Share

BAB 2: KEBERANGKATAN

Seorang pengantar paket berdiri depan pintu rumah Hasan, meminta tanda tangan pemilik rumah, sebagai bukti kalau paket telah sampai ke tangan pemiliknya. Seusai pintu rumah ditutup, Hasan membolak-balikkan sepucuk amplop tersebut.

Perlahan isi dalam amplop putih dikeluarkan. Sebuah tiket penerbangan yang memuat namanya dan kode pesawat yang akan dinaiki, menyambut penglihatan. Tiket penerbangan ke luar kota, dengan keberangkatan dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat.

“Urusan bisnis lagi, Bi?” tanya istrinya sembari membereskan segelas kopi yang telah habis diseruput. Sambil mengelap meja, ia memerhatikan suaminya yang berjalan mendekat dan duduk di kursi.

“Iya, Mi. Tapi, Abi tak menyangka akan dikirimi tiket pesawat seperti ini. Abi kira, akan naik kapal laut seperti sebelumnya.”

“Mungkin memang urusannya mendesak, Bi. Makanya pakai tiket penerbangan segala.”

Hasan mengamini pendapat istrinya. Urusan bisnis kali ini sepertinya memang sangat mendesak. Padahal sebelum-sebelumnya, perjalanan lintas provinsi yang mengharuskan menyeberangi laut, cukup menggunakan bus dan kapal. Lama memang waktu tempuhnya, tapi ia sudah terbiasa dan bisa menikmati perjalanan.

Kehidupan rumah tangga yang dijalani Hasan dan istrinya, terbilang harmonis dan agamis. Di waktu-waktu malam saat senggang, Hasan selalu menyapa anak-anaknya, mengajari mereka membaca Quran, dan diakhiri dengan nasihat. Sesekali ia mencandai anak-anaknya dan memecahkan suasana dengan tawa.

Saat malam semakin matang, sebelum mendaratkan kepala di atas bantal empuk, ia berbagi pengetahuan dan cerita bersama sang istri. Bahkan menurutnya, ibu anak-anak lebih membutuhkan suplai pengetahuan agama ketimbang yang lain. Karena ia adalah perpustakaan pertama bagi anak-anak, pemilik andil besar dalam membentuk karakter anak.

Tidak sampai di situ, perbincangan bersama istri juga dilanjut dengan mempertanyakan perkembangan anak-anak selama di rumah. Masalah apa saja yang sedang dihadapi, dan langkah apa yang telah dilakukan untuk mengatasinya. Ia juga harus tahu hal-hal itu, meski adanya ia di tengah-tengah mereka, tidak sesering keberadaan istrinya.

Tiba di hari H. Jadwal keberangkatan Hasan di bandara, hanya tinggal hitungan jam. Ia ditemani sang istri berjalan hingga melewati pintu rumah. Sesekali pandangannya menyorot ke dalam rumah, memastikan bahwa seusasi salat subuh tadi, anak-anaknya benar-benar sudah tidur.

“Sudah aman kok, Bi,” ucap sang istri, menjawab kecemasan Hasan.

Memaksa anak-anak tidur seusai salat subuh sebenarnya bukan kebiasaan Hasan dan istri, untuk kali ini mereka terpaksa melakukannya. Mungkin perjalanan ini akan memakan waktu hingga berhari-hari, bahkan mungkin masuk hitungan minggu. Ia juga tidak tahu, apa nanti pulang akan menggunakan transportasi yang sama atau tidak. Itu sebabnya ia tidak tega menyampaikan salam perpisahan pada anak-anak.

“Hati-hati ya, Bi,” kata istrinya begitu kecupan hangat sang suami meluncur di antara dahinya.

“Abi mau ke mana?” Tiba-tiba suara itu muncul dari dalam rumah.

Hasan yang baru saja memulai langkah menuju pagar sontak berhenti. Ia hafal betul siapa pemilik suara itu, anak sulungnya yang menginjak usia delapan tahun, Izul. Ia kembali menuju pintu rumah, menghampiri Izul yang masih memeluk guling kecil. Kemudian berjongkok dan menyamai tingginya dengan tinggi tubuh sang anak.

Hasan membuka ucapannya dengan senyuman hangat, “Abi mau ke luar kota, Sayang. Hanya beberapa hari di sana. Setelah itu, insya Allah, kita akan bermain lagi seperti biasa.”

“Yah... Berarti lama dong, Bi. Kan biasanya, Abi pergi selalu jauh,” ucap Izul yang cukup telak menerka berapa lama abinya kembali.

