Share

4. Takdir Yang Salah

“Selamat sore, Bu Retno.”

Seorang pria dewasa bernama Daksa masuk ke dalam sebuah ruang kerja yang cukup besar berisi rak-rak buku, etalase kaca dengan berbagai piala dan piagam penghargaan, serta meja kayu yang ada di antara dua kursi panjang tempat berbincang.

Bu Retno yang tadi disapa oleh Daksa, bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan mendekat dengan wajah yang bingung namun tetap tersenyum. “Sore, Daksa. Baru saja kemarin saya mengirim editor untuk membujuk kamu. Ternyata kamu sudah datang, cepat juga.”

Daksa hanya tersenyum sopan.

“Eh iya, silakan duduk dulu.” wanita paruh baya yang dipanggil Bu Retno itu mengarahkan Daksa untuk duduk di kursi panjang ruangannya, dan ia pun melakukan hal yang sama.

“Sebelumnya, saya mohon maaf atas kedatangan yang tiba-tiba. Tapi maksud kedatangan saya ke sini, bukan karena hasil bujukan seorang editor. Ini adalah keputusan saya sendiri. Dan lagi, belum ada editor yang menemui saya.” Daksa menjelaskan dengan suara yang begitu sopan, juga senyuman yang tidak luntur dari wajahnya.

“Belum ada?” Bu Retno terdengar hampir seperti memekik.

Daksa mengangguk. “Alasan saya menemui Ibu langsung justru karena itu.”

“Apa maksudnya, Daksa?”                

“Ibu tidak perlu lagi menyuruh editor untuk membujuk saya. Karena mau bagaimanapun tawaran atau bujukan yang saya dapat, tidak akan merubah keputusan saya yang sudah final. Jadi dari pada kerja keras para editor yang menemui saya sia-sia, lebih baik tidak usah.” suara Daksa terdengar sangat berhati-hati, enggan menyinggung perasaan wanita yang lebih tua darinya itu.

“Tapi, apa saya boleh tahu alasannya?” Bu Retno terlihat masih enggan mengiyakan permintaan Daksa.

Daksa mengangguk pelan. “Alasan utama saya adalah, karena sekarang saya mengelola restoran saya sendiri. Saya juga berniat membuka beberapa cabang. Karena itu saya tidak punya waktu untuk melakukan hal lainnya. Semoga Ibu bisa memahami maksud saya menolak permintaan Ibu kali ini.” Daksa mengakhiri kalimatnya dengan senyuman.

Bu Retno terdiam selama beberapa detik. Karena tidak juga mendapat tanggapan, Daksa kembali membuka suara. “Hanya itu yang mau saya sampaikan. Maaf sudah menyita waktunya. Kalau begitu saya permisi.” Daksa bangkit dari duduknya, dan sekali lagi tersenyum sopan.

“Tunggu, Daksa.” Bu Retno mencegah Daksa pergi saat pria itu telah sampai di ambang pintu. “Saya tidak akan memaksa lagi. Tapi karena kamu belum bertemu editor terakhir yang saya tugaskan untuk membujuk kamu, maka saya masih bisa menaruh harapan, bukan?” tanya Bu Retno, terdengar seperti kalimat retoris.

Daksa hanya tersenyum sekali lagi. Dan kini pria itu benar-benar meninggalkan ruangan seorang Kepala Editor di salah satu perusahaan penerbitan.

Daksa sudah menaiki lift menuju basemen. Sampai di basemen, ia berjalan menuju mobilnya. Daksa langsung menyalakan mesin mobil begitu duduk di kursi kemudi. Namun ponselnya berdering saat kakinya baru saja berniat menginjak pedal gas.

Daksa menghela napas begitu melihat nama penelepon. “Ini lagi manusia satu.” keluhnya pelan. Namun tetap menggeser tombol hijau untuk mengangkat telepon.

“Hm?” sapa Daksa sedikit ogah-ogahan.

“Gawat, bro. Ini beneran gawat!” suara Eros di seberang telepon terdengar gelisah.

“Segawat apa sampai gue harus ngeladenin lo di jam sibuk restoran?”

