Share

Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos
Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos
Author: Ellailaist

BAB 1 - Hari Pertama

Author: Ellailaist
last update Last Updated: 2025-07-11 09:58:00

“Aku harus kuat. Demi Renata. Demi Ibu. Demi keluarga kecilku.”

Aruna meremas jemarinya erat-erat, seolah kalimat itu mampu menghentikan gemetar yang terus merayap dari ujung kaki hingga tenggorokannya.

Udara pagi di Jakarta selalu terasa berat, seolah memaksa setiap orang bernapas lebih keras agar tetap hidup. Aruna menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari mobil Taksi online yang mengantarnya. Jantungnya berdetak tak beraturan, seperti drum yang ditabuh terlalu cepat. 

Mobil Taksi online yang tadi mengantarnya sudah melaju pergi, meninggalkan dirinya yang saat ini sedang berdiri di depan sebuah bangunan yang begitu megah sekaligus mencekam.

Wiratama Corp.—gedung bertingkat tinggi dengan dinding kaca hitam yang berkilau di bawah sinar matahari. Tulisan nama perusahaan itu terpampang besar di atas pintu masuk, huruf-huruf peraknya berkilau dan memantulkan bayangan dirinya yang tampak kecil, rapuh, dan entah kenapa seperti terjebak dalam dunia yang bukan miliknya.

Aruna mengepalkan tangan, berusaha sekuat tenaga menenangkan degup jantungnya yang mulai liar, dan kini ia berusaha menegakkan bahu yang sebenarnya ingin roboh. Ia mengingat wajah Renata—adik perempuannya yang selalu ceria meski tubuhnya ringkih karena sakit. Ia juga terbayang ibunya yang kian menua, wajahnya penuh keriput tapi masih berusaha tersenyum setiap pagi. Semua beban itu kembali berbisik dalam kepalanya: Aku harus kuat. Kalau aku menyerah, siapa lagi yang akan menjaga mereka? Semua ini demi mereka. Demi keluarga yang masih menunggu di rumah kontrakan sempit di ujung gang.

Begitu melangkah masuk, hawa dingin AC langsung menyergap kulit wajahnya membuat wajahnya yang sedari tadi pucat, menjadi sedikit kemerahan. Lobi luas itu dipenuhi orang-orang berjas rapi, berjalan cepat dengan ekspresi kaku, seakan setiap langkah mereka telah diatur oleh jam yang tak pernah berhenti berdetak. Tidak ada yang menoleh, tidak ada yang menyapa, bahkan sekadar senyum pun tidak. Seolah semua orang di sini sudah terbiasa menjadi bayangan yang hanya bergerak sesuai perintah.

Di balik meja resepsionis berdiri seorang perempuan berwajah pucat sempurna, dengan riasan tipis yang membuatnya tampak seperti boneka porselen. Tatapannya tajam, menilai, mengukur.

“Aruna Ayudya?” tanyanya datar, seakan nama itu tidak lebih penting daripada nomor antrean.

Aruna mengangguk cepat, jemarinya meremas map berisi kontrak kerjanya hingga hampir kusut.

“Lantai dua puluh lima. Asisten pribadi Pak Leonardi sudah ditunggu,” jawab resepsionis itu sambil menunjuk ke arah lift di sisi kiri.

Suara ting lift ketika pintunya terbuka terdengar begitu nyaring, menembus rongga dadanya. Bagi Aruna, suara itu lebih mirip dentang lonceng kematian ketimbang panggilan kerja baru. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, menekan tombol angka 25.

Lift bergerak naik, lambat tapi mantap. Angka digital di atas pintu berubah satu per satu: 10… 11… 12… Seakan waktu sengaja mempermainkannya, memperpanjang detik-detik penyiksaan rasa takut. Napas Aruna tercekat, telapak tangannya dingin dan basah oleh keringat.