Hasan terdiam sejenak, pikirannya merangkai ucapan yang ingin dilontarkan, “Abi perginya naik pesawat terbang, Sayang. Mungkin Abi bisa pulang lebih cepat dari biasanya.”

Mendengar kata “terbang”, Ridho yang ternyata telah kerja sama dengan kakaknya untuk pura-pura tidur, langsung berlari keluar rumah, “Abi, aku ikut, Bi. Aku juga pengen terbang kaya di tivi-tivi.

Sementara si Bungsu ramai dengan ceplas-ceplosnya, Hasan melanjutkan ucapan, “Tidak, bukan terbang seperti di tivi. Tapi, terbangnya naik pesawat. Seperti ini,” Hasan melayahkan tangan. Menggoyang-goyangkannya di udara, berusaha meniru gerakan pesawat terbang, “Wuuussss, Nguiiiinnnng.”

Merayu anak-anaknya agar mau ditinggal tidaklah mudah, meski hal itu sudah sering dilakukan. Hasan sampai harus menjanjikan oleh-oleh yang diinginkan anak-anak, agar mereka mau merelakan keberangkatan ayahnya. Sementara di atas sana, matahari yang kemunculannya masih muda di cakrawala ikut menuntun perjalanannya ke bandara.

Di rumah, kehidupan berjalan sebagaimana biasanya. Izul sudah bisa melepaskan pikiranya dari kepergian sang ayah, menjalani hari dengan menggores pensil di atas kertas, mengulang pelajaran yang sempat dibahas di sekolah.

Sedangkan si bungsu melewati harinya dengan cara berbeda. Pikirannya liar menggambarkan hal aneh yang terjadi pada ayahnya. Film-film laga yang sarat fantasi berhasil memengaruhi khayalannya. Hingga tiba pada titik khayal tertentu, sontak keterkejutan tergambar di wajahnya. Ridho langsung menghambur menuju uminya, berteriak.

“Umi! Umi! Umi!”

“Ada apa, Sayang?” jawab Umi, yang seraya menyeterika pakaian, tubuhnya dipeluk urat oleh si bungsu.

“Umi, nanti kalau pesawat Abi tersangkut di pohon bagaimana, Umi? Abi kan belum pernah manjat, Umi. Nanti Abi turunnya, bagaimana?”

Umi tertawa kecil mendengar celotehan sembarang anaknya. Mengusap lembut kepala bocah laki-lakinya, menenangkannya dengan berkata: “Pesawat itu terbangnya tinggi Ridho, tinggiii banget. Tidak mungkin akan tersangkut.”

“Oh begitu ya, Umi.”

--*--

Pesawat telah sejak tadi lepas landas meninggalkan bandara Kemayoran, Hasan kebagian duduk di sisi jendela kabin. Jika sebelumnya ia hanya melihat awan dari bawah, kini ia bisa mengamati kondisinya dari atas. Sedangkan langit biru di sekitarnya, begitu luas menghampar.

“Permisi, Nak. Boleh aku tahu, kira-kira berapa jam lagi kita akan sampai ke tujuan? Maklumlah, ini kali pertama aku berada di pesawat.” Seorang lelaki sepuh yang duduk di sebalah Hasan berkata. Sosok dengan wajah yang begitu ramah, suaranya juga terdengar santun. Rambutnya yang hanya berkelir putih, membantu menjelaskan betapa ia telah lama menjalani kehidupan.

Hasan tersenyum geli mendengar penuturannya. Padahal rasanya belum ada setengah jam mereka lepas landas. Mungkin ia terlalu khawatir, sehingga merasa waktu seakan melambat, “Entahlah, Pak. Aku juga tidak tahu kita akan di sini berapa lama. Ini pun kali pertamaku menaiki pesawat.”

Lelaki di sebelahnya tersenyum, merasa berhasil telah merintis jalan percakapan. Setelah ini, ia menceritakan bagaimana kehidupannya. Berusaha mempersingkat waktu dengan obrolan-obrolan ringan di antara mereka.

“Kamu tahu, kalau bukan anak-anakku yang memaksa, tak akan pernah aku mau duduk di pesawat ini. Berbahaya! Naik transportasi laut saja, sudah sangat mengerikan. Bagaimana selamatnya kita, masih diragukan. Apalagi transportasi udara. Itu sebabnya aku menolak duduk di kursi sebelah jendela, ngeri melihat kondisi di luar.”

Hasan mengamini apa yang disampaikan lelaki sepuh ini. Memang benar, seharusnya bukan ia yang duduk di sisi jendela, melainkan kakek ini. Ia yang meminta Hasan agar mau bertukar kursi.

