Arjuna Wiratama memimpin Naya Kirana keluar dari toko elektronik, langkahnya mantap namun pikirannya berputar cepat. Wanita aneh ini, dengan gelang mutiara hitam kuno yang tampak tak ternilai, adalah sebuah teka-teki. Ia tak berbicara, hanya menatapnya dengan mata besar yang polos, seperti anak anjing yang baru lahir.
"Kau... tidak bisa bicara?" tanya Arjuna, melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Naya Kirana. Ia mencoba berbagai bahasa: Inggris, Mandarin, bahkan sedikit Jepang yang ia pelajari dari film. Naya Kirana hanya menggeleng pelan, ekspresinya tidak berubah.
Ini lebih aneh dari yang ia duga. Tapi gelang itu... gelang itu memanggilnya.
Arjuna membawanya ke sebuah pusat perbelanjaan. Naya Kirana melihat-lihat dengan takjub. Pakaian berwarna-warni, makanan dengan aroma asing, dan manusia yang bergerak cepat di setiap sudut. Matanya berbinar saat ia melihat deretan sepatu, lalu menatap kakinya yang kotor.
"Kau mau sepatu?" Arjuna mengerti isyaratnya. Ia membimbing Naya Kirana ke sebuah toko sepatu. Naya Kirana mencoba beberapa pasang sepatu, tetapi ia terus terjatuh atau tersandung. Kakinya, yang belum terbiasa berjalan di darat, masih terasa kaku.
Arjuna menyeringai geli. "Kau ini dari mana sebenarnya?" Ia membantunya berdiri, dan tanpa sadar, ia merasa... terhibur. Ada sesuatu yang begitu murni dan jujur dari Naya Kirana yang kontras dengan dunia penipuannya.
Mereka akhirnya duduk di sebuah food court. Arjuna memesan seporsi nasi goreng dan segelas es teh. Naya Kirana menatap makanan itu dengan penasaran, mencium aromanya, lalu mengambil sesendok. Matanya melebar. Rasa pedas, gurih, dan manis bercampur di lidahnya. Ia belum pernah merasakan sensasi seperti ini. Ia melahapnya dengan cepat, membuat Arjuna terkesima.
"Pelan-pelan," kata Arjuna, tertawa. "Kau seperti tidak makan setahun."
Naya Kirana mengangguk, mulutnya penuh. Ini enak sekali!
Saat Naya Kirana makan, Arjuna mengamati gelangnya. Ia tahu, gelang itu adalah kunci. Ia mencoba meraihnya lagi, tetapi Naya Kirana dengan cepat menarik tangannya, kali ini dengan kilatan peringatan di matanya. Ada sesuatu yang protektif dalam reaksinya.
"Baiklah, baiklah," kata Arjuna, mengangkat tangannya. "Aku tidak akan mengambilnya. Belum."
Kilasan Ingatan — Era Majapahit
Setelah melarikan diri dari serangan Patih Durjana, Dewi Tirta dan Adipati Damarjati bersembunyi di sebuah desa kecil yang terpencil di tepi hutan. Dewi Tirta, yang kini dalam wujud manusia, masih kesulitan beradaptasi dengan dunia daratan. Kakinya terasa aneh, dan ia sering tersandung.
"Maafkan aku, Adipati," bisik Dewi Tirta, saat ia nyaris terjatuh saat mencoba membantu Adipati Damarjati mengumpulkan kayu bakar.
Adipati Damarjati tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Dewi. Pelan-pelan saja. Tubuh manusia memang... butuh pembiasaan." Ia membantunya berdiri. Sentuhan tangannya terasa hangat dan menenangkan.
Dewi Tirta terbiasa dengan keheningan dan keteraturan bawah air. Di darat, suara-suara terasa terlalu keras, dan bau-bauan terlalu tajam. Ia terkejut melihat manusia memakan daging hewan, sebuah konsep yang asing baginya.
Adipati Damarjati membawakan buah-buahan dan sayuran dari pasar desa. Dewi Tirta memakan semuanya dengan lahap, masih merasa lapar meskipun porsi yang diberikan sudah banyak.
"Kau lapar sekali," kata Adipati Damarjati, memperhatikan betapa lahapnya Dewi Tirta. Ia ingat betapa Patih Durjana selalu berusaha menguras energi Dewi Tirta, membuatnya sering merasa lemah dan lapar. Ia harus melindunginya.
