Share

Terdampar di Desa Primitif Misterius
Terdampar di Desa Primitif Misterius
Penulis: Qalam

BAB 1: MISTERI

Ridho memainkan pandangannya, mengamati satu persatu tamu bandara yang asyik berlalu lalang. Di sekitarnya ada beberapa koper dan seorang anak kecil yang menautkan tangannya ke tangan Ridho.

Dekat dengan jalan, ada petugas inspeksi menunggu di ruang lintas yang dipagari besi, tempat calon penumpang menunjukkan tiket, dan meletakkan barang bawaannya, sebelum masuk mesin scan.

Tidak jauh dari posisinya sekarang, ada sekelompok orang yang saling berpelukan. Memberi kesan betapa selama ini mereka telah dipisahkan jarak, dan baru hari ini merasakan kedekatan. Pasca Idulfitri, lokasi transit transportasi umum memang selalu menjadi favorit. Manusia-manusia dari berbagai wilayah, menyemut di sini, membentuk keramaian yang jarang ditemukan pada hari-hari biasanya.

Awalnya, Ridho hanya bermaksud memainkan sekilas pandang terhadap apa yang dilihat. Hingga didapati sebuah keluarga yang sangat menyita perhatiannya. Yakni Wanita yang membopong seorang bocah, caranya menimang, persis ibunya ketika menimang sang cucu. Ditambah caranya berpenampilan, mengenakan jilbab lebar berwarna merah gelap, mirip jilbab yang biasa dikenakan ibunya.

Hampir Ridho mengalihkan pandangan ke tempat lain, seorang pria berusia sekitar 35 hingga 40 tahun muncul di tengah keramaian, menghampiri perempuan tadi dan melakukan percakapan. Wujud pria yang diduga suami wanita itu ikut pula membangkitkan kenangan, kenangan yang bahkan jauh lebih lawas dari sebelumnya.

Semakin sosok itu diperhatikan, kecamuk kenangan kian ramai berputar di pikirannya. Ridho sampai memecingkan mata berkali-kali, kadang mengusapnya dengan ujung jari, sekadar memastikan kalau penglihatannya tidak salah.

Malah tidak cukup di situ, ia sampai melepas genggaman tangan anaknya, mengambil sebotol air untuk membasahi jemari. Kemudian ia sapu kedua matanya dengan jemari, lagi-lagi untuk memastikan penglihatannya tidak salah.

“Abi kenapa?” tanya bocah perempuannya, sembari menampilkan ekspresi heran.

Ridho sampai menepuk-nepuk wajahnya berkali-kali, sementara hatinya diguncang kerinduan yang telah tertanam lama sejak puluhan tahun lalu. ‘Ini mimpi bukan, sih?’ tanyanya dalam hati.

“Sepertinya Kakak benar. Imajinasiku sudah terlalu liar, sampai sulit membedakan mana realita, mana ilusi.” Ridho meneguk air botol yang ia pegang, berusaha tidak memedulikan apa yang ia lihat.

Di samping itu, segerombolan orang muncul dan mengarah ke luar bandara. Sepertinya mereka adalah para penumpang pesawat yang baru saja mendarat. Ramainya mereka hingga menutup jarak pandang Ridho terhadap keluarga kecil tadi. Orang-orang dari luar bandara juga datang, mencari keluarga mereka di antara kerumunan itu, dan saling berinteraksi dalam posisi yang membatasi pandangan Ridho.

Para pengalang pandangan itu sudah tidak ada. Sayangnya keluarga kecil tadi juga tidak tampak lagi. Ridho harusnya tidak peduli, toh memang mestinya tidak ada kaitanya antara keluarga itu dengannya. Namun buncah rasa rindu pada sosok yang paling ia sayangi membalikkan perasaan itu.

‘Mana keluarga tadi?’ Ridho membatin. Ia segera melangkah maju, mendekatkan jarak dengan posisi berdiri pria tadi, sembari melongok ke kanan dan kiri. Mereka benar-benar hilang? Ke mana?

“Abi mau kemana?” tanya Tiara. Bocah kecil itu sedikit berlari mendekati ayahnya dan menggenggam tangannya. Ridho tersadarkan dari antusiasmenya barusan, teringat kalau ia tidak sedang sendiri.

