Share

4. Andeas

Aku datang tepat pukul sepuluh pagi ke restoran orang tua Lula. Restoran yang menyediakan menu-menu khas Indonesia itu belum terlalu ramai saat aku datang. Mungkin karena sekarang belum waktunya jam makan siang. 

Restoran yang terletak di jalan Setiabudi ini terbilang unik. Mengusung konsep tempo dulu Javanese. Dari luar memang tidak terlihat seperti restoran mewah. Tapi, kalau masuk ke dalamnya kamu bisa merasakan hal dan suasana yang berbeda. 

Interior restoran dibuat seperti museum tanah jawi. Di salah satu sudutnya terdapat koleksi-koleksi foto jadul lengkap dengan pernak-pernik jaman dulu kala, yang mungkin susah didapatkan di jaman sekarang. Bahkan di sudut lain ada koleksi botol kecap dari jaman orde lama sampai orde baru. Belum lagi koleksi wayang, itu hal yang wajib ada karena orang tua Lula sendiri memang gemar wayang. 

"Sukanya gue sama lo tuh gini. Kalau janjian enggak pernah ngaret." 

Aku serta merta menoleh mendengar suara itu. Lula dengan tampang yang masih sama seperti dulu menyeringai menatapku dari jarak sekitar dua meter. Aku harusnya histeris menemukan sahabat lama yang baru ingat  negaranya itu. Tapi, tentu saja reaksiku enggak akan seperti wanita normal pada umumnya. 

"Kalau gue demen ngaret juga kayak lo, mungkin nunggu tahun baru imlek kita baru ketemu," sahutku, memasang ekspresi sebal. 

Lula terkekeh lalu mendekatiku. Dia langsung menggamit lenganku dan mengajakku ke buffet bar. Di sana aku melihat menu-menu khas Indonesia sudah siap di wadah-wadah yang terbuat dari tembikar beralaskan daun pisang. Masing-masing menu ada tag name-nya. 

"Lo mau makan apa, Ra? Mumpung masih lengkap nih."

Lula benar menunya masih lengkap dan banyak banget pilihannya. 

"Nanti aja kali ya," aku melirik jam tangan. "Baru jam segini masa mau makan berat?" 

"Oke, kalau gitu pesen minum dulu aja." 

Kami lantas memilih tempat duduk outdoor dekat dengan kolam ikan di taman bagian belakang resto. 

"Kapan lo datang ke Jakarta? Jangan bilang udah lama ya." 

"Enggak sih, gue baru beberapa hari di sini." 

"Well, apa yang bikin lo balik ke Indonesia. Gue pikir lo lupa kalau pernah lahir di sini." Aku bersedekap tangan menatapnya. 

Lula tertawa tanpa merasa bersalah. "Baru juga tujuh tahun, Ra." 

Sinting. Tujuh tahun dia bilang baru. "Tinggal tambahin 3 jadi 10 loh, La. Kenapa? Lo enggak berhasil gaet cowok bule Italy makanya lo nyerah dan mau pilih produk lokal?"

Lagi-lagi Lula tertawa. "Enggaklah. Gue di sana kan belajar. Dan gue balik ke sini karena mau mengaplikasikan apa yang udah gue pelajari." 

"So rencana lo apa?" 

Lula belum menjawab pertanyaanku ketika seorang pegawai restoran menyajikan dua mangkuk es teler yang tampak menggiurkan ke depan kami. 

"Gue mau buka bakery and cafe. Sekarang masih nyari-nyari tempatnya sih," sahutnya begitu pegawai restoran pergi.

"Wah, kedengarannya menarik." 

"Mau bantu gue hunting tempat?" 

"Boleh. Gue free kapan pun asal enggak malam hari aja."

Lula mengedipkan sebelah mata. "Gue tau itu jatah laki lo." 

Saat kami sedang asyik mengobrol tiba-tiba Lula melambaikan tangan, menyapa seseorang. Aku menoleh mengikuti arah pandangnya. Seorang laki-laki yang tengah berdiri di depan kasir tampak melambai dengan senyum lebar. Apa mungkin itu pacar Lula? Aku menyipitkan mata saat melihat wajah lelaki itu. Not bad. Aku seperti pernah lihat, tapi di mana? Entah aku lupa.

Lelaki itu mendekat ke meja kami saat urusannya dengan kasir selesai. 

"Gue pikir itu berita hoax, ternyata lo beneran ada di Jakarta," ujar lelaki itu sesampainya di depan kami. 

"Pada enggak percayaan amat sih," decak Lula. "Nih depan gue juga gitu." Lula mengedikkan dagunya ke arahku. 