Ia melihat gelang mutiara hitam di pergelangan tangan Dewi Tirta, bersinar samar. Gelang itu adalah simbol garis keturunannya, tetapi juga menjadi target utama Patih Durjana. Adipati Damarjati tahu ia harus melindungi gelang itu dari niat jahat Patih Durjana.
Suatu malam, saat mereka bersembunyi di sebuah gubuk sederhana, Patih Durjana berhasil melacak mereka melalui jimat pelacak yang ia sembunyikan di hutan. Ia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gubuk itu.
"Adipati Damarjati! Serahkan putri duyung itu padaku!" teriak Patih Durjana dari luar. "Aku tahu ia ada di sana! Dan gelang itu akan menjadi milikku!"
Adipati Damarjati segera mengaktifkan jebakan yang telah ia pasang di sekeliling gubuk. Panah-panah api melesat dari semak-semak, membuat pasukan Patih Durjana mundur sejenak.
"Dewi, kau harus bersembunyi di dalam!" perintah Adipati Damarjati. Ia mengambil pedangnya, bersiap menghadapi Patih Durjana sendirian.
Dewi Tirta menggeleng. Ia melihat kelelahan di mata Adipati Damarjati. Ia tahu ia harus menggunakan kekuatannya. Ia memejamkan mata, fokus. Dari celah-celah gubuk, air mulai menyembur keluar, membentuk dinding pelindung yang menghalangi jalan masuk pasukan Patih Durjana. Air itu juga memadamkan beberapa api.
Patih Durjana meraung marah. "Makhluk sialan! Kau berani melawanku?!" Ia melancarkan sihirnya, mencoba menembus dinding air Dewi Tirta.
Dewi Tirta merasakan energinya terkuras, tetapi ia terus bertahan. Ia harus melindungi Adipati Damarjati.
Kilasan itu berakhir dengan Naya Kirana merasakan bahaya yang mendekat dan pengorbanan yang dilakukan Dewi Tirta untuk melindungi kekasihnya.
Kembali ke Masa Kini
Naya Kirana tersentak, napasnya terengah-engah. Kilasan itu begitu kuat, begitu jelas. Ia melihat Arjuna, dan rasanya seperti melihat Adipati Damarjati di depannya. Sebuah perasaan aneh muncul di benaknya: ia bisa merasakan pikiran Arjuna, meskipun samar.
"Kau baik-baik saja?" tanya Arjuna, melihat perubahan ekspresi Naya Kirana. Ia menatapnya dengan rasa ingin tahu.
Naya Kirana mengangguk, lalu menunjuk ke arahnya. Kau... baik. Ia mencoba mengatakan itu, tetapi hanya suara samar yang keluar dari tenggorokannya. Ia tahu ia harus belajar bicara.
Arjuna membawa Naya Kirana ke apartemennya yang mewah. Ia menunjukkan padanya kamar tidur, kamar mandi. Naya Kirana terkejut melihat air keluar dari keran, bukan dari laut. Ia mencoba menyentuh air itu, tetapi Arjuna dengan cepat menarik tangannya.
"Tidak, tidak! Jangan sentuh air! Kau... jangan sentuh air sembarangan," kata Arjuna, mengingat bagaimana reaksi Naya Kirana saat terkena air hujan di luar. Ia belum tahu alasannya, tapi ia punya firasat buruk tentang hal itu.
Naya Kirana menatapnya bingung. Ia merindukan air. Ia merindukan rumah.
Arjuna kemudian mencoba "mengajarinya" hal-hal dasar tentang kehidupan manusia. Ia mencoba mengajarinya cara menggunakan smartphone, cara menonton TV. Naya Kirana mempelajari semuanya dengan cepat, meskipun dengan caranya yang unik. Ia meniru apa yang dilihatnya di TV, dari gaya bicara hingga cara makan.
Di malam hari, Arjuna menemukan Naya Kirana duduk sendirian di sofa, menatap keluar jendela. Ia melihat kesedihan di mata Naya Kirana. Ia merasa iba.
"Kau merindukan rumah?" tanya Arjuna, duduk di sampingnya. Ia tidak tahu apa yang ia katakan, tetapi Naya Kirana sepertinya mengerti.