“Tia, Abi ke sana sebentar, ya! Jangan ke mana-mana sampai Umi datang, ya sayang!”

Tiara menggeleng, protes pada Abinya agar diajak serta. Sementara Ridho, juga tak mungkin mengajak anaknya ikut. Sebab jika ia ikut, barang-barang dan koper besar ini juga harus dibawa. Pun jika memaksakan diri untuk membawa serta, tentulah istrinya yang masih di toilet akan kehilangan jejak mereka. Ditambah lagi handphone sang istri masih ada dalam genggaman tangannya.

“Tia takut ditinggal sendiri, Abi.”

Mendengar ucapan anaknya barusan, Ridho terenyak sesaat. Melenguh, lalu menghela napas panjang yang kedengaran pasrah. Lantas berhenti memaksakan diri untuk pergi. Toh tujuannya hanya ingin memastikan seberapa mirip pria tadi dengan sosok yang masih dirindukan.

“Iya Tia, Abi tetap di sini bersama Tia,” ucapnya sembari memberi kecupan ringan di dahi anak perempuannya.

Sepuluh menit berlalu, istrinya baru datang. Ridho kelihatan sedikit kecewa, entahlah ia masih bisa bertemu keluarga kecil tadi atau tidak, “Kok Umi lama banget?” protesnya.

“Maaf Bi, tadi toiletnya penuh, jadi Umi mesti antre.”

Ya sudahlah, menambah protes pun sudah tidak ada gunanya. Kalau diusahakan sekarang, mungkin harapan itu masih ada. “Mi, Abi pergi sebentar, ada yang mau Abi periksa.” Singkat saja perkataannya, kemudian pergi menjauh dari kisaran istri dan anaknya.

Lama ia mencari dari satu sudut ke sudut yang lain, tidak ada petunjuk untuk menemukan sosok tadi. Mana batang hidungnya? Pria berjanggut dengan kemeja biru yang dikenakan, benar-benar lenyap dari sekitar.

--*--

Masih di bandara, di antara mobil yang terparkir, Izul menunggu. Wajahnya kelihatan tidak begitu tenang, sesekali melihat waktu di arlojinya.

Berlalu satu jam, tapi adiknya belum juga mendatangi parkiran. Harusnya—berdasarkan perhitungan—adiknya telah tiba di sini. Mungkin juga mereka telah melintas jalan bebas hambatan.

“Abi yakin, kita dipinta menunggu di sini? Atau mungkin ada kekeliruan saat ia memberi informasi.” Wanita berkerudung hijau lebar, angkat suara. Sejak setengah jam lalu, baru ini pandangannya lepas dari kerumun orang dekat pintu masuk bandara. Hingga sekarang, di antara kerumunan massa yang berlalu lalang, ia juga belum mendapati orang yang ditunggu.

Izul kembali mengamati layar handphone sebesar tapak tangan miliknya, memeriksa pesan masuk yang telah dibaca. Memastikan kalau informasi yang ia pahami, tidak ada yang keliru. Waktu, lokasi, dan di terminal mana mereka akan bertemu, semua yang tertulis sesuai dengan keadaannya saat ini. Atau mungkin benar kata istrinya, bahwa bisa saja adiknya yang keliru memberi informasi.

Lantas ia coba terhubung ke adiknya melalui benda seukuran tapak tangan itu. Hanya hitungan detik, sampai gelombang elektromagnetik mempertemukan suara mereka, pertukaran informasi dilakukan.

“Kau tidak salah menginformasikan terminalnya, kan?” kata Izul dengan suara tegas melalui sambungan jarak jauh, “Masa bodoh dengan apa yang kau lihat. Kau hanya punya waktu lima belas menit. Terlambat semenit saja, maka aku akan meninggalkanmu.”

Izul langsung menutup sambungan telepon, berkata, “Anak itu, ia tak juga berubah. Selalu saja menyepelekan waktu.”

“Mungkin pesawatnya mengalami keterlambatan, Bi. Hal itu juga sering terjadi, kan?”

“Kalau memang begitu, apa susahnya kasih kabar?”

“Mungkin di sana sinyal sulit didapat, Bi.” Sang istri berspekulasi sembarang saja. Mutia memang selalu tidak sependapat dengannya. Momen saat mereka sekata, adalah hal tak lazim yang jarang terjadi.

