Ruangan VIP itu jauh dari hiruk pikuk pesta. Lampu redup, aroma kayu manis dari lilin aromaterapi memenuhi udara, menenangkan sekaligus memancing detak jantung yang tak menentu.
Musik lembut dari grand piano di sudut ruangan terdengar samar, seakan menjadi saksi bisu bagi gejolak yang sebentar lagi meledak. Klara duduk di sofa kulit berwarna marun, tubuhnya masih tegang. Gaun putihnya yang anggun kini terasa terlalu sesak di dada. Tangannya meremas ujung roknya, matanya menatap kosong pada permukaan meja kaca di depannya. Adrian menuangkan minuman ke dua gelas kristal. Cairan amber berkilau terkena pantulan cahaya lampu. Gerakan pria itu tenang, elegan, dan menghipnotis. “Minumlah.” Adrian menyodorkan satu gelas pada Klara. Suara baritonnya lembut, tapi penuh perintah. Klara menoleh dan menatap gelas itu sebentar, lalu menerimanya. Ia meneguknya perlahan, membiarkan rasa hangat alkohol merambat ke tenggorokannya. “Aku … masih tidak percaya, Paman,” ucapnya lirih. Adrian mengangkat alis, menunggu kelanjutannya. Klara menghela napas kasar. “Bagaimana bisa … Patryk? Dengan Claudia? Dan sudah dua bulan?!” Nada suaranya meninggi. Ia menoleh menatap Adrian dengan sorot mata berkilat. “Selama ini aku yang dipermainkan, Paman! Aku yang disembunyikan, aku yang hanya dibawa sampai parkiran. Tapi dengan Claudia … dia berani menggandengnya di depan semua orang!” Kata-kata itu keluar seperti letupan. Tangannya gemetar bahkan gelas di genggamannya hampir tumpah. “Sakit sekali rasanya … seperti aku ini bukan siapa-siapa.” Adrian menatapnya lama. Ada dingin, tapi juga api yang menyala di matanya. Ia kemudian meletakkan gelasnya di meja, lalu duduk di samping Klara. Tangannya yang besar menyentuh jemari Klara yang bergetar, menenangkannya. “Kau bukan ‘bukan siapa-siapa’, Klara.” Suaranya rendah, berat, menyusup hingga ke tulang. “Kau milikku sekarang.” Klara mendongak dan matanya membesar. Kata-kata itu bagai mantra. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menolak, ingin membantah bahwa ia bukan benda untuk dimiliki. Namun tatapan Adrian … tatapan yang penuh dominasi itu membuat lidahnya kelu. “Paman … aku ….” Adrian mendekatkan wajahnya. Hembusan napas hangatnya menyapu pipi Klara. “Kau jengkel, ya? Terluka? Marah karena Patryk berani mempermalukanmu dengan membawa Claudia.” Klara menggigit bibirnya, menahan amarah yang kembali bergelora. “Ya! Aku benci dia, Paman. Aku ingin … aku ingin membuatnya menyesal!” Senyum tipis muncul di bibir Adrian. “Bagus.” Tangannya naik menyusuri lengan Klara, lalu berhenti di bahu telanjang gadis itu. “Gunakan amarahmu. Biarkan dia melihat … betapa indahnya kau di sisiku. Biarkan dia hancur karena tahu kau memilihku, bukan dia.” Jantung Klara berdetak semakin kencang. Kata-kata Adrian bagai bisikan iblis yang manis—menjerat, namun memabukkan. Ia ingin menolak, ingin berteriak bahwa dirinya bukan sekadar alat balas dendam. Namun tubuhnya merespons berbeda. Darahnya berdesir, kulitnya panas setiap kali jari Adrian menyentuhnya. “Paman … jangan …,” bisiknya pelan, namun tangannya justru terangkat, menahan dada Adrian yang kokoh di hadapannya. Adrian menatapnya dengan intens. “Jangan apa? Jangan membuatmu lupa pada rasa sakitmu? Atau … jangan membuatmu ingat betapa inginnya kau padaku?” Klara terperanjat. Kata-kata itu menghantam jantungnya lebih keras daripada tamparan. Ia tercekat, wajahnya memanas, dan tanpa sadar dia menunduk untuk menghindari tatapan tajam pria itu. Namun Adrian tidak memberi kesempatan. Ia mengangkat dagu Klara dengan ujung jarinya, memaksa mata indah itu kembali bertemu dengan miliknya. “Lihat aku, Klara.” Mau tak mau, Klara menuruti. Ia menatap mata kelam Adrian, dan saat itu juga dia merasa dirinya terseret semakin dalam. “Kau manis sekali ketika marah,” bisik Adrian tepat di telinganya dan membuat tubuh Klara meremang. “Dan aku ingin menjadi satu-satunya pria yang bisa menghapus setiap air matamu.” Suara itu—dalam, hangat, berbahaya—membius Klara. Ia ingin menolak, ingin mundur, tapi tubuhnya justru bergerak mendekat, seolah ada magnet yang menarik. Adrian menyentuh rambutnya, menyelipkan