Share

5. Pilihan Untuk Asta

Foto yang Ralin kirim beberapa saat lalu membuat dadaku sesak. Aku mendadak kesulitan mengambil napas. Foto yang memperlihatkan Asta dan Tania sedang jalan berdua dalam satu payung yang sama. Aku ingat kembali. Kemarin sore memang hujan turun lebat. Dan Asta pulang malam berdalih lembur.

Seketika pikiranku lintang pukang. Benarkah Asta lembur? Lembur di mana? Di kantor atau tempat mantan? Aku gusar, gelisah. Beberapa kali duduk dan berdiri. Beberapa detik lalu Ralin kembali mengirimiku pesan. Dan, aku belum membalas lantaran tidak tahu harus membalas apa.

Ralin : [ kamu harus segera bertindak, Ra]

Bertindak. Kata itu yang sedang aku pikirkan saat ini. Bertindak yang bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Melabrak Asta sampai dia mau ngaku, atau datang langsung ke kantor memporak-porandakan isi kantornya? Ah! Kepalaku rasanya ingin meledak saja.

Derum mobil terdengar memasuki halaman rumah. Itu suara mobil Asta aku sudah sangat hapal. Aku masih duduk di kursi meja makan saat mendengar suara pintu terbuka. Tidak lama sosok Asta muncul dengan tampang yang terlihat begitu lelah. Entah itu lelah betulan atau hanya akting saja. Rasanya tidak sabar untuk segera menanyakan kebenarannya.

Asta berlalu begitu saja, mengabaikan aku yang berada di meja makan. Dia menaiki tangga satu demi satu sembari melonggarkan ikatan dasinya. Aku membiarkan saja. Biasanya aku akan menyambutnya, tapi kali ini aku teramat malas untuk sekedar menyapa. Aku cukup baik hati tidak mengomel saat melihat mukanya muncul.

Menggeser kursi, aku bangkit dan menghubungi Lula. Aku perlu mendengar pendapat dari pandangan orang lain tentang masalahku.

"Jadi, kamu nuduh Asta selingkuh?" tanya Lula setelah aku menceritakan semuanya.

"Bukan nuduh, tapi hanya menduga. Dengan semua ciri-ciri yang aku sebutkan tadi, ada kemungkinan kan dia begitu?"

"Ya belum tentu."

"Lalu soal foto yang Ralin kirim gimana?"

"Kamu harus cari tahu kebenarannya sendiri. Jangan asal percaya gitu aja," ujar Lula di sana. Dia masih saja berpikiran positif.

"Ya masa Ralin bohongin gue? Untungnya apa coba?" Aku melangkah dan duduk di bangku teras belakang.

"Gue enggak bilang begitu. Makanya kan gue minta lo buat nyari kebenarannya. Coba gih lo tanya langsung sama Asta foto itu benar atau enggak."

Aku tidak langsung menuruti saran Lula. Karena sudah pasti Asta bakal membantah dan mencari alasan buat meyakinkanku. Aku terus berpikir begitu mengakhiri panggilan dari Lula. Sampai sebuah ide tercetus. Aku menyeringai. Agak gila dan aku enggak yakin Asta akan menyetujuinya. Tapi, bagiku itu satu-satunya cara yang aman untuk menghindari perdebatan.

Kalau memang Asta tidak berbuat macam-macam di belakangku, dia pasti tidak akan keberatan menuruti permintaanku.

"Serius lo?" Ralin terpekik di ujung telepon ketika aku memberitahunya tentang keinginanku demi menyelamatkan rumah tangga.

"Serius dong, Lin. Daripada gue terus menduga?"

"Iya sih. Tapi kan aturan perusahaan melarang suami istri bekerja sama di sana."

"Nanti gue cari cara. Pokoknya kalau memang Asta nggak ada hubungan apa pun sama Tania, dia pasti bakal izinin aku bekerja di sana."

Ya! Ide gilaku adalah bekerja di perusahaan yang sama dengan Asta.

Helaan Ralin terdengar di ujung sana. "Oke deh, gue dukung lo juga. Kalau lo udah di sana, pasti Asta engga berani macem-macem sama Tania. Itu sih poinnya."

"Nah, makanya misiku kali ini harus sukses."

***

"Nggak."

Sudah aku duga jawaban itu yang akan aku dengar dari Asta. Penolakan.

"Aku udah capek kerja. Kalau kamu kerja juga siapa yang ngurus aku nanti? Kita bakal sama-sama capek."

Itulah yang menjadi alasanku dulu melepas pekerjaan. Tapi, kali ini aku enggak mau menyerah.

"Aku akan bekerja sewajarnya. Aku akan pulang sebelum kamu pulang. Aku juga akan menyiapkan makan malam seperti biasanya," bujukku masih berharap Asta meluluskan harapanku.

"Kamu nyari apa dengan bekerja? Apa nafkah yang aku beri kurang?"