Pria sepuh itu masih melanjutkan ceritanya, “Aku mengerti, anak-anak di rumah hanya takut ayahnya kenapa-kenapa jika di kapal laut. Sebagaimana waktu lalu, ketika ombak besar menggoyahkan kapal, aku yang berada di dalamnya semaput. Jantungku terlalu lemah berada di medan seperti itu.”

Hasan diam mendengarkan. Tapi

Mendengar kakek ini bercerita tentang anaknya, mengingatkan Hasan pada dua putranya yang ditinggal di rumah. Izul dan Ridho, kira-kira apa yang sedang mereka lakukan, ya? Mudah-mudahan mereka tidak sedang menangis selepas kepergiannya.

Pramugari masuk ke kabin penumpang, membawa senampan makanan, kemudian menawarkan hidangan ke tiap-tiap pengunjung. Tak lupa juga ia menawarkan secangkir minuman, tinggal sebut saja, apakah itu susu, kopi, teh, atau lainnya. Maka ia dengan senang hati menyediakan keinginan penumpang.

“Kalau begitu aku kopi segelas,” pinta lelaki tua itu.

Hasan sedikit terkejut mendengar permintaannya, terlebih ia tahu kalau sang kakek sempat bercerita bagaimana ia memiliki riwayat penyakit jantung. Sejauh yang ia tahu, kafein di kopi tidak baik untuk yang jantungnya lemah, “Maaf Pak, apa tidak berbahaya kalau Bapak minum kopi?”

“Tidak perlu terlalu dipikirkan, Nak. Aku akan baik-baik saja. Lagi pula ini hanya sesekali aku minum.”

Pramugari memindahkan pandangannya ke Hasan, mengajukan pertanyaan serupa yang sebelumnya di tanyakan pada si kakek tadi.

“Aku segelas susu putih hangat.”

“Kau tak mau mencoba kopi? Itukan minuman yang sangat mengasyikkan. Kau tahu, Nak, hanya di momen ini, aku bisa menikmatinya. Sebab di rumah, anak dan istriku seperti para pengawal presiden, bahkan mungkin lebih ketat lagi. Baru memegang gelas berisikan kopi sebentar saja, buru-buru mereka menariknya dariku. Mengatakan hal yang sama sepertimu, kafein yang berlebihan berbahaya bagi jantunglah, inilah, itulah, dan blablabla. Tapi di sini, aku merdeka, setidaknya sampai bertemu keluarga lain di tempat kita mendarat nanti.”

Hasan terus menjadi pendengar setia kakek yang doyan bicara ini. Beliau sepertinya sangat kreatif memilih topik pembicaraan. Sehingga apa pun yang terlintas, selalu menjadi pembahasan menarik yang menemani kebersamaan mereka.

Sementara di kokpit, pilot dan kopilot sibuk dengan gejala permasalahan yang timbul. Menurut mereka sebelumnya, itu adalah masalah kecil yang bisa diselesaikan jika pesawat telah mendarat di bandara. Ternyata tidak. Itu sekarang jadi masalah yang cukup serius.

“Apa ini dikarenakan bahan bakarnya?”

Bermacam spekulasi berhamburan, namun tak ada yang bisa memastikannya. Sebab ini adalah gejala yang paling tidak wajar, fenomena yang sangat unik. Bahkan mungkin yang paling unik di sepanjang perjalanan penerbangan yang mereka tahu.

Bagaimana bisa, pesawat ini seumpama kelebihan bahan bakar. Atau, lebih dari itu, ia kelebihan tenaga dan semacamnya. Ada kekuatan aneh yang menjadikannya bergerak sangat progresif. Keanehan yang bila dijelaskan, akan sangat sulit diterima logika.

Sementara di tempat lain, kantor pusat yang tugasnya menerima gelombang suara dari pesawat, menangkap gelombang yang menghasilkan bunyi aneh. Mereka kesulitan mendeteksi apa yang sebenarnya terjadi. Awak pesawat yang diajak bicara, mengatakan hal-hal tidak jelas, sangat cepat. Mungkin bisa terdengar jelas andaikan suara mereka diputar ulang dan didengarkan dengan melambatkan temponya.

Sementara di dalam kokpit pesawat yang bermasalah, yang terjadi malah sebaliknya. Gelombang elektromagnetik yang mereka terima, datang dengan tempo suara yang sangat lambat. Seperti suara rekaman yang memang disetel lambat.

“Apa yang mereka katakan? Kenapa kedengaran seperti kaset rusak begini?” ucap seorang pilot pada awak pesawat lain. Ekspresi wajahnya menampilkan kecemasan yang luar biasa. Tanganya masih mengutak-atik mesin pesawat, berusaha memperbaiki keadaan.

