LOGIN
“Aku harus kuat. Demi Renata. Demi Ibu. Demi keluarga kecilku.”
Aruna meremas jemarinya erat-erat, seolah kalimat itu mampu menghentikan gemetar yang terus merayap dari ujung kaki hingga tenggorokannya.
Udara pagi di Jakarta selalu terasa berat, seolah memaksa setiap orang bernapas lebih keras agar tetap hidup. Aruna menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobil Taksi online yang mengantarnya. Jantungnya berdetak tak beraturan, seperti drum yang ditabuh terlalu cepat.
Mobil Taksi online yang tadi mengantarnya sudah melaju pergi, meninggalkan dirinya yang saat ini sedang berdiri di depan sebuah bangunan yang begitu megah sekaligus mencekam.
Wiratama Corp.—gedung bertingkat tinggi dengan dinding kaca hitam yang berkilau di bawah sinar matahari. Tulisan nama perusahaan itu terpampang besar di atas pintu masuk, huruf-huruf peraknya berkilau dan memantulkan bayangan dirinya yang tampak kecil, rapuh, dan entah kenapa seperti terjebak dalam dunia yang bukan miliknya.
Aruna mengepalkan tangan, berusaha sekuat tenaga menenangkan degup jantungnya yang mulai liar, dan kini ia berusaha menegakkan bahu yang sebenarnya ingin roboh. Ia mengingat wajah Renata—adik perempuannya yang selalu ceria meski tubuhnya ringkih karena sakit. Ia juga terbayang ibunya yang kian menua, wajahnya penuh keriput tapi masih berusaha tersenyum setiap pagi. Semua beban itu kembali berbisik dalam kepalanya: Aku harus kuat. Kalau aku menyerah, siapa lagi yang akan menjaga mereka? Semua ini demi mereka. Demi keluarga yang masih menunggu di rumah kontrakan sempit di ujung gang.
Begitu melangkah masuk, hawa dingin AC langsung menyergap kulit wajahnya membuat wajahnya yang sedari tadi pucat, menjadi sedikit kemerahan. Lobi luas itu dipenuhi orang-orang berjas rapi, berjalan cepat dengan ekspresi kaku, seakan setiap langkah mereka telah diatur oleh jam yang tak pernah berhenti berdetak. Tidak ada yang menoleh, tidak ada yang menyapa, bahkan sekadar senyum pun tidak. Seolah semua orang di sini sudah terbiasa menjadi bayangan yang hanya bergerak sesuai perintah.
Di balik meja resepsionis berdiri seorang perempuan berwajah pucat sempurna, dengan riasan tipis yang membuatnya tampak seperti boneka porselen. Tatapannya tajam, menilai, mengukur.
Aruna mengangguk cepat, jemarinya meremas map berisi kontrak kerjanya hingga hampir kusut.
Suara ting lift ketika pintunya terbuka terdengar begitu nyaring, menembus rongga dadanya. Bagi Aruna, suara itu lebih mirip dentang lonceng kematian ketimbang panggilan kerja baru. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, menekan tombol angka 25.
Lift bergerak naik, lambat tapi mantap. Angka digital di atas pintu berubah satu per satu: 10… 11… 12… Seakan waktu sengaja mempermainkannya, memperpanjang detik-detik penyiksaan rasa takut. Napas Aruna tercekat, telapak tangannya dingin dan basah oleh keringat.
“Demi Renata. Demi Ibu,” ia kembali berbisik, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Ketika pintu lift terbuka, suasana di lantai dua puluh lima berbeda dari lobi bawah. Sunyi. Terlalu sunyi. Hanya ada beberapa meja kerja dengan komputer rapi, seperti tidak pernah disentuh manusia. Tidak ada suara obrolan, tidak ada tawa, hanya derik keyboard dan dengung AC yang mencekik.
Di ujung lorong panjang itu, sebuah pintu kaca buram berdiri angkuh. Tulisan di atasnya membuat jantung Aruna serasa berhenti:
Ia menelan ludah, lalu mengangkat tangan. Tiga ketukan pelan terdengar di pintu itu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi sambil menelan sisa-sisa ludah di tenggorokannya yang mengering, kali ini lebih hati-hati, lebih ragu.
Tiba-tiba, pintu terbuka dari dalam.
Sosok tinggi berbalut jas hitam berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela besar yang memamerkan pemandangan Jakarta dari ketinggian. Satu tangan pria itu terselip di saku celana, sementara tangan lainnya memegang gelas kaca berisi cairan cokelat gelap. Entah kopi atau mungkin bourbon—Aruna tak berani menebak. Matanya hanya berani melirik di ujung. Tak berani melihat, apalagi menoleh ke arah pria itu.
