"Bu Liana terpaksa dirawat, saya takut, jika rawat jalan, akan membahayakan si ibu juga calon anaknya.""Ya, namanya orang hamil 'kan emang lemah, Dok. Banyak juga kok yang rawat jalan persis hamilnya seperti Annisa. Apalagi zaman dulu, mana ada seperti ini." Daritadi bu Nani tak kunjung berhenti, padahal dokter Klara sudah menjelaskan."Saya coba jelaskan sekali lagi, ya, Bu. Setiap ibu hamil juga anak dalam kandungan itu beda-beda. Ada yang kuat, ada juga yang lemah. Tidak bisa dipukul rata. Nah, ibu Liana ini termasuk lemah. Bergerak banyak, fleknya akan bertambah banyak, resiko keguguran pun semakin besar.""Huh, emang keguguran itu yang saya inginkan, Dok!" bathin bu Nani, dengan mata memutar tak beraturan. Atau ibu mau kehilangan keduanya. Jangan meremehkan sesuatu, Bu. Saya, sebagai dokter juga tidak segampang itu mendiagnosa, Bu. Tapi, ya ... terserah ibu. Jangan sampai terlambat!""Ya sudahlah, berapa hari harus menginapnya, Dok?""Tergantung, Bu. Semoga saja tidak lama, saya
"Sudah, cukup, Liana. Cukup. Oke, ibu akan telpon suamimu.""Bagus, impas kita ya. Tunggu apalagi, Bu. Telpon sekarang!"Kali ini, giliran bu Nani mati kutu. Dia merogoh ponselnya dari dalam saku celana. Tatapan penuh amarah pun tersirat di kilatan matanya."Besok aja tidak diangka," elak bu Nani."Aku tidak percaya kalau ibu menghubungi mas Ibra. Bisa perlihatkan padaku bukti panggilannya?""Kamu apaan sih, Li. Lancang banget.""Siapa yang lancang, Bu? Jangan lempar bola ke dinding gitu dong. Gerak-gerik ibu yang aneh, kok malah aku disebut lancang. Udahlah, Bu."Apa yang ditebak Liana memang benar adanya. Bu Nani memang sama sekali tidak menghubungi Ibra. Berpura-pura tentunya. Fakta yang ada, bu Nani tidak mau menunjukkan panggilan keluarnya."Halo." Panggilan dari bu Nani akhirnya diangkat Ibra, ketika setelah dengan sengaja mengabaikan panggilan sebelumnya sebanyak lima kali."Ibra, ini ibu.""Saya aku kok kalau ibu licik yang telpon. Saya juga tahu, ibu licik sudah beberapa kali
"Sstttt ... kamu diam saja, Li. Aku lagi tidak mau mendengar suaramu," potong Ibra tiba-tiba yang tengah asyik bermain judi online."Tapi, Mas ... aku --.""Kamu bisa diam tidak, berisik!" bentakan Ibra membuat Liana akhirnya membungkam."Padahal aku cuma mau minta maaf, Mas. Atas apa yang aku perbuat dulu. Meski satu sisi aku tidak sepenuhnya salah." Kali ini hanya dalam hati bisa dia ungkapkan.Malam kian larut, dingin semakin menusuk di kalbu. Liana terjaga karena ingin buang air kecil, di sisir pandangan sebelum bangkit, tampak Ibra masih asyik memainkan gadgetnya sembari berselonjoran di sofa."Kamu belum tidur, Mas?" Tak ada sahutan. Terdengar akan tetapi sengaja tidak direspon Ibra. Liana hanya bisa menelan ludah."Mas, bisa temanin aku ke kamar mandi?"Meski tak digubris pertanyaan awal, Liana tidak putus asa. Masih berusaha meluluhkan hati Ibra yang sudah beku untuknya. Dia coba bertanya dengan pertanyaan yang sama sampai tiga kali. Bukannya jawaban iya yang didapat. Malah b
"Kenapa, Bu? Bukan tante Wera ya?""Katanya bukan, malah ibu di bilang salah sambung, jelas juga tersambung, namanya juga tidak salah. Ini beneran nomornya kak Wera lho. Apa dia tidak mau ketemu kita ya?""Coba cek sama nomor yang di hape kamu, Mas. Apa sama dengan yang ditelpon ibu barusan."Dengan malas Ibra mengeluarkan ponselnya. Dan, setelah di cek ..."Berapa nomor belakangnya?" tanya Ibra ketus."068""Sama!" sahut Ibra kemudian."Nah kan sama. Gimana mungkin salah sambung coba," gerutu bu Nani."Hhuuft ... ibu masih nanya kenapa mantan mertuaku berkata seperti itu. Mana ada orang yang mau ketemu macam ibu. Saya pun, kalau tahu sedari awal, tidak sudi juga punya mertua macam ibu. Bu Wera selama jadi mertua saya nggak seneko ibu. Dia baik, pengertian.Mendengar itu, bu Nani semakin cemburu dengan Wera."Atau beneran salah sambung kali, Bu. Nomornya bu Wera udah mati kali, Bu. Jadi, kalau kartu yang udah mati. Bisa diaktifkan lagi, tapi kayak nomor baru lagi." Liana ikut menjelas