“Demi Renata. Demi Ibu,” ia kembali berbisik, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Ketika pintu lift terbuka, suasana di lantai dua puluh lima berbeda dari lobi bawah. Sunyi. Terlalu sunyi. Hanya ada beberapa meja kerja dengan komputer rapi, seperti tidak pernah disentuh manusia. Tidak ada suara obrolan, tidak ada tawa, hanya derik keyboard dan dengung AC yang mencekik.

Di ujung lorong panjang itu, sebuah pintu kaca buram berdiri angkuh. Tulisan di atasnya membuat jantung Aruna serasa berhenti:

Leonardi Wiratama, CEO.

Ia menelan ludah, lalu mengangkat tangan. Tiga ketukan pelan terdengar di pintu itu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi sambil menelan sisa-sisa ludah di tenggorokannya yang mengering, kali ini lebih hati-hati, lebih ragu.

Tiba-tiba, pintu terbuka dari dalam.

Sosok tinggi berbalut jas hitam berdiri membelakanginya, menatap ke luar jendela besar yang memamerkan pemandangan Jakarta dari ketinggian. Satu tangan pria itu terselip di saku celana, sementara tangan lainnya memegang gelas kaca berisi cairan cokelat gelap. Entah kopi atau mungkin bourbon—Aruna tak berani menebak. Matanya hanya berani melirik di ujung. Tak berani melihat, apalagi menoleh ke arah pria itu.

Leonardi Wiratama.

Aruna tahu itu bahkan sebelum pria itu berbalik. Energi yang dipancarkannya terlalu pekat, terlalu kuat, membuat udara di ruangan seolah kehilangan oksigen.

Diam. Sunyi. Waktu terasa beku di ruangan itu. Aruna merasakan udara di paru-parunya seakan menghilang. Ia menunduk pelan, berusaha mengatur napas agar tidak terdengar.

“Masuk,” suaranya berat, dalam, dan berwibawa. Satu kata saja cukup membuat bulu kuduk Aruna meremang.

Aruna melangkah pelan, menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati. Ia berdiri tegak di depan meja besar, menunduk tanpa berani menatap wajah pria itu. Tubuhnya kaku, napasnya tertahan.

Leonardi masih berdiri memunggunginya, lalu perlahan berbalik. Lalu berjalan pelan. Suara derap sepatu kulit mewah Leonardi mendekat menuju tempat Aruna berdiri. Setiap langkahnya terdengar lambat, terukur, namun sangat mengintimidasi. Saat akhirnya Aruna mendongak sedikit, tatapan mereka bertemu. Tatapan itu...

Dingin. Tajam. Menusuk. Seolah mata itu mampu menembus lapisan terdalam jiwanya, mengungkap rahasia yang bahkan belum pernah ia ucapkan pada dirinya sendiri.

Aruna refleks menunduk lagi, tidak sanggup menahan tatapan itu lebih lama.

“Aruna Ayudya,” Leonardi mengulang namanya dengan intonasi yang terdengar seperti perintah.

Aruna hanya mampu mengangguk kecil.

“Latar belakangmu cukup baik,” ia melanjutkan sambil menatap berkas di meja. “Nilai universitasmu memuaskan. Disiplin. Dan… kau butuh uang untuk adikmu, Renata, serta ibumu yang sakit.”

Aruna terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? Batinnya

Sudut bibir Leonardi melengkung tipis. Seolah bisa membaca pikiran gadis itu “Di sini, semua informasi bukan hanya milikmu.”

Ia melangkah pelan memutari meja, suaranya terdengar mantap di atas lantai kayu. Setiap langkah mendekat membuat jantung Aruna berdegup makin cepat. Saat berhenti tepat di sampingnya, jarak mereka hanya beberapa sentimeter.

Aruna bisa mencium aroma tubuh pria itu. Maskulin, segar, dengan sentuhan kayu manis dan pahit yang samar-samar menyeruak dari tubuh Leonardi yang terbalut setelan jas mewah. Aroma itu membuat kepalanya berputar.

