk pipinya beberapa kali. Sorotan matanya berubah menjadi kobaran api semangat.Dengan tekad bulat, Natya melangkah mendekat pada pagar rumah yang sangat tinggi b
“Teman kencan buta.”“APA?!”Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut dan tidak percaya milik Adira Prawara. Jangan tanya bagaimana ekspresi Natya sekarang, karena gadis berusia 26 tahun itu juga tak kalah terkejut mendengar penuturan pria di hadapannya.Sebelum pria bernama Daksa Shaka itu datang, Natya diminta untuk menunggu di ruang tamu sambil disuguhi minuman dan camilan. Lalu dua menit kemudian seorang gadis dengan gaya berpakaian Korean look—hoodie crop top, dan rok mini, menghampiri Natya dengan senyum selebar tiga jari. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai adik perempuan Daksa, sekaligus anak bungsu di keluarga Prawara yang bernama Adira. Kemudian setelahnya Adira mulai mengagumi wajah Natya dan juga penampilannya. Begitulah, sampai akhirnya Daksa datang.“Yang dibilang Mas Shaka itu benar, Mba?” Adira beralih pada Natya. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.“A
Natya kembali berjalan mendekat pada pos satpam gerbang rumah Daksa. Bahkan sepertinya dia lupa telah memesan ojek online, karena terlihat sangat percaya diri untuk kembali masuk ke dalam rumah itu.“Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk lagi? Saya lupa berbicara beberapa hal dengan Daksa.” Natya berucap sambil memasang senyum semanis mungkin.Pak satpam yang berjaga itu menatapnya cukup lama. Lalu tanpa berkata apapun, satpam itu mengangkat gagang telepon—seperti saat awal Natya datang—dan bicara dengan seseorang di seberang telepon. “Bisa tolong tanya ke ‘den Skaha, Bu? Ini, Non Natya mau bertemu lagi. Ya, katanya ada yang masih mau disampaikan. Oh?” satpam yang sedang menelepon itu melirik ke arah Natya, lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Begitu. Ya wis. Ya. Tak tutup teleponnya.”“G-gimana, Pak?”“Mohon maaf, Non. Den Shaka menolak bert
Usai pulang kerja, Beno menghampiri Natya yang baru tiba di lobi kantornya dan langsung mengajak wanita itu untuk makan bersama. Natya yang sebelumnya pernah menolak makan bersama dengan Beno, kini tidak bisa menolak lagi tawaran lelaki itu. Alhasil, kini Natya berada di dalam mobil Beno menuju sebuah restoran yang dipilih oleh lelaki itu. Dalam hati Natya memanjatkan doa agar besok tidak muncul gosip di kantornya. Karena kalau sampai dirinya tertangkap makan berdua dengan Beno oleh teman sekantornya, bisa-bisa berita itu sampai ke telinga Indah dan Natya akan mendapat tatapan tidak suka selama seminggu atau bahkan sebulan dari Indah. Tiba di tempat tujuan, Natya turun dari mobil Beno. Wanita itu sedikit mendongak untuk melihat papan nama restoran yang tidak asing baginya, Dhatri Resto, adalah sebuah restoran bergaya klasik tradisional. Restoran itu adalah tempat di mana dirinya dan Eros bertemu pertama kalinya karena kesalahpahaman. “Ayok masuk.” Nat
Natya membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah plafon berwarna cokelat yang terbuat dari kayu. Suasana ruangan yang klasik dan nampak tidak asing meski ia baru pertama kali berada di sana. Dugaannya terjawab ketika wajah Daksa muncul dari balik pintu ruangan di sisi sebelah kanannya.“Nat?”Natya menoleh ke arah datangnya panggilan itu. Di sebelah kirinya, Natya bisa melihat Beno yang memberikan pandangan khawatir sekaligus lega dari matanya.“Ehm … hai?”“Udah sadar?” sapaan Daksa terdengar lebih santai dari sebelumnya.Sebelumnya?Natya langsung mendudukan diri begitu mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya kehilangan kesadaran. “G-gue di mana?”“Kamu masih di restoran saya. Ini ruang istirahat staff.” Daksa yang menjawab.“Ma-maaf. Tadi itu …”“Gue anter lo balik ya, Nat.” Beno langsung berdiri, memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Natya.Daksa hanya memperhatikan Natya dan Beno sambil bersandar pada dinding dan memangku kedua tangannya di dada.“Sebentar, Ben.”
“Saya … saya cuma kagum pada Anda!” “Eh?” sekarang giliran Daksa yang terdiam. “Ma-maksud saya …” Tok … tok … tok …. Suara ketukan di pintu menginterupsi kalimat Natya. Salah satu pegawai menampakkan setengah badanya dari celah pintu yang sedikit dibuka. “Permisi.” Natya dan Daksa menoleh serempak. “Ada apa, Zal?” Daksa bertanya. “Maaf kalau saya mengganggu pembicaraan,” jeda Rizal. “Tapi Bang Daksa diminta balik lagi ke dapur karena pelanggan semakin banyak. Ditambah ada satu pelanggan yang komplain soal rasa makanan dan mau ketemu dengan pemelik restoran.” Diam-diam Natya menghela napas lega. Sementara Daksa mengangguk setelah mendengar kalimat Rizal, dan beralih menoleh pada Natya. Mendapat tatapan cukup tajam dari Daksa, membuat Natya kembali menelan ludah. “Kita bicara lain kali. Sebaiknya kamu pulang dan periksa ke rumah sakit.” Daksa mengucapkan kalimat itu dengan wajah serius yang hanya bisa diangguki oleh Natya. Setelah itu mereka keluar dari ruang istirahat. Daksa k
“Eros?!” Pria dengan rambut ikal yang berdiri di hadapan Natya itu menggaruk tengkuknya. Senyum kaku dan tatapan ke segala arah memudahkan Natya menebak bahwa pria itu sedang salah tingkah. “Ehm … hai?” Natya mengedip dua kali sebelum menanggapi sapaan Eros. “Hai.” Natya melihat penampilan Eros dari bawah hingga ujung kepalanya. “Kebetulan ketemu di sini.” Eros masih terlihat canggung ketika mengucapkan kalimat itu. “Iya. Anda seorang Dokter ternyata.” Eros tertawa kecil. “Iya.” lalu pria itu berdeham. “Ehm … karena kebetulan ketemu di sini, bisa kita bicara sebentar?” “Soal apa, ya?” Natya memiringkan kepalanya. “Soal kencan waktu itu. Maaf, saya enggak bermaksud buat nipu kamu dan bikin suasana jadi enggak nyaman.” Eros menunduk setelah mengucapkan kalimat itu. “Oh soal itu. Sebenarnya saya sudah memaafkan Anda …” Eros mengangkat kepalanya. “Tapi?” “Tapi karena kebetulan kita ketemu di sini, dan saya tahu kalau Anda adalah sahabat dari Daksa Shaka … jadi apa boleh saya min