“Ak-aku ….” Klara menelan ludahnya mendengar bisikan Adrian yang berhasil membuat degup jantungnya semakin kencang.
Klara tak sanggup berkata lagi karena tubuhnya sudah lebih dulu tegang.
“Kenapa wajahmu tegang sekali?” suara baritonnya pecah dalam keheningan sehingga terdengar begitu rendah dan menggetarkan.
Klara kembali menelan ludahnya dengan susah payah. “Jangan bicara tentang malam itu lagi, Paman—”
“Just call me Adrian. Kita sudah resmi jadi sepasang kekasih, bukan? Kenapa kau masih memanggilku dengan embel-embel itu?” bisiknya dengan wajah yang begitu dekat menatap Klara.
Klara menghela napasnya lalu mengangguk pasrah. “Baiklah, Adrian. Jangan bahas soal malam itu lagi.”
Bukannya merespon, Adrian justru menggeser tubuhnya dan mendekat hingga jarak mereka hanya tinggal helaan napas.
Aroma parfumnya yang maskulin menyergap indera Klara hingga membuatnya sulit bernapas. Tangan Adrian nyaris menyentuh punggung tangannya, namun Klara dengan cepat menarik diri.
“Aku hanya ingin tahu,” bisik Adrian dengan tatapan yang tak lepas dari wajah Klara. “Apakah kau tidak pernah terpikir untuk mengulanginya?”
Pertanyaan itu menghantam Klara seperti petir. Ia menelan ludahnya, berusaha menguatkan diri yang mulai goyah.
“Tidak!” jawab Klara dengan cepat.
“Kenapa?” tanyanya ingin tahu.
Klara bingung harus menjawab apa. Dan yang bisa dia lakukan kali ini hanya menggigit bibir bawahnya sambil menghindari tatapan lekat pria itu.
“Um … aku, aku masih sakit, Adrian.”
Adrian lagi-lagi terkekeh, kali ini lebih pelan seakan menikmati penolakan itu. “Sakit, ya? Itu artinya aku terlalu keras padamu.” Matanya berkilat nakal dan membuat wajah Klara makin panas.
“Cukup, Adrian,” Klara menegakkan bahunya menatap datar wajah pria itu. “Aku sedang tidak ingin membicarakan itu.”
Adrian menghela napas panjang, lalu mendudukkan diri lebih dekat ke arah Klara.
Kali ini dia tidak menyentuh, hanya memandang lekat dengan tatapan yang berat dan penuh arti. “Baiklah. Kalau begitu, kita bicarakan sesuatu yang lain. Tentang Patryk, misalnya.”
Nama itu membuat tubuh Klara menegang. Matanya menyipit lalu bibirnya tertarik dalam garis datar. “Aku juga tidak mau membicarakan dia.”
Adrian mengangguk pelan, tapi matanya tetap menatap Klara tanpa berpaling. “Aku ingin minta maaf, Klara. Aku tidak tahu kalau Patryk—” dia berhenti sejenak untuk mengambil napas dengan pelan. “—berselingkuh dengan Claudia.”
Klara merasakan hatinya tersayat lagi. Nama itu—Claudia—membuat rasa muaknya naik ke tenggorokan.
“Aku sudah tahu pengkhianatannya. Tidak perlu diulang lagi.” Suaranya ketus, dingin, dan penuh ketidakpedulian.
“Bukan maksudku mengorek luka lama,” kata Adrian dengan suara yang lembut. “Aku hanya menyesal tidak menyadarinya lebih awal. Kau tidak pantas disakiti seperti itu.”
Klara memalingkan wajahnya ke arah lain karena tidak ingin terlihat lemah, tidak ingin menunjukkan bahwa kata-kata Adrian mampu menembus bentengnya.
“Adrian. Aku sudah muak membicarakan Patryk. Dia bukan siapa-siapa lagi bagiku.”
Sejenak hening. Lalu suara Adrian terdengar lebih pelan, lebih dalam, seolah hanya ingin Klara yang mendengarnya. “Kau cantik, Klara. Terlalu cantik untuk patah hati karena Patryk.”
Degup jantung Klara seketika melonjak. Kata-kata itu sederhana, tapi keluar dari mulut Adrian, terasa seperti mantra. Matanya terbelalak, pipinya memanas. “Jangan bicara begitu…”
“Kenapa tidak?” Adrian mencondongkan tubuh, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Klara. “Kau memang cantik. Dan kau terlalu berharga untuk menangisi seseorang yang bahkan tidak tahu cara menghargaimu.”
Klara menahan napasnya mendengar ucapan Adrian yang begitu dingin tapi terasa hangat. Tatapan mata abu-abu itu menghujamnya hingga membuat seluruh tubuhnya terasa lemas.
