Selepas Mas Ibra pergi dengan membawa kopernya, terdengar ucapan salam kala Laras dan Kinara hendak masuk ke dalam rumah. Dalam keheranan, Laras tetap menjawab salam.
"Siapa itu, Ma?" Kinara bertanya kala perempuan yang cukup asing baginya itu berjalan mendekatinya."Nggak tahu, Ki. Mama juga nggak kenal," jawab Laras sekenanya."Pagi, Mbak."Merasa ada yang aneh dari gelagat perempuan itu. Laras pun menyuruh Kinara masuk ke dalam rumah lebih dulu. Takut ada kata-kata yang belum sepatutnya dia dengar. Untung Kinara menurut tanpa protes.Dia melepas maskernya, membuat Laras kaget bukan main. Jelas dia tahu betul dengan sosok yang berdiri di depannya saat ini."Apa kabar, Mbak?""Liana? Kok bisa tahu rumah mbak di sini? Aku baik, silakan masuk!""Iya, Mbak. Ada yang ingin aku sampaikan," sahutnya kala masuk ke dalam rumah."Kayaknya serius betul. Mau sampaikan apa, Li? Kedengarannya serius.""Iya, Mbak. Ini memang hal penting dan serius.""Apa? Sampaikan saja atau mau aku buatkan minuman dulu?""Tidak usah, Mbak. Aku hanya sebentar kok, masih ada urusan juga soalnya.""Oh begitu. Apa yang mau kamu sampaikan, Li?""Aku juga bingung jelasinnya dari mana, tapi yang jelas aku ke sini mau meminta maaf secara langsung sama mbak."Kening Laras mengkerut, dia bingung, Liana yang bisa dikatakan tidak pernah berkomunikasi dengan dirinya, bahkan ketemu juga sudah lama sekali, mungkin ada delapan tahun yang lalu."Minta maaf soal apa, Li? Setahu mbak, kita nggak pernah slek. Jadi minta maaf dalam rangka apa?"Perempuan yang usianya lebih muda dua tahun dari Laras erta lebih modis dari Laras itupun tampak menarik napas dalam juga sedikit merubah posisi duduknya."Aku sudah menikah siri dengan mas Ibra, Mbak." Begitu lancar kalimat pengakuan keluar dari bibir tipisnya itu."Nikah siri? Sama mas Ibra? Kamu istri ketiganya mas Ibra, Li?""Istri ketiga? Kenapa mbak bilang aku istri ketiganya mas Ibra? Kini, giliran Liana yang terlihat bingung."Terus kamu istri ke berapa? Yang aku tahu, mas Ibra menikah siri dengan Annisa namanya, bukan kamu, Liana.""Annisa itu aku, Mbak. Di kantor memang biasanya aku dipanggil Annisa. Beda kalau dipanggil keseharian di keluarga.""Apa? Jadi, Annisa yang disebut mas Ibra semalam itu kamu?" Liana mengangguk yakin."Iya, itu aku, Mbak.""Jadi, kamu janda yang dinikahi mas Ibra?" Laras seakan tak percaya atas pengakuan Liana.Liana kembali mengangguk yakin. Sedangkan Laras masih dalam sikap tak percaya bahwasanya Liana yang notabenenya adalah sepupu jauhnya tak lain dan tak bukan adalah madunya saat ini."Iya, Mbak. Apa yang dijelaskan mas Ibra, itu adalah aku. Aku juga yang sudah mengirim capture-an chat semalam pada mbak. Dan, itu memang atas persetujuan mas Ibra.""Oh begitu. Ada lagi yang ingin kamu sampaikan, Li?" Terlampau sakit yang dirasakan Liana, hingga dia tidak sanggup untuk menanggapi penjelasan Liana.""Mbak, maaf, jika aku memberi tahu mbak soal ini, karena memang sudah waktunya mbak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku minta maaf atas semua ini. Namun, mbak jangan juga berburuk sangka padaku. Aku hanya butuh teman hidup. Sekedar itu saja, aku juga tidak akan meruntuhkan keluarga yang mbak bina dengan mas Ibra selama ini."Dibalik darah yang berdesir hebat, dibalik emosi yang dia kontrol, Laras menyuguhkan senyuman kecut pada