Share

4. Buket Bunga

Happy Reading

*****

Sesampainya di depan lift, Wening sengaja memutar arah menuju tangga agar tak bersama dengan pasangan itu. Masih belum sanggup untuk melihat kemesraan kekasihnya dengan putri pemilik perusahaan.

Meskipun lebih lama dan melelahkan, Wening bersabar dengan keadaannya. Sesampainya di ruangan, gadis itu melempar tasnya ke sofa dengan kasar. "Astagfirullah. Ada apa sebenarnya denganmu, Mas."

Dering telepon di meja Wening membuat gadis itu membuka mata. Segera dia mengangkat. "Selamat pagi dengan Wening di sini. Ada yang bisa dibantu?"

"Segera ke ruangan saya sekarang!"

"Baik, Pak." Tanpa bertanya siapa yang meneleponnya tadi, Wening sudah tahu jika suara bariton itu milik sang direktur.

Baru menginjakkan kaki di depan pintu ruangan direktur, Wening berpapasan dengan sang kekasih.

"Mas Fahri?" kaget Wening.

Si lelaki cuma menatap sekilas tanpa berkata apa pun, dia mengetuk pintu ruangan direktur terlebih dahulu.

"Masuk," suruh sang pemilik ruangan.

Wening terdiam. Pikirannya masih mengolah sikap Fahri barusan. Harusnya perempuan itu yang marah dan menunjukkan wajah tak bersahabat, tetapi mengapa malah terbalik. Fahri yang terlihat marah saat ini.

Sebelum dipersilakan oleh sang pemilik ruangan untuk duduk, Wening mempertahankan posisinya berdiri.

Sang direktur menatap keduanya bergantian. Lalu, berhenti pada Wening yang masih betah berdiri. "Mau sampai kapan kamu berdiri? Duduklah, Ning," perintah Hartawan, direktur sekaligus pemilik perusahaan garmen.

Setelah sang akuntan duduk, Hartawan mengeluarkan map untuk dibagikan pada dua orang di depannya. "Saya mendapat order besar dari salah satu tamu yang telah lama mempercayakan produk pakaian di tokonya pada garmen kita. Akan tetapi, ada sedikit kendala saat ini." Hartawan menatap pada sang calon menantu. "Sebagai seseorang yang pernah menjabat kepala produksi, Papa minta kamu membuat anggaran serta pemakaian bahan produksi dengan sangat rinci. Setelah itu minta anggarannya pada bagian keuangan."

Fahri membulatkan mata. Sepertinya tugas membuat anggaran bukan wewenangnya, tetapi mengapa Hartawan malah memberikan tanggung jawab itu padanya.

"Kenapa? Apa kamu keberatan?"

"Bukan keberatan, Pa. Fahri merasa ini bukan lagi tugas seorang wakil direktur."

"Papa masih belum percaya dengan penggantimu saat ini. Kamu bisa mengajarinya, sekalian untuk meyakinkan Papa bahwa orang yang kmu rekomendasikan itu tepat."

Wajah Fahri seketika berubah. Entah apa yang sedang dipikirkan. Namun, beberapa saat kemudian, dia menganggukkan kepala.

"Papa harap kamu bisa bekerja sama dengan semua pihak terkait tugas ini. Mengerti?"

"Ngerti, Pa." Mulutnya bisa berkata demikian, tetapi hatinya meragu. Ada hal yang tidak pernah diketahui oleh calon mertuanya tentang semua anggaran serta rincian produksi yang dibuat oleh Fahri.

Di sebelah Fahri, Wening mulai jengah. Untuk apa dia berada di ruangan itu kalau diskusi, hanya didominasi mereka berdua. Dia pun mengumpat dalam hati.

Sementara Wening tengah mengumpat dalam hati, Fahri melirik penampilan gadis yang sudah menjalin hubungan dengannya selama ini. "Cantik," kata itu keluar dengan sendirinya tanpa bisa dikontrol.

"Bicara apa kamu?" tanya lelaki paruh baya di depan mereka.

"Maaf, Pa."

"Fokus sama pekerjaan dan lakukan yang terbaik. Saya harap kalian berdua bisa bekerja sama dengan baik. Kalian bisa keluar," perintah sang direktur.

Fahri keluar lebih dulu, diikuti Wening yang berusaha mengejarnya. Gadis itu seolah melupakan bahwa dirinya sedang berada di kantor dan tak ada seorang pun yang tahu tentang hubungan mereka.

"Kenapa kamu nggak datang semalam, Mas? Kalau memang nggak niat buat melamar, jangan memberi harapan yang begitu besar. Seluruh keluargaku menunggumu tadi malam." Wening sengaja menyejajarkan langkah dengan Fahri.

"Ini kantor. Jangan bahas apa pun selain pekerjaan." Wajah Fahri berubah tegas dan sedikit sinis.

"Kenapa? Apa kamu takut ketahuan bahwa sebelumnya kita punya hubungan?"

