Share

3. Malam Kelabu

Happy Reading

*****

"Aku sangat percaya padanya. Dia lelaki yang selalu menepati janji. Nggak mungkin dia mengingkari apa yang sudah dikatakan."

Kembang kempis Wening mengatakannya. Antara keyakinan dan kenyataan kini bertarung dalam dada. Sesak sungguh sangat sesak keadaan sekarang. Jika boleh, dia ingin segera masuk kamar dan meluapkan semua perasaan dengan menangis.

"Mbak mungkin baru mengenalku kemarin, tapi dengan tulus aku akan membantumu malam ini," kata Fandra meyakinkan. Sedikit berani, dia menangkupkan telapak tangannya di atas telapak tangan Wening yang berada di pangkuan.

"Apa kalian sudah selesai berbicara?" tanya Mahmud membuyarkan adegan yang dilakukan Fandra. "Bapak tunggu kedatangan keluargamu secepatnya, Nak. Wening dan kamu adalah dua manusia yang sama-sama dewasa. Bapak tidak bisa membiarkan kalian terus bermaksiat. Jadi, segera halalkan anak Bapak atau jika nggak mampu. Tinggalkan dia."

Tatapan tajam Mahmud membuat Fandra menganggukkan kepala. Inilah konsekuensi yang harus dihadapinya saat ini. Siap tidak siap, Fandra harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan malam ini.

Sepeninggal Fandra. Wening segera masuk kamar tanpa menghiraukan nasihat bapak dan ibunya. Mengambil ponsel dan mengetikkan chat pada sang kekasih.

"Kamu di mana, Mas? Kenapa nggak datang padahal kamu janji untuk bertemu dengan Bapak. Sekarang semua jadi kacau." Wening berusaha menahan diri untuk tidak bercerita tentang lelaki bernama Fandra.

Baru selesai mengetikkan chat untuk kekasihnya, banyak notifikasi chat masuk. Rupanya grup kantor tengah ramai. Melihat salah satu komentar yang diketikkan oleh seseorang, Wening makin kepo. Apalagi ucapan selamat kepada kekasihnya  datang bertubi-tubi. Nama Fahri terus saja di-tag oleh rekan kerjanya.

Tak kuasa menahan rasa ingin tahunya, Wening membuka room chat grup kantor. Ratusan komentar belum terbaca memenuhi grup itu dan yang membuat jantungnya seakan berlompatan adalah foto Fahri dengan anak dari direktur perusahaan.

Lelaki itu memakai jas warna hitam dengan kemeja warna putih di bagian dalam. Di sebelahnya, tangan Tiara, putri sang direktur tengah bergelayut. Senyum kebahagiaan terukir nyata pada wajah keduanya.

Wening mengusap wajah, tanpa terasa air matanya mengalir. "Apa ini, Mas? Mengapa hanya aku yang nggak tahu tentang acara besarmu. Inikah ... inikah alasanmu nggak datang malam ini? Mengapa ... mengapa, Mas?"

Mengembuskan napas panjang, Wening men-dial kontak Fahri. Namun, ponsel lelaki itu tidak aktif.

"Astagfirullah," ucap Wening. Menelangkupkan tubuhnya dan memeluk guling, dia menumpahkan segala rasa kecewa malam ini.

Tangisan itu tak terbendung. Demi meredam suaranya, Wening sengaja menutupi dengan bantal. Empat tahun menjalin hubungan cinta dengan Fahri bukanlah hal yang sebentar. Tanpa ada penjelasan atau kesalahan, Fahri bertunangan dengan perempuan lain. Padahal, lelaki itu sudah berjanji untuk melamarnya malam ini.

Entah berapa lama, Wening menyesali kisahnya hingga suara ponselnya terdengar. Si gadis melirik nama yang terlihat di layar. Dia mengerutkan kening. Sebuah nomor tak dikenal masuk.

"Hai, Mbak. Ini Fandra, simpen nomorku, ya. Selamat malam, mimpi indah dan jangan memikirkan pacarmu yang nggak bertanggung jawab itu."

Belum sempat Wening menjawab, si lelaki sudah memutuskan sambungan. Padahal perempuan itu ingin sekali bertanya bagaimana dia mendapatkan nomor ponselnya.

"Nggak perlu sok manis dan sok pahlawan. Kita ini nggak punya hubungan apa pun. Besok, aku akan menjelaskan semuanya sama Bapak," tulis Wening sedikit emosi.

"Makin yakin nih kalau sama keputusanku tadi. Mbak itu cewek idaman banget. Tegas dan penuh pendirian," balas Fandra.

"Jangan gila, kamu. Menikah itu bukan lelucon. Kamu nggak bisa sembarangan berjanji pada orang tuaku."

"Siapa yang ngomong nikah itu lelucon? Aku serius, Mbak Wening. Malam ini, jika kamu menyuruhku untuk menjabat tangan Bapak dan mengucap akad. Aku akan sangat bahagia sekali."

"Dasar gila. Sudahlah, aku mau tidur." Wening menarik napas kasar.

Namun, Fandra malah melakukan panggilan.

"Apalagi, sih? Aku mau tidur," kata Wening saat mengangkat panggilan Fandra. Menyusut sisa ingus yang akan turun akibat isakannya tadi.

"Mbak habis nangis? Kenapa?"

"Siapa yang nangis?

"Nggak usah ngelak. Nangis aja nggak masalah. Kalau bisa melegakan hati yang suntuk. Kamu pasti kecewa sama pacarmu itu."

