Happy Reading*****Mengabaikan segala kekesalan pada lelaki yang katanya sudah bertunangan semalam, Wening mengambil buket bunga serta kotak makanan di tangan OB. "Terima kasih, Mas," ucap Wening."Sama-sama, Bu." Merasa pekerjaannya sudah selesai, sang OB memilih pergi dari ruangan akuntan apalagi tanpa sengaja melihat delikan dari sang wakil direktur baru.Cepat, Fahri menutup pintu dan berjalan mendekat pada Wening. Dia merebut buket itu dengan kasar. "Jadi, kamu mengkhianati aku? Ckck, nggak nyangka," katanya."Ada maling teriak maling sepertinya. Mau apa ke ruanganku?" Wening menaruh buket serta kotak makan di meja kerjanya."Bukannya kamu yang chat supaya aku memberikan penjelasan tentang kejadian semalam. Sepertinya sudah nggak diperlukan lagi." Jeda sebentar, lelaki itu memasukkan kedua tangannya di saku celana."Baguslah jika sudah punya calon suami yang bisa menggantikan aku." Fahri menyerahkan sebuah map pada gadis berjilbab di depannya. Dia juga melempar buket mawar ke s
Happy Reading*****Fandra semakin mengeratkan pelukannya pada Wening. Dia bahkan sampai memutar tubuh si perempuan ke arah berlawanan dan sedikit menjauh dari tempat semula. Wening mulai meronta-ronta minta dilepaskan, sementara suara panggilan namanya dari arah belakang membuat semua karyawan mulai berkerumun."Ayo pergi sekarang sebelum makin banyak teman-teman kerjamu memperhatikan kita," bisik Fandra tanpa mau menghiraukan panggilan seseorang pada Wening."Iya, tapi lepaskan dulu." Fandra mengendurkan pelukan, tetapi tangannya dengan cepat menyeret Wening keluar dari kantor garment tempatnya bekerja. Tanpa menoleh pada siapa pun. Mereka berdua jalan lurus hingga sampai di parkiran.Sementara itu, seseorang yang memanggil Wening tadi begitu marah karena merasa di abaikan. "Kenapa kamu terlihat marah begitu, Yang?" tanya perempuan yang selalu menempel pada lelaki itu."Gimana nggak marah. Wening melakukan hal tak senonoh di tempat kerja. Memangnya kantor ini tempat mesum? Seenakn
Happy Reading*****Wening memperbaiki dirinya sebelum keluar ruangan. Sudah dua kali dalam satu hari ini, dia dipanggil sang atasan. Kali ini, entah hal penting apa yang akan disampaikannya. Naik ke lantai berikutnya, gadis itu berdoa dalam hati semoga bukan tentang kejadian di lobi yang membuatnya di panggil oleh sang direktur.Mengetuk pintu ruangan sang direktur sekaligus sang pemilik usaha. Wening membukanya setelah dipersilakan. "Permisi, Pak," ucap Wening. Sedikit membungkuk mendekati meja sang direktur.Lelaki dengan perut buncit itu menggerakkan kepala menatap akuntan yang sudah bekerja lebih lima tahun di hadapannya. Sejak pertama kali melamar pekerjaan di garmen miliknya, Wening sudah menarik simpati sang atasan. Sosoknya sangat berkarakter, jarang sekali melakukan kesalahan pada pekerjaan. Disiplin tinggi serta tanggung jawab dan loyalitasnya pada garmen tidak perlu diragukan lagi. "Duduklah," suruh lelaki bernama Hartawan.Menggeser kursi di hadapan sang direktur, Wenin
Happy Reading*****Dalam perjalanan pulang, perkataan Abraham terus saja berputar di dalam otak Wening. Jika sahabat yang paling dekat dengan mantan kekasihnya saja mengatakan demikian. Lalu, kenapa dia masih begitu percaya pada Fahri saat itu."Jadi, apa arti hadirku dalam hidupmu, Mas?" tanya Wening dalam hati. Memarkirkan mobil milik bapaknya. Wening masuk rumah tanpa ada firasat apa pun. Tidak pernah tahu bahwa seluruh anggota keluarganya kini tengah berkumpul di ruang tamu menunggu kepulangannya."Assalamualaikum," salam Wening ketika memutar kenop pintu ke bawah."Waalaikumussalam," jawab semua orang dari dalam rumah.Kepala Wening menyembul di daun pintu. Dia sengaja mengintip terlebih dahulu, mendengar jawaban serempak yang tak biasanya terdengar ketika pulang kerja. Kedua alis si gadis menyatu. Perlahan, dia melangkahkan kaki masuk dan mulai menyapa seluruh keluarga satu per satu dengan menyalami mereka semua.Ketika akan bergerak menuju kamar, suara bariton Mahmud terdenga
