Share

Bab 2

Selepas Mas Ibra pergi dengan membawa kopernya, terdengar ucapan salam kala Laras dan Kinara hendak masuk ke dalam rumah. Dalam keheranan, Laras tetap menjawab salam.

"Siapa itu, Ma?" Kinara bertanya kala perempuan yang cukup asing baginya itu berjalan mendekatinya.

"Nggak tahu, Ki. Mama juga nggak kenal," jawab Laras sekenanya.

"Pagi, Mbak."

Merasa ada yang aneh dari gelagat perempuan itu. Laras pun menyuruh Kinara masuk ke dalam rumah lebih dulu. Takut ada kata-kata yang belum sepatutnya dia dengar. Untung Kinara menurut tanpa protes.

Dia melepas maskernya, membuat Laras kaget bukan main. Jelas dia tahu betul dengan sosok yang berdiri di depannya saat ini.

"Apa kabar, Mbak?"

"Liana? Kok bisa tahu rumah mbak di sini? Aku baik, silakan masuk!"

"Iya, Mbak. Ada yang ingin aku sampaikan," sahutnya kala masuk ke dalam rumah.

"Kayaknya serius betul. Mau sampaikan apa, Li? Kedengarannya serius."

"Iya, Mbak. Ini memang hal penting dan serius."

"Apa? Sampaikan saja atau mau aku buatkan minuman dulu?"

"Tidak usah, Mbak. Aku hanya sebentar kok, masih ada urusan juga soalnya."

"Oh begitu. Apa yang mau kamu sampaikan, Li?"

"Aku juga bingung jelasinnya dari mana, tapi yang jelas aku ke sini mau meminta maaf secara langsung sama mbak."

Kening Laras mengkerut, dia bingung, Liana yang bisa dikatakan tidak pernah berkomunikasi dengan dirinya, bahkan ketemu juga sudah lama sekali, mungkin ada delapan tahun yang lalu.

"Minta maaf soal apa, Li? Setahu mbak, kita nggak pernah slek. Jadi minta maaf dalam rangka apa?"

Perempuan yang usianya lebih muda dua tahun dari Laras erta lebih modis dari Laras itupun tampak menarik napas dalam juga sedikit merubah posisi duduknya.

"Aku sudah menikah siri dengan mas Ibra, Mbak." Begitu lancar kalimat pengakuan keluar dari bibir tipisnya itu.

"Nikah siri? Sama mas Ibra? Kamu istri ketiganya mas Ibra, Li?"

"Istri ketiga? Kenapa mbak bilang aku istri ketiganya mas Ibra? Kini, giliran Liana yang terlihat bingung.

"Terus kamu istri ke berapa? Yang aku tahu, mas Ibra menikah siri dengan Annisa namanya, bukan kamu, Liana."

"Annisa itu aku, Mbak. Di kantor memang biasanya aku dipanggil Annisa. Beda kalau dipanggil keseharian di keluarga."

"Apa? Jadi, Annisa yang disebut mas Ibra semalam itu kamu?" Liana mengangguk yakin.

"Iya, itu aku, Mbak."

"Jadi, kamu janda yang dinikahi mas Ibra?" Laras seakan tak percaya atas pengakuan Liana.

Liana kembali mengangguk yakin. Sedangkan Laras masih dalam sikap tak percaya bahwasanya Liana yang notabenenya adalah sepupu jauhnya tak lain dan tak bukan adalah madunya saat ini.

"Iya, Mbak. Apa yang dijelaskan mas Ibra, itu adalah aku. Aku juga yang sudah mengirim capture-an chat semalam pada mbak. Dan, itu memang atas persetujuan mas Ibra."

"Oh begitu. Ada lagi yang ingin kamu sampaikan, Li?" Terlampau sakit yang dirasakan Liana, hingga dia tidak sanggup untuk menanggapi penjelasan Liana."

"Mbak, maaf, jika aku memberi tahu mbak soal ini, karena memang sudah waktunya mbak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku minta maaf atas semua ini. Namun, mbak jangan juga berburuk sangka padaku. Aku hanya butuh teman hidup. Sekedar itu saja, aku juga tidak akan meruntuhkan keluarga yang mbak bina dengan mas Ibra selama ini."

Dibalik darah yang berdesir hebat, dibalik emosi yang dia kontrol, Laras menyuguhkan senyuman kecut pada Liana.

"Memang, memang sepatutnya saya tahu. Kamu ambil saja secara utuh, Li. Jika nanti mas Ibra memilih tidak meninggalkan kamu, biar aku yang mundur, jadi kamu bisa miliki seutuhnya."

"Jangan, Mbak. Jangan beri pilihan itu. Selama lima tahun belakang kita baik-baik saja, bukan? Mas Ibra juga tetap memberi yang terbaik buat mbak dan juga Kinara."

"Iya, semua tampak baik, karena kalian pandai menutupi semuanya dari saya. Dan, semua baik-baik saja ketika saya belum tahu. Dan, saya tidak akan pernah melakukan apa yang kalian inginkan."

"Tapi, Mbak. Aku ikhlas jika mas Ibra lebih memberi perlakuan lebih pada mbak juga Kinara kok. Aku mohon, jangan minta pergi dari kehidupannya mas Ibra, Mbak."

"Kalau begitu, kamu saja yang pergi, Li! Gimana?"

"Aku tidak bisa, Mbak. Aku sudah terlalu cinta dengan mas Ibra, Mbak. Aku ---."

"Ssstttt ... saya tidak butuh penjelasan kamu, Li. Silakan pergi dari sini, Li!"

Liana bangkit dengan penuh emosi. Harapannya tidak sesuai dengan realita. Berharap bisa bergandengan tangan dengan kakak madunya.

Kembali luruh air mata Laras. Banyak tanda tanya yang bersarang dalam pikirannya. Namun, dia memilih enggan mencari tahu. Sakit, sakit sekali rasanya, jika yang mengisi hati Ibra adalah sepupu jauhnya. Mungkin akan berbeda jika dengan orang yang tidak dikenal.

"Din, di mana?" Laras menghubungi Dinda.

"Lagi di sarapan nih sama Dennis."

"Lho, kok tumben pagi-pagi udah bareng, Din?"

"Iya, lagi ada perlu. Kenapa, Ras? Kok suaramu bindeng gitu kedengarannya. Lagi sakit?"

"Nggak kok, Din. Siang ini ada acara nggak?"

"Enggak, kok. Kenapa, Ras? Mau ketemu?"

"Iya, ada yang mau aku ceritain. Kita ketemunya di Playground tempat biasa Kinara mainnya. Biar lebih enak ceritanya."

Telepon mereka berakhir dengan kata salam.

Kinara tiba-tiba keluar dari kamarnya tak lama usai Laras menutup teleponnya. Bahkan dia belum sempat mengusap bersih sisa air mata di wajahnya.

"Ma, tante tadi itu ngapain? Kok dia nyebut-nyebut nikah siri. Nikah siri itu apa, Ma?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
lebih baik kmu gpp mengalah dr pada sakit hati d bohongin dh selama 5 th kmu d hianatin dn biarkan fia hidup bahagia bersam penghianatan dn s pelakor nanti adahukum karma berlaku ..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status