“Tugasmu sederhana,” ucap Leonardi, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Ikuti semua perintahku. Tanpa pertanyaan. Tanpa drama.”

Aruna menahan napas, jemarinya bergetar hingga hampir menjatuhkan map.

Leonardi menundukkan kepala, mendekatkan wajahnya ke telinga Aruna. Napas hangatnya menyapu kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Urat Aruna menegang. Napasnya beradu dengan detak jantungnya seolah berteriak ingin keluar dari tubuhnya.

“Dan satu lagi…” ia berbisik tepat di telinga Aruna.

“Jangan pernah coba mengenalku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Tangan yang Menggenggam

    Aruna berdiri di depan pintu kayu gelap yang sudah sangat dikenalnya. Gagang pintu itu dingin di telapak tangannya, seolah berbisik ribuan kenangan yang tak semuanya ingin ia ingat.Leonardi berdiri di sampingnya, napasnya berat, matanya tertuju pada pintu itu dengan sorot campuran rasa takut, penyesalan, dan harapan. Sejak pertama kali Aruna dipaksa masuk ke ruangan itu, semuanya berubah — tubuhnya, jiwanya, juga cinta yang tumbuh di antara mereka.Hari ini, setelah perjalanan panjang dan luka yang tak terhitung, mereka berdiri di sini untuk menutup satu bab, selamanya.Aruna menarik napas panjang, telapak tangannya masih menempel di gagang pintu. Jemarinya gemetar. Banyak adegan berkelebat di kepalanya: jeritan sunyi di malam-malam gelap, air mata yang tumpah tanpa suara, tubuh yang tak lagi terasa miliknya.Leonardi mengangkat tangannya, menutupi tangan Aruna di atas gagang itu. Hangat. Teguh. Berbeda dari dulu — tidak lagi menuntut, tidak lagi memaksa. Hanya sebuah genggaman yang

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Penyembuhan yang Dimulai

    Aruna duduk di bangku kayu panjang di ruang tunggu sebuah klinik psikoterapi di pusat kota. Tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena ketakutan — melainkan karena harapan yang pelan-pelan tumbuh, seperti tunas kecil di musim hujan pertama.Leonardi masih di dalam ruangan terapi. Pintu putih dengan kaca buram itu seolah menjadi batas antara dirinya yang dulu dan lelaki yang sedang berusaha lahir kembali.Aruna menatap ujung sepatunya, mencoba menenangkan napas. Sudah beberapa minggu sejak mereka sepakat untuk “memilih” satu sama lain. Bukan lagi sebagai mainan, bukan lagi sebagai pemilik dan yang dimiliki — tapi sebagai dua manusia yang sama-sama patah dan sama-sama ingin sembuh.Saat pintu itu akhirnya terbuka, Leonardi keluar dengan wajah lelah, mata sedikit sembab. Aruna berdiri refleks, hendak menjemputnya. Leonardi menghentikan langkah, menatap Aruna dengan sorot mata yang jauh lebih tenang dari biasanya, meski masih menyisakan banyak ketakutan."Aku… nggak tahu harus bilang

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Pilihan Akhir

    Matahari baru saja naik di ujung langit, menembus kaca jendela kamar yang sudah lama menjadi saksi kelam mereka. Udara pagi menelusup perlahan, membawa aroma lembut yang seolah menenangkan luka-luka lama.Aruna duduk di pinggir ranjang, menatap punggung Leonardi yang berdiri di dekat jendela. Pria itu tampak berbeda pagi ini. Pundaknya yang dulu selalu tegak dan kaku, kini sedikit merosot, seakan akhirnya mengakui betapa berat beban yang ia pikul selama ini.Leonardi tidak menoleh, hanya membiarkan cahaya pagi menimpa wajahnya yang pucat. Suara napasnya terdengar berat, namun tenang."Aku… sudah memikirkan ini semalam," katanya perlahan, suaranya terdengar rapuh sekaligus mantap. "Jika kau ingin pergi… pintu ini akan selalu terbuka. Aku tidak akan memaksamu lagi… tidak akan menarikmu kembali…."Aruna menatapnya lama. Kata-kata itu terdengar seperti pisau yang menoreh dadanya, tapi juga seperti angin segar yang lama ia rindukan.Leonardi masih diam, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Dinding Runtuh

