Share

Say, Hello

Tidak ada yang spesial kecuali pertunjukan live band khas Rise di akhir pekan. Ailaa mengeluarkan lembaran uang dari dompet, memberikan pada Miftah, pegawai kasir Rise yang sudah lama Ailaa kenal. Sudah hampir empat setengah tahun Rise berdiri dan Miftah masih setia menjadi salah satu pegawainya. Bukan hanya sebagai kasir, dia juga merangkap sebagai peramu minuman. Senyum ramah diberikan Miftah kepada semua pelanggan. Ailaa paling senang melihat senyumnya yang tulus dibarengi mendengar suara cowok berusia dua puluh lima tahun itu. Suaranya cukup berat dan samar terdengar serak di sela perkataannya dengan kestabilan irama yang teratur.

Miftah menjulurkan tangan kanannya ke arah sebuah meja kosong yang bersandar pada dinding. “Di sana kosong, Mbak.”

“Rise makin ramai ya?” Mata Ailaa meraba seluruh bangku-bangku yang berjajar pararel dan dipenuhi pelanggan. “Tapi bagus dong, semenjak dipakai syuting jadi ramai gini.”

Miftah menekan-nekan tombol mesin kasir. “Ada untung dan ruginya, sih, Mbak.”

“Ruginya apa?”

“Terlalu banyak perhatian. Sebelum dipakai syuting jarang banget ada yang ngasih kritik. Sekarang dikit-dikit dikritik, serba salah. Kemarin ada ibu-ibu marah cuma gara-gara menu yang ingin dipesan habis. Padahal wajar, kan? Rise sekarang selalu penuh dan menu-menu andalan kalau sudah malam biasanya habis.” Miftah menyodorkan selembar kertas bon kemudian mengambil gelas bening dari rak. “Pakai gula?”

“Tiga puluh persen aja ya, Mif. Aku duduk dulu. Takut direbut tempatnya sama pelanggan lain. Hahaha.” Dengan cepat Ailaa berlari kecil, duduk di atas kursi dengan meja nomer empat belas.

Ailaa menopang dagu dengan tangan. Hanya dia yang duduk sendirian menikmati suasana Rise yang cozy saat ini di antara semua pengunjung. Rise memiliki desain ruangan yang setengah klasik, setengah modern. Dinding Rise tidak semuanya bercat, sebagian hanya dipoles dengan semen seperti bangunan yang belum selesai dibangun.

Pada bagian dinding yang tidak bercat digantung bohlam-bohlam berkabel panjang yang mengeluarkan cahaya kuning oranye, memberi suasana hangat. Sementara pada bagian dinding lain yang bercat, diberi warna broken white dengan gambar sketsa deretan gedung. Ailaa tidak pernah bosan berlama-lama menghabiskan waktu di Rise, menikmati kopi dan teh racikan Miftah sambil melakukan kegiatan sederhana seperti membaca buku, atau juga membuat power point sebagai tugas dari kantor.

Alunan lagu-lagu Love Song yang di-medley dengan warna modern menghiasi Rise, beradu dengan suara pengunjung. Live band yang ditempatkan di sudut ruangan membawakan lagu ‘Say You’ll Never Go’ dari Neocolours, membuat Ailaa tersenyum kecil. Sebelumnya Ailaa tidak pernah tahu lagu itu, tapi karena Rise, dia jadi tahu dan bahkan ketagihan untuk mendengarnya. Sambil menunggu pesanan datang, Ailaa memainkan ponsel, membuka deretan chat dalam chat gorup yang baru dia ikuti semalam. Tidak ada yang seru, hanya perbincangan para alumni anggota Versatile yang saling bertanya kabar dan berencana membuat acara reuni. Refleks, Ailaa kembali membuka daftar member dalam grup. Jarinya berhenti di satu nama yang sejak malam terus terngiang di kepala.

Apa yang harus aku lakuin? Nge-add kontak dia terus nyapa dia seolah nggak pernah terjadi apa-apa di antara kami? Atau basa-basi bertanya kabar, lalu membawanya ke obrolan serius tentang kami? Ah, nggak, deh! Ailaa menggeleng, berusaha memusnahkan segala ide yang dia yakini akan membawanya ke situasi yang tidak dia inginkan.

Cukup mengetahui bahwa dia masih hidup saja mungkin sudah merupakan kabar baik, pikir Ailaa. Ailaa kembali memandangi sudut demi sudut Rise, membuat hatinya mulai berkecamuk ketika satu-persatu kenangan tiba-tiba kembali muncul, menyayat perlahan, membuat napasnya terasa sedikit sesak. Ailaa tahu, seberapa jauh dia melangkah untuk melupakan semuanya, sejauh itu pula dia akan tetap jatuh di lubang yang sama. Sebuah lubang besar dan dalam yang tidak terlihat. Seperti ada yang menariknya untuk terus mengingat kebersamaan antara mereka.

