Happy Reading*****Dalam perjalanan pulang, perkataan Abraham terus saja berputar di dalam otak Wening. Jika sahabat yang paling dekat dengan mantan kekasihnya saja mengatakan demikian. Lalu, kenapa dia masih begitu percaya pada Fahri saat itu."Jadi, apa arti hadirku dalam hidupmu, Mas?" tanya Wening dalam hati. Memarkirkan mobil milik bapaknya. Wening masuk rumah tanpa ada firasat apa pun. Tidak pernah tahu bahwa seluruh anggota keluarganya kini tengah berkumpul di ruang tamu menunggu kepulangannya."Assalamualaikum," salam Wening ketika memutar kenop pintu ke bawah."Waalaikumussalam," jawab semua orang dari dalam rumah.Kepala Wening menyembul di daun pintu. Dia sengaja mengintip terlebih dahulu, mendengar jawaban serempak yang tak biasanya terdengar ketika pulang kerja. Kedua alis si gadis menyatu. Perlahan, dia melangkahkan kaki masuk dan mulai menyapa seluruh keluarga satu per satu dengan menyalami mereka semua.Ketika akan bergerak menuju kamar, suara bariton Mahmud terdenga
Happy Reading*****"Katanya ingin adik segera menikah, tapi Ibu menetapkan standard yang begitu tinggi saat mencari calon menantu. Gimana, sih," sahut si tengah, "kalau ingin adik menikah tahun ini, ya, biarkan saja sama Fandra. Dia cukup baik dan ramah. Masalah pekerjaan, kita nggak boleh mengadili seperti itu. Suatu saat, seorang office boy juga pasti akan naik jabatan."Si tengah, Akbar menatap Fatimah dengan wajah keberatan atas kalimat yang dikeluarkannya tadi. Baru akan membuka suara lagi, tangan kanan Mahmud terangkat. Kelima jarinya tegak meminta Akbar diam. Ada sesuatu yang harus dia ketahui dan hal itu sangat penting daripada pekerjaan Fandra. Lalu, Mahmud pun menatap putrinya dan berkata, "berapa umur Fandra, Nduk?""Adik nggak tahu, Pak. Mungkin usianya jauh di bawah Wening." Si bungsu menjawab dengan sangat lirih bahkan kepalanya tertunduk begitu dalam. Sepanjang hidup, baru kali ini Wening disidang oleh keluarganya sendiri gara-gara orang lain.Sekali lagi, helaan panj
Happy Reading*****"Mbak," panggil Fandra. Tangannya bergoyang ke kanan kiri, tepat pad wajah Wening. "Mau nggak? Kok, malah bengong. Nggak ada orang lain yang bisa dimintai tolong. Lagian sudah mau magrib, keburu bengkelnya tutup.""Hah?" tanya Wening, seperti orang linglung."Bisa nggak nolongin aku, Mbak?" tanya Fandra memastikan sekali lagi."Hmm. Bisa, tapi aku nggak pernah melakukannya. Tunjukkan caranya, aku akan belajar dengan cepat.""Baiklah. Terima kasih sebelumnya." Fandra bahkan dengan sengaja mengedipkan mata pada si gadis. Wening memalingkan muka.Fandra tertawa cukup keras, tetapi detik selanjutnya, dia mulai menjelaskan pada Wening bagaimana caranya. Menyimak semua instruksi yang dikatakan oleh Fandra, Wening mulai naik pada motor lelaki itu.Perlahan kedua melaju, menuju bengkel yang letaknya cukup jauh dari tempat Fandra menghentikan Wening tadi. Sesampainya di depan bengkel, keduanya berhenti. "Terima kasih, Mbak. Sudah mau membantuku," kata Fandra. Sekali lagi,
Happy Reading*****"Mengapa kalian melihat Bapak dengan tatapan aneh begitu," ucap Mahmud menanggapi keterkejutan semua orang. Seluruh anggota keluarga menggeleng. Jika sang kepala keluarga sudah beritahu, tidak akan bisa anggota yang lain protes untuk menolak. Demikianlah yang terjadi sejak bertahun-tahun lalu di keluarga Wening. Mahmud mengarahkan pandangan pada si bungsu. "Nduk, pinjamkan sarung untuk Nak Fandra," titah sang kepala keluarga tanpa ada yang bisa membantah.Wening berbalik arah dan menuju lemari di pintu masuk musala. Sementara Fandra, dia segera mengambil wudu. Tak ingin membuang waktu sama sekali karena waktu magrib sangat singkat. Walau ada rasa gugup yang menyerang jantungnya saat ini, tetapi Fandra tetap menerima permintaan Mahmud. Entah alasan apa yang dimiliki lelaki paruh baya tersebut.Fandra percaya semua akan terlewati dengan mudah. Niatnya datang ke rumah keluarga Wening baik dan insya Allah akan mendapat keridhaan.Menyerahkan sarung tanpa berkata apa