    Aruna berdiri di depan pintu rumah Leonardi dengan napas yang terasa berat. Tangannya gemetar ketika menekan bel. Suara hujan yang masih turun sejak kemarin malam membuat seisi kota tampak seperti lukisan kelabu yang remuk.Dia menatap gagang pintu lama sekali. Satu detik terasa seperti seribu denyut di dadanya.Pintu itu akhirnya terbuka. Leonardi berdiri di ambang, wajahnya pucat, matanya kosong. Rambutnya berantakan, kemejanya basah keringat meski udara dingin.Ketika tatapan mereka bertemu, Aruna bisa merasakan seluruh dunianya ambruk."Aruna…" suara Leonardi serak, seperti seseorang yang hampir kehilangan suara setelah terlalu lama berteriak dalam diam.Aruna melangkah masuk tanpa berkata apa pun. Begitu melewati ambang pintu, aroma kamar yang dulu begitu menakutkan kini justru terasa menyesakkan dada, seolah setiap sudut menyimpan bisikan luka mereka berdua.Leonardi mundur beberapa langkah, menunduk. Tangannya gemetar, seolah hendak meraih Aruna tapi takut disentuh."Aku…" Leon

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Dosa Masa Lalu

    Hujan masih mengguyur kota seperti tak mau berhenti, seolah menertawakan luka-luka manusia yang tak pernah selesai.Leonardi duduk di kursi ruangannya yang remang, menatap kosong ke luar jendela. Rambutnya acak-acakan, dasi sudah terlepas, kemeja setengah terbuka memperlihatkan dada yang naik turun tak beraturan.Seluruh kantor sudah sunyi. Semua orang takut mendekat sejak rumor tentang "kamar rahasia" mulai beredar.Di meja Leonardi, berserakan foto-foto yang dikirim Clara. Foto dirinya bersama Aruna di kamar itu. Ada juga beberapa rekaman pendek yang diambil secara diam-diam.Clara masuk perlahan, diikuti Adrian. Clara mengenakan mantel panjang berwarna gelap, wajahnya dingin, matanya menyala penuh kemenangan. Adrian, di belakangnya, tampak gelisah, sesekali menunduk seolah menyesali keputusannya."Leonardi." Clara membuka suara, nada suaranya tajam. "Akhirnya kita bertemu lagi… di saat kau paling rapuh."Leonardi tidak menoleh. Tatapannya tetap pada gelapnya jendela, seolah di luar

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Rencana Terungkap

    Hujan turun sejak subuh, menetes deras di jendela kamar Aruna. Aroma tanah basah bercampur dengan dingin yang menusuk tulang. Aruna berdiri di depan kaca, menatap pantulan wajahnya sendiri — wajah yang tampak asing, penuh bayangan luka yang tak pernah sembuh.Tangannya masih memegang buku jurnal hitam yang dikirim Leonardi. Bekas air mata semalam masih meninggalkan noda samar di halaman-halaman terakhir.Ia menutup buku perlahan, menarik napas panjang, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang lebih besar dari rasa sakit di dadanya.Renata muncul dari belakang, membawa segelas air hangat. "Kak… minum dulu, sebelum sakit," katanya pelan.Aruna hanya mengangguk, tapi tak segera mengambil gelas itu. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh."Ren…" Aruna memanggil dengan suara parau. "Aku harus pergi."Renata mengernyit, menatap kakaknya lekat. "Pergi ke mana? Kakak masih butuh istirahat. Kakak masih butuh—""Leonardi," potong Aruna lirih.Renata terdiam. Segala kepingan rasa takut dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status