LOGINSuasana pesta yang semula riuh dengan musik jazz dan tawa ringan para tamu mendadak menjadi tegang. Beberapa kepala mulai menoleh ke arah mereka.
Tatapan mata para undangan yang semula hanya mengagumi penampilan Adrian dan Klara kini berubah penuh rasa ingin tahu. Ada yang berbisik, ada yang saling menyikut, bahkan ada yang diam-diam mengangkat ponsel untuk merekam. Klara merasakan degup jantungnya menggema di telinga. Ia tidak pernah menyangka akan ada drama seperti ini di depan publik. Tangannya yang tadi sempat digenggam kasar oleh Patryk masih terasa berdenyut. Namun genggaman protektif Adrian yang kokoh membuatnya seolah berada di benteng yang tak tergoyahkan. “Lepaskan dia, Son!” suara Adrian meninggi, begitu tajam hingga membuat beberapa pelayan tertegun di tempat. Tatapan matanya dingin, menusuk, penuh ancaman. Patryk, dengan wajah merah padam, tidak juga melepaskan Klara. “Dad, kau sudah gila! Dia itu mantan kekasihku! Bagaimana bisa kau–kau—” suaranya tercekat, nyaris patah oleh kemarahan dan rasa jijik yang bercampur. “Kau benar-benar tidak punya malu!” Klara menahan napas. Kata-kata itu seperti cambuk yang diarahkan padanya. Namun sebelum luka itu sempat meresap, Adrian lebih dulu menepisnya. “Perhatikan ucapanmu, Patryk.” Adrian mendekat hingga jarak mereka kini hanya beberapa inci. Suara bariton itu terdengar dalam, terukur, dan berbahaya. “Klara bukan lagi urusanmu. Kau sudah kehilangan hak untuk menyinggungnya sejak malam itu kau memilih mengkhianatinya dengan sepupunya sendiri.” Patryk terbelalak. Wajahnya pucat mendengar sang ayah secara terang-terangan menyinggung aibnya. Ia buru-buru menoleh ke sekeliling, menyadari banyak telinga yang mendengar. Claudia, yang sejak tadi berusaha menahan diri, segera menyambar tangan Patryk untuk menenangkannya. “Patryk, jangan di sini … semua orang melihat,” bisik Claudia, mencoba menahan kekasihnya yang mulai kehilangan kendali. Namun, bukannya tenang, Patryk malah semakin berang. “Kau pikir aku akan diam saja melihat ayahku–lelaki yang seharusnya jadi panutan justru malah merebut mantan kekasihku?! Ini memalukan!” Adrian tersenyum tipis. Senyum yang lebih mirip ancaman ketimbang ekspresi tulus. “Jika bagimu ini memalukan, maka itu urusanmu. Bagiku, Klara adalah pilihan. Aku tidak pernah menyesalinya.” Klara merasakan tubuhnya meremang. Ada ketegasan dalam setiap kata Adrian yang membuatnya seolah terlindung, tapi sekaligus ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Claudia, yang tak tahan lagi hanya jadi penonton, akhirnya angkat bicara. “Klara … apakah kau sungguh-sungguh rela dijadikan mainan seorang duda berusia hampir dua kali lipat usiamu? Kau yakin ini bukan hanya karena uang dan kemewahan yang ia berikan?” Pertanyaan itu menusuk seperti belati. Beberapa tamu yang berbisik kini semakin gaduh, jelas menunggu jawaban Klara. Klara menarik napas dalam. Ia ingin sekali menjawab dengan dingin, menegaskan bahwa hubungannya dengan Adrian bukan sekadar transaksi, tetapi lebih dari itu. Namun, ia sadar, terlalu banyak pasang mata di sini. Menyatakan apa adanya justru bisa menambah bahan bakar gosip. Untungnya, Adrian kembali mengambil alih. “Claudia, kau tidak berhak berbicara soal harga diri atau cinta, karena semua orang di sini tahu kau hanyalah wanita oportunis yang selalu mencari siapa pria kaya berikutnya untuk kau jadikan pijakan.” Wajah Claudia seketika menegang. Ia tidak menyangka Adrian akan menyerang balik sekeras itu. “Kau keterlaluan, Paman Adrian,” gumamnya pelan, tapi matanya berkilat penuh dendam. Sementara itu, Patryk semakin tersudut. “Kau … benar-benar sudah gila, Dad. Apa kau tidak sadar betapa menjijikkannya ini terlihat?” Adrian mengangkat dagu, menatap putranya dengan wibawa yang dingin. “Yang menjijikkan adalah seorang pria muda kaya raya yang seharusnya memiliki segalanya, tetapi memilih mengkhianati gadis polos yang mencintainya. “Kau kehilangan Klara karena kebodohanmu sendiri, Son. Dan sekarang, dia bersamaku. Suka atau tidak, terimalah kenyataan itu.” Klara menahan diri agar tidak gemetar. Suara Adrian terdengar seperti palu godam, menghantam harga diri Patryk di depan umum. Patryk hampir menerjang ayahnya, tapi Claudia segera menahan lengannya. “Tidak di sini, Patryk! Jangan buat dirimu hancur!” katanya dengan suara bergetar, setengah memohon. Menyadari