Naya Kirana mengangguk pelan. Ia ingin pulang, tetapi ia tidak tahu caranya. Ia ingin menjelaskan pada Arjuna, tetapi ia tidak bisa.
Saat Arjuna tidur, Naya Kirana perlahan mendekatinya. Ia menatap wajah Arjuna, yang kini terlihat damai. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Arjuna. Sebuah gelombang kehangatan mengalir dari tangannya, dan Naya Kirana tiba-tiba merasakan pikiran Arjuna lebih jelas.
Ia melihat sekilas ingatan Arjuna tentang ibunya yang meninggalkannya, tentang bagaimana ia belajar menipu untuk bertahan hidup, dan kerinduan tersembunyi akan kehangatan keluarga. Naya Kirana merasakan kesedihan Arjuna. Ia juga merasakan niat Arjuna pada gelangnya. Arjuna ingin menjualnya.
Naya Kirana menarik tangannya. Ia tahu Arjuna adalah seorang penipu. Tetapi ia juga merasakan kehangatan, kebaikan, dan rasa kesepian yang dalam di hati Arjuna. Ia merasakan koneksi yang kuat dengannya, sebuah koneksi yang melampaui masa kini.
Pada saat yang sama, di kediaman mewahnya, Jagad Buana memegang kompas kuno di tangannya. Kompas itu berputar semakin gila, menunjuk ke arah apartemen Arjuna.
"Dia di sana," gumam Jagad Buana, senyum licik merekah di bibirnya. "Sang putri duyung. Dan gelang mutiara hitam itu. Aku akan segera mendapatkannya." Ia memerintahkan anak buahnya untuk bersiap. Malam ini, perburuan akan dimulai.
Kembalinya Naya Kirana bukanlah sebuah rahasia yang bisa disimpan selamanya. Setelah pertemuan pertamanya dengan Putri Anggraini, Bagas Prasetya, dan Kianjaya, berita tentang manifestasinya mulai menyebar di kalangan terbatas di dalam Yayasan Pelestarian Lautan. Tidak ada laporan resmi ke media, tetapi di antara mereka yang berdedikasi pada pelestarian laut, gema "melodi lautan" dan "penjaga baru" mulai menjadi bisikan penuh harapan.Naya Kirana kini tidak lagi terbatas pada keberadaan spiritual. Ia dapat bermanifestasi dalam wujud manusia di daratan, meskipun ia masih mempertahankan aura cahaya dan koneksi mendalamnya dengan air. Ia tidak bisa hidup layaknya manusia biasa, tidak membutuhkan makanan atau tidur, namun ia bisa berinteraksi, berbicara, dan yang paling penting, membimbing.Peran Naya Kirana bagi Yayasan Pelestarian Lautan menjadi tak ternilai. Dengan koneksinya yang langsung dengan lautan, ia bisa merasakan kesehatan ekosistem secara global, mendeteksi ancaman polusi, ata
Cahaya biru yang memancar dari dalam teluk terus membesar, memukau Putri Anggraini. Pusaran air yang lembut itu kini berdenyut dengan ritme yang memukau, memancarkan melodi yang hanya bisa ia dengar di dalam hatinya. Aroma asin laut bercampur dengan wangi bunga-bunga tropis yang tiba-tiba bermekaran di sekitar bibir pantai, seolah alam turut merayakan.Dari pusat pusaran cahaya itu, sosok itu perlahan-lahan mengambil bentuk. Bukan lagi siluet transparan, tetapi sebuah wujud yang nyata, meskipun masih diselimuti aura bercahaya. Rambut panjang sebiru samudra, mata yang memancarkan kebijaksanaan dan kerinduan berabad-abad, dan senyum yang lembut namun penuh kekuatan. Itu adalah Naya Kirana, kembali.Putri Anggraini terkesiap. Ia tidak pernah melihat sesuatu seperti ini. Rasa takutnya lenyap, digantikan oleh kekaguman murni dan rasa koneksi yang mendalam, seolah ia telah menunggu momen ini sepanjang hidupnya. Air matanya menetes, bukan karena kesedihan, tetapi karena keindahan yang luar b
