Share

2. Siapa Dia?

Happy Reading

*****

Duduk melingkar pada sofa di ruang tamu, seluruh keluarga Wening telah menunggu kedatangan kekasihnya. Hidangan sederhana dan juga beberapa toples makanan ringan sudah tersedia di atas meja.

Wening Tri Rahayu mulai resah, berkali-kali menghubungi kekasihnya. Namun, panggilannya tak juga dijawab. Satu per satu menatap seluruh keluarga yang sedang berkumpul, peluh si gadis mulai turun mengaliri wajah. Sungguh, hatinya tak karuan saat ini. Jika sampai lelaki itu tak datang, maka hancurlah harga dirinya di depan keluarga.

"Dik, Mas keluar dulu saja. Ponakanmu nggak mau diem, bosen mungkin. Coba kamu telpon pacarmu itu. Sudah sampai mana?" Jeda sebentar. "Kayak dia minta naik odong-odong," ujar lelaki yang tak lain saudara tertua dari Wening, Fatur. Menunjuk pada putranya.

"Iya, Mas, nggak papa kok." Wening meremas gamis. Sesekali menatap pada bapaknya. Takut dengan tatapan mengintimidasi dari pria sepuh itu.

"Kamu telpon lagi, Nduk. Kenapa dia belum juga datang. Bapak sudah nunggu cukup lama. Kalau memang nggak jadi datang sekarang, ya, nggak masalah." Meski suara Mahmud tenang, tetapi Wening tahu jika bapaknya tengah kecewa dan marah.

"Sampun, Pak. Kayaknya dia dalam perjalanan, telponnya Adik nggak diangkat dari tadi." Wening semakin menundukkan kepala, meremas lebih keras gamisnya.

Sementara saudara tertuanya sudah keluar rumah bersama dengan istri dan anaknya. Kini, ayahnya juga mulai tak sabar menunggu lelaki yang sudah berjanji akan bertemu dengan seluruh keluarganya saat ini.

"Bapak datang ke undangan Pak RT saja kalau gitu. Kayaknya belum terlambat, daripada menunggu sesuatu yang nggak jelas gini. Nanti kalau temenmu itu datang, panggil saja atau suruh ibumu jemput. Ngerti, Nduk?" Mahmud berdiri dari duduknya.

"Lha, kalau semua pada pergi pas dia datang siapa yang mau nyambut. Masak Mas sendirian, Pak?" Seorang pria dengan tinggi sekitar 170 cm berkata. "Mas nggak punya pengalaman nerima tamu penting kayak gitu. Bingung apa yang mesti ditanyakan dan diomongkan."

"Kamu ini, nggak bisa diandalkan. Lelaki itu datang ke sini mau melamar adikmu. Kalau nggak belajar dari sekarang, kapan lagi? Masak mau nunggu Bapak mati? Lagian kamu itu punya anak cewek."

"Pak, kenapa ngomongnya jelek banget," sahut tiga perempuan di ruang tamu. Salah satunya adalah Ibu Wening dan kakak iparnya.

"Sudahlah!" Mahmud mengibaskan tangan. "Temani dia kalau sudah di sini sampai Bapak datang. Sekalian kamu korek tentang kehidupan agamanya. Jangan cuma tentang gaji dan pekerjaan saja. Menikah nggak melulu tentang ekonomi, tapi yang utama tentang akhirat nantinya. Anggap ini latihan, kelak Mas pasti ngadepi hal kayak gini saat Putri dewasa nanti."

"Sek lama kali, Pak. Putri baru kelas 1 SD kalau bapak lupa," Akbar terkekeh menanggapi perkataan ayahnya.

Baru menyentuh gagang pintu, suara salam terdengar. Mahmud segera membuka dan setelahnya menoleh pada seluruh keluarga terutama Wening. "Panjang umur. Baru mau Bapak tinggal. Eh, ternyata kamu beneran datang."

Sebuah senyuman terlihat dari sosok pria di hadapan Mahmud. Seorang lelaki dengan tinggi 170 cm, kulitnya kuning langsat dengan alis tebal. Namun, pria paruh baya itu yakin bahwa anak muda yang sekarang berdiri ini, umurnya jauh di bawah Wening.

Namun, sangat berbeda dengan Mahmud. Lelaki paruh baya itu menatap tajam sang tamu. Menilai penampilan dari ujung rambut hingga ujung kaki pemuda di hadapannya.

"Kenapa tamunya nggak disuruh masuk, Pak. Kan, sudah ditunggu sejak tadi," sahut Fatimah, ibunya Wening.

Sementara si bungsu, entah mengapa malah khawatir. Jantungnya berdetak sangat cepat dan tangannya mulai terasa dingin. Wajah sang kekasih belum terlihat olehnya karena tertutup oleh punggung Mahmud. Namun, suara salam itu bukanlah milik sang pujaan hati.

"Iya, Bu. Ini juga mau disuruh masuk," jawab Mahmud, "masuk dulu, Nak." Nyaris tanpa keramahan seperti membukakan pintu tadi.