"Nya, lebih baik Nyonya istirahat di kamar. Saya buatkan teh hangat ya." Bik Surti datang menghampiri Yati berdiri terpaku di ruang tamu. Dia papah majikannya itu ke dalam kamar. Setelah merebahkan tubuh Yati di tempat tidur, lalu dia bergegas bertolak ke dapur.Kondisi rumah memang lengang, Bryan dan Dennis sedang ada pekerjaan di luar kota. Jika kedua anak lelaki Yati mengetahui hal ini jelas mereka akan sangat marah pada papanya.Ponsel bu Wera kembali berdering."Siapa, Bu? Nomor yang tadi?""Tidak, Ras. Beda. Biarkan sajalah!"Namun, hal yang sama pun terjadi seperti Syahrial tadi. Nomor itu terus saja menelepon hingga lima kali."Angkat saja, Bu! Mungkin penting," usul Laras kemudian"Gimana kalau mereka?""Hmm ... angkat ajalah, Bu. Siapa tahu bukan."Wera pun menuruti usulan Laras, mengangkat telepon yang kebetulan masih belum putus asa menghubungi dirinya."Halo.""Apa ini dengan ibu Wera? Kami dari pihak rumah sakit mau mengabarkan jika saudara Ibra, ibu Nani, juga saudari L
"Kenapa tidak coba pak Bryan sama pak Ibra saja, Pak. Siapa tahu golongan darah mereka sama.""Saya maunya mereka berdua tidak tahu akan hal ini, Pak," ucap Syahrial dalam hati."Mereka lagi sibuk, Pak. Tidak enak kalau diganggu."Mobil Pajero menepi memasuki area rumah sakit. Pak Tono langsung menurunkan Syahrial di depan IGD, lalu setelahnya mencari tempat parkir. Tak lama kemudian, mobil Alpard yang ditumpangi Yati pun juga sampai di area rumah sakit."Parkir dekat mobil bapak aja, Pak Bud!" titah Yati yang seorang diri duduk kursi penumpang bagian tengah."Baik, Bu.""Mana bapak, Pak Ton? Sudah masuk?"Pak Tono yang tengah mengecek ponsel tersentak karena tak menyadari majikannya berdiri di sebelah pintu kemudi. "Astagfirullah, kaget saya, Bu." Buru-buru pak Tono keluar dari mobil."Iya, Bu. Bapak sudah masuk, tadi saya langsung turunin di depan IGD.""Oh, oke. Kalian berdua tunggu di sini, saya masuk dulu.""Baik, Bu." Pak Tono juga Pak Budi serempak menjawab lalu saling berpand
"Ma, kamu ikutin aku?""Menurutmu?""Buat apa?""Kamu tidak perlu banyak tanya. Buat apa? Kenapa? Di mana letak harga diri keluargamu? Bahkan kamu lupa ada orang asing sekaligus perusak di sini. Untuk urusan kita, biar di rumah saja dibahas. Privasi antara aku dan kamu lebih berharga dari perempuan j*lang ini.""Oke, Ma. Aku minta maaf. Tapi urusan ku belum selesai. Liana --.""Oh jadi Liana nama anak perempuanmu itu?""Iya, dia butuh darah.""Ya sudah, donor kan saja darahmu, Pa. Biasanya kalau ayah biologis sama. Itupun jika benar kamu ayah biologisnya."Aku tidak bisa, Ma. Mau tidak mau aku harus suruh Bryan dan Ibra ke sini.""Mbak, apa maksudnya bicara seperti itu? Mbak pikir saya suka gonta-ganti pasangan?""Saya tidak berkata demikian, ya. Kamu sendiri yang berujar. Berarti benar? Kamu suka gonta-ganti, mana tahu kasusnya sama. Lagi puyeng liat yang bening dikit, langsung jual diri.
"Maafkan perilaku Ibra ya, Bu," pinta bu Yani saat melepaskan pelukan perlahan lalu kemudian menyapa Kinara dan memeluknya.""Ya Allah, Ibra. Kenapa bisa seperti ini, Nak? Ya Allah." Kondisi Ibra yang sangat memperihatinkan semakin membuat air mata bu Yani mengucur deras. Luka dimana-mana. Wajahnya di beberapa titik sudah ditutupi dengan perban. Bagian mata juga sembab membiru. Dan, Ibra masih juga belum sadar dari pingsannya. Sudah berlalu dua jam dari kecelakaan."Kinara.""Itu nanti saja kita bahas ya, Bu. Fokus sama kondisi Ibra dulu.""Jadi ibu, ibunya bapak Ibra?" tanya dokter Fani."Iya, Bu. Saya ibunya.""Bisa ikut saya sebentar, Bu?'"Boleh, Dok."Bu Yani mengikuti langkah dokter Fani ke ruangannya. Sementara Gina tinggal bersama bu Wera juga Kinara. Tak lupa anak sulung bu Yani bersalaman dengan bu Wera juga Kinara.Saat bu Yani keluar dari ruangan IGD tampak dua lelaki sedang berbicara serius