helaian cokelat itu ke belakang telinga Klara. Sentuhan ringan itu membuat kulit Klara terbakar. “Paman ….” suaranya bergetar. “Ya, Sayang?” Adrian mendekat lagi dan kini hidungnya nyaris menyentuh pipi Klara. “Aku … aku tidak tahu harus bagaimana.” Adrian tersenyum samar lalu menempelkan keningnya ke kening Klara. “Tak perlu tahu. Cukup rasakan saja apa yang akan kuberikan padamu sekarang.” Detik itu, dunia seolah berhenti berputar. Yang ada hanya mereka berdua, napas yang saling bercampur, tubuh yang semakin merapat. Tangan Adrian bergerak ke pinggang Klara dan menariknya semakin dekat. Klara terkejut, tangannya refleks bertumpu pada dada Adrian. Namun bukannya menolak, ia justru terpaku pada degup kuat jantung pria itu. “Deg-degan?” Adrian berbisik, suaranya terdengar seperti gurauan, namun penuh sensualitas. Klara menelan ludah. “Sangat ….” Adrian terkekeh rendah. “Bagus. Itu artinya tubuhmu jujur. Ia merindukanku, bahkan ketika mulutmu masih berusaha menyangkal.” Klara terdiam. Pipinya panas, darahnya mengalir cepat ke seluruh tubuh. Ia tidak mampu membantah. Hening beberapa detik, hanya terdengar napas mereka yang berat. Hingga tiba-tiba Adrian menunduk dan menempelkan bibirnya di pipi Klara. Satu kecupan lembut. Klara terhenyak dan tubuhnya menegang. Tapi sebelum sempat bereaksi, kecupan itu bergerak turun—ke garis rahang, lalu ke sisi lehernya. “Paman … jangan …,” lirihnya, namun suaranya terdengar lemah, nyaris menyerupai rintihan. “Shh ….” Adrian kembali berbisik di telinganya. “Biarkan aku membuatmu lupa pada namanya malam ini.” Klara menggigil. Tubuhnya memberontak, tapi hatinya menyerah. Ia membiarkan bibir Adrian menjejak jejak-jejak panas di kulitnya hingga membuat darahnya mendidih. Akhirnya, ketika Adrian kembali menatap wajahnya, mata mereka terkunci. Ada badai di sana—hasrat, marah, luka, dan cinta yang samar. Bibir Adrian melumat bibirnya. Brutal, liar, dan penuh kepemilikan. Klara terperanjat, namun kemudian tenggelam. Tangannya berpindah memeluk leher Adrian, membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama. Mereka saling menghancurkan, saling mencari, saling melepaskan semua amarah dan rasa sakit yang menyesakkan dada. “Kau mau lebih dari ini, hm?” bisik Adrian dengan suara seraknya.Pagi itu, kantor pusat Wojcik Group tampak seperti biasa: sibuk, penuh karyawan yang berlalu-lalang dengan tumpukan berkas, suara langkah sepatu, dan bunyi pintu lift yang terus berdenting.Klara berjalan dengan cepat menuju meja kerjanya sembari mencoba menata diri. Malam sebelumnya masih membekas di kepalanya, bagaimana Adrian hampir saja mencium bibirnya, lalu diselamatkan oleh dering telepon.Wajahnya merona setiap kali bayangan itu kembali. Ia menggeleng, berusaha mengusir rasa kacau yang mengganggu konsentrasinya.“Ah, sial! Aku tidak bisa melupakan malam itu lagi,” gerutunya pada dirinya sendiri.Belum sempat dia duduk, suasana kantor mendadak tegang. Beberapa staf saling melirik dan berbisik-bisik. Klara mengikuti arah pandangan mereka—Patryk.Pria itu berdiri tegak di lobby kantor mengenakan setelan jasnya rapi, tapi sorot matanya penuh amarah.Ia berjalan cepat seolah siap menerobos ke ruangan CEO. Dan benar saja, tanpa basa-basi, Patryk langsung menuju pintu ruangan Adrian,
“Ak-aku ….” Klara menelan ludahnya mendengar bisikan Adrian yang berhasil membuat degup jantungnya semakin kencang. Klara tak sanggup berkata lagi karena tubuhnya sudah lebih dulu tegang. “Kenapa wajahmu tegang sekali?” suara baritonnya pecah dalam keheningan sehingga terdengar begitu rendah dan menggetarkan. Klara kembali menelan ludahnya dengan susah payah. “Jangan bicara tentang malam itu lagi, Paman—”“Just call me Adrian. Kita sudah resmi jadi sepasang kekasih, bukan? Kenapa kau masih memanggilku dengan embel-embel itu?” bisiknya dengan wajah yang begitu dekat menatap Klara. Klara menghela napasnya lalu mengangguk pasrah. “Baiklah, Adrian. Jangan bahas soal malam itu lagi.”Bukannya merespon, Adrian justru menggeser tubuhnya dan mendekat hingga jarak mereka hanya tinggal helaan napas. Aroma parfumnya yang maskulin menyergap indera Klara hingga membuatnya sulit bernapas. Tangan Adrian nyaris menyentuh punggung tangannya, namun Klara dengan cepat menarik diri.“Aku hanya ingin
