“Balik lagi sama gue Hamid Pratama di Bintang Berlian FM, your sweetness station. Sesuai yang gue bilang tadi, malam ini kita kedatangan tamu, satu band indie yang lagi ngehits banget. Siapa lagi kalau bukan House of Brokenheart! Tapi sebelum gue ngajak ngobrol para personilnya, gue mau kasih lo semua satu lagu yang jadi soundtrack salah satu film dan baru aja tayang sekitar dua hari lalu. Kalau gue sih udah nonton ya, kalau lo?”
Jo mengecilkan volume radio. Pandangannya fokus menatap jalanan dan mobil-mobil yang terus melaju. Tangannya memutar kemudi dengan perlahan, namun pasti. Sesekali dia menaikan kaca matanya dengan telunjuk. Hari ini Jo memakai sweater berwarna cokelat khaki, dipadu celana krem dengan bercak-bercak hitam di ujung celananya. Hasil lukisan dari genangan air jalanan basah akibat hujan yang rutin menyiram Bandung dua minggu terakhir ini. Jo menghentikan mobil Katana bercat cokelat kopi kesayangannya tepat di seberang gedung berlantai tiga. Dengan cepat dia mengambil ponsel dari saku.
Butuh waktu dua puluh menit buat Jo dapat menyalakan kembali mesin mobil miliknya. Dia memerhatikan cewek yang baru saja dengan susah payah duduk di sampingnya. Bagaimana tidak susah, cewek itu mengenakan rok selutut beserta blazer dengan warna yang sama. Butuh perjuangan untuk dapat masuk ke mobil Jo dengan pakaian seperti itu.
Jo menarik tuas gigi. “Gimana kerjaan hari ini? Beres, Ail?”
“Belum, masih nunggu keputusan klien.” Ada helaan napas di sela-sela perkataannya. “Tadi jadi ketemu Roy?”
“Jadi, salam dari Roy, katanya kapan-kapan harus bawa Ailaa kalau datang ke galeri.” Jo mengulas senyum kecil sambil menjalankan mobil dengan kecepatan standar.
“Oh ya, besok nongkrong di Rise mau, nggak? Kayaknya kita udah lama banget nggak pacaran di sana. Aku kangen blueberyy pancake sama hot camomile tea nih”
“Besok aku ada meeting.” Jo berusaha mengingat deretan jadwal di kepala.
“Sabtu? Besok Sabtu, kan?” Ailaa memastikan dia tidak salah melihat kalender tadi pagi.
Jo mengangguk. “Iya tapi klienku memang minta ketemu Sabtu siang, Ail.”
“Ya kalau gitu ke Rise malam aja sekalian malam mingguan.” Ailaa menyandarkan kepala di bahu Jo. Memain-mainkan lengan sweater Jo. “Habis itu kita non...”
“Nggak bisa.” Jo memotong perkataan Ailaa. “Aku belum tahu meeting-nya dimajuin apa mundurin. Aku harus bisa samain jadwal sama klien.”
Ailaa menepuk lengan Jo keras lalu duduk bersandar pada jok dengan tegak. Matanya menyipit dan memilih melihat ke arah luar jendela di samping kiri. Sekilas dia memandang bayangan Jo yang memantul di kaca mobil. Dalam benak, Ailaa berharap Jo meralat perkataannya dan membuat janji padanya untuk menghabiskan waktu bersama di Rise dengan jadwal yang sudah diputuskan oleh mereka.
Ailaa ingin Jo menarik kepalanya lembut, meminta dia untuk kembali menyandarkan kepala di bahu. Dalam benak, Ailaa ingin mendengar ucapan permohonan maaf dari bibir tipis Jo. Ailaa tahu, itu semua hanya harapan yang selalu muncul ketika dia sedang merasa kesal pada Jo dan terang-terangan memperlihatkannya.
Lalu kenapa aku bisa jadian sama Jo? Kenapa aku bisa menyimpulkan bahwa Jo adalah cowok yang aku sayangi? Ailaa melirik Jo, memerhatikan cowok itu. Lima menit berlalu, sepuluh menit berlalu, setengah jam berlalu, dan pemandangan komplek rumah tinggal Ailaa sudah terlihat di depan mata.
“Thanks,” ucap Ailaa. Dia keluar dari mobil, menutup pintunya, lalu masuk ke dalam rumah tanpa melihat ke arah Jo, juga tanpa lambaian tangan.
Tepat ketika Ailaa menginjak lantai ruang tamu, suara mobil Jo terdengar menjauh dan menghilang. Susah payah Ailaa menahan air yang menggenang di pelupuk mata untuk tidak mengalir. Dia membuka sepatu pantofel hitamnya kemudian berjalan cepat ke dalam kamar. Sambil mengganti pakaian Ailaa menekan layar ponsel, menghubungi seseorang yang menurutnya sangat tepat untuk dihubungi saat ini.
“Hai, Ail? Soal Jo?”
“Aku belum ngomong apa-apa, say hello aja belum, Tha.” Tangan Ailaa membuka pintu lemari.