Leonardi Wiratama.
Aruna tahu itu bahkan sebelum pria itu berbalik. Energi yang dipancarkannya terlalu pekat, terlalu kuat, membuat udara di ruangan seolah kehilangan oksigen.
Diam. Sunyi. Waktu terasa beku di ruangan itu. Aruna merasakan udara di paru-parunya seakan menghilang. Ia menunduk pelan, berusaha mengatur napas agar tidak terdengar.
“Masuk,” suaranya berat, dalam, dan berwibawa. Satu kata saja cukup membuat bulu kuduk Aruna meremang.
Aruna melangkah pelan, menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati. Ia berdiri tegak di depan meja besar, menunduk tanpa berani menatap wajah pria itu. Tubuhnya kaku, napasnya tertahan.
Leonardi masih berdiri memunggunginya, lalu perlahan berbalik. Lalu berjalan pelan. Suara derap sepatu kulit mewah Leonardi mendekat menuju tempat Aruna berdiri. Setiap langkahnya terdengar lambat, terukur, namun sangat mengintimidasi. Saat akhirnya Aruna mendongak sedikit, tatapan mereka bertemu. Tatapan itu...
Dingin. Tajam. Menusuk. Seolah mata itu mampu menembus lapisan terdalam jiwanya, mengungkap rahasia yang bahkan belum pernah ia ucapkan pada dirinya sendiri.
Aruna refleks menunduk lagi, tidak sanggup menahan tatapan itu lebih lama.
“Aruna Ayudya,” Leonardi mengulang namanya dengan intonasi yang terdengar seperti perintah.
Aruna terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? Batinnya
Ia melangkah pelan memutari meja, suaranya terdengar mantap di atas lantai kayu. Setiap langkah mendekat membuat jantung Aruna berdegup makin cepat. Saat berhenti tepat di sampingnya, jarak mereka hanya beberapa sentimeter.
Aruna bisa mencium aroma tubuh pria itu. Maskulin, segar, dengan sentuhan kayu manis dan pahit yang samar-samar menyeruak dari tubuh Leonardi yang terbalut setelan jas mewah. Aroma itu membuat kepalanya berputar.
“Tugasmu sederhana,” ucap Leonardi, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Ikuti semua perintahku. Tanpa pertanyaan. Tanpa drama.”
Aruna menahan napas, jemarinya bergetar hingga hampir menjatuhkan map.
Leonardi menundukkan kepala, mendekatkan wajahnya ke telinga Aruna. Napas hangatnya menyapu kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Urat Aruna menegang. Napasnya beradu dengan detak jantungnya seolah berteriak ingin keluar dari tubuhnya.
“Dan satu lagi…” ia berbisik tepat di telinga Aruna.
Setelah para kepala divisi keluar dari ruang rapat, Arabella merapikan kertas-kertas di mejanya dengan tangan yang sedikit bergetar. Ia berusaha mempertahankan kewibawaannya, namun pikiran tentang Daniel yang masih menghilang tidak berhenti mengusik. Sejak pagi ia menunggu telepon darinya, setidaknya satu pesan singkat, tetapi tidak ada apa-apa. Hening itu justru semakin membuat dadanya nyeri.Ia membuka laptop dan mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan lain, namun rasa gelisah itu terus merambat seperti duri yang menusuk pelan tetapi pasti. Nafasnya naik turun, tidak stabil. Ia akhirnya membuka kotak email internal, berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang mungkin ditinggalkan Daniel.Namun saat layar menampilkan daftar email baru, dunia Arabella seperti berhenti berputar.Ada tujuh belas pesan masuk dari vendor, klien, dan sistem keuangan.Semuanya belum diproses.Semuanya seharusnya berada di tangan Daniel.Arabella memajukan tubuh, menatap layar lebih dekat.“Tidak mungkin Danie
Hari persidangan perceraian itu datang seperti hantu yang tak diundang. Arabella duduk di ruang tunggu pengadilan, jantungnya berdebar tak karuan. Ia mencoba mengatur napas, namun kecemasan terus menggerogoti ketenangannya.Ia melirik sekeliling, mencari sosok yang familiar. Namun, hari ini ia benar-benar sendirian. Jason tidak hadir, mengirimkan kuasa pada pengacaranya. Arabella merasa seperti terdampar di pulau asing, tanpa ada seorang pun yang bisa ia andalkan.Proses persidangan berlangsung singkat dan tanpa drama. Pengacara Jason menyerahkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa tidak menuntut sepeser pun dari harta gono-gini.Hakim mengetuk palu, dan dalam sekejap mata, Arabella resmi menjadi seorang janda. Ia merasakan hantaman keras di dadanya, seolah ada seseorang yang meremas jantungnya dengan kuat. Air mata mengalir tanpa bisa ia cegah.Ia menangis bukan karena kehilangan Jason, karena ia tahu pernikahan mereka memang tidak didasari cinta. Ia menangis karena merasa bersala