Liana."Memang, memang sepatutnya saya tahu. Kamu ambil saja secara utuh, Li. Jika nanti mas Ibra memilih tidak meninggalkan kamu, biar aku yang mundur, jadi kamu bisa miliki seutuhnya.""Jangan, Mbak. Jangan beri pilihan itu. Selama lima tahun belakang kita baik-baik saja, bukan? Mas Ibra juga tetap memberi yang terbaik buat mbak dan juga Kinara.""Iya, semua tampak baik, karena kalian pandai menutupi semuanya dari saya. Dan, semua baik-baik saja ketika saya belum tahu. Dan, saya tidak akan pernah melakukan apa yang kalian inginkan.""Tapi, Mbak. Aku ikhlas jika mas Ibra lebih memberi perlakuan lebih pada mbak juga Kinara kok. Aku mohon, jangan minta pergi dari kehidupannya mas Ibra, Mbak.""Kalau begitu, kamu saja yang pergi, Li! Gimana?""Aku tidak bisa, Mbak. Aku sudah terlalu cinta dengan mas Ibra, Mbak. Aku ---.""Ssstttt ... saya tidak butuh penjelasan kamu, Li. Silakan pergi dari sini, Li!"Liana bangkit dengan penuh emosi. Harapannya tidak sesuai dengan realita. Berharap bisa bergandengan tangan dengan kakak madunya.Kembali luruh air mata Laras. Banyak tanda tanya yang bersarang dalam pikirannya. Namun, dia memilih enggan mencari tahu. Sakit, sakit sekali rasanya, jika yang mengisi hati Ibra adalah sepupu jauhnya. Mungkin akan berbeda jika dengan orang yang tidak dikenal."Din, di mana?" Laras menghubungi Dinda."Lagi di sarapan nih sama Dennis.""Lho, kok tumben pagi-pagi udah bareng, Din?""Iya, lagi ada perlu. Kenapa, Ras? Kok suaramu bindeng gitu kedengarannya. Lagi sakit?""Nggak kok, Din. Siang ini ada acara nggak?""Enggak, kok. Kenapa, Ras? Mau ketemu?""Iya, ada yang mau aku ceritain. Kita ketemunya di Playground tempat biasa Kinara mainnya. Biar lebih enak ceritanya."Telepon mereka berakhir dengan kata salam.Kinara tiba-tiba keluar dari kamarnya tak lama usai Laras menutup teleponnya. Bahkan dia belum sempat mengusap bersih sisa air mata di wajahnya."Ma, tante tadi itu ngapain? Kok dia nyebut-nyebut nikah siri. Nikah siri itu apa, Ma?""Sayang, kamu di mana? Kok mas sampai hotel resepsionisnya bilang kamu lagi keluar. Ke mana? Kok nggak bilang-bilang dulu?""Iya, Mas. Aku udah di jalan, paling lima belas menit lagi sampai hotel."Terbang ke Padang kali ini Ibra tidak sendirian, dia bersama istri mudanya. Namun, Ibra sama sekali tidak tahu jika istri mudanya itu datang menemui Laras."Dari mana kamu, Sayang?" Pertanyaan yang pertama kali terlontar kala Liana menghampiri dirinya yang tengah duduk di ruang tunggu hotel"Ntar aja ceritanya di kamar, Mas."Mereka pun menuju kamar sembari bergandengan tangan, terlihat mesra sekali."Jadi kamu pilih yang mana, Mas? Aku sudah berusaha membujuk mbak Laras untuk tidak berpisah dengan kamu. Tapi ...,"Liana menceritakan semuanya pada Ibra."Mungkin Laras masih shock dengan apa yang terjadi, Sayang. Harusnya kamu tidak perlu ke sana. 'Kan sudah janji sama mas juga.""Iya, cuma aku nggak tenang, Mas. Apalagi setelah mendengar cerita kamu semalam. Bahkan mbak Laras milih tidur di
