Share

4. Andeas

last update Dernière mise à jour: 2021-08-03 12:02:49

Aku datang tepat pukul sepuluh pagi ke restoran orang tua Lula. Restoran yang menyediakan menu-menu khas Indonesia itu belum terlalu ramai saat aku datang. Mungkin karena sekarang belum waktunya jam makan siang. 

Restoran yang terletak di jalan Setiabudi ini terbilang unik. Mengusung konsep tempo dulu Javanese. Dari luar memang tidak terlihat seperti restoran mewah. Tapi, kalau masuk ke dalamnya kamu bisa merasakan hal dan suasana yang berbeda. 

Interior restoran dibuat seperti museum tanah jawi. Di salah satu sudutnya terdapat koleksi-koleksi foto jadul lengkap dengan pernak-pernik jaman dulu kala, yang mungkin susah didapatkan di jaman sekarang. Bahkan di sudut lain ada koleksi botol kecap dari jaman orde lama sampai orde baru. Belum lagi koleksi wayang, itu hal yang wajib ada karena orang tua Lula sendiri memang gemar wayang. 

"Sukanya gue sama lo tuh gini. Kalau janjian enggak pernah ngaret." 

Aku serta merta menoleh mendengar suara itu. Lula dengan tampang yang masih sama seperti dulu menyeringai menatapku dari jarak sekitar dua meter. Aku harusnya histeris menemukan sahabat lama yang baru ingat  negaranya itu. Tapi, tentu saja reaksiku enggak akan seperti wanita normal pada umumnya. 

"Kalau gue demen ngaret juga kayak lo, mungkin nunggu tahun baru imlek kita baru ketemu," sahutku, memasang ekspresi sebal. 

Lula terkekeh lalu mendekatiku. Dia langsung menggamit lenganku dan mengajakku ke buffet bar. Di sana aku melihat menu-menu khas Indonesia sudah siap di wadah-wadah yang terbuat dari tembikar beralaskan daun pisang. Masing-masing menu ada tag name-nya. 

"Lo mau makan apa, Ra? Mumpung masih lengkap nih."

Lula benar menunya masih lengkap dan banyak banget pilihannya. 

"Nanti aja kali ya," aku melirik jam tangan. "Baru jam segini masa mau makan berat?" 

"Oke, kalau gitu pesen minum dulu aja." 

Kami lantas memilih tempat duduk outdoor dekat dengan kolam ikan di taman bagian belakang resto. 

"Kapan lo datang ke Jakarta? Jangan bilang udah lama ya." 

"Enggak sih, gue baru beberapa hari di sini." 

"Well, apa yang bikin lo balik ke Indonesia. Gue pikir lo lupa kalau pernah lahir di sini." Aku bersedekap tangan menatapnya. 

Lula tertawa tanpa merasa bersalah. "Baru juga tujuh tahun, Ra." 

Sinting. Tujuh tahun dia bilang baru. "Tinggal tambahin 3 jadi 10 loh, La. Kenapa? Lo enggak berhasil gaet cowok bule Italy makanya lo nyerah dan mau pilih produk lokal?"

Lagi-lagi Lula tertawa. "Enggaklah. Gue di sana kan belajar. Dan gue balik ke sini karena mau mengaplikasikan apa yang udah gue pelajari." 

"So rencana lo apa?" 

Lula belum menjawab pertanyaanku ketika seorang pegawai restoran menyajikan dua mangkuk es teler yang tampak menggiurkan ke depan kami. 

"Gue mau buka bakery and cafe. Sekarang masih nyari-nyari tempatnya sih," sahutnya begitu pegawai restoran pergi.

"Wah, kedengarannya menarik." 

"Mau bantu gue hunting tempat?" 

"Boleh. Gue free kapan pun asal enggak malam hari aja."

Lula mengedipkan sebelah mata. "Gue tau itu jatah laki lo." 

Saat kami sedang asyik mengobrol tiba-tiba Lula melambaikan tangan, menyapa seseorang. Aku menoleh mengikuti arah pandangnya. Seorang laki-laki yang tengah berdiri di depan kasir tampak melambai dengan senyum lebar. Apa mungkin itu pacar Lula? Aku menyipitkan mata saat melihat wajah lelaki itu. Not bad. Aku seperti pernah lihat, tapi di mana? Entah aku lupa.