Ruangan VIP itu jauh dari hiruk pikuk pesta. Lampu redup, aroma kayu manis dari lilin aromaterapi memenuhi udara, menenangkan sekaligus memancing detak jantung yang tak menentu.Musik lembut dari grand piano di sudut ruangan terdengar samar, seakan menjadi saksi bisu bagi gejolak yang sebentar lagi meledak.Klara duduk di sofa kulit berwarna marun, tubuhnya masih tegang. Gaun putihnya yang anggun kini terasa terlalu sesak di dada.Tangannya meremas ujung roknya, matanya menatap kosong pada permukaan meja kaca di depannya.Adrian menuangkan minuman ke dua gelas kristal. Cairan amber berkilau terkena pantulan cahaya lampu. Gerakan pria itu tenang, elegan, dan menghipnotis.“Minumlah.” Adrian menyodorkan satu gelas pada Klara. Suara baritonnya lembut, tapi penuh perintah.Klara menoleh dan menatap gelas itu sebentar, lalu menerimanya.Ia meneguknya perlahan, membiarkan rasa hangat alkohol merambat ke tenggorokannya. “Aku … masih tidak percaya, Paman,” ucapnya lirih.Adrian mengangkat ali
Suasana pesta yang semula riuh dengan musik jazz dan tawa ringan para tamu mendadak menjadi tegang. Beberapa kepala mulai menoleh ke arah mereka.Tatapan mata para undangan yang semula hanya mengagumi penampilan Adrian dan Klara kini berubah penuh rasa ingin tahu.Ada yang berbisik, ada yang saling menyikut, bahkan ada yang diam-diam mengangkat ponsel untuk merekam.Klara merasakan degup jantungnya menggema di telinga. Ia tidak pernah menyangka akan ada drama seperti ini di depan publik.Tangannya yang tadi sempat digenggam kasar oleh Patryk masih terasa berdenyut.Namun genggaman protektif Adrian yang kokoh membuatnya seolah berada di benteng yang tak tergoyahkan.“Lepaskan dia, Son!” suara Adrian meninggi, begitu tajam hingga membuat beberapa pelayan tertegun di tempat.Tatapan matanya dingin, menusuk, penuh ancaman.Patryk, dengan wajah merah padam, tidak juga melepaskan Klara. “Dad, kau sudah gila! Dia itu mantan kekasihku! Bagaimana bisa kau–kau—” suaranya tercekat, nyaris patah
“Aku bersedia, Paman.”Katakan Adrian adalah pria gila dan nekad. Akan tetapi, Klara yang berakhir bersedia menjadi sugar baby sang ayah mantan itu sudah sama gilanya.Tatapan mata, sentuhan lembut, dan bahkan suara Adrian membuat Klara seolah tersihir hingga ia dengan mudah menyetujui penawaran itu. Senyum di bibir Adrian seketika merekah mendengar jawaban Klara, “Good girl,” ucap Adrian. Setelahnya, pria itu mengecup bibir Klara dengan cepat.“Bersiaplah, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan. Temani aku, dan jadilah gadis manis yang memesona. Tunjukkan pada Patryk bahwa kau pantas hadir di acara pesta itu.”Sekujur tubuh Klara meremang bukan main. Namun anehnya, ia tidak bisa marah ketika Adrian tadi mencuri kecupan dari bibirnya.Dan puncaknya adalah … ia menuruti Adrian untuk menjelma menjadi gadis yang memesona malam ini.Dengan sebuah backless dress putih yang mengikuti lekuk tubuhnya, Klara tampak sederhana, tetapi anggun.Potongan one-shoulder yang dipadukan dengan ke
“Tidak mungkin aku tidur dengan Paman!” Klara nyaris berteriak saking kagetnya.“Paman adalah ayahnya Patryk, tidak mungkin,” ulangnya lagi seperti orang linglung.Adrian duduk di kursi kerjanya dan menatap Klara dengan sorot mata yang tenang.Tidak ada sedikit pun keraguan atau penyangkalan. Namun, senyum tipisnya justru membuat Klara semakin panik.“Akulah yang bersamamu semalam, Klara,” tegas Adrian lagi. “Apa perlu kita ulangi agar kau ingat?”Seketika, tubuh Klara meremang tak karuan. Pangkal pahanya pun berdenyut, membayangkan hubungan tabu yang mereka lakukan semalam.“I-ini salah, Paman.” Klara menggelengkan kepalanya. Matanya sudah mengembun, karena didera panik.“Maafkan aku. Aku mabuk berat semalam. Aku tidak bermaksud menggoda Paman Adrian. Bisakah kita lupakan saja kejadian semalam?”“Melupakannya?” ulang Adrian. Wajahnya mengeras. Ia tampak tidak setuju.“Bagaimana kalau kau hamil? Kau tahu … kita tidak hanya melakukannya sekali, dan aku tidak menggunakan pengaman apa pu