Ada bagian dari dirinya yang ingin lari, tapi ada pula bagian lain yang diam-diam merindukan kehangatan itu.
Jari-jari Adrian bergerak menyentuh lembut dagu Klara lalu mengangkat wajahnya agar sejajar dengannya. Klara terpaku dan tak bisa bergerak.
“Adrian …,” suaranya lirihnya terdengar penuh kegamangan.
“Diam,” bisik Adrian dan matanya menelusuri garis bibir Klara. “Biarkan aku melihatmu lebih lama.”
Klara menutup matanya sementara tubuhnya bergetar. Ia tahu apa yang akan terjadi. Bibir Adrian kian mendekat, napas hangatnya terasa di wajahnya. Hanya jarak tipis memisahkan keduanya.
Hati Klara berdegup kencang seakan berteriak serba salah. Bagian dari dirinya berbisik agar menolak, tapi bagian lain berteriak agar membiarkan ciuman itu terjadi.
Hanya sedetik lagi ….
Tringgg … tringgg …
Deru napas itu terputus. Telepon di saku jas Adrian berdering nyaring dan memecah momen yang hampir membakar keduanya.
Adrian lantas berhenti dengan posisi wajah yang masih sangat dekat dengan wajah Klara, matanya masih menatap dalam.
Rahangnya mengeras, jelas dia terganggu oleh panggilan tersebut. Dengan gerakan enggan, dia menarik diri, merogoh saku dan melihat layar ponsel.
Adrian menatap layar ponsel dengan wajah dingin, lalu mengangkat panggilan itu. Suaranya berubah, kembali ke nada datar seorang pengusaha yang berkuasa. “Ya. Ada apa?”
Klara menatap ke arah lain tengah mencoba mengatur napasnya. Sementara tangannya meremas rok dengan lebih keras lagi. Hatinya berteriak dan pikirannya kacau.
Sementara itu, Adrian menjawab panggilan dengan singkat, tapi tatapannya sesekali melirik ke arah Klara.
Tatapan yang tak bisa disembunyikan: penuh keinginan, penuh klaim yang belum selesai.
Dan Klara tahu, ini baru permulaan.
‘Apa yang harus aku lakukan? Aku yakin, pria ini akan terus merayuku sampai aku mau, tidur dengannya lagi.’
Pagi itu, kantor pusat Wojcik Group tampak seperti biasa: sibuk, penuh karyawan yang berlalu-lalang dengan tumpukan berkas, suara langkah sepatu, dan bunyi pintu lift yang terus berdenting.Klara berjalan dengan cepat menuju meja kerjanya sembari mencoba menata diri. Malam sebelumnya masih membekas di kepalanya, bagaimana Adrian hampir saja mencium bibirnya, lalu diselamatkan oleh dering telepon.Wajahnya merona setiap kali bayangan itu kembali. Ia menggeleng, berusaha mengusir rasa kacau yang mengganggu konsentrasinya.“Ah, sial! Aku tidak bisa melupakan malam itu lagi,” gerutunya pada dirinya sendiri.Belum sempat dia duduk, suasana kantor mendadak tegang. Beberapa staf saling melirik dan berbisik-bisik. Klara mengikuti arah pandangan mereka—Patryk.Pria itu berdiri tegak di lobby kantor mengenakan setelan jasnya rapi, tapi sorot matanya penuh amarah.Ia berjalan cepat seolah siap menerobos ke ruangan CEO. Dan benar saja, tanpa basa-basi, Patryk langsung menuju pintu ruangan Adrian,
“Ak-aku ….” Klara menelan ludahnya mendengar bisikan Adrian yang berhasil membuat degup jantungnya semakin kencang. Klara tak sanggup berkata lagi karena tubuhnya sudah lebih dulu tegang. “Kenapa wajahmu tegang sekali?” suara baritonnya pecah dalam keheningan sehingga terdengar begitu rendah dan menggetarkan. Klara kembali menelan ludahnya dengan susah payah. “Jangan bicara tentang malam itu lagi, Paman—”“Just call me Adrian. Kita sudah resmi jadi sepasang kekasih, bukan? Kenapa kau masih memanggilku dengan embel-embel itu?” bisiknya dengan wajah yang begitu dekat menatap Klara. Klara menghela napasnya lalu mengangguk pasrah. “Baiklah, Adrian. Jangan bahas soal malam itu lagi.”Bukannya merespon, Adrian justru menggeser tubuhnya dan mendekat hingga jarak mereka hanya tinggal helaan napas. Aroma parfumnya yang maskulin menyergap indera Klara hingga membuatnya sulit bernapas. Tangan Adrian nyaris menyentuh punggung tangannya, namun Klara dengan cepat menarik diri.“Aku hanya ingin