Sementara di dalam mobil yang terparkir, buah hati mereka, Zaenab namanya, asyik dalam suasana lengang. Berlembar-lembar halaman buku, telah habis dibaca. Namun tetap saja, hal tersebut tak mampu mengalihkan ketidaksabarannya menanti adik sepupu. Sesekali ia juga menyaksikan keramaian pendatang di pintu bandara.

Kira-kira, kabar seperti apa yang akan ia ketahui dari sepupunya yang ceriwis itu, setelah tiga atau empat tahun mereka tak bertemu? Pertanyaan seperti ini, yang terkandung dalam benaknya dan ingin dituntaskan.

Lima belas menit telah berlalu, berkali-kali Izul mendengus—wujud ekspresi dari suasana hatinya yang makin tidak tenang. Pengalaman hidup telah membentuknya jadi sosok yang sangat disiplin dan tidak menyukai keterlambatan. Seperti sebelumnya, sesekali ia memerhatikan waktu melalui arloji.

Dari dalam mobil, Zaenab yang sesekali mengalihkan perhatiannya dari bacaan dan menatap ke kaca mobil, mendapati sepasang suami-istri dan anak kecil yang berada dalam bopongan berjalan ke arah mereka. Entahlah siapa keluarga kecil itu, Zaenab melihat karena kebetulan buku yang ia pegang telah usai dibaca.

Zaenab kemudian memerhatikan bagian depan mobil, mencari bacaan lain yang memang dipersiapkan untuknya. Tangannya memanjang—dari deretan kursi kedua—berusaha menjangkau sebuah buku yang tergeletak dekat setir. Usaha pertamanya gagal. Lalu berusaha lagi menjangkaunya.

Sekadar mengandalkan tangan saja tidak cukup, Zaenab lantas menjorokkan tubuhnya di antara celah atas kursi mobil. Tangannya telah berada di atas setir, namun belum cukup sampai. Terus ia berupaya, dan ternyata bukan malah berhasil, tubuhnya malah terperosok jatuh di deretan kursi pertama, klakson mobil tanpa sengaja tertekan.

Serta merta suara bising pun pecah. Saking kagetnya, Izul yang berada sangat dekat dengan pusat suara, reflek setengah mengangkat tangannya. Umi spontan beristigfar, begitupun sepasang suami istri yang hanya sekadar berlalu dan sekarang berada dekat dengan mereka.

“Maaf, maaf. Maafkan kami,” kata Mutia pada pasangan suami istri itu.

Padahal belum habis dirinya memikirkan keterlambatan sang adik, Zaenab malah tiba-tiba membuatnya gemas. Izul segera mengalihkan pandangan ke pasang suami istri yang juga dikejutkan oleh ulah anaknya. Sebagaimana istrinya, ia akan meminta maaf mewakili kesalahan anaknya.

Niatan itu malah tidak tersampaikan, sosok lelaki yang saat itu berada depan matanya, memberikan daya kejut yang lain. Masa lalu yang terkubur lama sejak puluhan tahun, seakan tergali dan dipanggil keluar. Ia tidak suka terlau berimajinasi sebagaimana yang dilakukan Ridho adiknya. Namun sosok yang ada di hadapannya benar-benar identik, seakan memang dia orangnya. Mungkin kalau dirinya dibiarkan hanyut dalam nostalgia, maka lidah kelunya secara refleks berucap: “Abi?”

“Kenapa Bi?” Istrinya melihat gelagat aneh, tidak biasanya sang suami hanya diam saja. Biasanya dalam situasi seperti ini, suaminya juga akan bersegera meminta maaf. Bukan malah kelihatan seperti orang linglung begini.

Mutia mengulang pertanyaannya.

“Tidak, bukan apa-apa, Mi.”

--*--

Di deretan pertama kursi mobil lengang, tidak ada sepatah kata pun terucap. Di belakang setir, Izul fokus memerhatikan jalanan yang ditempuh. Sementara di sebelahnya, Ridho merasa tidak nyaman untuk menyampaikan sesuatu. Izul sepertinya banyak pikiran, mungkin ini akibat dari keterlambatannya.