Happy Reading*****"Katanya ingin adik segera menikah, tapi Ibu menetapkan standard yang begitu tinggi saat mencari calon menantu. Gimana, sih," sahut si tengah, "kalau ingin adik menikah tahun ini, ya, biarkan saja sama Fandra. Dia cukup baik dan ramah. Masalah pekerjaan, kita nggak boleh mengadili seperti itu. Suatu saat, seorang office boy juga pasti akan naik jabatan."Si tengah, Akbar menatap Fatimah dengan wajah keberatan atas kalimat yang dikeluarkannya tadi. Baru akan membuka suara lagi, tangan kanan Mahmud terangkat. Kelima jarinya tegak meminta Akbar diam. Ada sesuatu yang harus dia ketahui dan hal itu sangat penting daripada pekerjaan Fandra. Lalu, Mahmud pun menatap putrinya dan berkata, "berapa umur Fandra, Nduk?""Adik nggak tahu, Pak. Mungkin usianya jauh di bawah Wening." Si bungsu menjawab dengan sangat lirih bahkan kepalanya tertunduk begitu dalam. Sepanjang hidup, baru kali ini Wening disidang oleh keluarganya sendiri gara-gara orang lain.Sekali lagi, helaan panj
Happy Reading*****"Mbak," panggil Fandra. Tangannya bergoyang ke kanan kiri, tepat pad wajah Wening. "Mau nggak? Kok, malah bengong. Nggak ada orang lain yang bisa dimintai tolong. Lagian sudah mau magrib, keburu bengkelnya tutup.""Hah?" tanya Wening, seperti orang linglung."Bisa nggak nolongin aku, Mbak?" tanya Fandra memastikan sekali lagi."Hmm. Bisa, tapi aku nggak pernah melakukannya. Tunjukkan caranya, aku akan belajar dengan cepat.""Baiklah. Terima kasih sebelumnya." Fandra bahkan dengan sengaja mengedipkan mata pada si gadis. Wening memalingkan muka.Fandra tertawa cukup keras, tetapi detik selanjutnya, dia mulai menjelaskan pada Wening bagaimana caranya. Menyimak semua instruksi yang dikatakan oleh Fandra, Wening mulai naik pada motor lelaki itu.Perlahan kedua melaju, menuju bengkel yang letaknya cukup jauh dari tempat Fandra menghentikan Wening tadi. Sesampainya di depan bengkel, keduanya berhenti. "Terima kasih, Mbak. Sudah mau membantuku," kata Fandra. Sekali lagi,
Happy Reading*****"Mengapa kalian melihat Bapak dengan tatapan aneh begitu," ucap Mahmud menanggapi keterkejutan semua orang. Seluruh anggota keluarga menggeleng. Jika sang kepala keluarga sudah beritahu, tidak akan bisa anggota yang lain protes untuk menolak. Demikianlah yang terjadi sejak bertahun-tahun lalu di keluarga Wening. Mahmud mengarahkan pandangan pada si bungsu. "Nduk, pinjamkan sarung untuk Nak Fandra," titah sang kepala keluarga tanpa ada yang bisa membantah.Wening berbalik arah dan menuju lemari di pintu masuk musala. Sementara Fandra, dia segera mengambil wudu. Tak ingin membuang waktu sama sekali karena waktu magrib sangat singkat. Walau ada rasa gugup yang menyerang jantungnya saat ini, tetapi Fandra tetap menerima permintaan Mahmud. Entah alasan apa yang dimiliki lelaki paruh baya tersebut.Fandra percaya semua akan terlewati dengan mudah. Niatnya datang ke rumah keluarga Wening baik dan insya Allah akan mendapat keridhaan.Menyerahkan sarung tanpa berkata apa
Happy Reading*****"Nggak perlu berdebat seberapa lama kamu telah mengenal putri Bapak. Semuanya pasti nggak akan ada ujungnya." Mahmud kembali melirik sang istri. Gelagat kekaguman serta cinta yang begitu besar di mata Fandra ketika menatap Wening, tertangkap oleh indera Mahmud. Tidak akan dia biarkan seorang lelaki menatap putri seperti itu. "Nduk, sudah waktunya makan malam. Sebaiknya kalian menyiapkan makan malam. Masalah itu sudah jelas ke mana ujungnya. Bapak harap, Nak Fandra mau menerima dengan lapang. Untuk saat ini, Bapak memang belum bisa menerima lamaranmu."Para wanita beranjak dari duduk dan mulai berjalan ke dapur. Fatimah terdengar mengoceh, seperti memberi nasihat atau sedang marah pada Wening. Fandra masih mengamati perempuan berjilbab yang sudah sangat menarik hatinya itu.Kurang dari lima menit kemudian, kakak ipar kedua Wening yang bernama Reni, kembali ke ruang tamu. "Pak, makanan sudah siap," ucapnya.Menoleh pada menantunya, Mahmud menganggukkan kepala. "Ayo