Ruangan VIP itu jauh dari hiruk pikuk pesta. Lampu redup, aroma kayu manis dari lilin aromaterapi memenuhi udara, menenangkan sekaligus memancing detak jantung yang tak menentu.Musik lembut dari grand piano di sudut ruangan terdengar samar, seakan menjadi saksi bisu bagi gejolak yang sebentar lagi meledak.Klara duduk di sofa kulit berwarna marun, tubuhnya masih tegang. Gaun putihnya yang anggun kini terasa terlalu sesak di dada.Tangannya meremas ujung roknya, matanya menatap kosong pada permukaan meja kaca di depannya.Adrian menuangkan minuman ke dua gelas kristal. Cairan amber berkilau terkena pantulan cahaya lampu. Gerakan pria itu tenang, elegan, dan menghipnotis.“Minumlah.” Adrian menyodorkan satu gelas pada Klara. Suara baritonnya lembut, tapi penuh perintah.Klara menoleh dan menatap gelas itu sebentar, lalu menerimanya.Ia meneguknya perlahan, membiarkan rasa hangat alkohol merambat ke tenggorokannya. “Aku … masih tidak percaya, Paman,” ucapnya lirih.Adrian mengangkat ali
Suasana pesta yang semula riuh dengan musik jazz dan tawa ringan para tamu mendadak menjadi tegang. Beberapa kepala mulai menoleh ke arah mereka.Tatapan mata para undangan yang semula hanya mengagumi penampilan Adrian dan Klara kini berubah penuh rasa ingin tahu.Ada yang berbisik, ada yang saling menyikut, bahkan ada yang diam-diam mengangkat ponsel untuk merekam.Klara merasakan degup jantungnya menggema di telinga. Ia tidak pernah menyangka akan ada drama seperti ini di depan publik.Tangannya yang tadi sempat digenggam kasar oleh Patryk masih terasa berdenyut.Namun genggaman protektif Adrian yang kokoh membuatnya seolah berada di benteng yang tak tergoyahkan.“Lepaskan dia, Son!” suara Adrian meninggi, begitu tajam hingga membuat beberapa pelayan tertegun di tempat.Tatapan matanya dingin, menusuk, penuh ancaman.Patryk, dengan wajah merah padam, tidak juga melepaskan Klara. “Dad, kau sudah gila! Dia itu mantan kekasihku! Bagaimana bisa kau–kau—” suaranya tercekat, nyaris patah
“Aku bersedia, Paman.”Katakan Adrian adalah pria gila dan nekad. Akan tetapi, Klara yang berakhir bersedia menjadi sugar baby sang ayah mantan itu sudah sama gilanya.Tatapan mata, sentuhan lembut, dan bahkan suara Adrian membuat Klara seolah tersihir hingga ia dengan mudah menyetujui penawaran itu. Senyum di bibir Adrian seketika merekah mendengar jawaban Klara, “Good girl,” ucap Adrian. Setelahnya, pria itu mengecup bibir Klara dengan cepat.“Bersiaplah, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan. Temani aku, dan jadilah gadis manis yang memesona. Tunjukkan pada Patryk bahwa kau pantas hadir di acara pesta itu.”Sekujur tubuh Klara meremang bukan main. Namun anehnya, ia tidak bisa marah ketika Adrian tadi mencuri kecupan dari bibirnya.Dan puncaknya adalah … ia menuruti Adrian untuk menjelma menjadi gadis yang memesona malam ini.Dengan sebuah backless dress putih yang mengikuti lekuk tubuhnya, Klara tampak sederhana, tetapi anggun.Potongan one-shoulder yang dipadukan dengan ke
“Tidak mungkin aku tidur dengan Paman!” Klara nyaris berteriak saking kagetnya.“Paman adalah ayahnya Patryk, tidak mungkin,” ulangnya lagi seperti orang linglung.Adrian duduk di kursi kerjanya dan menatap Klara dengan sorot mata yang tenang.Tidak ada sedikit pun keraguan atau penyangkalan. Namun, senyum tipisnya justru membuat Klara semakin panik.“Akulah yang bersamamu semalam, Klara,” tegas Adrian lagi. “Apa perlu kita ulangi agar kau ingat?”Seketika, tubuh Klara meremang tak karuan. Pangkal pahanya pun berdenyut, membayangkan hubungan tabu yang mereka lakukan semalam.“I-ini salah, Paman.” Klara menggelengkan kepalanya. Matanya sudah mengembun, karena didera panik.“Maafkan aku. Aku mabuk berat semalam. Aku tidak bermaksud menggoda Paman Adrian. Bisakah kita lupakan saja kejadian semalam?”“Melupakannya?” ulang Adrian. Wajahnya mengeras. Ia tampak tidak setuju.“Bagaimana kalau kau hamil? Kau tahu … kita tidak hanya melakukannya sekali, dan aku tidak menggunakan pengaman apa pu