“Yah siapa lagi yang bikin lo nelepon gue jam pulang kerja kayak gini.”
“Aku putusin Jo aja kali, ya?” Satu pasang piyama bermotif polkadot dipilih Ailaa.
“Alasannya?”
Ailaa mengganti pakaian secepat kilat lalu membanting tubuh ke atas kasur. “Kamu masih butuh alasan, Martha Hanggini? Kamu kan tahu sifat Jo kayak apa? Selama ini aku udah cerita, kan?”
“Gue tahu dan hafal, Ailaa Leswara. Tapi, lo sama Jo udah pacaran hampir tiga tahun dan lo mau putusin dia dengan alasan Jo terlalu cuek dan nggak peka? Please, selama ini lo ke mana aja kalau gitu?”
Ailaa mengambil bantal lalu menutup wajahnya. “Anggap aku baru melek dan udah terlalu capek sama sikap dia.”
“Okay, kalau gitu, lo putusin Jo dan kalau Jo nanya kenapa, lo harus jawab kayak yang baru lo ucapin ke gue.”
“Tapi,” Ailaa memutar otak. Entah mengapa sejumlah alasan tidak pernah berhenti muncul ketika dia ingin menyelesaikan hubungannya dengan Jo. Alasan untuk tidak mengatkan kata putus. “Jujur, aku masih sayang sama Jo, Tha.”
Ada hembusan napas di ujung telepon. “Lo udah ngomong soal ini lebih dari seratus kali, Ail. Gue yakin, keinginan lo buat putus sama Jo itu cuma karena lo lagi kesal. Nggak usah buat keputusan kalau lo lagi kesel, Ail. Lagian, gue tahu kalau lo emang beneran sayang sama Jo. Jo hadir di saat yang tepat dan lo juga selama ini kuat-kuat aja ngehadapin sifat dan sikapnya Jo.”
Ailaa membuka bantal di wajahnya, beranjak duduk. “Iya, sih.”
“Ya udah sana lo ganti baju, makan, terus tidur.”
“Oke.” Ailaa menutup telepon.
Dia menoleh ke arah cermin yang menempel di pintu lemari. Kemudian mengambil make up remover, menghapus riasan yang terasa lengket menempel di wajah. Ailaa paham, Jo adalah Jo. Mungkin kalau Jo tiba-tiba muncul menjadi sosok yang penuh perhatian, selalu mengucapkan permohonan maaf ketika melakukan salah, membuat sederet jadwal rutin untuk menghabiskan waktu dengannya, dia akan benar-benar terkejut dan menganggap Jo telah berubah. Atau bahkan menganggap Jo adalah orang yang tidak dia kenal.
Ailaa dan Jo memutuskan menjalin hubungan tiga tahun lalu. Pertemuan mereka diawali dari pesta pernikahan kakaknya Roy. Saat itu Ailaa sedang sangat malas untuk bertemu banyak orang, merasa hidupnya hampa, dan kehilangan sandaran. Tetapi Martha memaksanya dengan alasan ‘tidak enak’. Bertemu dengan Jo dari hasil perkenaalan singkat tanpa disengaja. Awalnya Ailaa sama sekali tidak suka dengan Jo, cowok berkaca mata sama sekali buka tipe ideal Ailaa. Rasa suka tumbuh perlahan ketika Ailaa harus terjebak hujan di galeri milik Roy dan pada saat waktu yang sama Jo ada di sana. Bisa dibilang, hubungan Ailaa dan Jo tumbuh dari obrolan kecil mereka.
Jam menunjukan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Tepat ketika Ailaa mengambil handuk dari gantungan besi di belakang pintu, ponselnya bergetar. Notifikasi dari salah satu chat application.
You have been invited to join ‘Kabaret Pelangi Bintang 7 ’ group.
Ailaa mengulas senyum. Dia menekan tombol ‘join’ lalu membuka daftar anggota grup. Satu nama yang muncul dalam daftar membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup lebih kencang, dan matanya terbelalak. Dua kali Ailaa mengulang membaca nama itu.
'Marlo Wicaksana'.
Melewati pagi bersama Jo menjadi satu hal yang selama ini Ailaa rindukan. Dengan kesibukan yang sedang dijalani Jo, juga perubahan sikapnya yang semakin cuek, membuat Ailaa sedikit tidak percaya dengan pemandangan di pagi ini. Ailaa membuka gorden untuk membuat cahaya matahari di jam setengah delapan pagi masuk ke kamar.Bukan untuk pertama kali, tetapi menghabiskan malam bersama Jo adalah bagian dari ‘keistimewaan’ dari memiliki laki-laki itu seutuhnya. Tidak hanya berhubungan badan, menyatukan tubuh mereka satu sama lain, tetapi menyadari keberadaan Jo ada di sampingnya sepanjang malam menjadi hal yang semakin jarang ia rasakan.Jo masih tertidur dan sama sekali tidak memberi respon ketika cahaya matahari menyentuh wajahnya. Ailaa memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, bersih-bersih. Dia memilih pakaian terbaiknya yang sudah ia bawa sejak kemarin,
Hari sudah berganti, tapi Ailaa tidak bisa juga tidur. Dia masih bisa merasakan emosi kepada Marlo, mengingat bagaimana permintaan maaf itu keluar dari mulutnya. Mengapa semudah itu? Ailaa bertanya pada langit-langit kamar. Gelapnya ruang kamar membuatnya semakin mudah melihat langit-langit kamar yang tampak lebih terang karena cahaya yang menembus dari luar. "Dia pergi gitu aja tanpa kabar, empat tahun menghilang, dan sekarang dia dengan mudahnya bilang maaf?" Ucap Ailaa dengan volume suara terkecil yang ia punya. Air matanya kembali mengalir. Baik perpisahan, maupun pertemuan kembali dengan Marlo sama-sama memberinya rasa sakit yang sulit untik dijelaskan. Ailaa mengambil ponsel dari bawah bantal. Jonathan Rahadi: Cepat membaik ya, kalau masih nggak enak badan, minum obat. Jangan dientar-entarin.