Lelaki itu mendekat ke meja kami saat urusannya dengan kasir selesai. 

"Gue pikir itu berita hoax, ternyata lo beneran ada di Jakarta," ujar lelaki itu sesampainya di depan kami. 

"Pada enggak percayaan amat sih," decak Lula. "Nih depan gue juga gitu." Lula mengedikkan dagunya ke arahku. 

Lelaki itu terkekeh pelan. Dan yang bikin aku takjub dia tampak manis saat bibirnya tertarik ke atas. Astaga! Aku segera menutup mataku. Aku enggak boleh memuji cowok lain selain suamiku. 

"Oh iya. Kenalin, dia Raya." Lula mengenalkan aku padanya. "Dan, Raya. Kenalin dia Andeas, sepupu gue." 

Dengan percaya diri lelaki itu mengulurkan tangannya. "Hai, salam kenal." Dia melempar senyum manisnya. Seandainya aku enggak punya Asta, sudah dipastikan aku bakal kepincut padanya. 

"H-hai." 

Sial, kenapa aku jadi gugup begini? Aku menyambut tangannya sebentar dan buru-buru melepasnya. 

"Lo enggak makan di sini?" tanya Lula, melirik kantong yang Andeas bawa. 

"Enggak. Ini gue beli titipan nyokap sih. Dia pengin soto empal." 

"Tante Ruwi sehat kan?" 

Dari percakapan mereka aku bisa menyimpulkan Tante Ruwi yang Lula maksud kemungkinan ibunya Andeas.  

"Sehat. Kapan ke rumah?" 

Lula tampak nyengir. "Nanti deh. Gue pasti ke rumah." 

Andeas menepuk pundak Lula sejenak, sementara matanya melirikku. "Gue balik duluan ya. Kasian nyokap gue udah kelaparan." 

Lula mengangguk lantas melambai begitu Andeas beranjak menjauh. Aku bernapas lega selepas kepergian lelaki itu. Entah apa yang terjadi, tadi itu aku merasa terintimidasi. Tidak bisa berkutik beberapa saat.

"Lo ada rekomen enggak tempatnya di mana?" tanya Lula kembali fokus. Menyadarkanku dari lamunan sesaat. 

Sejenak aku berpikir. Kafe dan bakery harus berlokasi di tempat yang strategis dan rame tentu saja. "Kita bisa cari di daerah Kelapa Gading atau Mampang."

"Oke." Lula mengangguk-angguk. "Besok deh kita cari." 

Aku ikut mengangguk lantas menyeruput kuah es teler dari mangkok menggunakan sendok bebek porselen. "Es teler di sini memang paling juara. Mau berapa kali coba rasanya tetap the best." 

"Dan gue bakal naro menu itu di kafe gue nanti." 

"Gue bisa bayangin kesibukan lo di dapur nanti. Selain baking lo harus bikin menu buat kafe juga." 

"Gue enggak kerja sendirian dong. Emangnya gue nanti enggak punya karyawan."

"Kalau gue daftar, lo bakal terima gue engga?" 

Lula menggeleng tegas. "Kafe gue bakal bangkrut kalau mempekerjakan karyawan kayak lo." 

Aku tertawa. "Gitu amat lo sama gue." 

"Selain dapur gue yang bakal ancur gara-gara lo yang nggak bisa masak, kue-kue yang gue sediain di bakery buffet pasti ludes lo embat." 

Aku makin tertawa ngakak.  Lalu manyun sesaat. "Belum juga gue jadi karyawan lo. Udah difitnah gini." 

"Belajar dari pengalaman sih. Lo itu cocoknya kerja kantoran. Bukan kerja di restoran," ujar Lula menyendok potongan alpukat yang tenggelam di kuah es lantas memakannya. 

Bicara soal kantor aku jadi mengingat mantan Asta yang satu kantor dengannya itu. "Eh, La. Menurut lo sebab apa yang bikin laki berubah?" 

Lula mengernyit sejenak. "Berubah apa? Berubah jadi spiderman? Yang jelas dong."

"Berubah jadi agak cuek gitu."

"Banyak faktor sih. Bisa karena tuntutan kerjaan atau ada masalah di kerjaannya juga. Tapi bisa jadi...." Lula menggantung kalimatnya. 