situasi hampir tak terkendali, Adrian menarik Klara mendekat ke tubuhnya. “Ayo, Sayang. Kita tidak perlu buang waktu dengan orang-orang yang tak tahu tempatnya.” Dengan anggun namun tegas, Adrian menuntun Klara meninggalkan kerumunan. Kilatan kamera semakin gencar mengikuti mereka, membuat gosip malam itu dipastikan akan meledak keesokan harinya. Begitu tiba di ruang privat VIP yang disediakan khusus untuk Adrian, Klara langsung melepaskan napas panjang yang sejak tadi tertahan. Tangannya sedikit bergetar, masih merasakan sisa cekalan kasar Patryk di pergelangan. “Paman … aku—” suaranya serak nyaris pecah. Adrian segera meraih tangannya dan menatapnya dalam. “Kau tidak perlu berkata apa pun, Klara. Kau sudah cukup kuat tadi. Aku bangga padamu.” Tatapan mata Adrian membuat hatinya semakin berdebar. Namun, bersamaan dengan itu, perasaan bersalah menelusup. “Tapi … semua orang melihat. Mereka pasti akan … membicarakan kita.” Senyum Adrian terbit, sinis namun menenangkan. “Biarkan mereka berbicara. Dunia bisnis sudah terbiasa dengan skandal. Yang penting, aku tidak akan melepaskanmu. Selama aku ada, tidak ada seorang pun bahkan Patryk yang bisa menyakitimu.” Klara menunduk, berusaha menyembunyikan rona di pipinya. Kata-kata Adrian terdengar begitu posesif, tetapi entah mengapa ada bagian dari dirinya yang merasakan kenyamanan di dalamnya. “Paman … aku takut,” akhirnya ia jujur. “Patryk tidak akan tinggal diam begitu saja. Aku mengenalnya begitu pun dengan Paman. Ia pasti akan mencari cara untuk membalas.” Adrian mengangkat dagu Klara dengan ujung jarinya, memaksa gadis itu agar menatap ke arahnya. “Biarkan dia mencoba. Setiap langkahnya hanya akan memperlihatkan kelemahannya. Aku sudah terlalu lama membiarkannya merasa punya kuasa atas hidupku. Sekarang waktunya dia tahu siapa sebenarnya Adrian Wojcik.” Kalimat itu keluar seperti sumpah. Mata Adrian berkilat, dingin, penuh tekad. Klara merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Bukan hanya karena hasrat, tetapi juga ketakjuban. Ia menyadari satu hal: Adrian bukan pria biasa. Ia adalah pria berbahaya yang bisa menghancurkan siapa saja yang menentangnya. Dan malam ini, dengan pengakuan di depan umum bahwa ia adalah kekasih Adrian, Klara telah resmi masuk ke dalam lingkaran permainan kekuasaan yang mematikan. ** Di sisi lain ballroom, Patryk menatap punggung ayahnya yang menjauh bersama Klara. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Claudia menggenggam lengannya, mencoba menenangkannya, tapi tatapannya tetap membara. “Dia akan menyesal, Claudia. Percayalah … aku akan membuat mereka berdua menyesal telah mempermalukanku di depan semua orang.”Dua minggu berlalu sejak penangkapan Patryk, dan pagi itu gedung pengadilan tampak lebih ramai dari biasanya.Wartawan berkumpul di luar, kamera berderet, sorot lampu kilat sesekali menyala.Nama keluarga Wijck kembali menjadi pusat perhatian, kali ini bukan karena bisnis atau pernikahan mewah, melainkan karena sidang yang sejak awal sudah menyedot atensi publik.Adrian datang tepat waktu, mengenakan setelan hitam sederhana. Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam.Di sampingnya, Alex berjalan dengan langkah mantap, sesekali melirik ke sekeliling memastikan tidak ada hal mencurigakan.Adrian tidak membawa Klara, sebuah keputusan yang ia buat dengan tegas. Ia tidak ingin istrinya berada di ruang sidang apalagi mendengar kembali detail-detail kejam yang pernah hampir merenggut nyawa dan masa depan mereka.Mereka masuk ke ruang sidang dan duduk di bangku pengunjung. Adrian menyerahkan seluruh urusan hukum pada kuasa hukumnya.Hari ini, ia hanya perlu hadir menyaksikan keadilan bekerja
Malam kian larut ketika Klara melangkah pelan menuju ruang kerja Adrian. Lampu di dalam ruangan itu masih menyala, memantulkan cahaya hangat ke lorong yang sepi.Dari balik pintu yang setengah terbuka, ia melihat suaminya masih duduk di balik meja kerja, dikelilingi berkas-berkas dan layar laptop yang menyala.Wajah Adrian tampak serius, rahangnya mengeras, alisnya sedikit berkerut, tanda bahwa pikirannya masih tenggelam dalam urusan yang belum selesai.“Kau belum tidur?” tanya Adrian tanpa menoleh, seolah sudah tahu siapa yang datang.Klara tersenyum kecil. “Kau juga belum,” balasnya sambil melangkah masuk.Adrian menghela napas dan akhirnya menatap istrinya. “Tidurlah dulu. Jangan menungguku. Aku masih harus menyelesaikan ini, Sayang.”Alih-alih menuruti, Klara justru mendekat. Tanpa banyak kata, ia duduk di pangkuan Adrian hingga membuat pria itu refleks menghentikan gerakan tangannya di atas keyboard.Klara melingkarkan kedua lengannya di leher Adrian, dan wajah mereka kini berjar