Padahal bukan maksudnya tidak mau mengabari. Ia hanya tidak ingin membuat kakaknya kesal jika tahu alasan sebenarnya, yaitu mencari seseorang yang sangat mirip dengan ayah mereka. Cara berpikir Izul dan Ridho sangat bertolak-belakang. Jika Izul dikenal sangat realistis, adiknya sebaliknya, dianggap terlalu berimajinasi dan ia tidak menyukai hal itu.

Berbeda dengan suasana di deretan kursi kedua, Atiyah dan Tiara sejak tadi malah tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Ada saja hal-hal yang mereka bahas, mulai dari pengalaman mengurus anak, bagaimana kadang repotnya mengurus rumah sendiri apalagi jika anak sedang rewel, dan lain-lain.

Di deretan kursi ketiga pun tidak kalah heboh, dua bocah kecil yang berselisih usia tiga tahun juga asyik dengan pembahasan mereka. Zaenab lebih banyak menceritakan kisah-kisah yang pernah ia baca pada adik sepupu kesayangannya.

Ridho masih memerhatikan kakaknya yang disibukan oleh pikirannya sendiri. Tiga atau empat tahun tidak bertemu, kakaknya ternyata belum banyak berubah. Dulu sewaktu mereka kecil, tuntutan hidup yang memaksa kakaknya harus ambil bagian sebagai tulang punggung keluarga, telah membentuknya jadi sosok tegas seperti sekarang, terlalu disiplin terhadap waktu.

Rasanya baru kemarin, ketika Ridho mengalami keterlambatan pulang dari sekolah, dan tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal. Lantas Izul memberi hukuman dengan mengurangi uang jajannya. Ia merasa itu tidak adil, karena keterlambatan yang ia alami tidak terlalu berpengaruh dengan pekerjaannya membantu Ibu. Tapi begitulah kakaknya, dan sekarang setelah ia mengerti pentingnya pendidikan kedisiplinan, ia jadi lebih bersyukur dan memaklumi sikap kakaknya.

“Kak, sekali lagi Ridho minta maaf, ya. Tapi bukan maksud Ridho menyepelekan Kakak. Ridho juga tidak mungkin kasih tahu alasan sebenarnya, soalnya...” Ridho terdiam. Lidahnya tiba-tiba berasa kelu. Ia sangat yakin kalau mengangkat topik pembicaraan yang biasanya menjadi permasalahan klise antara ia dan kakaknya, justru tidak menghasilkan apa pun, kecuali perselisihan baru. Maka ia biarkan kalimatnya menggantung begitu saja.

“Kamu mau bilang apa?” Izul menarik napas sekali, lanjut mengatakan, “Mau bilang kalau kamu bertemu Abi di bandara?”

Demi mendengar ucapan barusan, Ridho mendelik menatap kakaknya. Bagaimana kakaknya bisa tahu apa yang ingin disampaikan? Sebanyak itu topik, dan ini merupakan hal yang sudah lama tidak pernah lagi dibahas, mengapa itu yang dipikirkan kakaknya? Ridho menunggu.

Sebenarnya, bukan keterlambatan Ridho yang mengganggu pikiran Izul sejak tadi. Melainkan sosok itu juga, sosok yang membangkitkan kenangan puluhan tahun lalu. Namun di lain sisi, ia tidak ingin dianggap sebagai “orang aneh” yang terbiasa hidup di dunia khayalan, ia tidak ingin seperti adiknya.

“Tidak mungkin juga itu Abi, sudah puluhan tahun beliau menghilang. Kalau masih hidup, seharusnya fisik Abi juga sudah banyak berubah.” Izul mengambil napas yang lebih panjang dari biasanya.

“Sudahlah, berhenti membicarakan hal itu lagi! Sepertinya karena hari ini kita terlalu lelah, sampai terus memikirkan hal yang sama. Sebaiknya kamu istirahat, Kakak yakin kamu pasti lebih lelah.”

Ridho setuju dengan apa yang disampaikan kakaknya barusan. Lantas keduanya memilih untuk mengubur rapat-rapat hal yang sempat mereka anggap janggal. Apa lagi Izul, ia membuang jauh-jauh pikiran-pikiran yang mulai menjurus pada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip hidupnya.

Sekali waktu, melalui sudut matanya, Izul memerhatikan kondisi adiknya. Mendapati matanya yang telah memerah, efek tidak tidur seharian lantaran menempuh jauhnya perjalanan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status