"Apaan, sih. Udah, ya. Assalamualaikum. Aku ngantuk banget," alibi Wening.

"Malam ini, keluarkan semua kesedihanmu dengan menangis. Besok, ketika aku jdi suamimu. Tidak boleh ada kesedihan dan tangisan lagi. Mengerti?"

Tanpa menjawab, Wening memutuskan sambungan sepihak. Beranjak turun dari ranjang menuju kamar mandi.

Berwudu dan salat adalah cara terbaik menenangkan hatinya saat ini. Seseorang pernah berkata pada Wening. 'Selama rukuk dan sujudmu nyaman, maka duniamu akan aman.'

*****

Suara panggilan dari Fatimah terdengar ketika Wening hendak membuka kamarnya. Pagi ini, si gadis sudah siap ke kantor dan meminta penjelasan pada kekasihnya. Dandanan sengaja sedikit berbeda dari biasanya. Wening memberikan make up cukup tebal untuk menutupi matanya yang sembab akibat semalaman menangis.

"Assalamualaikum, Pak, Bu," sapa Wening di meja makan.

Sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi untuk menyapa orang tuanya dengan salam. Mahmud menjawab salam putrinya dengan mata tanpa kedip.

"Bapak kenapa ngelihat Adik segitunya? Emang ada yang salah?" tanya Fatimah. Dia memang belum menatap wajah si bungsu.

"Coba lihat, Bu. Ini bener Wening anak kita bukan? Kok, Bapak jadi pangling?"

"Bapak apaan, sih. Biasanya juga gini kalau ke kantor." Wajah Wening bersemu merah. Ternyata Mahmud sangat peka dengan riasan tebalnya.

"Nggak. Biasanya Adik nggak gini. Kali ini aura kecantikannya terpampang nyata," kata Mahmud menirukan salah satu jargon artis ibu kota.

Fatimah terbahak. "Bapak ada-ada saja. Adik sekarang kan sudah harus belajar berhias diri. Di kantor, dia bakalan sering ketemu Nak Fandra."

Mahmud menepuk kening. "Jangan berhias kecuali di depan suamimu nanti. Nak Fandra pasti nggak suka calon istrinya dilirik orang lain. Bapak tahu dari sorot matanya, dia sangat mencintaimu."

"Bapak kenapa ngomongin Fandra terus, sih?"

"Kamu nggak sarapan, Dik?" tanya Fatimah ketika melihat putrinya masih berdiri dan enggan duduk di meja makan bersama mereka.

"Kayaknya, Adik sarapan di kantin deket kantor saja, Bu." Wening melirik bapaknya. "Pak, Adik boleh pinjem mobilnya, nggak?"

"Tumben?"

"Kasih aja, Pak. Anakmu sudah dandan cantik. Kalau naik motor dandanannya rusak. Kasihan Nak Fandra," tambah Fatimah.

"Ya, sudah. Demi calon menantu Bapak biar nggak kecewa lihat penampilan calon istrinya."

Meski sedikit terusik dengan percakapan pagi ini, Wening tetap bergeming tak ingin menjelaskan siapa Fandra sebenarnya. Biarlah nanti ketika semua sudah jelas, dia akan bercerita sejujurnya pada Mahmud.

"Adik berangkat dulu," ucap Wening. Menyalami orang tuanya satu per satu setelahnya dia berangkat.

Sekitar lima belas menit kemudian, Wening sudah berhasil memakirkan kendaraannya di deretan parkiran para petinggi perusahaan. Kebanyakan, karyawan di perusahaan garmen ini memakai kendaraan roda dua. Jarang sekali yang menggunakan mobil kecuali para petinggi perusahaan seperti manajer personalia, manajer HRD dan manajer-manajer lainnya.

Wening, meskipun termasuk jajaran petinggi perusahaan. Namun,  dia tak pernah sekalipun menggunakan mobil saat ke kantor. Dia lebih suka menggunakan motor, beriringan dengan kekasihnya menuju kantor.

Baru akan melangkahkan kaki turun dari kendaraan, Wening melihat Tiara turun bersama kekasihnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, gadis itu mendekati keduanya.

"Selamat pagi Bu Tiara, Pak Fahri. Oh, ya, boleh saya bicara dengan Pak Fahri?" tanya Wening dengan tatapan tajam membunuh pada pria itu.

"Tidak sopan sama sekali. Kalau mau bicara tentang pekerjaan, kamu harus ke ruangan Pak Fahri. Tidak boleh di tempat sembarangan seperti sekarang," peringat Tiara. Tak kalah tajam, dia menatap sang akuntan perusahaan.

"Bu Tiara benar. Sebaiknya temui saya di ruangan kalau memang ingin bicara. Permisi," kata Fahri. Tangannya mengepal di balik saku celana.

"Setelah ini saya akan menghadap ke ruangan Pak Fahri." Wening sengaja mendahului pasangan muda yang tengah berbahagia itu. Samar-samar di belakangnya, Tiara mempertanyakan ketidakhadiran di malam pertunangan mereka.

"Aku nggak tahu, Ra. Mungkin dia sibuk," jawab Fahri yang terdengar jelas oleh sang mantan kekasih.

"Aku memang sibuk semalam, Mas. Sibuk menunggumu dengan segala janji palsumu," kata Wening sangat lirih. Entah keduanya mendengar atau tidak. Dia tak peduli.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status