Meskipun terkejut dengan gugatan cerai Jason, Arabella tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pria itu. Dalam benaknya, ia mengakui bahwa pernikahan mereka memang tidak didasari cinta yang tulus. Ia menikahi Jason lebih karena strategi, untuk memuluskan jalannya dalam mencapai tujuan balas dendamnya. Ia telah memanfaatkan Jason, menjadikannya alat untuk mencapai ambisinya.Perasaan bersalah mulai menghantui Arabella. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada dirinya sendiri, pada dendamnya, hingga melupakan perasaan orang lain, termasuk Jason.Ia teringat kembali saat-saat awal pernikahan mereka. Jason selalu berusaha menjadi suami yang baik, mendukungnya dalam segala hal. Namun, Arabella selalu memasang tembok tinggi di antara mereka, tidak pernah benar-benar membuka hatinya untuk Jason."Aku memang pantas mendapatkan ini," gumam Arabella lirih, meratapi kebodohannya.Di tengah kekacauan perasaannya, Arabella menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa terus meneru
Mentari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden, membangunkan Arabella dari tidurnya. Bukan tidur nyenyak tanpa beban, melainkan tidur singkat yang diisi mimpi-mimpi tentang angka, rapat, dan tatapan meremehkan. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai presiden direktur Grup Wijaya.Ia bangkit dari tempat tidur, merasakan sisa kantuk yang enggan pergi. Biasanya, pagi hari adalah waktu untuk menikmati kopi dan membaca berita. Sekarang, ia harus bergegas menyiapkan diri untuk terjun ke dunia yang terasa asing namun harus ia kuasai.Di meja rias, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak lebih tirus, matanya sedikit sayu. Beban tanggung jawab dan tekanan telah mengubahnya. Ia menghela napas, lalu mulai merias diri. Bukan untuk terlihat cantik, melainkan untuk menampilkan kesan profesional dan berwibawa.Pilihan pakaiannya jatuh pada setelan blazer berwarna abu-abu gelap dan rok span selutut. Warna yang netral, namun memberikan kesan tegas. Ia menyisir rambutnya dengan rapi
Senja merayap perlahan di halaman luas kediaman keluarga Wijaya. Cahaya keemasan menyentuh dinding-dinding batu putih, menghadirkan bayangan panjang pepohonan yang bergoyang pelan diterpa angin sore. Arabella berdiri di depan jendela besar ruang tamu, kedua tangannya menggenggam satu sama lain, dingin dan sedikit bergetar. Sudah lama rumah ini terasa seperti tempat yang asing karena kesedihan, kehilangan, dan beban tanggung jawab yang tiba-tiba berpindah ke pundaknya.Namun hari ini, suasananya sedikit berbeda. Ia menatap pintu utama yang sebentar lagi akan diketuk.Leonardi, Aruna, dan putra kecil mereka datang berkunjung—atas kehendak mereka sendiri. Di saat Arabella terpuruk dan dihadapkan pada dunia yang penuh duri, dua orang asing ini datang membawa sesuatu yang tidak ia duga: ketulusan.Ketika suara mobil berhenti di depan, Arabella menarik napas panjang. Detak jantungnya berdegup lebih cepat. Ia belum pernah benar-benar menerima tamu sejak semua tragedi itu.Pintu dibuka oleh s
Suasana ruang rapat utama Grup Wijaya dipenuhi dengan desahan dan bisik-bisik ketidakpercayaan. Lampu kristal yang tergantung di langit-langit memantulkan cahaya keemasan ke lantai marmer, namun aura ketegangan tetap tak bisa disembunyikan. Arabella berdiri di depan podium, tatapannya menembus setiap orang di ruangan itu. Ia mengenakan blazer hitam elegan, rambutnya tersisir rapi, namun matanya menyimpan kesedihan yang masih terasa hangat dari luka hati yang baru saja ia alami.“Selamat pagi,” suara Arabella terdengar tegas namun lembut, mengundang perhatian semua yang hadir. “Hari ini bukan hanya tentang saya, tapi tentang masa depan Grup Wijaya yang telah dirintis oleh ayah saya. Saya hadir di sini bukan untuk membalas dendam pribadi, tapi untuk meneruskan visi dan misi ayah saya.”Beberapa anggota Dewan Direksi saling menatap. Keraguan tampak jelas di mata beberapa pria dan wanita yang sudah lama berkecimpung dalam bisnis keluarga ini.Jason, yang hadir mewakili Grup Utomo, duduk d