Aku menyipitkan mata. "Apa?" 

"Bisa jadi dia main hati dengan perempuan lain." 

Ucapan terakhir Lula membuatku terbengong seraya mengerjap. Sebenarnya alasan yang Lula kemukakan ada semua ciri-cirinya pada Asta. Aku jadi kesulitan menyimpulkan sebab berubahnya Asta. Dosa enggak sih kalau aku curiga pada suami sendiri?

"Lo kenapa nanya begitu? Emang Asta berubah?" tanya Lula mengangkat kedua alisnya. 

Aku terpaksa mengangguk. Lalu menghela napas berat. "Gue mulai bete sama kondisi pernikahan gue." 

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   23. Perhatian Kecil

    Aku terjebak di salah satu mal bersama Andeas. Ini tidak sesuai ekspektasi. Ingin menghindari lelaki itu malah jalan berdua tanpa tujuan begini. Sekarang aku bingung mau mencari apa di mal sebesar ini. Karena sebenernya memang aku tidak memerlukan apa pun. Sudah setengah jam kami keluar masuk toko, tapi nggak ada satu barang pun yang aku beli. "Jadi, kamu mau beli apa? Kok kelihatannya bingung banget," tanya Andeas saat kami keluar dari toko ke enam yang aku datangi. Wajah bingung dan cengiran yang aku tunjukkan pasti membuat lelaki itu heran. "Kalau kita makan dulu aja gimana? Capek juga ya keliling mal." Dia terkekeh pelan. Lah, siapa suruh mau ngantar aku? Tiba-tiba saja Andeas menggandeng tanganku lalu melangkah menuju salah satu restoran yang berada di ujung lantai ini. Jujur, aku terkejut. Mataku tidak lepas dari tangannya yang terus menggenggam tanganku tanpa risih. Sementara jantung di dalam rusukku sedang jumpalitan karena kelakuan Andeas. "Deas? Wah, tumben sekali ini

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   22. Rencana Outing

    Tidak ada siapa pun saat aku bangun tidur. Semalam aku menunggu Asta sampai larut dan memutuskan tidur dengan harapan keesokan lagi menemukan lelaki itu di sampingku. Namun, ternyata nihil. Sosoknya belum ada. Apa Asta nggak pulang? Aku mengusap wajah dan bergerak menyingkap selimut. Agak sedikit kesal karena ... Astaga, bagiku ini sepele kenapa sih dia harus nggak pulang? Langkahku yang hendak menuju kamar mandi tertahan ketika kepalaku memikirkan sesuatu. "Kalau semalaman nggak pulang, dia nginep di mana dong?" Mendadak aku gusar. Pikiran-pikiran negatif mulai hinggap. Aku memutar langkah dan bergerak meraih ponsel dari atas nakas. Mencoba menghubungi Asta. Terhubung, dan dahiku kontan mengernyit ketika mendengar bunyi nada dering ponsel milik Asta. Sontak kepalaku menoleh ke arah pintu, dan bergegas keluar kamar. Saat pintu terbuka, mataku langsung menubruk sosok Asta yang tengah tidur di sofa. Ada napas lega yang berembus begitu menemukan lelaki itu. "Aku pikir dia nggak pu

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   21. Kesal

    Aku menyipitkan mata. Melihat Asta bermuram durja setelah pulang dari membuat cola membuatku heran. Apa ban mobil bocor membuatnya sesedih itu? Aku menghampirinya dan mengambil alih es batu yang dia keluarkan dari freezer. "Kamu melamun?" tanyaku menatapnya sebentar, lalu beralih ke rak atas dapur mengambil tiga buah gelas panjang. "Kok tiga?" tanya Asta saat aku meletakkan gelas-gelas itu ke atas meja dapur. "Iya, Ralin katanya mau ke sini?" "Ralin? Dia mau ke sini? Tumben."Aku mengangguk lalu mulai memasukkan kotak-kotak es batu ke dalam gelas. "Katanya dia habis ke rumah tantenya. Nggak tau tante yang mana." Aku juga baru dengar Ralin punya tante di kawasan ini. "Kamu masih berteman sama dia?" Pertanyaan Asta membuatku terkekeh. "Ya masihlah. Pertanyaanmu aneh." Aku menggeleng lalu memutar badan menghampiri microwave, mengambil pizza yang sudah aku hangatkan. "Meski ini menu nggak sehat, tapi kalau dimakan rame-rame asyik. By the way, kita udah berapa lama nggak makan baren