Happy Reading*****"Nggak perlu berdebat seberapa lama kamu telah mengenal putri Bapak. Semuanya pasti nggak akan ada ujungnya." Mahmud kembali melirik sang istri. Gelagat kekaguman serta cinta yang begitu besar di mata Fandra ketika menatap Wening, tertangkap oleh indera Mahmud. Tidak akan dia biarkan seorang lelaki menatap putri seperti itu. "Nduk, sudah waktunya makan malam. Sebaiknya kalian menyiapkan makan malam. Masalah itu sudah jelas ke mana ujungnya. Bapak harap, Nak Fandra mau menerima dengan lapang. Untuk saat ini, Bapak memang belum bisa menerima lamaranmu."Para wanita beranjak dari duduk dan mulai berjalan ke dapur. Fatimah terdengar mengoceh, seperti memberi nasihat atau sedang marah pada Wening. Fandra masih mengamati perempuan berjilbab yang sudah sangat menarik hatinya itu.Kurang dari lima menit kemudian, kakak ipar kedua Wening yang bernama Reni, kembali ke ruang tamu. "Pak, makanan sudah siap," ucapnya.Menoleh pada menantunya, Mahmud menganggukkan kepala. "Ayo
Happy Reading*****Membuka mata karena mendengar suara orang mengaji dari speaker musala. Wening menegakkan tubuh dan menyandarkan kepala sebelum turun dari ranjang. "Alhamdulillah. Engkau masih memberi hamba kesempatan terbangun pagi ini, Ya Allah." Mengusap kedua tangan pada wajah. Gadis itu tersenyum. Mengambil ponsel karena mendengar dering notifikasi masuk. Wening mendapat sapaan pagi dari Fandra."Pagi cantik. Sudah bangun? Jangan sedih, ya. Aku akan berjuang untuk mendapatkan restu Bapak. Nggak masalah jika Mbak belum mencintaiku. Asal aku masih bisa mengirimkan chat dan melihat Mbak Ning setiap hari walau cuma foto. Jangan sampai telat salat subuh, ya." Di akhir chat yang dikirimkan si lelaki, dia membiarkan emotikon berbentuk hati dengan warna hitam.Antara ingin tersenyum dan mengisi, Wening menatap layar ponselnya. "Kamu begitu manis sekali padahal orang yang bertahun-tahun menjalin hubungan dekat denganku nggak pernah melakukannya. Maafkan aku, Fan. Semoga, kamu segera d
Happy Reading*****"Aku cuma bertanya, tidak bermaksud apa pun," ucap Fahri."Tapi nada bicaramu seperti membela dan tidak terima jika aku berkata sedikit ketus pada Wening. Kamu punya perasaan suka sama dia, ya?" Perkataan Tiara makin ngaco. Fahri bahkan menatap calon kakak iparnya dengan perasaan sungkan. "Ngomong apa kamu, Yang," sahut Fahri.Panggilan yang disematkan lelaki berkulit sawo matang itu membuat jantung Wening makin merasakan nyeri yang cukup hebat. Tak ingin mendengar perdebatan kedua lebih lama lagi, si gadis berjilbab menatap Tiara dan Fahri."Maaf, saya nggak keluyuran atau menggosip di saat jam kerja. Anda bisa mengecek catatan kinerja saya pada HRD. Jika bukan Pak Hartawan yang memanggil, saya juga nggak akan ninggalin ruangan," jawab Wening, "ada masalah apa kalian mencari saya."Walau suara sedikit bergetar dan tercekat sehingga terdengar seperti orang yang akan menangis. Namun, raut wajah sang akuntan tak gentar sama sekali. Dia berusa tegar menghadapi semua
Happy Reading*****Diam untuk beberapa saat. Fahri mencoba tersenyum dan merubah mimik wajahnya menjadi biasa. "Ngomong apa kamu, Yang. Bagaimana mungkin ada perempuan lain di hatiku ini. Aku seorang wakil direktur. Jika ada yang bertanya dari divisi lain terkait keadaan Wening, akan sangat lucu ketika aku tidak mengetahui sama sekali permasalahannya."Fahri mencolek dagu gadis di sebelahnya. Menetralkan segala rasa yang bergejolak dalam hati terhadap Wening. Dunia hanya boleh tahu bahwa dirinya adalah lelaki terbaik untuk Tiara. Lelaki yang paling pantas mendampingi perempuan itu."Beneran, Yang? Kamu tidak memiliki perasaan apa pun padanya?" tanya Tiara. Kedua tangannya kembali bergelayut manja pada lengan Fahri. Saat itu, Wening dan Hermin melihat kemesraan keduanya. Sang akuntan langsung memalingkan muka, sedangkan si kakak ipar cuma menggelengkan kepala. Lalu, meminta Wening untuk mengabaikan keduanya."Jadi, boleh Mas tahu apa yang direncanakan Papa?" Fahri mengusap lembut ram