Waktu sudah menunjuk angka sebelas malam ketika rumah itu kembali sunyi. Lampu-lampu di lantai bawah telah dipadamkan, hanya menyisakan cahaya redup dari ruang kerja Adrian di lantai dua.Di ruangan itu, suasana terasa dingin dan tegang, kontras dengan ketenangan malam di luar jendela.Adrian berdiri menghadap meja kerjanya, jas sudah dilepas, kemeja bagian atas terbuka satu kancing. Wajahnya keras, sorot matanya tajam.Di layar laptop yang terbuka, tertera berkas-berkas lama—nama, foto, dan potongan informasi yang tersisa tentang satu orang yang belum juga tertangkap.James Andreas.Adrian mengangkat ponselnya, menekan satu nomor yang hanya ia gunakan dalam keadaan mendesak. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya diangkat.“Kalau ini bukan urusan besar, kau akan menyesal menghubungiku jam segini,” suara di seberang terdengar serak dan santai, seolah waktu tidak pernah berarti baginya.“Hunter,” sapa Adrian datar. “Aku butuh jasamu.”Terdengar dengusan kecil. “Kau tahu
Sore itu, ruang kerja Adrian terasa sunyi meski hiruk-pikuk kota terlihat jelas dari balik dinding kaca besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit.Di meja kerjanya yang rapi, sebuah map hitam terbuka. Di dalamnya tergeletak akta perusahaan yang baru saja selesai direvisi, sebuah dokumen legal yang menandai berakhirnya satu babak panjang dalam konflik keluarga Wijck.Adrian menatap lembar demi lembar akta itu dengan saksama. Namanya tercetak tegas sebagai pemegang kendali penuh. Tidak ada lagi nama Patryk. Tidak ada jejak keluarga Andreas di sana. Semua sudah bersih.Setidaknya di atas kertas.Jemarinya mengetuk pelan permukaan meja, kebiasaan kecil yang muncul setiap kali ia berpikir terlalu dalam.Ia menghembuskan napas panjang, lalu menyandarkan punggung ke kursi. Perasaan lega sempat menyelinap, namun tidak pernah benar-benar menetap. Adrian tahu, kemenangan ini belum utuh.“Akhirnya,” ucap Alex dari seberang meja, memecah keheningan. “Secara hukum, mereka sudah tidak
Pagi itu udara di depan kantor polisi terasa berat. Langit mendung menggantung rendah, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Adrian.Ia turun dari mobil dengan langkah tegas, ditemani Alex yang berjalan di sisinya. Wajah Adrian dingin, rahangnya mengeras, tidak ada sisa kehangatan yang biasanya ia miliki saat bersama Klara.“Aku ikut masuk,” ujar Alex singkat.Adrian mengangguk. “Terserah padamu.”Mereka melewati pintu kaca dan lorong panjang yang dipenuhi aroma antiseptik. Suara langkah kaki menggema di lantai keramik.Seorang petugas mengantar mereka menuju ruang investigasi. Pintu besi dibuka, memperlihatkan Patryk yang duduk sendirian di balik meja, kedua tangannya terborgol.Wajahnya tampak lusuh, namun senyum tipis masih tersungging di bibirnya, senyum yang sama sekali tidak menunjukkan penyesalan.Alex memilih berdiri di dekat dinding. Adrian melangkah maju dan duduk tepat di hadapan Patryk.Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menekan.“Di mana James?” tanya Adr
Dua minggu setelah babymoon mereka berakhir, mobil Adrian melaju perlahan memasuki kawasan perumahan elite yang tenang dan tertata rapi.Pohon-pohon tinggi berjajar di kiri kanan jalan, memberi kesan teduh dan eksklusif. Klara duduk di kursi penumpang dengan perasaan ringan, liburan itu memberinya ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.Dia sempat mengira mereka akan langsung pulang ke apartemen seperti biasa.Namun, mobil justru melambat dan akhirnya berhenti tepat di depan sebuah rumah megah tiga lantai.Klara mengerjap, menoleh ke luar jendela. Rumah itu berdiri anggun dengan desain modern minimalis: dominasi kaca besar, garis-garis tegas berwarna abu dan putih, serta taman depan yang tertata sempurna.Lampu-lampu eksterior menyala lembut, mempertegas keindahan fasadnya. Rumah itu persis seperti rumah impian yang sering Klara lihat di majalah arsitektur.Mobil dimatikan. Hening.Klara masih terpaku. “Adrian,” ucapnya perlahan, nyaris tak berkedip. “Rumah siapa ini?”Ad