Marlo dan Ailaa menatap satu sama lain, berhadapan tanpa sepatah kata. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka dari jauh membuat suasana semakin terasa canggung. Untuk sesaat Ailaa merasa telinganya tidak bisa mendengar apapun, hanya mampu mendengar degupan jantungnya yang semakin cepat. Seorang pengunjung yang lewat begitu saja di tengah mereka menyadarkan keduanya.Ailaa mengulas senyum singkat, memutuskan berjalan ke arah meja pemesanan sebelum benar-benar menghampiri Marlo. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu membaca deretan menu.“Iced americano satu ya.” Ailaa mengangkat ponselnya ke hadapan pegawai di depan, dengan cepat mendekatkannya ke lembaran barcode. Dia pun menoleh ke arah Marlo. “Udah pesan?”Marlo mengangguk yang kemudian dibalas dengan gerakan serupa oleh Ailaa. Ma
Tidak tahu mengapa, malam-malam yang Marlo lalui terasa jauh berbeda setelah pertemuan singkatnya dengan Ailaa melalui group chat. Nyatanya mereka tidak benar-benar bertemu dan membahas hal yang sensitif bagi mereka berdua. Marlo mengambil peti kayu kecil dengan balutan bahan kulit, di bagian penutupnya dilengkapi gembok tua dari Garasi Eyang. Dalam ingatannya Ailaa menyukai segala yang berbau klasik. Dulu, mereka bahkan menciptakan playlist di iPod Nano berisikan lagu-lagu era tahun 70-90’s. Banyak hal yang sama-sama mereka sukai, menonton pertunjukan wayang orang, menikmati malam di atas bukit sambil makan mie instan, lari di lapangan pusat kota sambil hunting menu sarapan, sampai pergi ke berbagai toko buku untuk mencari potongan harga paling murah. Kalau dipikir, semuan
Jo menatap Ailaa dalam. Sejujurnya, Ailaa ingin mengetahui apa yang ada di pikirannya saat memberi tatapan seperti itu. Jo memberi ciuman kembali, lagi, dan lagi. Ada rasa bahagia campur haru yang dirasakan oleh Ailaa. Ia merindukan bahasa kasih sayang dari Jo yang lebih serius seperti ini, yang hanya bisa dinikmati mereka berdua dan merekalah yang paham semua itu.Tangan Jo perlahan mengangkat kemeja berwarna kuning muda yang dikenakan Ailaa, memasukan kedua tangannya ke punggung lembut Ailaa. Terpikirkan sekilas di kepala Jo bahwa Ailaa semakin kurus, tulangnya semakin mudah diraba.Jo melepas kaitan bra dan dengan cepat memindahkan tangannya ke payudara Ailaa yang berukuran sedang, tidak besar, tidak juga kecil. Dia meremas pelan, memainkan puting, tanpa menyudahi ciumannya.Ailaa mengalungkan tangannya di
Awalnya Ailaa dan Marlo ragu dengan tempat bernama Rise. Rise baru saja resmi dibuka satu bulan lalu. Keberadaannya sudah lama menyita perhatian mereka sejak awal tempat itu di bangun. Letaknya berada di Jalan Ungu, tidak jauh dari tempat mereka berlatih kabaret secara rutin. Saat masih berbentuk beton dan dipenuhi pekerja bangunan, warga sekitar selalu berkata bahwa nantinya bangunan itu akan dibuat menjadi sebuah mini market. Tetapi seiring waktu berjalan, semakin bangunannya terbentuk sempurna, terlihat jelas kalau Rise adalah sebuah coffee shop kecil di pinggir jalan yang bersanding dengan jajaran ruko, warung makan, dan toko perlengkapan olahraga. Apalagi saat sebuah plang berbentuk oval berwarna putih dengan tulisan ‘RISE’ di dalamnya dipasang. Bagian pada huruf ‘I’ diganti dengan susunan biji kopi vertikal menyerupai huruf ‘I’. Ailaa melipat kertas di tangannya, mencoba praktek adegan demi adegan yang terulis dalam kertas bersama dua tema