Di kabin, pria tua di sebelah Hasan bergeming. Para penumpang mulai merasakan adanya sesuatu yang tidak beres. Bermula dari teriakan salah satu penumpang, mengajak penumpang lain agar ikut melihat pemandangan aneh di luar jendela.

Walaupun Hasan baru pertama kali menaiki pesawat, ia juga bisa memahami kalau keanehan yang saat ini terjadi sangat tidak wajar. Betapa tidak, dari jendela ia menyaksikan bagaimana panorama awan yang mulanya bergerak cepat, kemudian tampak seperti garis-garis lurus, seakan dirinya berada dalam kecepatan yang luar biasa. Sementara kondisi kabin baik-biak saja, gravitasi yang dirasakan penumpang masih wajar seakan tidak terjadi apa-apa, tidak ada guncangan atau apa pun.

Pria tua itu dengan wajah tegangnya memerhatikan sekitar, ingar-bingar penumpang yang memecah suasana semakin meningkatkan frekuensi detak jantungnya. Tangannya meremas-remas dada, rintihan-rintihan kecil terdengar dari lisannya.

“Dadaku sakit sekali,” keluhnya. Matanya sesekali menyalang, sesekali memejam.

Hasan memerhatikannya dengan tatapan panik, lalu berteriak, “Tolong! Kakek ini kena serangan jantung, ada yang bisa menolong?!”

Sayangnya tak ada yang mau beranjak dari kursi, masing-masing penumpang juga memikirkan keselamatan mereka sendiri. Tiba-tiba Hasan merasakan cengkeraman yang sangat erat di pergelangan tangannya. Keras sekali, menggambarkan perjuangan sang kakek dalam menahan rasa sakit, berkata, “Tolong carikan obatku!”

Hasan segera melepas sabuk pengamannya, mencari-cari obat yang dimaksud dalam bagasi kabin, “Dimana obatnya? Aku tak menemukannya.”

Belum ditemukan obat yang dicari, getaran aneh kembali dirasakan penumpang pesawat. Teriakan panik para penumpang kembali menggelegar. Hasan kesulitan mengendalikan diri, tas di dalam bagasi pun ikut bergetar, tidak memungkinkan melakukan pencarian. Ia segera duduk ke kursinya, sedangkan getaran hebat yang dirasakan semakin menjadi-jadi.

Hasan berjuang keras mengenakan sabuk pengaman, namun hal itu sangat sulit dilakukan. Lantas ia hanya mencengkeram sabuk tersebut dengan sangat kuat, menahan tubuhnya agar tidak terpental ke mana-mana.

Lima detik getaran yang sangat keras itu terjadi. Bahkan penumpang lainnya sampai refleks memegangi kursi mereka, merasa kalau sabuk pengaman saja tidak cukup menyelematkan mereka dari guncangan. Setelah getaran dahsyat itu berhenti, kondisi kabin berangsur tenang. Apa saat ini mereka sudah mendarat? Entahlah.

Hasan memerhatikan ke luar jendela, tidak ada yang bisa dilihat kecuali warna gelap pekat. Walau getaran itu sudah benar-benar hilang, tangis ketakutan masih terdengar di sana-sini. Ia mengalihkan pandangan ke sebelahnya, mendapati kakek yang belum lama ini bicara dengannya, hanya diam mematung. Secangkir kopi yang ia minum, entah terpental ke mana. Sedangkan bekas tumpahannya membahasi baju yang dikenakan kakek tua itu.

Ia memeriksa kondisi lelaki itu dengan menjulurkan jemarinya ke bawah hidung, merasakan napas yang sudah tidak bertiup. Kemudian memastikan lagi dengan menempelkan telinganya ke dada si lelaki tua, merasakan detak jantung yang sudah tiada.

Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’un,” ucap Hasan setelah benar-benar meyakini kalau kakek itu telah wafat. Ia menyapu wajah sang kakek dengan tangannya, membuat matanya benar-benar menutup sempurna.

Kejadian yang menimpa kakek di hadapannya ini, telah memberinya pelajaran yang sangat berharga. Yakni tentang kematian, bahwa ia pasti dan tidak mungkin bisa dihindari. Tidak peduli seseorang menggunakan cara lain untuk menyelematkan hidupnya, seperti kakek tua itu, yang dikira anak-anaknya akan bisa selamat jika berada di pesawat ketimbang kapal. Ternyata tidak, takdir Tuhan berkata bahwa ruhnya harus meninggalkan jasad dalam perjalanan, dan itu terjadi. Umurnya telah usai dalam kabin pesawat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status