"Bolehkah, Pak?" tanya si pemuda dengan potongan rambut sedikit naik bagian depannya.

Melihat siapa yang datang di malam penentuan hubungan dengan kekasihnya, Wening membulatkan mata. Segala macam pertanyaan mulai bermunculan dalam dirinya. Dari mana lelaki yang kemarin sore menyapanya di depan gang perumahan tahu rumahnya.

Namun, reaksi keluarganya sangatlah di luar dugaan. Kedua orang tuanya sudah menjamu dan mengajak pemuda itu untuk menikmati hidangan. Fatimah bahkan sudah masuk dan berniat membuatkan kopi.

"Jadi, sudah berapa lama kamu mengenal putri Bapak?" tanya Mahmud memulai pertanyaan pada pemuda itu.

Si lelaki menatap Wening, tetapi perempuan itu malah menundukkan pandangan. Pemuda itu malah menikmati wajah gadis di samping Mahmud dengan segala kecantikannya.

"Dik, kamu baik-baik saja, kan? Bapak sedang bertanya. Kenapa malah melamun?" Akbar menyentuh lengan pemuda itu karena duduknya yang berdekatan.

"Eh, iya," jawab lelaki itu gelagapan, "gimana, Pak? Apa pertanyaannya bisa diulang?"

Mahmud dan Akbar terkekeh dengan perkataan pemuda itu. "Santai saja, Nak. Bapak nggak akan galak. Sudah berapa lama kamu kenal sama Wening?"

"Oh itu pertanyaannya tadi. Cukup lama, Pak. Hampir lima tahun lalu," jawab pemuda yang memperkenalkan diri pada Wening dengan panggilan Fandra.

"Lama juga ternyata. Jadi selama ini kalian pacaran secara sembunyi-sembunyi?" Mahmud menaikkan intonasi suaranya membuat Fandra membulatkan mata.

Berkali-kali menatap Wening untuk mendapat dukungan. Namun, bungsu keluarga tersebut malah tertunduk tanpa mau menatapnya sama sekali.

"Pak, Adik nggak pernah pacaran sembunyi-sembunyi," bela Wening, "dia bukan ...."

"So sweet banget, sih, Dik," ucap perempuan yang berada tepat di sebalah Akbar, dialah istri saudara Wening.

"Mbak," panggil Wening. Dia tidak suka iparnya menyela perkataan tadi.

"Bukan maksud kami menyembunyikan hubungan, Pak. Cuma saya merasa kurang percaya diri dan sengaja meminta Mbak Wening untuk menyembunyikan sampai waktunya tiba nanti," ucap Fandra mantap.

"Mbak Wening? Panggilanmu sama adikku kok lucu sekali." Akbar dan keluarga lainnya mengerutkan kening.

"Maksud saya Wening," ralat Fandra.

"Oh," jawab si empunya rumah serempak.

Saat itulah Fatimah datang membawakan minuman dan mereka menghentikan percakapan sejenak. Setelah meminum teh hangat buatan Fatimah. Mahmud membuka suara kembali. "Jadi, kapan kamu akan datang bersama dengan keluargamu untuk melamar Wening?"

"Apa!?" tanya Fandra terkejut hampir saja kue nastar yang baru masuk ke mulutnya tersembur keluar.

"Pak, boleh Adik ngomong berdua dengannya?" pinta Wening hati-hati.

"Nggak bisa kalau bicaranya di luar, tapi kalau di dalam rumah, boleh."

"Iya di rumah kok, Pak."

"Ya sudah. Kami akan tinggalkan kalian berdua di sini, tapi jangan lama-lama." Menganggukkan kepala pada anggota keluarga yang lain, Mahmud seolah meminta istri, anak dan juga menantunya untuk pergi dari ruang tamu.

Sepeninggal semua anggota keluarganya, Wening menatap Fandra. "Kenapa kamu mesti datang di saat penting seperti ini. Lagian dari mana kamu tahu rumahku?"

Fandra yakin keluarga Wening tidak sepenuhnya meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Oleh karenanya, si lelaki menggeser posisi duduk lebih dekat pada si gadis. "Memangnya, ada acara penting apa malam ini? Sampai mukanya Mbak tegang banget?"

"Kamu nggak perlu tahu karena kita nggak kenal dekat satu sama lain."

Fandra semakin membulatkan mata dengan jawaban Wening. "Apa malam ini kekasihmu berjanji datang?" bisiknya.

"Iya dan kamu mengacaukan segalanya."

"Mbak harusnya berterima kasih. Melihat gelagat keluargamu tadi, pasti pacarmu itu nggak jadi datang." Fandra mulai berani mengeraskan suara.

"Jaga ucapanmu. Dia pasti datang dan melamarku malam ini," ucap Wening sedikit keras.

"Bagaimana jika semua yang aku katakan benar. Dia nggak akan pernah datang."

Mendengar perkataan Fandra pikiran Wening berputar. Kenyataan membenarkan ucapan pemuda itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status