“Gue tahu lo nggak ada di restoran!”

Daksa yang awalnya bersandar pada kursi kemudi langsung menegakkan tubuhnya. “Ada apa?”

“Gue nggak bisa jelasin sekarang. Tapi lo mending dateng ke restoran lo. Sekarang.”

“Gue emang mau—tut!”

Eros mematikan sambungan telepon sebelum Daksa menyelesaikan kalimatnya. Pria itu hanya bisa menghela napasnya sekali lagi. Sifat Eros terkadang membuatnya ingin melempari pria itu dengan panci-panci di dapur restorannya. Namun sayang, Eros lebih tua darinya jadi ia tetap harus menjaga sopan santun.

“Tua umur doang, isinya kayak bocah.”

Sekali lagi Daksa memaki Eros sebelum menancapkan gas menuju restorannya.

***

Natya dan Nita masuk ke dalam sebuah restoran yang tidak terlalu mewah, namun juga bukan restoran sederhana. Boleh dikatakan bahwa restoran tersebut mendapat predikat bintang 3. Dari luar restoran tersebut tidak tampak seperti restoran yang mahal karena cukup sederhana, namun begitu melihat bagian dalam Natya dan Nita terpana sesaat.

Interior restoran kebanyakan dari kayu-kayu jati, jendela-jendela panjang dan lebar memudahkan cahaya masuk ke dalam, dan jendela tersebut memiliki gorden yang tebal bercorak batik di tengahnya dengan dasar putih tulang. Kebanyakan fasilitasnya dibuat sangat Indonesia karena banyak kain batik sebagai alas meja, juga lampu-lampu yang terlihat antik. Bahkan ada satu sisi di mana terdapat figura-figura peristiwa sejarah, dan lukisan makanan-makanan khas Indonesia.

Selesai meneliti bagian dalam restoran, Natya dan Nita mencari tempat duduk untuk mereka. Seorang pelayan menghampiri dan memberikan buku menu, yang ternyata kebanyakan adalah makanan dan minuman khas Indonesia, bahkan pencuci mulutnya pun adalah makanan tradisional.

Natya berdeham pelan. “Kita masih nunggu teman, Mas. Nanti saya panggil lagi.” kata Natya sesopan mungkin.

Pelayan tersebut mengangguk dan tersenyum sopan, lalu kembali ke tempatnya. Nita menyikut lengan Natya pelan, gadis itu menoleh heran. Namun Nita hanya meneliti ekspresi di wajah Natya.

“Kenapa, sih?” tanya Natya pelan. Heran karena Nita tidak mengeluarkan satu patah kata pun sejak masuk ke dalam restoran.

“Lo nggak sadar kita dilihatin sama pelayan-pelayan dan pelanggan di sini?” Nita berbisik.

“Hah?” seperti orang normal, Natya spontan menyapu pandangan begitu mendapat impuls berupa bisikan Nita. “Eh iya. Kayaknya mereka bukan lihat ke arah gue. Tapi lo, Nit.”

“Kenapa?” tanya Nita masih berbisik.

“Soalnya pakaian lo …” Natya mengintip ke bawah meja, sampai matanya jatuh pada bagian atas tubuh Nita. “Bener-bener kontras sama suasana restoran.”

Nita mendesah pelan, membenarkan ucapan Natya. “Biarin, deh. Lagi pula, kalau cowok itu udah dateng, gue bakal langsung cabut.”

“Ngapain lo cabut segala? Udah di sini aja!”

Di tengah perdebatan, Natya dan Nita tidak menyadari kehadiran seorang pria yang sudah berdiri di depan meja mereka. Sampai pria itu berdeham, kedua insan tersebut menoleh serempak.

“Permisi, Natya Lavani?”

Natya terpaku sesaat. “I-iya? Anda siapa, ya?”

Pria itu tertawa pelan. “Saya pria yang mengirim pesan pada Anda melalui Vinder. Saya yang mengajak Anda bertemu di sini.” kata pria itu usai menyelesaikan tawa kecilnya.

“Eh?” kepala Natya dimiringkan, melihat baik-baik wajah pria di hadapannya. “Kamu beneran Daksa Shaka Prawara? Kok kayaknya beda dengan di foto?” kata Natya, memelankan suaranya di akhir.