Aku menggeleng cepat. "Enggak sama sekali. Aku bosan, Mas. Kamu pulang kerja sering sampe larut malam. Aku cuma nunggu di rumah seperti patung. Nggak ada yang bisa aku lakuin selain melongo," ucapku dengan nada merengek. "Ayolah, Mas. Izinin aku kerja."

"Enggak, Ra. Aku enggak mau kamu capek."

Aku cemberut. Jurus jitu yang sering aku lakukan ketika meminta sesuatu sepertinya harus aku keluarkan.

"Alasan." Aku mendorong lengan Asta dengan sebal. Lantas beranjak keluar dari meja makan. "Besok aku mau ke rumah Mama. Mau nginep di sana buat sementara. Nggak usah nyusul. Aku mau nyari udara segar di rumah Mama," ujarku setengah berteriak sebelum naik ke atas tangga.

"Kok jadi gini sih, Ra?"

Aku bisa melihat punggung Asta menegak. Dia meletakkan sendok garpu yang dia genggam. Aku pura-pura tak peduli dan setengah berlari menuju kamar.

Aku sangat yakin tidak lama Asta akan menyusulku, membujuk agar aku tidak pulang ke rumah Mama. Mama mertua yang baik bagi Asta, tapi Asta sering terkena kebawelannya. Bisa dibayangkan kan bagaimana jika Mama melihatku pulang sendiri? Bisa-bisa Asta bisa kena omel tujuh hari tujuh malam.

Dugaanku tepat saat aku mendengar pintu kamar terkuak beberapa saat kemudian. Aku sontak pura-pura tidur.

Langkah kaki Asta terdengar. Aku bisa merasakan tempat tidurku bergoyang, menandakan Asta sudah naik ke ranjang.

"Ra, jangan marah. Aku melarangmu bukan tanpa sebab, kan?" ucap Asta hati-hati. Namun, aku abaikan.

"Ini demi kebaikan kamu."

'Kebaikan kamu kali, biar bebas ke sana ke mari tanpa pengawasanku.' batinku terus memberontak.

"Aku enggak mau kamu lelah. Biar aku saja yang lelah."

Kata-kata yang sangat manis. Tapi, apa Asta pernah berpikir tiap hari aku menunggunya di rumah juga lelah? Ditambah lagi mendengar gosip yang tidak sedap. Lelahku seolah bertambah dua kali lipat.

"Ra." Asta menggoyang lenganku. "Aku tau kamu belum tidur. Kamu paham apa yang aku bilang kan?"

Tidak paham dan tidak mau paham. Aku mendengar Asta membuang napas kencang. Usahanya membujukku gagal. Asta beringsut, berbaring. Sepertinya dia menyerah membujukku dan memilih tidur.

Pagi-pagi aku menarik koper dari dalam lemari. Mengambil beberapa setel pakaian dan menatanya ke dalam koper tersebut. Gertakanku tidak main-main. Mungkin Asta pikir ucapanku semalam hanya bercanda. Demi misi, aku akan melakukan hal apa pun.

"Raya, kamu mau ke mana?"

Aku menoleh mendengar pekikan Asta yang baru keluar dari kamar mandi. Bahkan lelaki itu masih hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.

"Ke rumah Mama," sahutku tanpa menoleh, dan pura-pura sibuk menaruh beberapa barang ke dalam koper.

"Ra, jangan gini dong. Masa gara-gara aku larang kerja, kamu ngambek sih? Ini aku lakukan demi kebaikan kamu. Biar kamu enggak capek." Asta terdengar gusar saat melempar kalimatnya.

Aku membuang napas dan berbalik menghadap suamiku yang paling tampan itu. "Justru aku capek di rumah terus. Lama-lama aku bisa mati kebosanan. Kamu pikir duduk diam sambil nunggu kamu pulang itu nggak capek? Apa lagi enggak sehari dua hari kamu pulang larut. Itu bikin aku makin capek," ujarku dengan suara lantang. Kali ini aku harus berhasil.

Asta menatapku dengan kening berkerut. "Waktu kamu memutuskan dari kerjaan yang lama kayaknya enggak gini deh. Menunggu aku pulang kantor kamu bilang kegiatan paling menyenangkan dibanding kerja di luar," ucapnya menggeleng pelan.

Apa iya aku pernah berkata begitu? Ah, keadaan sudah membuat semua berbeda.

Aku kembali menatap Asta setelah menarik resleting koper. "Sekarang itu bukan kegiatan yang menyenangkan. Lama-lama jenuh, apa lagi kita belum memiliki anak. Jadi, biarkan aku kerja atau biarkan aku tinggal di rumah Mama untuk sementara waktu."

Aku memberinya pilihan yang sulit. Keduanya tidak ada yang menyenangkan bagi Asta. Lelaki itu tidak langsung menjawab, malah terkesan sengaja diam. Diam yang cukup lama. Melihatnya yang hanya berdiri mematung, aku pun bergerak meraih handle koper, lalu menarik pegangan tangan, dan menyeret benda itu menuju ke pintu keluar. Namun ....

"Tunggu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status