"Mas, kenapa kamu harus memenuhi semua permintaannya mbak Laras? Kamu tahu, itu menyakitkan bagiku.""Aku bisa apa, Sayang. Aku juga tidak mau kehilangan Laras apalagi kehilangan Kinara, lima tahun sudah aku di sini sama kamu. Apa salahnya jika aku sekarang hidup serumah bersama Laras juga anak semata wayang kami. Laras belum mau aku sentuh dalam hal r*nj*ng. Jadi, cuma kamu seorang yang akan melayaniku sejauh itu. Dia juga tidak membatasi aku untuk bertemu dengan kamu, Sayang. Bukankah itu kelonggaran yang cukup lapang?""Aku tidak yakin, Mas. Aku tidak percaya. Kalian menikah sudah 10 tahun, mana mungkin mbak Laras menolak kalau kamu ajak, apalagi kalian serumah. Bisa-bisa semakin intens.""Jangan berlebihan cemburunya, aku akan komit pada syarat yang diberikan Laras. Kamu tenang saja.""Gimana aku bisa tenang, Mas. Kamu di sana bukan dalam waktu sehari ataupun dua hari. Namun, lebih dari itu.""Ini konsekuensi aku, Sayang. Kamu juga harus berlapang dada jika yang terjadi seperti in
"Dik, aku sudah di sini, tapi kamu selalu mengacuhkan aku," protes Ibra saat dia sedang membuat surat lamaran pekerjaan."Oh, maaf, Mas. Mungkin karena aku terbiasa tanpa ada kamu di sini kali ya.""Kamu tumben rapi banget hari ini, apa mau sesuatu dari ku, Dik?""Nggak lah, Mas. Kan aku udah pernah bilang, kalau kamu mau yang intens silakan terbang ke rumah adik maduku, aku belum siap.""Ngilu hatiku, Dik. Dengar kamu berujar seperti itu. Padahal aku kangen sama kamu, bukan Annisa.""Oh iya, tapi sayangnya, aku belum siap menyambut kangen kamu, Mas. Tolong pahami, ya! Kamu ingat dan nggak akan ingkar janji atas kesepakatan kita 'kan? Aku yakin kamu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan ya 'kan, Mas.""Iya, Dik. Iya, meski sakit, aku coba untuk mengerti kamu. Semoga segera kamu bisa menjawab rasa kangen aku, Dik.""Aku pamit, ya, Mas. Buru-buru soalnya ada kegiatan. Jangan lupa, nanti tolong jemput Kinara sekolah sama suapin dia makan siang, ya! Jangan sampai telat jem
"Selamat ya, Bu. Ibu hamil. Sudah tujuh minggu.""Haa? Apa, Dok? Aku hamil?" Laras tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter yang memeriksa perutnya secara manual.Iya, kita USG dulu, ya, Bu.""Dokter serius? Istri saya benaran hamil?" Ibra ikut kaget, tapi ada bahagia tergugat dari wajahnya."Iya, Pak. Mana mungkin saya berbohong. Selamat ya, Pak."Kinara ikut pun ikut bahagia mendengar bahwa dia akan jadi kakak.Ibra memutuskan mengantar Laras ke rumah sakit selepas pingsan ketika memasak di dapur tadi pagi. Awalnya, Laras menolak, tapi Ibra terus memaksa. Apalagi wajah Laras terlihat begitu pucat."Saya pesan 'kan sama bapak dan ibu agar lebih menjaga kandungan kali ini, agak lemah. Untuk ibu jangan sampai banyak pikiran juga.""Bapak juga bantu ibu agar dia tidak banyak pikiran. Kalau tidak kasihan sama calon bayi di kandungannya.""Baik, Dok."Dokter Irda pun meresepkan obat penguat serta vitamin tambahan untuk Laras."Aku tidak perlu di papah, Mas!" Laras berusaha melepaskan
"Laras hamil.""Haa? Apa? Hamil? Nggak, itu nggak mungkin. Gimana dia bisa hamil. Katamu, kalian sudah sebulanan lebih tidak berhubungan bagaimana bisa? Pasti ini akal-akalan kamu aja 'kan? Jawab, Mas!""Ini serius, Sayang. Laras hamil. Aku menyentuhnya tepat waktu kamu mengatakan semuanya itu. Setelahnya nggak pernah lagi.""Aku nggak percaya, Mas. Bagaimana bisa coba.""Ya, jelas kamu nggak percaya. Orang kamu nggak pernah hamil!" "Apa? Jahat kamu, Mas! Tega kamu bicara seperti itu sama aku, Mas!"Sambungan telepon di putus sepihak oleh Annisa. Amarahnya tak bisa lagi dikendalikan. Kabar yang disampaikan Ibra, sangat-sangat menyakitkan baginya. Rasa takut kehilangan Ibra semakin terpampang nyata di pelupuk matanya.Ibra tidak mempedulikan Annisa yang merajuk. Di pikirannya ini adalah bagaimana merebut kembali apa yang sudah hilang sebulan lebih ke belakang. Dia begitu kehilangan sosok Laras yang hangat ketika bersama dirinya. Kehamilan Laras saat ini akan dia manfaatkan dengan seba