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   20. Debat

    "Kasih aku waktu kamu sepenuhnya buat aku, baru aku akan jauhi Andeas."Itu cuma gertakan sambal. Sumpah, aku nggak ada hubungan apa pun dengan lelaki itu. Minat pun enggak. Tapi melihat Asta kebakaran jenggot seperti ini terasa menyenangkan. "Kamu kan tau kalau aku kerja. Kamu paham enggak sih makin tinggi jabatan seseorang itu akan makin besar pula tanggung jawabnya. Aku bukan makin leyeh-leyeh. Kamu pikir aku ngapain coba?" Aku mengeretakkan gigi di dalam mulut. Apa dia pikir aku tidak tahu. Tapi ya ampun, kesibukannya itu ngalahin presiden? Bahkan weekend pun kadang dia berangkat di saat para stafnya libur. Apa menjadi direktur se-hectic itu? "Kalian mah enak, job desk monoton dan bisa fokus. Kalau aku tetap harus mikir bagaimana cara agar omset terus naik tiap bulannya. Kalau penjualan kurang target siapa yang akan disalahkan? Aku, Ra. Sebagai pemimpinnya. Jadi, jangan kamu pikir pekerjaanku main-main." Asta terus mengomel. Padahal aku cuma minta waktunya. Buat apa dia jungki

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   19. Semanis Gula

    Aku lumayan syok saat Andeas ternyata mengajakku ke Bakery & Cafe Lula. Reaksi Lula melihat kami berdua masuk ke kafenya sudah bisa aku duga. Dia menyambut kami dengan senyum lebar, tapi matanya tidak berhenti menatapku dengan pandangan bertanya. "Ada yang mau traktir gue makan es krim katanya," ujar Andeas, tidak peduli dengan tatapan curiga Lula. Dia bergerak mencari meja mendahuluiku. Aku yang nggak ingin Lula bertanya macam-macam pun segera beranjak menyusul lelaki yang berprofesi sebagai manajer merketing itu. Namun, aku ternyata kalah cepat dengan tangan Lula yang tahu-tahu sudah menyambar lenganku. "Kok lo ke sini sama Deas nggak sama laki lo?" tanya Lula dengan suara pelan, kedua alisnya bahkan saling tertaut. "Kan lo yang jorogin gue kemarin pulang bareng dia," Aku mendelik sebal. Lula mengangkat kedua alisnya. "Berlanjut?" "Gue nggak tanggung jawab kalau sepupu lo naksir gue."Kini mata Lula melebar. "Serius lo? ada tanda-tanda?" "Gue ada di sini sama dia apa nggak te

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   18. Es Krim

    Aku nggak suka melihat wajahnya yang pura-pura polos itu. Dia spontan mengusap lehernya sendiri. Dengan raut bingung, entah itu hanya dibuat-buat atau bingung beneran. Tapi, justru makin membuatku kesal. "Tanda apa sih, Ra?" tanya dia mengerutkan dahi. Kenapa sih dia mesti pura-pura? Aku nggak bodoh! "Tanya aja sama selingkuhan kamu!" Asta menyipitkan mata. "Selingkuhan apa? Kamu jangan ngadi-ngadi ya, Ra." "Kamu tau pas aku mual pagi-pagi? itu karena aku jijik melihat tanda merah di leher kamu." "Tanda merah apa sih, Ra?" Ternyata Asta menyangkal. Padahal jelas-jelas aku melihat buktinya. Entah itu tanda yang dibuat sadar atau enggak, yang pasti itu tampak dengan jelas di mataku. Dan aku nggak bodoh buat mengsalah-artikan tanda apa itu. Aku menggeram dan tidak ingin membuang waktu berdebat dengan Asta soal pribadi di kantor. Segera aku mengayunkan kaki menuju pintu keluar. "Ra... Raya..." Aku terus melangkah, mengabaikan panggilannya. Kubanting pintu ruangan Asta dengan ke

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status