Marlo... Ailaa mengucapkan nama itu dalam hati, namun secepat kilat dia kembali menggeleng. Aku punya Jo! Jo yang selalu ada dan nggak pernah pergi tanpa kabar begitu aja kayak Marlo!

“Nggak mau sama kuenya? Ada kue baru, Mbak.” Miftah menaruh gelas berisi teh camomile dingin di hadapan Ailaa, menyadarkannya. “Lemon cake with coffee, rasanya unik dan dijamin bikin ketagihan.”

Ailaa mengambil gelas di hadapannya lalu mengulas senyum. “Next ya, Mif. Aku belum kepengin ngemil.”

Miftah membalas senyuman itu lalu kembali ke meja kasir untuk membuat pesanan pelanggan lain.

Sambil menikmati teh yang dipesan, Ailaa memutuskan untuk menghubungi Jo.

“Hei,” sapa Ailaa sambil mengingat kejadian semalam. Sejujurnya dia sudah lupakan kekesalannya dengan Jo. “Udah makan? Aku lagi di Rise nih.”

“Belum, sih, masih nunggu kepastian klien. Dapat tempat? Aku dengar Rise sekarang penuh terus gara-gara film itu.”

“Dapat, kayaknya emang udah jodoh ngabisin Sabtu ini sendirian di Rise.” Nada suara Ailaa tegas penuh maksud. “Kamu nggak mau mampir ke sini, Jo?”

“Sori ya, kayaknya aku nggak sempat ke sana. Kalau kamu mau ke kantor aku boleh, kok. Aku ada di kantor.”

Ailaa menyerengit. Apa Jo kira aku ini nggak percaya sama dia? Pake nawarin ke kantor segala. “Nggak, aku mau di Rise abis ini langsung pulang.”

“Oh.”

“Maaf udah ganggu kerjaan kamu. Udah ya, aku tutup.” Ada beberapa kata yang tertahan di mulut dan Ailaa paham kalau kata-kata itu harus tetap dia tahan sampai waktunya tiba.

“Oke.”

It’s okay, Ail... Lo kan udah biasa sama Jo yang kayak gitu. Ailaa mengingat ucapan Martha yang selalu dia dengar kalau sedang membicarakan Jo. Dia memilih mengambil buku dari dalam tas, membacanya hingga rasa jenuh dan rasa ingin pulang ke rumah datang menghampiri.

Langit di luar mulai berubah warna dan matahari sudah tidak lagi berada di posisi paling terangnya. Ailaa mengintip jam digital di layar ponsel kemudian merapikan tas, memasukan barang-barang miliknya ke dalam, lalu meminum sisa teh camomile yang hanya tinggal sedikit. Dia bangkit dari duduknya, melambaikan tangan pada Miftah, setelah itu melangkahkan kaki ke pintu. Ailaa berjalan pelan sambil memeriksa tidak ada yang tertinggal, bersiap berjalan ke ujung Jalan Ungu untuk menaiki angkutan umum. Cuaca masih kondusif untuk naik angkutan umum, menurut Ailaa.

Sambil menunggu angkutan umum, Ailaa kembali membuka group chat di ponsel untuk memantau acara reuni yang ingin dibuat oleh teman-temannya.

Deva Ramadhan: Cuy, rapat langsung aja gimana? Yang bisa ikut aja, nggak usah semua.

Marlo Wicaksana: Sorry, baru muncul. Gue tunggu jadwal rapatnya, kalau pas di waktu kosong, gue ikut.

Ailaa menelan ludah, pikirannya sibuk. Dengan hati-hati dia menekan layar ponsel, huruf demi huruf, merangkai kata yang berkali-kali dia hapus kembali dan kemudian rangkai kembali. Setelah membaca ulang hasil ketikan, dia menekan tombol ‘send’.

Ailaa Leswara: Halo, kalian apa kabar? Aku baru sempat buka grup nih. Hehe.

Sekian menit berlalu dan angkutan umum yang harusnya dinaiki Ailaa ikut berlalu. Ailaa menggigit bibir, menahan perasaannya yang campur aduk. Tidak ada balasan apa pun dari Marlo, melainkan hanya teman-teman lain yang menyambutnya. Dia menghela napas panjang, lalu memasukan ponsel ke dalam tas kembali.

Apa yang sebenarnya kamu harapkan, Ail?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status