Puluhan tahun telah berlalu sejak kepergian Arjuna Wiratama. Warisannya hidup subur melalui Yayasan Pelestarian Lautan, yang kini dipimpin oleh Bagas Prasetya, dengan Kianjaya sebagai kepala penelitian global. Giok Penjaga Takdir yang pernah menjadi jimat pribadi Arjuna, kini tersimpan di sebuah museum maritim yang didirikan untuk menghormati dedikasinya. Giok itu diletakkan di dalam vitrin kaca khusus, memancarkan cahaya biru samar yang hampir tak terlihat, namun selalu menarik perhatian para pengunjung yang paling peka.Dunia telah banyak berubah. Teknologi semakin maju, namun ancaman terhadap lautan juga semakin kompleks. Meski begitu, berkat fondasi yang diletakkan Arjuna, kesadaran global akan pentingnya menjaga ekosistem laut telah meningkat pesat. Namun, di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, lautan mulai menunjukkan fenomena yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.Di berbagai belahan dunia, para pelaut melaporkan mendengar melodi aneh dari kedalaman laut, sebuah lagu yang
Kembalinya Naya Kirana bukanlah sebuah rahasia yang bisa disimpan selamanya. Setelah pertemuan pertamanya dengan Putri Anggraini, Bagas Prasetya, dan Kianjaya, berita tentang manifestasinya mulai menyebar di kalangan terbatas di dalam Yayasan Pelestarian Lautan. Tidak ada laporan resmi ke media, tetapi di antara mereka yang berdedikasi pada pelestarian laut, gema "melodi lautan" dan "penjaga baru" mulai menjadi bisikan penuh harapan.Naya Kirana kini tidak lagi terbatas pada keberadaan spiritual. Ia dapat bermanifestasi dalam wujud manusia di daratan, meskipun ia masih mempertahankan aura cahaya dan koneksi mendalamnya dengan air. Ia tidak bisa hidup layaknya manusia biasa, tidak membutuhkan makanan atau tidur, namun ia bisa berinteraksi, berbicara, dan yang paling penting, membimbing.Peran Naya Kirana bagi Yayasan Pelestarian Lautan menjadi tak ternilai. Dengan koneksinya yang langsung dengan lautan, ia bisa merasakan kesehatan ekosistem secara global, mendeteksi ancaman polusi, ata
Cahaya biru yang memancar dari dalam teluk terus membesar, memukau Putri Anggraini. Pusaran air yang lembut itu kini berdenyut dengan ritme yang memukau, memancarkan melodi yang hanya bisa ia dengar di dalam hatinya. Aroma asin laut bercampur dengan wangi bunga-bunga tropis yang tiba-tiba bermekaran di sekitar bibir pantai, seolah alam turut merayakan.Dari pusat pusaran cahaya itu, sosok itu perlahan-lahan mengambil bentuk. Bukan lagi siluet transparan, tetapi sebuah wujud yang nyata, meskipun masih diselimuti aura bercahaya. Rambut panjang sebiru samudra, mata yang memancarkan kebijaksanaan dan kerinduan berabad-abad, dan senyum yang lembut namun penuh kekuatan. Itu adalah Naya Kirana, kembali.Putri Anggraini terkesiap. Ia tidak pernah melihat sesuatu seperti ini. Rasa takutnya lenyap, digantikan oleh kekaguman murni dan rasa koneksi yang mendalam, seolah ia telah menunggu momen ini sepanjang hidupnya. Air matanya menetes, bukan karena kesedihan, tetapi karena keindahan yang luar b
Puluhan tahun telah berlalu sejak kepergian Arjuna Wiratama. Warisannya hidup subur melalui Yayasan Pelestarian Lautan, yang kini dipimpin oleh Bagas Prasetya, dengan Kianjaya sebagai kepala penelitian global. Giok Penjaga Takdir yang pernah menjadi jimat pribadi Arjuna, kini tersimpan di sebuah museum maritim yang didirikan untuk menghormati dedikasinya. Giok itu diletakkan di dalam vitrin kaca khusus, memancarkan cahaya biru samar yang hampir tak terlihat, namun selalu menarik perhatian para pengunjung yang paling peka.Dunia telah banyak berubah. Teknologi semakin maju, namun ancaman terhadap lautan juga semakin kompleks. Meski begitu, berkat fondasi yang diletakkan Arjuna, kesadaran global akan pentingnya menjaga ekosistem laut telah meningkat pesat. Namun, di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, lautan mulai menunjukkan fenomena yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.Di berbagai belahan dunia, para pelaut melaporkan mendengar melodi aneh dari kedalaman laut, sebuah lagu yang