"Berhenti mengatakan apa pun tentang masalah pribadi kita!" Kata-kata Fahri pelan, tetapi sorot matanya menunjukkan kemarahan pada gadis itu.

"Aku akan berhenti setelah kamu menjelaskan semuanya." Wening berkata dengan tegas. Sebagai akuntan yang membawahi empat anak buah. Sikap Wening tidak mudah untuk diintimidasi apalagi diancam seperti perkataan Fahri tadi.

Fahri meninggalkan Wening. Dia berjalan dengan cepat ke ruangannya. Sementara si gadis masih berusaha mengejar. Sampai di depan ruangan baru sang lelaki, Wening menghentikan langkah.

"Hai, Sayang," sapa Tiara dan langsung bergelayut pada lengan kanan tunangannya. Sekilas dia melirik Wening. "Ngapain kamu ngikuti tunangan saya sampai ke ruangannya? Ganjen banget jadi cewek."

"Maaf, saya nggak ganjen. Saya masih ada perlu dengan Pak Fahri terkait order yang baru dibicarakan di ruangan Pak Hartawan."

"Halah alasan. Matamu nggak bisa bohong. Kamu mengejar Mas Fahri karena alasan pribadi. Ngaku saja."

"Kalian berdua bikin aku pusing." Fahri masuk dengan membanting pintu. Kedua perempuan itu terhenyak.

Merasa dipermalukan, Wening berbalik arah. Namun, beberapa karyawan yang melihat kejadian tadi sempat berbisik-bisik. Ruangan Fahri memang melewati beberapa kubikel bagian produksi dan pengontrolan kualitas. Jadi, perbincangan mereka jelas mengundang beberapa pasang mata untuk fokus kepada ketiganya.

"Bu Wening teryata tidak tahu diri juga, ya. Sudah tahu Pak Fahri adalah tunangan Bu Tiara, kenapa masih berusaha mencari simpatinya," bisik salah satu karyawan yang berpapasan dengan Wening.

Wanita itu mengangguk menanggapi bisikan temannya. "Kelihatannya alim, pendiam, tapi kok begitu. Cantik, sih, tapi kenapa jadi pelakor," sahut yang lain.

Ingin rasanya menghilang saja. Tidak tahukah mereka semua bahwa Tiara yang menjadi pelakor dalam hubungannya dengan Fahri. Melirik pada dua wanita yang berbisik tadi, Wening mempercepat jalannya menuju ruangan. Sesampainya di dalam ruangan pribadinya, gadis itu menjatuhkan bobot tubuh sedikit keras pada sofa. Memijat keningnya yang mulai berdenyut.

"Kamu nggak bisa giniin aku, Mas. Harus ada penjelasan, tega kamu menghancurkan semua impian pernikahan kita," kata Wening di tengah pikiran kalut hari ini.

Mengambil ponsel dari dalam saku blazer yang dikenakannya, sang akuntan mengetikkan chat pada wakil direktur yang baru.

"Mari kita selesaikan masalah pribadi saat jam makan siang. Temui aku di tempat biasa. Aku butuh penjelasannya." Pesan itu dikirim dengan cepat oleh si gadis berjilbab. Chat itu sudah check list dua, tetapi belum dibaca oleh sang pemilik.

"Inikah alasanmu menyembunyikan hubungan kita selama bertahun-tahun? Harusnya aku menaruh rasa curiga." Memejamkan mata dan mengusap kasar wajah, Wening semakin galau serta pusing.

Lima menit, chat yang dikirimkan belum juga terbaca. Pikiran sang gadis mulai ke mana-mana apalagi ada Tiara yang ikut masuk ke ruangan  Fahri. Sisi negatif itu muncul.

"Mungkinkah mereka berdua melakukan hal terlarang di dalam kantor seperti yang sering aku baca di novel-novel? Astagfirullah, Mas Fahri nggak mungkin sebejat itu. Selama ini, dia nggak pernah melakukan hal-hal di luar batas. Menciumku saja, dia nggak pernah melakukannya."

Tengah berperang dengan prasangka buruknya, pintu ruangan Wening diketuk.

"Masuk," suruh si gadis berjilbab.

"Bu, ada paket." Seorang lelaki yang diketahui sebagai OB di kantor tersebut menyerahkan buket bunga mawar merah serta sekantong plastik nasi kotak.

"Dari siapa?"

"Dari cowok ganteng. Katanya, calon suaminya Ibu." OB itu tersenyum. Wening yang dikirimi buket mawar, tetapi lelaki itu yang baper. "Dia juga nitip salam. Bu Wening nggak boleh banyak pikiran.Jangan telat makan supaya magnya nggak kambuh."

"Wah, rupanya sudah ada yang perhatian. Gitu sok minta penjelasan."  Suara seorang lelaki menginterupsi kebingungan Wening akan paket yang diterimanya. Kemarahan jelas terpancar di wajah sang lelaki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status