“Eh?” giliran si pria yang kebingungan. “Saya Eros Chariton, bagaimana kamu tahu Dak-” lalu kalimat pria bernama Eros itu terhenti. Mata pria itu melotot atas keterkejutannya sendiri, lalu tangannya bergerak cepat merogoh ponsel di dalam saku jasnya. “Ma-maaf, apa saya boleh menelepon sebentar?”

Natya yang sama bingungnya hanya mengangguk. Pria itu pergi menjauh untuk menelepon. Sementara Nita menatap curiga ke arah pria itu.

“Kok bisa gini? Apa jangan-jangan dia penipu?” bisik Nita.

Natya menggeleng pelan, tidak tahu. Namun tanpa sadar bulu kuduknya merinding ketakutan. Masa baru pertama kali bertemu pria lewat Vinder, dirinya langsung kena tipu?

Sementara pria itu masih menelepon, Nita juga mendapat panggilan telepon. Gadis itu mendesah pelan, Natya melirik ke arahnya penasaran. Nita menjawab telepon tersebut, hanya memberikan jawaban “Baik, Pak.” beberapa kali, lalu telepon berakhir.

“Siapa?” tanya Natya.

“Atasan gue.” jawab Nita setengah kesal.

“Ada job tambahan lagi?” Natya menebak.

Nita mengangguk. “Gue bahkan nggak punya kesempatan nolak. Kayaknya gue harus balik ke salon deh, Nat.” wajah Nita kesal sekaligus tidak rela.

“Ya udah.” Natya hanya bisa mengiyakan.

Nita cemberut. “Tadi lo nyegah gue cabut, sekarang gue dipanggil bos lo malah jawab ya udah. Tega banget emang lo, Nat.”

“Karena kalau lo sampai ditelepon si nyonya besar itu, artinya lo nggak bisa ngebantah dan nggak ada yang bisa gue lakuin juga.”

Nita semakin cemberut, namun dalam hati mengiyakan perkataan Natya. Akhirnya gadis itu bangkit dan berpamitan lebih dulu. Nita pergi, bersamaan dengan pria bernama Eros yang kembali menghampiri mejanya.

“Eh, temen kamu pergi?” tanya Eros, seakan sudah kenal lama.

“Iya. Ada urusan mendadak.”

“Yah, padahal saya udah panggil Daksa.” gumam Eros tanpa sadar.

“Eh? Jadi kamu beneran bukan Daksa?”

Eros tersadar, wajahnya kembali tegang. “Eh … ehem … sebenarnya Daksa itu sahabat saya. Dan kayaknya saya nggak sengaja buka Vinder pakai akun dia. Wajar kalau kamu nggak mengenali saya. Saya minta maaf atas kesalahpahamannya.”

Natya terdiam dua detik, lalu mengangguk. “Bukan masalah. Kalau begitu, berarti kita nggak match, ‘kan?”

“Eh?” Eros terkejut.

“Iya. Saya geser layar ke kanan karena yang saya lihat itu Daksa. Sementara yang geser ke kanan itu kamu, bukan Daksa. Jadi sama aja dengan saya dan kamu, atau saya dan Daksa itu nggak match.” Natya berkata panjang lebar.

Eros melongo mendengar perkataan Natya.

“Kalau begitu, apa saya boleh pergi?” tanya Natya sesopan mungkin, lalu bangkit dari duduknya.

“S-sebentar!” Eros ikut bangkit. Pria itu hendak mengatakan sesuatu, namun kalimat itu tertahan di tenggorokannya.

Natya menghela napas pelan. “Sebelumnya saya minta maaf sudah mengatakan ini. Tapi saya tidak bisa dan tidak nyaman berbicara dengan orang yang tidak saya kenal. Karena ini kesalahpahaman, jadi saya akan pergi. Kalau kamu tetap menahan saya, maka saya akan menganggap kamu berusaha menipu saya.”

Usai mengatakan kalimat itu, Natya melenggang pergi meninggalkan Eros yang masih menganga tidak percaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status