Lelaki itu terkekeh pelan. Dan yang bikin aku takjub dia tampak manis saat bibirnya tertarik ke atas. Astaga! Aku segera menutup mataku. Aku enggak boleh memuji cowok lain selain suamiku. 

"Oh iya. Kenalin, dia Raya." Lula mengenalkan aku padanya. "Dan, Raya. Kenalin dia Andeas, sepupu gue." 

Dengan percaya diri lelaki itu mengulurkan tangannya. "Hai, salam kenal." Dia melempar senyum manisnya. Seandainya aku enggak punya Asta, sudah dipastikan aku bakal kepincut padanya. 

"H-hai." 

Sial, kenapa aku jadi gugup begini? Aku menyambut tangannya sebentar dan buru-buru melepasnya. 

"Lo enggak makan di sini?" tanya Lula, melirik kantong yang Andeas bawa. 

"Enggak. Ini gue beli titipan nyokap sih. Dia pengin soto empal." 

"Tante Ruwi sehat kan?" 

Dari percakapan mereka aku bisa menyimpulkan Tante Ruwi yang Lula maksud kemungkinan ibunya Andeas.  

"Sehat. Kapan ke rumah?" 

Lula tampak nyengir. "Nanti deh. Gue pasti ke rumah." 

Andeas menepuk pundak Lula sejenak, sementara matanya melirikku. "Gue balik duluan ya. Kasian nyokap gue udah kelaparan." 

Lula mengangguk lantas melambai begitu Andeas beranjak menjauh. Aku bernapas lega selepas kepergian lelaki itu. Entah apa yang terjadi, tadi itu aku merasa terintimidasi. Tidak bisa berkutik beberapa saat.

"Lo ada rekomen enggak tempatnya di mana?" tanya Lula kembali fokus. Menyadarkanku dari lamunan sesaat. 

Sejenak aku berpikir. Kafe dan bakery harus berlokasi di tempat yang strategis dan rame tentu saja. "Kita bisa cari di daerah Kelapa Gading atau Mampang."

"Oke." Lula mengangguk-angguk. "Besok deh kita cari." 

Aku ikut mengangguk lantas menyeruput kuah es teler dari mangkok menggunakan sendok bebek porselen. "Es teler di sini memang paling juara. Mau berapa kali coba rasanya tetap the best." 

"Dan gue bakal naro menu itu di kafe gue nanti." 

"Gue bisa bayangin kesibukan lo di dapur nanti. Selain baking lo harus bikin menu buat kafe juga." 

"Gue enggak kerja sendirian dong. Emangnya gue nanti enggak punya karyawan."

"Kalau gue daftar, lo bakal terima gue engga?" 

Lula menggeleng tegas. "Kafe gue bakal bangkrut kalau mempekerjakan karyawan kayak lo." 

Aku tertawa. "Gitu amat lo sama gue." 

"Selain dapur gue yang bakal ancur gara-gara lo yang nggak bisa masak, kue-kue yang gue sediain di bakery buffet pasti ludes lo embat." 

Aku makin tertawa ngakak.  Lalu manyun sesaat. "Belum juga gue jadi karyawan lo. Udah difitnah gini." 

"Belajar dari pengalaman sih. Lo itu cocoknya kerja kantoran. Bukan kerja di restoran," ujar Lula menyendok potongan alpukat yang tenggelam di kuah es lantas memakannya. 

Bicara soal kantor aku jadi mengingat mantan Asta yang satu kantor dengannya itu. "Eh, La. Menurut lo sebab apa yang bikin laki berubah?" 

Lula mengernyit sejenak. "Berubah apa? Berubah jadi spiderman? Yang jelas dong."

"Berubah jadi agak cuek gitu."

"Banyak faktor sih. Bisa karena tuntutan kerjaan atau ada masalah di kerjaannya juga. Tapi bisa jadi...." Lula menggantung kalimatnya. 

Aku menyipitkan mata. "Apa?" 

"Bisa jadi dia main hati dengan perempuan lain." 

Ucapan terakhir Lula membuatku terbengong seraya mengerjap. Sebenarnya alasan yang Lula kemukakan ada semua ciri-cirinya pada Asta. Aku jadi kesulitan menyimpulkan sebab berubahnya Asta. Dosa enggak sih kalau aku curiga pada suami sendiri?

"Lo kenapa nanya begitu? Emang Asta berubah?" tanya Lula mengangkat kedua alisnya. 

Aku terpaksa mengangguk. Lalu menghela napas berat. "Gue mulai bete sama kondisi pernikahan gue." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status