"Iya, Sayang. Ada apa?""Ada apa kata kamu, Mas? Semingguan ini kamu cuekin aku giliran tersambung kamu nanya ada apa? Kamu benar-benar sudah berubah sekarang! Kamu nggak mikirin gimana sakitnya aku seorang diri di sini.""Ya 'kan kamu tahu sendiri aku lagi sibuk ngurus rumah sama Kinara juga.""Apa, Mas? Jadi kamu ngebabu di sana? Kok kamu mau aja sih. Coba pikir ulang deh, Mas. Mending di sini. Berkarir lagi sama aku. Kita hidup kayak dulu lagi.""Ya 'kan Laras lagi susah hamil kedua ini. Jadi, aku yang ngurus semuanya. Tidak ada yang salah juga 'kan. Sepertinya aku tidak bisa berkarir di sana lagi. Soalnya Senin depan udah masuk kerja di sini.""Haa? Kamu kerja di mana?" Annisa sontak kaget tak percaya. Harapannya makin sia-sia."Perusahaan farmasi juga. Udah, ya, Sayang aku mau jalan dulu."Tanpa menunggu persetujuan dari Annisa, Ibra langsung mematikan sambungan telepon."Apa ini karena jawaban doa kamu, Dik?" gumamnya menatap kosong.Sebelum menyala mesin mobil, dia menelepon ib
Jantung Ibra mulai berdetak karuan kala dia menatap wajah ibunya yang tidak enak dipandang."Mau bicara soal apa, Bu?" tanyanya dan kembali duduk di sofa."Kenapa kamu mengkhianati, Laras? Apa kamu tahu bagaimana rasanya dikhianati itu? Kamu tahu gimana sakitnya ibu dikhianati ayahmu? Kenapa kamu lakukan itu pada Sarah, Ib?"Ibra seakan tercekat. Tak menyangka sama sekali deretan kalimat itu yang keluar dari mulut ibunya. Dia mengira, ibunya tak akan pernah mengetahui bangkai yang disimpan dengan rapat."Ras, kamu ngomong semuanya ke ibu? Kamu kalau dendam, nggak gini caranya, Ras." Suara Ibra meninggi."Diam, Ibra. Laras tidak salah, dia juga tidak mengadu pada ibu. Satu hal yang tidak ada pada lelaki, yaitu kepekaan yang dilihat pakai mata hati. Termasuk kamu! Kamu juga tidak punya soal itu. Kamu pikir, ibu akan membela kamu begitu? Ingat, Ibra. Kamu meminta Laras pada ibunya bukan untuk disakiti. Kamu yang berbuat dosa, ibu yang menanggung malu. Mentang-mentang karirmu sudah bagus,
"Benar lah, Mas. Kalau aku tahu dia sepupu jauh, ngapain aku nikah sama suami sodara aku sendiri. Emang kamu pikir aku nggak punya perasaan? Siapa fitnah aku? Jawab, Mas?""Tadi ibuku nanya, Laras yang bilang begitu ke ibuku.""Apa? Jadi ibumu sudah tahu, Mas. Gimana? Dia marah kamu punya istri dua?""Jelaslah marah dia. Udah ah, aku mau istirahat, pusing!""Eh ... Mas. Aku ---."Tanpa mempedulikan Annisa, Ibra mematikan sambungan teleponnya.***Esok harinya, keadaan rumah tak sehangat kemarin, sejak kejadian semalam, bu Yani bungkam tak berbicara pada Ibra. Ibra pun demikian, biasanya menyalami ibunya sebelum pergi bekerja, tapi kali ini tidak. Dia cukup kecewa dan marah, karena fitnah Laras, ibunya tega menampar dirinya."Ibu serahin semuanya sama kamu, Ras. Kalau misalnya tetap mau berpisah silakan. Ibu tak akan memaksa kamu bertahan, karena ibu tahu sakitnya seperti apa.""Iya, Bu. Hatiku benar-benar sudah hancur sekarang. Berpisah memang pilihan ku. Aku berharap, mas Ibra bisa m